~Jovan POV~
Aku menyodorkan ponsel kepadaTasya, memintanya menggantikan ponselku besok. Tasya, dia seseorang yang sangat kupercaya. Dia bekerja bersama kami selama dua belas tahun. Bersamaku enam tahun dan bersama papa enam tahun.
Ya, Tasya sebelumnya asisten papa kemudian papa menyerahkan kepadaku saat dia tidak aktif lagi bekerja.
Tasya adalah seseorang yang jika diminta semua pekerjaan beres. Kadang dia sudah mengerjakannya sebelum kuminta. Seringkali saat aku mengatakan meminta sesuatu, ternyata sudah beres. Dia seperti bisa membaca pikiranku di masa depan.
Dia adalah salah satu dari tiga asisten Papa. Salah satunya Papa Jadikan istri. Entah kenapa saat itu Papa mencari asisten muda, ada satu lagi asisten senior yang membimbing mereka sehingga mereka jadi sangat terampil.
Tasya selalu berpenampilan sopan, bahkan bisa dibilang terlalu sopan. Tidak pernah satu kali pun dia membiarkan rambutnya terurai. Tasya selalu menggelungnya ke belakang. Style pakaiannya cuma dua, celana panjang atau rok panjang tanpa belahan. Sama sekali tidak sama seperti pekerja lainnya.
Tasya selalu menggunakan kacamata dengan bingkai terlalu besar di wajahnya. Hampir menutupi tulang pipinya. Tasya selalu terlihat tampil tanpa make-up. Kecuali saat ada acara besar perusahaan seperti makan makan malam bersama seluruh staf saat malam tahun baru.
Dia sangat jauh berbeda dengan pekerja wanita lainnya, tapi aku tidak mempermasalahkan hal itu. Aku tidak butuh asisten cantik, pesolek tapi kerjanya tidak becus. Aku rela menukar sepuluh pegawai wanitaku yang lain demi Tasya.
Malam ini, dia terlihat begitu berbeda. Aku berpikir keras, apa yang membuatnya berbeda? Dia pergi menjauh saat aku berkata tidak memerlukan apa-apa lagi. Aku memandanginya sejenak sambil berpikir.
Aaaah, aku tau, kacamata. Tasya tidak memakai kacamata. Dia terlihat sangat cantik tanpa kacamata kebesaran itu.
Sangaaaaaat cantik!
“Tasya…” aku memanggilnya.
Dia membalikkan tubuh dan aku memperhatikannya lekat-lekat.
Tasya hanya menggunakan celana pendek ketat menutupi separuh pahanya, baru kali ini aku melihat paha Tasya. Tank top hitam membalut tubuhnya dengan indah. Separuh dadanya menyembul dari bajunya yang berdada rendah. Sangat kontras tank top hitam itu dengan kulitnya yang kuning langsat, gundukan itu semakin terlihat menarik.
“Tasya, seberapa penting, sih, sex buat Lo?” tanyaku tiba-tiba.
“A-apa, Pak?” Tasya tergagap. Aku memperhatikannya semakin dalam. Wajahnya merona. Aku melangkah mendekatinya, aroma harum sabun dan shampo menguar lembut dari tubuh Tasya.
“Buka, Tasya!”
“Apa yang dibuka, Pak?”
~Tasya POV~
“Aaahh,” aku mendesah puas saat air hangat mengaliri tubuh yang lengket dan lelah. Perjalanan meninjau lokasi ini sangat melelahkan, dari bandara ibu kota memerlukan waktu 13 jam.
Ya Tuhaaan, aku sangat lelah. Kami baru tiba di hotel sejam yang lalu. Setelah merebahkan diri beberapa saat di kasur baru aku mandi. Pinggangku, sakit sekali. Jalanan menuju lokasi hampir mirip track offroad. Setelah ini aku bisa tidur nyenyak, semoga saja bos gila kerja itu tidak menelponku.
Tapi … rasanya itu mustahil!
Dia selalu punya alasan menelponku, bahkan saat lebaran sekalipun!
Dia memang keterlaluan! Tengah malam pun seringkali aku dihubungi. Kesal? Tentu saja, tapi mau bagaimana lagi, menjadi asistennya sama artinya menjual separuh jiwaku kepadanya dengan imbalan gaji perbulan yang kuterima. Doaku panjang sekali, meminta dia pingsan saja karena kelelahan.
Aku memijat kulit kepala. Uuuh! Enak sekali. Bahkan mandi air hangat saja sudah terasa membahagiakan bagiku saking jarangnya aku menerima kesenangan semenjak aku melangkahkan kaki ke gedung kantor PT. Adi Jaya Sakti Group dua belas tahun yang lalu.
Tanteku bekerja sebagai asisten bos-besar, ayahnya-Jovan. Dia mengatakan Pak Adi mencari dua orang asisten baru. Saat itu aku baru lulus kuliah. Ada juga teman kerjaku masuk di hari yang sama, dia juga asisten Pak Adi, namanya Ririn. Tanteku membimbing kami berdua. Dia berpesan kepadaku agar aku selalu menggunakan pakaian tertutup, sementara Ririn, dia berpakaian sesuai keinginannya, dia cantik dan sexy. Sembilan bulan setelah kami bekerja, Pak Adi menikahinya.
Awalnya aku bingung. Kenapa? Kenapa aku tidak boleh berpakaian seperti yang kumau? Kenapa aku harus seperti emak-emak yang tidak mengerti fashion padahal aku masih muda, dan selera berpakaianku bagus. Lama-kelamaan, aku mengerti, Tanteku menyayangiku hingga.
Saat aku bekerja bersama Pak Adi, banyak hal yang kulihat dan kudengar, tapi apa pun itu, apa bila tidak menyangkut pekerjaan, kami harus bersikap seolah-olah bagai dinding tembok, tidak mendengar dan tidak melihat.
Lalu bagaimana ketika aku bekerja bersama anaknya si Jovan? Terasa sedikit lebih baik. Setidaknya dia tidak bersikap sadis kepada wanita, karena dia tidak pernah terlihat bersama wanita mana pun, bisa dikatakan dia terlalu cuek. Sesekali melihat wajah tampannya, sedikit menguraikan ketegangan.
Aku masih ingin berlama-lama di bawah pancuran air, tapi rasanya samar-samar aku mendengar ponselku berdering. Nada dering itu sangat spesial, hanya untuknya nada dering dengan bunyi seperti itu. Aku segera keluar kamar mandi melilitkan handuk sekedarnya di dada lalu mengambil ponsel.
“Hmmm, tuh kan bener. Ada aja alasannya menelponku, tapi aku bisa apa? Aku hanya mampu berdecak kesal.
“Halo, Pak.”
“Iya, Pak saya ke sana.”
Aku mengenakan pakaian seadanya di atas kasur yang sudah kusiapkan tadi sebelum mandi. Kurapikan rambutku yang basah sekedarnya dengan penjepit rambut. Semua harus dilakukan dengan cepat. Setengah berlari kususuri koridor hotel menuju kamar Pak Jovan di ujung sana.
Saat aku masuk, dia menyodorkan ponselnya yang retak kepadaku. Dia bilang terkena jatuh. Aku tahu sebenarnya dia pasti mau mendapatkan ponsel baru saat ini juga, tapi dia pasti juga tahu, tidak mungkin membeli ponsel di jam begini. Aku berniat melangkah ke luar kamar saat dia berkata tidak memerlukan hal lain.
“Tasya,” dia memanggilku, langkahku terhenti. Aku membalikkan tubuh sambil melihat ke arahnya. Dia memandangiku sangat dalam. Kurasa baru kali ini dia melihatku sebagai manusia.
“Seberapa penting, sih, sex buat Lo”
Aku sangat terkejut dengan pertanyaanya, kupikir aku salah dengar atau dia salah ucap? Mungkin maksudnya seberapa penting pekerjaan untukku, begitu kan?
“Buka Tasya.” Dia mendekatiku. Aku terdiam membeku, tak bergerak.
“Apanya yang dibuka, Pak?” aku semakin gugup. Apa maunya kini, aku tidak berani menduga-duga. Setelah menanyakan masalah sex dia tiba-tiba menyuruhku membuka yang entah apa.
Dia semakin mendekat. Aku semakin gugup. Aroma sabun maskulin menguar lembut dari tubuhnya, aku yakin dia pun baru mandi sama sepertiku.
Aku masih terdiam. Dia berdiri tepat di depanku tidak ada jarak di antara kami.
Aku menundukkan wajah, tidak berani menatapnya. Dadanya tepat di depan wajahku, aroma wangi tubuhnya semakin tercium dan semakin menggetarkan tubuhku.
Detak jantungku iramanya berubah rancu tidak beraturan. Jovan mengangkat lengan. Aku memejamkan mata rapat-rapat. Dia mau memelukku. Aku yakin itu. Pasti!
Aku merasakan sentuhan di belakang kepalaku. Dadaku bertalu semakin cepat. Napasku sesak dan cepat. Aku hampir blackout karena jantungku terlalu cepat memompa. Tubuhku lemas dan gemetar.
“Lo cantik,” puji Pak Jovan tiba-tiba.
Aku terkejut dan penasaran. Apa yang terjadi?
Kubuka mata pelan-pelan.
Ternyata dia melepaskan penjepit rambutku, hingga rambutku yang basah dan panjang jatuh tergerai menutupi sebagian dadaku.
“A-apa, Pak? Hemmm… maksud saya terima kasih.” Aku memandanginya dengan gugup. Dia tersenyum manis sekali.
“Tasya, Lo belum jawab. Seberapa penting sex buat Lo?”
Sial! Pertanyaan apa itu?! Aku bingung mau menjawab apa, “Maksudnya, Pak?”
“Sorry, pertanyaan gue pasti bikin Lo gak nyaman, tapi kita sudah kenal lama ‘kan? Gue harap Lo gak salah paham.”
“Gimana gak salah paham coba? Ujug-ujug ditanya masalah sex. Di dalam kamar hotel, tengah malam, berduaan pula! Ini apa maksudnya?! Perempuan mana yang gak salah paham?” Aku mencoba mengumpulkan kesadaranku yang tiba-tiba menguap karena pertanyaan anehnya.
“Maaf, Pak saya kurang paham dengan maksud pertanyaan, Bapak.”
Dia berdecak kesal sambil membuang wajah. Terlihat dari raut wajahnya, jelas sekali dia tidak suka mendengar berusaha memperjelas maksud dari pertanyaan anehnya.
“Penting, Pak,” Jawabku segera saat melihat ketidaksukaan di wajahnya. Sepertinya nanti gajiku benar-benar dipotong kalau begini kejadiannya, “Gimana saya mau punya anak kalau gak berhubungan sex.”
“Lo mau punya anak?”
“Ya mau lah, Pak. Tapi nanti kalau udah nikah.”
“Lo mau nikah?”
“Ya mau lah! Siapa yang gak mau nikah?” Mungkin elo bos yang gak mau. Gerutuku di dalam hati.
“Sudah ada calon?”
“Udah, Pak.” Kenapa, sih? Aneh banget ni, bos. Apa kesambet di hutan waktu ke lokasi tadi, ya? Aku terus bertanya-tanya akan sikap anehnya.
“Siapa?” Dia mendelik kepadaku
“Nanti kalau saya kawinan, Bapak datang, ya. Nanti bisa kenalan sama suami saya. Memangnya kenapa, Pak?”
“Gak papa, tanya aja.” Dia memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.
“Bapak gak mau menikah?”
“Mau.”
“Udah ada calon?”
“Dia udah punya calon suami.”
“Heh?! Siapa, Pak?”
“Elo, Tas!”
“A-apa Pak?!”
“Iya, Elo," ucapnya tanpa ragu.
Aku menelan ludah beberapa kali sambil mengerjapkan mata berulang kali. Aku terdiam membisu.
Ogaaaaaah gueeee!
Gak mauuu!!!
Amit-amit! Ntar yang ada disuruh kerja 24 jam dan tujuh hari seminggu.
“Saya sudah punya calon suami, Pak," ucapku susah payah.
Dia tertawa gelak, sepertinya ketakutan di wajahku terlihat jelas. Dia tertawa hingga terpingkal-pingkal.
“Ya, udah balik ke kamar sana. Besok pagi-pagi kita balik ‘kan?” katanya sambil menatapku sangat dalam. Senyuman Rumit bin Aneh tersemat di bibirnya.
“Iya, Pak.” Aku segera pergi dari kejadian horor itu. Tidak tau apa maksud pertanyaannya, apakah dia bercanda atau serius? Bahkan saat dia bercanda pun sudah sangat menakutkan bagiku.
****
Jovan duduk di lounge hotel sambil menikmati alunan musik lembut. Dia menyesap wine-nya perlahan. Rasa manisnya memberikan ketenangan tersendiri baginya. Ia ingin tidur nyenyak setelah ini, sedikit wine Jovan pikir bisa mengantarkan tidurnya jadi lebih cepat.
Ia berdiri dari kursi. Waktu sudah menunjukkan pukul 1:45 dini hari. Dia bermaksud kembali ke kamarnya. Saat dia melewati lobi hotel, ketika itu juga siluet tubuh seseorang menarik perhatiannya.
Seorang wanita berambut putih dan panjang terlihat memasuki lorong menuju toilet wanita. Jovan mengejarnya, “Albin!" dia memanggilnya dengan keras. Wanita itu tetap tidak menoleh.
Jovan berlari semakin kencang, dia menarik pergelangan tangan wanita itu, “Albin!” panggilnya dengan napas terengah-engah.
Wanita itu memalingkan wajah.
“Maaf saya salah orang,” ucap Jovan sambil tersenyum malu. Wanita itu mengangguk dan meninggalkannya. Jovan memandangi punggung wanita itu hingga menghilang dari balik pintu toilet.
Jovan mengambil ponselnya yang retak, dia mengirim pesan kepada Tasya dan sekretarisnya untuk mengingatkannya menemui Albin besok malam jam 9.
Jovan menuruni tangga rumahnya sambil menenteng sebuah tas kerja di tangan. Dia mau menikmati sarapan pagi sebelum berangkat ke kantor pagi ini. Tubuhnya sebenarnya masih lelah karena baru kemarin sore tiba dari luar pulau meninjau lokasi lahan yang digarap perusahaannya.Namun, karena banyak hal yang harus dikerjakan dia tetap ke kantor hari ini.Ia bersenandung ringan sambil menapaki anak tangga. saat dia melihat lurus ke depan, di ruang makan sudah duduk lelaki tua yang sangat dikenalnya."Papa, sejak kapan datang?" Jovan menarik napas panjang melihat sang ayah sudah menunggunya."Baru aja, paling lima belas menitan," ucap Adi sambil tersenyum melihat putranya mendekat.Jovan menarik
Sekate-kate ini orang, “Ok Jo yang baik hati, kenapa Lo nipu gue?!”“Enak aja. Aku gak nipu kamu.”“Dasar tukang tipu! Gak ngaku lagi.”“Albin!” Jovan terhenyak. Harga dirinya terluka, “Gue bukan tukang tipu, ya! Lo gak sopan banget sih? Gue pelanggan di sini. Gue bisa adukan Lo bad attitude. Lo bisa dipecat!” Ia memalingkan wajahnya dengan kesal.Albin memajukan langkahnya hingga Jovan terpojok ke dinding “Gue gak butuh pelanggan tukang tipu kaya Lo!”“Club ini butuh pelanggan royal kaya gue!”“Royal apa-an? Sejak kapan orang royal ambil balik uangnya?” Albin mendengus kesal.&ldquo
Albin berjalan pelan bersama temannya keluar dari Havana klub. Mereka saling tertawa. Sesekali saling menggoda dan bercanda. Tawa mereka mengisi lorong parkiran sepeda motor khusus karyawan.Jovan bersandar pada pilar lorong parkiran. Dia tersenyum manis saat mendengar Albin dan teman-temannya menggosipkan para pelanggan mereka. Dari yang menyebalkan sampai yang baik hati.
Jovan menyusuri jalanan kota menuju rumah Albin. Dia sengaja pulang kerja lebih cepat dari biasanya hari ini. Butuh waktu 90 menit dari kantornya menuju rumah Albin. Jovan tersenyum sambil bersenandung riang mengikuti lagu yang diputarnya melalui music player.Ia mengingat kembali senyuman Albin, kemudian berganti saat wajah gadis itu merengut. Dia sendiri tidak mengerti kenapa suka menjahilinya. Mungkin hidupnya terlalu serius. Jovan juga tidak punya saudara sehingga keinginan bercanda dan menjahilinya tidak pernah tersalurkan. Sepertinya karena itulah dia menjahili Albin.Menjahili pekerjanya di kantor? Tentu saja tidak mungkin, hal itu akan merusak image-nya sebagai pemimpin.Dia tertawa saat mengingat mata Albin berkaca-kaca memakan makanan begitu banyak di atas meja malam tadi. Jovan merasa nyaman saat bersama Albin. Dia merasa senang saat mempermainkann
Jovan menarik pergelangan tangan Albin menuju mobil. Albin berjalan mengukuti langkah kaki Jovan, sementara pikirannya berlarian kesana kemari. Aksi heroik Jovan barusan membuatnya terdiam tak bisa berkata-kata.“Albin, makan, yuk. Lapar nih. Kali ini kamu yang traktir, ya. Beneran kali ini.” Jovan terus melangkah cepat di depan membelah kerumunan manusia.“Albin?” Jovan memalingkan wajahnya melihat ke Albin, “kamu gak mau? Kok diam? Pelit amat, sih!” Jovan menghentikan langkahnya.Jovan merangkul pundak Albin, “Kamu kenapa?” tanya-nya sambil menatap dalam wajah Albin.“Hum..um. Gak papa. Kamu?” tanya Albin gugup. Ritme debaran jantungnya semakin berpacu cepat.“Kan’ kamu liat sendiri aku g
“AAAHHH!” Jovan dan Albin mendesah keras bersama. Albin dan Jovan sama-sama menjauhkan tubuh mereka dan secara bersamaan pula menyentuh bibir mereka masing-masing. Albin menatap Jovan penuh murka. Bibir dalamnya terasa sangat sakit dan membengkak karena terbentur gigi seri dengan keras. Giginya juga terasa sakit karena merespon benturan. “Apa-apan sih?” Albin berang. Jovan menyapu bibirnya sendiri yang juga terasa sakit. Dia maju beberapa langkah mendekati Albin, “Maaf aku gak sengaja. Abisnya kamu mau pergi gitu aja. Aku udah nungguin dari tadi,” ucap Jovan menyentuh perlahan bibir Albin yang terlihat sedikit membengkak. “Masih sakit?” tanya Jovan sambil menatap lekat mata Albin. Dia menyapu bibir Albin dengan ujung jemarinya. Albin terdiam. Dia merasa gugup dan tenggorokannya tiba-tiba tercekat. Ia menelan ludah dengan susah payah. Napas
Albin keluar daricafe, terus berjalan keluar tanpa memalingkan wajahnya untuk menoleh ke belakang. Air mata membasahi kedua pipinya. Dia menyapunya dengan kasar menggunakan lengan. Albin duduk di taman kecil yang terdapat di halamancafe. Dia mengambil ponsel lalu memesan ojekonline. Layar ponselnya basah terkena tetesan air mata. Setelahnya dia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Albin terisak kuat, dia menangkupkan kedua tangannya ke wajah. “Aku cinta kamu, Jo. Aku cinta kamu,” ucap Albin lirih di sela isak tangisnya. Albin merasa begitu hancur. Dia berharap Jovan tadi mengatakan cinta kepadanya, karena itu mengajaknya menikah. “Sudahlah!” Albin menyapu air matanya. Albin mengangkat dagunya lalu menegakkan kepalanya. “Hidup gue baik-baik aja kok sebelum
ma kamu. Keselamatan kamu terjamin. Mau nikah sama aku?” Albin menundukkan wajah sambil memainkan kuku-kuku jarinya. Dia memejamkan matanya rapat-rapat sambil menarik napas panjang. “Jo, mereka mereka bilang darah Albino berharga mahal. Apa maksudnya? Kenapa mereka maksa aku? Apa salahku? Bukan salahku ‘kan, aku Albino? Andai bisa, aku juga gak mau. Bahkan orang tuaku aja gak mau aku ada.” Albin terisak. “Nooo,” Jovan menggelengkan kepalanya, “gak usah denger mereka. Mereka itu penjahat, Al. Mungkin aja mereka terlibat sindikat perdangangan manusia. Banyak orang-orang seperti itu. Kadang-kadang korban mereka para asisten rumah tangga yang polos dan gak ngerti apa-apa. Udahlah...gak udah dipikirin.” “Aku mau tau kenapa aku dibuang. Apa salahku?” Albin terisak. Tubuhnya terguncang. “Albin, kamu mau cari
*Komentar tiap paragraf, ya. Kalau komentar dan riview kalian yahud ... nanti ada ektra part. Hahaha. Jangan lupa kasih riview ... jika yang kasih riview mencukupi 20 orang, aku kasih ektra part hari sabtu minggu nanti. Kenapa sabtu atau Minggu? Pas hari itu aku libur kerja. Jadi maafkan author yang nulis di sela kesibukan inih* BAB INI MENGANDUNG UNSUR PERCINTAN YANG EKPLISIT DAN MENDETIL. SILAHKAN SKIP KALAU KELIAN MERASA TIDAK NYAMAN* *** Jovan pergi ke toilet mencuci tangan dan membasuh celananya yang basah karena masih terdapat sisa-sisa cairan dirinya di sana. Menari di dalam benaknya apa yang baru saja terjadi di ruangan Gloria tadi. Semua benar-benar tampak nyata. Albin mengenakan lingerie cokelat keemasan, panjangnya menutup hingga sedikit di bawah bokong. Renda transparan di bagian dada, memperlihatkan separuh gunungan indah mempesona. Tatapan mata Albin yang sayu menggoda dirinya untuk
Jovan memandangi gedung-gedung tinggi di sisi jalanan sambil menyandarkan kepala di sandaran kursi mobil dengan tatapan hampa. Beberapa kali desah napas berat terdengar keluar dari mulutnya. Pikirannya melayang jauh memikirkan Albin. Akhir-akhir ini Ia merasa kebingungan. Menurutnya, kemungkinan dirinya sudah sembuh, tapi dia merasa takut untuk membuktikannya. Seringkali pikiran untuk membuktikan dirinya sudah sembuh atau belum, muncul di kepalanya. Namun, untuk mencoba kembali menonton video seperti saat itu, dia takut. Ia tidak yakin kalau dirinya akan baik-baik saja. Seringkali ia membayangkan hal-hal romantis dan indah bersama Albin, hal yang sebelumnya tidak pernah berani ia lakukan bahkan hanya dengan sekedar memikirkannya saja. Menurut pemikiran Jovan, mungkin itu indikasi bahwa dirinya sudah siap. Namun, ia sangat ragu. Bukankah saat itu mereka hampir saja bisa melakukannya, tapi gagal?
Jovan terdiam beberapa saat. Sungguh ia sangat ingin bertemu Albin, tetapi ia merasa belum siap. Ia takut jika mendengar Albin kembali bicara meminta kepastian agar dia bisa melakukan apa saja. Tentu saja Jovan paham apa maksud dari kalimat "apa saja" yang dikatakan Albin. Ia sanggup melepaskan Albin meski ia tak ingin, tapi jika memang Albin menginginkannya ia tidak bisa memaksa 'kan? Jovan benar-benar melepaskannya saat Albin terakhir kali mengirimkan pesan yang membuat dirinya merasa tidak berguna, tidak berharga dan tidak layak untuk hidup. Ia yakin, jika dia mendengar kata-kata itu lagi ia tidak akan pernah bisa bangkit lagi. Kata-kata itu sangat menyakiti dirinya. Seakan dikatakan dengan jelas, kalau kamu tidak mampu, aku cari lelaki lain. Belum lagi Jovan sangat takut diselingkuhi, takut ditinggakan lalu terpuruk dalam kesendirian. Karena itu ia melepaskan Albin, tapi Albin menolak untuk berpisah dan m
Jovan tersenyum memandangi pantulan bayangan dirinya di cermin. Ia merasa bahagia. Sudah sebulan terakhir dia sudah tidak lagi meminum obat. Ia dengan rutin mendatangi Felicia sekali dalam seminggu dan saat ini sudah berjalan selama tiga bulan. Perlu waktu bagi Jovan untuk benar-benar pulih. Felicia dan Adi terus membantu dirinya bangkit dan terus berusaha membangun kepercayaan dirinya kembali. Perlahan obat yang biasanya diminum dua kali sehari diturunkan sekali sehari. Beberapa waktu kemudian, terkadang Jovan lupa, kadang dia malas, dan dia baik-baik saja. Tidak lagi merasa cemas berlebihan walaupun tidak meminum obatnya. Setelah itu dia jadi tahu bahwa dirinya baik-baik saja tanpa obat. Ia tahu bahwa dirinya sudah bisa lepas obat. Wajah tampannya kini bersinar seperti sedia kala. Sinar matanya tidak lagi redup penuh kesedihan. Saat ini ia hanya meminum vitamin untuk otaknya karena setelah
"10. Aku akan menghadapi apa pun resikonya," ucap Jovan dengan nada bicara penuh percaya diri. Ia mengangkat wajah melihat dalam ke arah Felicia. "Yakin? Barusan kamu bilang hanya mau mencoba? Mencoba untuk tau lalu mundur? Kenapa? Apa pentingnya kamu sembuh tanpa obat?" Felicia menyandarkan punggung di sandaran kursi sambil meneliti Jovan lebih dalam. "Aku mau bersama Albin," kata Jovan lirih. Ia menurunkan pandangan ke meja. Ia mencoba menyembunyikan kesedihan. Senyuman Albin tiba-tiba membayang di kedua matanya. "Lalu mau apa kalau bersama Albin? 'Kan sekarang sudah bersama? Memangnya apa yang kamu anggap penting saat bersama Albin?" "Menjadi lelaki seutuhnya." Mata Jovan berkaca-kaca, "dia terus membicarakan mau mencari lelaki lain. Aku tau maksudnya, dia menyindirku karena tidak juga menyentuhnya." Air muka Jovan terlihat sangat sedih. "Apa p
Dada Albin bergemuruh hebat saat wajah tampan Kei mendekat dengan cepat ke arah wajahnya. Tubuhnya gemetar. Ia melihat semua seakan dalam gerakan lambat. Perlahan tapi pasti bibir Kei semakin dekat dengan wajahnya. Albin memalingkan wajah menghindari bibir Kei mendarat tepat di bibirnya. Kei terdiam melihat penolakan Albin. Ia menelan kembali hasratnya untuk mengecup bibir Albin yang terlihat sangat menggoda untuk dinikmati. "KEI!" tatap Albin nyalang penuh kemarahan kepada teman suaminya itu, "aku punya suami. Gak nyangka kamu tega begin!" seru Albin dengan kata-kata bergetar. Kei tersenyum tipis mendengar penuturan Albin, "Tapi Jovan sudah lepaskan kamu 'kan?" Albin melihat senyuman itu. Senyuman rumit yang seolah-olah merefleksikan perasaan dan pemikiran Kei. Sulit ditebak entah apa yang ada di benak Kei. Meski begitu, senyuman itu membuat Kei justru terlihat s
Adi bergegas menyusuri koridor dengan kaki tuanya. Suara tongkat beradu dengan lantai hampir serupa dengan suara heels seorang wanita saat menapaki lantai keramik. Seorang wanita muda seumuran Jovan berjalan di sisinya. Dia Ririn, pekerja Adi yang kemudian menjadi istrinya. Seseorang yang mampu menyembuhkan lukanya akibat dari perbuatan Jocelyn. "Aku tunggu di luar aja ya," kata Ririn dengan perasaan tak enak hati. Bukan ia tidak mau menjenguk Jovan, tapi dirinya dan Jovan tidak pernah satu kali pun bertegur sapa meskipun Jovan tidak pernah menyakitinya. Adi mengangguk paham. Mata tuanya mengekori sang istri duduk di kursi penunggu di depan pintu masuk ruang IGD. Ia juga melihat ada Roni dan Herman duduk di kursi itu. "Pak," sapa Roni berdiri, "mari saya antar ke dalam." Adi mengangguk, "Ada apa sebenarnya?" tanya Adi dengan napas berat.
Waktu berlalu. Perlahan tapi pasti detak jantung Jovan yang semula berpacu cepat karena dia merasa cemas kini mulai normal. Perasaan gelisah itu perlahan mulai memudar. Layar LED besar yang tertempel di dinding kamarnya menampilkan sepasang manusia yang saling berkecup mesra penuh cinta dan kemesraan. Jovan memperhatikan dengan saksama. Seulas senyuman manis tersemat di bibirnya. Ia ingat betapa manisnya rasanya saat dia melakukan hal itu dengan Albin. Pakaian sepasang manusia di layar itu terlepas satu persatu. Mereka terlihat begitu bergairah dan saling mencintai. Sayangnya di saat yang sama bayangan Jocelyn dan lelaki yang bersamanya muncul begitu saja. Terpicu adegan sepasang manusia yang tidak mengenakan pakaian. Jovan tetap menatap layar dengan tatapan hampa. Kesedihan kembali memagutnya sangat erat. Desahan nikmat terdengar dari film itu. D
Albin mem-packing barang-barang dengan lelehan air mata. Satu demi satu pakaiannya dimasukkan ke dalam koper dan tas besar. Sebenarnya dia sudah tahu perpisahan dengan Jovan pasti akan terjadi karena perjanjian mereka, tapi dia tidak menyangka akan secepat ini. Ia tidak tahu perpisahan akan sesakit ini. Andai ia tahu, tidak akan terucap kata-kata perpisahan dari bibirnya. Terlintas di pikirannya, Jovan memutuskan bercerai karena selama ini dia terus merongrong ingin berpisah saat mereka bertengkar. Semua barang-barangnya sudah tersimpan rapi. Ia meninggalkan gambar sketsa hasil karyanya menggambar Jovan. Dia membingkainya dengan frame kemudian ditempel di dinding. Albin berharap, saat melihat sketsa itu Jovan akan merindukan dirinya. Ia sudah siap untuk pergi. Tidak ada lagi yang tersisa, kecuali sisa kenangan dirinya dan juga Jovan di kamar itu. Kenangan itu melintas dan membayang dengan jelas secara nyat