Albin tersedak, beberapa detik setelah menghabiskan minuman yang terakhir. Dia hampir terjatuh ke belakang, aku menahannya, menariknya ke dalam pelukanku.
Uang yang kuberikan tadi, dia kumpulkan di atas meja. Jatuh berhamburan ke lantai saat gelas yang dipakainya untuk menahan uang itu terjatuh terkena tangannya.
Aku memeluk Albin dengan erat, dagunya tepat betopang di pundakku. Kuhirup aroma harum dari rambutnya, sesuatu yang hangat lembut dan kenyal menempel tepat di dadaku.
Kesadaranku seakan lenyap beberapa saat, aku terdiam karena merasakan sesuatu yang tidak pernah aku rasakan lagi sejak hampir 16 tahun yang lalu.
Aku menikmatinya. Menikmati wangi rambut dan tubuh Albin. Menikmati rasa hangat yang menyentuh dadaku bahkan sepertinya tubuhku menuntut lebih.
Kesadaranku kembali saat melihat orang berlalu lalang di depan meja kami dan melangkahi uang yang kuberikan untuk Albin.
Perlahan kulepaskan perlekatan tubuh kami. Kusandarkan tubuh Albin di sandaran kursi. Aku berdiri kemudian mengambil uang yang berserakan di lantai, memasukkan kembali uang itu ke dalam dompet.
Aku menyalakan pemantik memanggil waiter sambil melihat ke arloji di pergelangan tangan kiri. Waktu sudah menunjukkan pukul 2:30 dini hari, kurasa klub ini akan segera tutup tidak lama lagi.
Seorang waiter mendekat, dia mendekatkan telinganya ke wajahku, "Dia bisa dibawa pulang?" tanyaku kepadanya. Sebagai sesama lelaki pasti dia paham maksudku.
"Setahu saya gak bisa," ucap si waiter dengan nada penuh keyakinan.
“Panggilkan aku manager dan bawakan bill-nya,” kataku kepada waiter itu. Dia mengangguk pelan.
Seorang lelaki berperawakan gagah serta memiliki wajah sangat menarik mendekati meja kami. Dia mengenakan kemeja slim fit, celana hitam dan juga dasi melingkar di lehernya.
“Halo, saya Irwan. Saya manger Havana Club. Ada yang bisa saya bantu?” Irwan menyurungkan tangan kepadaku. Aku menyambut tangannya, dia menarik kursi lalu duduk.
“Aku mau membawanya pulang, apa ada biaya yang harus dibayarkan? Atau berapa yang harus kubayar selama dia bersamaku,” tanyaku kepada irwan.
Di tempat hiburan lain begitu, ada biaya yang harus dibayarkan untuk seorang wanita yang menemani duduk di klub malam. Apalagi jika membawanya keluar, tentu biayanya lebih besar.
“Jadi gini, Mas. Albin dan teman-temannya bukan perempuan yang digaji untuk menemani pelanggan. Mereka bekerja sebagai viar atau PR (public relationship) untuk membantu pelanggan mendapatkan apa yang mereka butuhkan selama berada di Havana Club.
Mereka tidak memiliki kewajiban untuk menemani pelanggan berjam-jam saat berada di sini. Mereka free, boleh tetap menemani atau meninggalkannya saat pelanggan sudah mendapatkan apa yang mereka butuhkan, jika sedang ramai, mereka tidak boleh hanya berada di satu meja, karena pelanggan lain juga membutuhkan mereka.” Irwan menjelaskan panjang lebar.
Itu artinya Artinya Albin menyukaiku hingga dia duduk dan menemaniku? Pikiran itu membuat bibirku mau tidak mau tersenyum manis dan lebar.
"Oh begitu, jadi aku boleh membawanya pulang dan gak kena charge."
"Maaf, Mas. Gak boleh. Kami gak bisa izinkan pegawai kami dibawa pulang."
"Gak kok, aku cuma mau mengantarkan dia pulang. Masa gak boleh?"
"Saat keadaan Albin mabuk parah seperti ini, kami tidak mengizinkan. Sudah peraturannya seperti itu demi menjaga keselamatan pegawai kami."
"Kata kamu tadi dia free, berarti dia bebas dong mau pulang sama siapa aja?"
"Betul, tapi itu dia yang memutuskan, bukan dari pelanggan atau dari kami."
Aku menghela napas panjang saat mendengar dia bicara, tak lama kemudian seorang waiter datang membawa nampan berisi tagihan yang terselip di sampul buku terbuat dari kulit berwarna hitam pekat.
Aku membaca rincian yang harus kubayar serta jumlah totalnya, ada tulisan "PR, Albin" lalu ada tulisan 10% dan rincian sejumlah uang.
Aku paham sekarang, jadi Albin mendapatkan 10% dari setiap harga minuman yang dibayarkan. Pantas saja dia minum dengan senang. Aku mengangguk pelan. Berarti misi Albin dan teman-temannya mengeluarkan minuman sebanyak-banyaknya.
Apa aku terlihat seperti orang pelit yang perhitungan? Memperhatikan begitu rupa padahal banyak uang?
Aku harus melakukannya, karena tidak sedikit klub malam yang nakal, sebenarnya itu oknum, tidak mungkin management club malam yang berbuat seperti itu, karena hal itu adalah kebodohan yang berlipat-lipat. Jika melakukannya nama baik mereka dipertaruhkan. Jadi pasti oknumnya yang berbuat.
Mereka membuat tagihan lebih dari yang seharusnya saat melihat pelanggan terlalu mabuk untuk memeriksa tagihan. Jadi pastikan jangan sampai terlalu mabuk saat sendirian. Tidak sedikit teman-temanku yang terkena kasus semacam itu.
Aku menyerahkan kartu di atas nota tagihan untuk melakukan pembayaran.
"Albin, mau kuantar pulang?" tanyaku di telinganya.
Albin tidak merespon. Aku bertanya berulang kali sambil mengguncang tubuhnya.
Albin membuka mata, dia memandangiku lekat-lekat, "mau kuantar pulang?" tanyaku lagi.
Dia mengangguk dengan cepat sambil melingkarkan kedua tangannya di tubuhku. Albin memelukku semakin erat.
"Pak Irwan, Albin mau kuantarkan pulang. Kurasa tidak ada masalah sekarang." Aku kembali menghirup aroma harum dari rambut Albin.
"Maaf, Mas, gak bisa. Albin sepertinya terlalu mabuk. Dia tidak bisa memutuskan dengan baik. Kami punya mobil operasional untuk mengantarkan pekerja kami pulang saat mereka terlalu mabuk seperti ini."
Irwan menyalakan senter kecil berwarna merah dan mengarahkannya ke langit-langit mematikan dan menyalakannya berulang kali. sepertinya dia memanggil seseorang.
Benar saja, beberapa saat kemudian waiter mendekat, dia mendekatkan wajah.
"Panggil Gina dan Rosi, suruh mereka bawa Albin ke ruang istirahat." Irwan bicara dengan nada nyaring sehingga aku bisa mendengarnya. Waiter itu mengangguk lalu pergi.
Aku menggelengkan kepala kesal, "Ini kartu identitasku, kamu bisa cek di internet siapa aku. Aku gak akan macam-macam. Kamu bisa tanya Albin besok kalau dia kerja. Kalau terjadi sesuatu kamu bisa menuntutku.”
Irwan mengambil kartu identitasku, dia mencariku di Internet dan terlihat fokus memperhatikan layar ponselnya.
Dia mengembalikan kartu identitasku, "Terima kasih, Pak Jovan. Kami merasa tersanjung Bapak meluangkan waktu untuk mampir ke tempat kami," ucap Irwan.
Hum … tuh 'kan gaya bicaranya jadi berubah, aku tersenyum.
"Tapi maaf, kami tetap tidak bisa mengizinkannya," ucapnya lagi. Membuat senyuman di bibirku langsung memudar.
Aku berdecak kesal sambil merogoh dompet di saku belakang celana. Kumasukkan kembali kartu identitasku. "Ini …" ucapku sambil menyurungkan uang 100 $ US di atas meja, "sebaiknya kamu simpan sebelum teman-teman Albin datang," tambahku dengan nada cuek.
Irwan menatapku lekat-lekat lalu memperhatikan Albin yang terlihat begitu nyaman menyandarkan kepalanya di dadaku, "Terima kasih," ucapnya sambil mengambil uang itu lalu memasukkan ke dalam saku bajunya.
Kenapa aku berikan uang dollar bukan rupiah? Jujur saja aku tidak banyak pegang uang rupiah. Hanya tiga ratus hingga empat ratus ribu saja di dompetku, tapi aku selalu memiliki beberapa puluh lembar uang dollar.
Saat aku harus membayar tagihan, aku tinggal menyerahkan kartu saja, jadi aku tidak terlalu membutuhkan uang cash, tapi … dollar sepertinya bahkan lebih tidak terpakai 'kan?
Dalam lingkungan sosialku bersama teman-teman, kami menggunakan dollar, baik itu pinjam uang atau saat harus melakukan sesuatu yang diperlukan menggunakan uang, contohnya saat harus memberikan uang kepada Irwan. Kenapa? Karena dollar lebih sedikit lembarannya tapi jauh lebih besar nilainya sehingga dompetku tidak kepenuhan dengan uang
Gina dan satu orang lagi wanita mendekati kami, aku membaca tulisan di dadanya "Rosi".
"Ada apa, Pak?" tanya Rosi.
"Albin, dia mau pulang sama pelanggan kita," ucap Irwan sambil memandangi kedua pegawai wanitanya.
"Tapi, dia terlalu mabuk," ucap Rosi dengan nada keberatan setelah melihat keadaan Albin.
"Iya, tapi Albin yang memaksa," ucap Irwan lagi. Aku tersenyum miring melihat dia.
"Albin, pulang sama kita, yuk." Gina menarik lengan Albin, berusaha melepaskan pelukannya dari tubuhku.
Albin menyentakkan tangan Gina, "Gak mau," ucap Albin, dia justru semakin mengeratkan pelukannya.
Gina, Rosi dan Irwan saling pandang beberapa saat, "Biarkan dia," ucap Irwan dengan nada pasrah.
Tidak berselang lama, waiter datang mengembalikan kartu-ku dan menyerahkan nota pembayaran. Aku memasukkan kembali kartuku ke dalam dompet. Irwan, Gina dan Rosi masih memperhatikan kami.
"Albin, ayo pulang," ucapku di telinganya.
Lampu club malam semuanya dinyalakan, keadaan menjadi terang benderang, musik menghentak dimatikan, berganti dengan musik slow, itu artinya Havana Club sudah tutup.
Para pengunjung mulai berjalan ke arah pintu keluar, para waiter berbondong-bondong ke tengah ruangan, mereka membersihkan semua meja dan sebagian lainnya menyapu lantai.
"Albin," panggilku sambil menggoyangkan lengannya.
Albin menarik kepalanya dari dadaku, dia membuka mata menatap lekat ke arahku dengan matanya yang sayu, "Hummm," ucapnya dengan gumaman yang terdengar parau.
"Ayo kita pulang," ucapku menatap lekat ke dalam matanya yang berwarna biru.
"Sama kamu?" tanya Albin sambil tersenyum. Wajah kami hanya berjarak beberapa inci. Dadaku berdebar lebih cepat.
"Iya," kataku sambil mengangguk pelan.
"Ok," ucap Albin sambil tersenyum, dia kembali memejamkan mata.
Mata Albin terpejam, bibirnya tersenyum dan sedikit terbuka, membuat tubuhku tiba-tiba meremang. Aku ingin sekali melumat bibirnya. Aku menelan ludah berkali-kali. Albin kembali menempelkan kepalanya di dadaku.
Aku mencoba mengalihkan sensasi rasa yang tiba-tiba membuat napas dan celanaku terasa sesak. Aku memandangi Rosi, Gina dan Irwan, "Kami pulang sekarang," ucapku kepada mereka.
"Ya, hati-hati di jalan," ucap Irwan dia mengangguk pelan, "Gina bawakan sekalian barang-barang Albin, ya.
"OK," jawab Gina, dia mendekati Albin lalu merogoh saku blazer-nya, dia mengambil kunci kecil, "tunggu sebentar, ya, Mas. Saya ambilkan tas Albin di locker-nya."
"OK. Kutunggu di depan pintu masuk," ucapku sambil menarik pinggang Albin agar dia berdiri bersamaku.
"Kamu bisa jalan 'kan?" tanyaku, "Albin, kamu bisa jalan?" ulangku lagi.
Albin mengangguk, aku melingkarkan tangan di punggungnya sementara Albin melingkarkan kedua tangannya di tubuhku sambil menyandarkan kepalanya di dadaku. Kami berjalan bersisian. Aku berjalan perlahan mengikuti langkahnya yang terseok
Aku berdiri di samping pintu masuk sambil menyandarkan tubuh di dinding menunggu Gina datang membawakan tas Albin. Setelah beberapa saat menunggu akhirnya dia datang.
"Mari saya bawakan tasnya ke mobil," kata Gina.
Aku mengangguk, "Terima kasih." Tentu saja sulit bagiku jika harus membawa serta tas Albin, sementara aku harus berjalan sambil menopang tubuhnya agar dia tidak jatuh.
Aku berbincang ringan bersama Gina ketika kami berjalan menuju parkiran. Aku menanyakan alamat Albin, dia mengatakan alamat lengkap kontrakan Albin setelah membaca kartu identitas Albin. Dia menjelaskan serinci-rincinya yang mana rumah Albin, karena Google Map hanya bisa menunjukkan alamat jalan dan posisi perumahan saja, aku harus mencarinya untuk menemukan rumah Albin.
Sesampainya di mobil aku meletakkan Albin hati-hati di kursi depan lalu memakaikannya sabuk pengaman. Matanya masih terpejam.
Gina melambaikan tangan kepadaku, aku pun mengangguk dan tersenyum kepadanya lalu menutup jendela mobil kemudian memasang sabuk pengaman
Aku memandangi Albin, meneliti rambut, wajah dan tubuhnya dengan saksama. Tatapan mataku terpusat pada bibir, dada dan pinggangnya.
"Sial! Sial!!!" Aku menggerutu di dalam hati. Bagaimana bisa Albin berkata tidak memiliki sihir apa pun? Bahkan pikiranku tak bisa lepas darinya.
Aku … aku tidak bisa menolak keinginan ini, aku begitu ingin merengkuhnya ke dalam pelukanku, menarik pinggangnya merapat ke tubuhku. Melumat bibirnya penuh gairah. Kepalaku berdenyut kuat. Perasaan ini sudah lama sekali tidak pernah aku rasakan. Aku bahkan lupa tepatnya, mungkin terakhir kali saat aku berusia delapan belas tahun.
"Tidak, aku tidak boleh melakukannya, Albin tidak sadar," aku menolak keinginanku kuat-kuat.
Aku kembali memandangi Albin lekat-lekat dan terdiam beberapa saat.
Kulepaskan sabuk pengaman yang sudah terpasang di tubuhku kemudian mencondongkan tubuh mendekati Albin, mendekatkan wajahku ke wajahnya.
Aku melepaskan sabuk pengaman yang sudah terpasang di tubuhku lalu mencondongkan tubuhku mendekati Albin, mendekatkan wajahku ke wajahnya.Aku menyentuh bibirnya dengan ujung jemariku. Desiran darahku terasa semakin naik sampai ke ubun-ubun. Albin masih tertidur pulas. Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat berusaha menyingkirkan pikiran liar di dalam kepalaku, aku menelan air liur, hela napas Albin terasa hangat menyentuh wajahku.Aku menyusupkan tangan ke belakang punggung Albin untuk mengambil tasnya yang tadi diletakkan Gina di belakangnya. Aku mengambil ponsel milik Albin, aku ingin mengirimkan pesan dari
Jovan memperhatikan presentasi dari direktur keuangan perusahaan. Mereka semua menatap ke LED screen besar di ruang meeting. Perusahaan kayu lapisnya semakin terancam karena kayu semakin sulit didapat. Bahkan mereka memiliki rencana mengurangi pegawai demi menyesuaikan keuangan perusahaan yang semakin sulit.Adi Jaya Sakti-ayahnya Jovan dan beberapa investor mendengarkan rapat dengan saksama. Tidak lama setelah itu Jovan memberikan presentasi untuk mengambil proyek pembukaan lahan yang akan dilakukan perusahan sawit, mereka bisa memberikan separuh harga untuk membuka lahan itu, tapi semua kayu yang ditebang menjadi milik PT. Adi Jaya Sakti. Para pemegang saham setuju dengan solusi itu. Rapat berlangsung lancar meski terja
~Jovan POV~Aku menyodorkan ponsel kepadaTasya, memintanya menggantikan ponselku besok. Tasya, dia seseorang yang sangat kupercaya. Dia bekerja bersama kami selama dua belas tahun. Bersamaku enam tahun dan bersama papa enam tahun.Ya, Tasya sebelumnya asisten papa kemudian papa menyerahkan kepadaku saat dia tidak aktif lagi bekerja.Tasya adalah seseorang yang jika diminta semua pekerjaan beres. Kadang dia sudah mengerjakannya sebelum kuminta. Seringkali saat aku mengatakan meminta sesuatu, ternyata sudah beres. Dia seperti bisa membaca pikiranku di masa depan.Dia adalah salah satu dari tiga asisten Papa. Salah satunya Papa Jadikan istri. Entah kenapa saat itu Papa mencari asisten muda, ada satu lagi asisten senior yang membimbing mereka sehingga mereka jadi sangat terampil.Tasya selalu berpenampilan sopan, bahkan bisa dibilang
Jovan menuruni tangga rumahnya sambil menenteng sebuah tas kerja di tangan. Dia mau menikmati sarapan pagi sebelum berangkat ke kantor pagi ini. Tubuhnya sebenarnya masih lelah karena baru kemarin sore tiba dari luar pulau meninjau lokasi lahan yang digarap perusahaannya.Namun, karena banyak hal yang harus dikerjakan dia tetap ke kantor hari ini.Ia bersenandung ringan sambil menapaki anak tangga. saat dia melihat lurus ke depan, di ruang makan sudah duduk lelaki tua yang sangat dikenalnya."Papa, sejak kapan datang?" Jovan menarik napas panjang melihat sang ayah sudah menunggunya."Baru aja, paling lima belas menitan," ucap Adi sambil tersenyum melihat putranya mendekat.Jovan menarik
Sekate-kate ini orang, “Ok Jo yang baik hati, kenapa Lo nipu gue?!”“Enak aja. Aku gak nipu kamu.”“Dasar tukang tipu! Gak ngaku lagi.”“Albin!” Jovan terhenyak. Harga dirinya terluka, “Gue bukan tukang tipu, ya! Lo gak sopan banget sih? Gue pelanggan di sini. Gue bisa adukan Lo bad attitude. Lo bisa dipecat!” Ia memalingkan wajahnya dengan kesal.Albin memajukan langkahnya hingga Jovan terpojok ke dinding “Gue gak butuh pelanggan tukang tipu kaya Lo!”“Club ini butuh pelanggan royal kaya gue!”“Royal apa-an? Sejak kapan orang royal ambil balik uangnya?” Albin mendengus kesal.&ldquo
Albin berjalan pelan bersama temannya keluar dari Havana klub. Mereka saling tertawa. Sesekali saling menggoda dan bercanda. Tawa mereka mengisi lorong parkiran sepeda motor khusus karyawan.Jovan bersandar pada pilar lorong parkiran. Dia tersenyum manis saat mendengar Albin dan teman-temannya menggosipkan para pelanggan mereka. Dari yang menyebalkan sampai yang baik hati.
Jovan menyusuri jalanan kota menuju rumah Albin. Dia sengaja pulang kerja lebih cepat dari biasanya hari ini. Butuh waktu 90 menit dari kantornya menuju rumah Albin. Jovan tersenyum sambil bersenandung riang mengikuti lagu yang diputarnya melalui music player.Ia mengingat kembali senyuman Albin, kemudian berganti saat wajah gadis itu merengut. Dia sendiri tidak mengerti kenapa suka menjahilinya. Mungkin hidupnya terlalu serius. Jovan juga tidak punya saudara sehingga keinginan bercanda dan menjahilinya tidak pernah tersalurkan. Sepertinya karena itulah dia menjahili Albin.Menjahili pekerjanya di kantor? Tentu saja tidak mungkin, hal itu akan merusak image-nya sebagai pemimpin.Dia tertawa saat mengingat mata Albin berkaca-kaca memakan makanan begitu banyak di atas meja malam tadi. Jovan merasa nyaman saat bersama Albin. Dia merasa senang saat mempermainkann
Jovan menarik pergelangan tangan Albin menuju mobil. Albin berjalan mengukuti langkah kaki Jovan, sementara pikirannya berlarian kesana kemari. Aksi heroik Jovan barusan membuatnya terdiam tak bisa berkata-kata.“Albin, makan, yuk. Lapar nih. Kali ini kamu yang traktir, ya. Beneran kali ini.” Jovan terus melangkah cepat di depan membelah kerumunan manusia.“Albin?” Jovan memalingkan wajahnya melihat ke Albin, “kamu gak mau? Kok diam? Pelit amat, sih!” Jovan menghentikan langkahnya.Jovan merangkul pundak Albin, “Kamu kenapa?” tanya-nya sambil menatap dalam wajah Albin.“Hum..um. Gak papa. Kamu?” tanya Albin gugup. Ritme debaran jantungnya semakin berpacu cepat.“Kan’ kamu liat sendiri aku g
*Komentar tiap paragraf, ya. Kalau komentar dan riview kalian yahud ... nanti ada ektra part. Hahaha. Jangan lupa kasih riview ... jika yang kasih riview mencukupi 20 orang, aku kasih ektra part hari sabtu minggu nanti. Kenapa sabtu atau Minggu? Pas hari itu aku libur kerja. Jadi maafkan author yang nulis di sela kesibukan inih* BAB INI MENGANDUNG UNSUR PERCINTAN YANG EKPLISIT DAN MENDETIL. SILAHKAN SKIP KALAU KELIAN MERASA TIDAK NYAMAN* *** Jovan pergi ke toilet mencuci tangan dan membasuh celananya yang basah karena masih terdapat sisa-sisa cairan dirinya di sana. Menari di dalam benaknya apa yang baru saja terjadi di ruangan Gloria tadi. Semua benar-benar tampak nyata. Albin mengenakan lingerie cokelat keemasan, panjangnya menutup hingga sedikit di bawah bokong. Renda transparan di bagian dada, memperlihatkan separuh gunungan indah mempesona. Tatapan mata Albin yang sayu menggoda dirinya untuk
Jovan memandangi gedung-gedung tinggi di sisi jalanan sambil menyandarkan kepala di sandaran kursi mobil dengan tatapan hampa. Beberapa kali desah napas berat terdengar keluar dari mulutnya. Pikirannya melayang jauh memikirkan Albin. Akhir-akhir ini Ia merasa kebingungan. Menurutnya, kemungkinan dirinya sudah sembuh, tapi dia merasa takut untuk membuktikannya. Seringkali pikiran untuk membuktikan dirinya sudah sembuh atau belum, muncul di kepalanya. Namun, untuk mencoba kembali menonton video seperti saat itu, dia takut. Ia tidak yakin kalau dirinya akan baik-baik saja. Seringkali ia membayangkan hal-hal romantis dan indah bersama Albin, hal yang sebelumnya tidak pernah berani ia lakukan bahkan hanya dengan sekedar memikirkannya saja. Menurut pemikiran Jovan, mungkin itu indikasi bahwa dirinya sudah siap. Namun, ia sangat ragu. Bukankah saat itu mereka hampir saja bisa melakukannya, tapi gagal?
Jovan terdiam beberapa saat. Sungguh ia sangat ingin bertemu Albin, tetapi ia merasa belum siap. Ia takut jika mendengar Albin kembali bicara meminta kepastian agar dia bisa melakukan apa saja. Tentu saja Jovan paham apa maksud dari kalimat "apa saja" yang dikatakan Albin. Ia sanggup melepaskan Albin meski ia tak ingin, tapi jika memang Albin menginginkannya ia tidak bisa memaksa 'kan? Jovan benar-benar melepaskannya saat Albin terakhir kali mengirimkan pesan yang membuat dirinya merasa tidak berguna, tidak berharga dan tidak layak untuk hidup. Ia yakin, jika dia mendengar kata-kata itu lagi ia tidak akan pernah bisa bangkit lagi. Kata-kata itu sangat menyakiti dirinya. Seakan dikatakan dengan jelas, kalau kamu tidak mampu, aku cari lelaki lain. Belum lagi Jovan sangat takut diselingkuhi, takut ditinggakan lalu terpuruk dalam kesendirian. Karena itu ia melepaskan Albin, tapi Albin menolak untuk berpisah dan m
Jovan tersenyum memandangi pantulan bayangan dirinya di cermin. Ia merasa bahagia. Sudah sebulan terakhir dia sudah tidak lagi meminum obat. Ia dengan rutin mendatangi Felicia sekali dalam seminggu dan saat ini sudah berjalan selama tiga bulan. Perlu waktu bagi Jovan untuk benar-benar pulih. Felicia dan Adi terus membantu dirinya bangkit dan terus berusaha membangun kepercayaan dirinya kembali. Perlahan obat yang biasanya diminum dua kali sehari diturunkan sekali sehari. Beberapa waktu kemudian, terkadang Jovan lupa, kadang dia malas, dan dia baik-baik saja. Tidak lagi merasa cemas berlebihan walaupun tidak meminum obatnya. Setelah itu dia jadi tahu bahwa dirinya baik-baik saja tanpa obat. Ia tahu bahwa dirinya sudah bisa lepas obat. Wajah tampannya kini bersinar seperti sedia kala. Sinar matanya tidak lagi redup penuh kesedihan. Saat ini ia hanya meminum vitamin untuk otaknya karena setelah
"10. Aku akan menghadapi apa pun resikonya," ucap Jovan dengan nada bicara penuh percaya diri. Ia mengangkat wajah melihat dalam ke arah Felicia. "Yakin? Barusan kamu bilang hanya mau mencoba? Mencoba untuk tau lalu mundur? Kenapa? Apa pentingnya kamu sembuh tanpa obat?" Felicia menyandarkan punggung di sandaran kursi sambil meneliti Jovan lebih dalam. "Aku mau bersama Albin," kata Jovan lirih. Ia menurunkan pandangan ke meja. Ia mencoba menyembunyikan kesedihan. Senyuman Albin tiba-tiba membayang di kedua matanya. "Lalu mau apa kalau bersama Albin? 'Kan sekarang sudah bersama? Memangnya apa yang kamu anggap penting saat bersama Albin?" "Menjadi lelaki seutuhnya." Mata Jovan berkaca-kaca, "dia terus membicarakan mau mencari lelaki lain. Aku tau maksudnya, dia menyindirku karena tidak juga menyentuhnya." Air muka Jovan terlihat sangat sedih. "Apa p
Dada Albin bergemuruh hebat saat wajah tampan Kei mendekat dengan cepat ke arah wajahnya. Tubuhnya gemetar. Ia melihat semua seakan dalam gerakan lambat. Perlahan tapi pasti bibir Kei semakin dekat dengan wajahnya. Albin memalingkan wajah menghindari bibir Kei mendarat tepat di bibirnya. Kei terdiam melihat penolakan Albin. Ia menelan kembali hasratnya untuk mengecup bibir Albin yang terlihat sangat menggoda untuk dinikmati. "KEI!" tatap Albin nyalang penuh kemarahan kepada teman suaminya itu, "aku punya suami. Gak nyangka kamu tega begin!" seru Albin dengan kata-kata bergetar. Kei tersenyum tipis mendengar penuturan Albin, "Tapi Jovan sudah lepaskan kamu 'kan?" Albin melihat senyuman itu. Senyuman rumit yang seolah-olah merefleksikan perasaan dan pemikiran Kei. Sulit ditebak entah apa yang ada di benak Kei. Meski begitu, senyuman itu membuat Kei justru terlihat s
Adi bergegas menyusuri koridor dengan kaki tuanya. Suara tongkat beradu dengan lantai hampir serupa dengan suara heels seorang wanita saat menapaki lantai keramik. Seorang wanita muda seumuran Jovan berjalan di sisinya. Dia Ririn, pekerja Adi yang kemudian menjadi istrinya. Seseorang yang mampu menyembuhkan lukanya akibat dari perbuatan Jocelyn. "Aku tunggu di luar aja ya," kata Ririn dengan perasaan tak enak hati. Bukan ia tidak mau menjenguk Jovan, tapi dirinya dan Jovan tidak pernah satu kali pun bertegur sapa meskipun Jovan tidak pernah menyakitinya. Adi mengangguk paham. Mata tuanya mengekori sang istri duduk di kursi penunggu di depan pintu masuk ruang IGD. Ia juga melihat ada Roni dan Herman duduk di kursi itu. "Pak," sapa Roni berdiri, "mari saya antar ke dalam." Adi mengangguk, "Ada apa sebenarnya?" tanya Adi dengan napas berat.
Waktu berlalu. Perlahan tapi pasti detak jantung Jovan yang semula berpacu cepat karena dia merasa cemas kini mulai normal. Perasaan gelisah itu perlahan mulai memudar. Layar LED besar yang tertempel di dinding kamarnya menampilkan sepasang manusia yang saling berkecup mesra penuh cinta dan kemesraan. Jovan memperhatikan dengan saksama. Seulas senyuman manis tersemat di bibirnya. Ia ingat betapa manisnya rasanya saat dia melakukan hal itu dengan Albin. Pakaian sepasang manusia di layar itu terlepas satu persatu. Mereka terlihat begitu bergairah dan saling mencintai. Sayangnya di saat yang sama bayangan Jocelyn dan lelaki yang bersamanya muncul begitu saja. Terpicu adegan sepasang manusia yang tidak mengenakan pakaian. Jovan tetap menatap layar dengan tatapan hampa. Kesedihan kembali memagutnya sangat erat. Desahan nikmat terdengar dari film itu. D
Albin mem-packing barang-barang dengan lelehan air mata. Satu demi satu pakaiannya dimasukkan ke dalam koper dan tas besar. Sebenarnya dia sudah tahu perpisahan dengan Jovan pasti akan terjadi karena perjanjian mereka, tapi dia tidak menyangka akan secepat ini. Ia tidak tahu perpisahan akan sesakit ini. Andai ia tahu, tidak akan terucap kata-kata perpisahan dari bibirnya. Terlintas di pikirannya, Jovan memutuskan bercerai karena selama ini dia terus merongrong ingin berpisah saat mereka bertengkar. Semua barang-barangnya sudah tersimpan rapi. Ia meninggalkan gambar sketsa hasil karyanya menggambar Jovan. Dia membingkainya dengan frame kemudian ditempel di dinding. Albin berharap, saat melihat sketsa itu Jovan akan merindukan dirinya. Ia sudah siap untuk pergi. Tidak ada lagi yang tersisa, kecuali sisa kenangan dirinya dan juga Jovan di kamar itu. Kenangan itu melintas dan membayang dengan jelas secara nyat