~JOVAN POV~
“Kamu harus menikah!” Papa menatap mataku dengan tajam, sarat penekanan dan perintah.
“Aku belum mau nikah, Pa!” jawabku dengan gusar. Entah sudah berapa puluh kali Papa terus saja mengatakan hal ini. Aku sudah bosan mendengarnya.
“Kamu harus punya keturunan. Perusahaan harus ada pewarisnya. Kamu mau tiba-tiba paman atau sepupu kamu yang mendapatkannya, Hah?! Kamu mau?!” Papa terus bicara dengan sengit.
“Aaahh!” aku mendesah gusar, “ya gak mungkinlaaaah. Gimana bisa paman dan sepupu yang ambil. Mereka baik gitu. Gak mungkinlaaah,” kilahku cepat.
“Jovan! Persaudaraan bisa hancur karena harta. Bukannya berprasangka buruk. Papa sudah tua, Jo.
Gak tau besok masih hidup atau gak. Kalau papa mati, kamu gak punya saudara, gak ada anak, gak punya istri, kamu ditabrak mobil, mati. Perusahaan jadi milik paman dan sepupu kamu!” suara Papa terus meninggi. Gendang telingaku terasa hampir pecah.
“Biarin! Harta emang gak dibawa mati.” aku memalingkan wajah saat mengatakannya. Aku bosaaaaan! Aku muak! Pembicaraan ini terus berulang. Papa terus memaksaku menikah.
BRAAAAAK!!! PRAAAANG!!!
Tubuhku terlonjak kuat.
Nyawaku seakan keluar dan melayang dari tubuhku selama beberapa detik. Papa membanting meja makan kaca berbentuk lingkaran di depanku ke lantai sekuat tenaga.
Kepingan kaca berserakan!
Makanan berhamburan di lantai.
Tentu saja piring dan gelas di atas meja itu juga mengalami nasib yang sama. Pecah berkeping-keping.
Aku menutup wajah dengan kedua tangan, takut serpihan kaca yang memantul di lantai mengenai wajah. Aku mengintip wajah Papa yang merah padam. Napasnya tersengal, tubuhnya gemetar, rahangnya terlihat mengeras. Matanya membulat.
“AKU MEMBANGUN PERUSAHAAN INI DENGAN DARAH DAN AIR MATA! SUPAYA KETURUNANKU BISA HIDUP LAYAK DAN KALIAN GAK DIHINA SEPERTIKU.
SUPAYA KALIAN JANGAN SAMPAI MERASAKAN KELAPARAN SEPERTI AKU!
BERANINYA KAMU BICARA SEPERTI ITU, JOVAN!!! Suara Papa bergetar. Matanya merah dan berair. Papa mengepalkan tangannya kuat-kuat.
“KAMU!” Papa menunjuk wajahku penuh kemurkaan, “BISA NGOMONG SEPERTI INI KARENA KAMU HIDUP LAYAK. KALAU KAMU MERASAKAN BAGAIMANA SUSAHNYA MENCARI SESUAP NASI, KAMU GAK AKAN NGOMONG SEPERTI SEPERTI INI.”
Dadaku berdebar kencang, belum pernah kulihat Papa semarah ini. Kuakui, kata-kataku memang keterlaluan.
Aku masih shock dengan apa yang kulihat sehingga aku hanya bisa terdiam sambil menelan ludah, membasah tenggorokan tercekat.
“JOVAN! KAMU MENIKAH DENGAN PEREMPUAN PILIHANMU, ATAU PILIHANKU!
TIGA BULAN JOVAN!
BAWA SEORANG GADIS PALING LAMA TIGA BULAN LAGI.
JIKA SAMPAI TIGA BULAN KAMU MASIH BELUM ADA PILIHAN, KAMU MENIKAH DENGAN GADIS PILIHANKU.
JIKA KAMU MENOLAK, UANG TUNJANGAN DAN GAJIMU DI-STOP. KURASA UANG DI REKENINGMU SAAT INI CUKUP HINGGA TIGA BULAN KEDEPAN.” Papa menatap wajahku penuh kemarahan.
“Pa, ini gak adil. Aku juga bekerja di perusahaan, kok gak digaji?” aku menolak keras keputusannya.
“Gajimu selama tiga bulan kedepan dibayar hari ini. Setelah itu gak akan ada aliran dana yang masuk ke rekeningmu hingga kamu menikah!” Papa berlalu pergi. Dia memanggil pekerja untuk membersihkan kekacauan yang dibuatnya.
Napasku sangat panjang serta berat, aku termenung dan terdiam beberapa saat.
Tidak lama kemudian aku berdiri lalu berjalan hati-hati agar tidak menginjak serpihan kaca. Sarapan pagi bersama Papa hari ini menjadi bencana. Aku sadari semua karena kesalahanku. Aku sudah berkata seperti itu, tentu saja sangat melukai perasaannya.
Papa seringkali bercerita, dia membangun perusahaan kami dengan darah dan air mata. Kata-kata itu tidaklah berlebihan, justru benar adanya. Papa terlahir dari keluarga miskin. Ya, nenek dan kakek kami miskin. Hampir setiap hari mereka makan bubur nasi demi menghemat beras. Bahkan tak jarang pula mereka tidak makan karena tidak ada makanan yang bisa dimakan.
Papa sering cerita, sewaktu papa kecil dan meminta makan kepada nenek, nenek menyuruhnya kembali bermain karena makanan belum masak.
Papa melihat nenek memang terlihat sedang memasak, ada penanak nasi yang mengepul di atas tungku. Belakangan ketika papa sudah mulai besar, papa tahu penanak nasi itu hanya berisi air. Tidak ada nasi, tidak apa-apa di dalamnya. Hal itu dilakukan hanya untuk menenangkan papa dan saudaranya yang kelaparan. Tiap detik yang berlalu tak henti-hentinya nenek memanjatkan doa agar kakek datang membawa beras.
Ketika papa berusia tiga belas tahun, papa menarik gerobak mengambil sisa potongan-potongan besi bekas proyek yang dibuang begitu saja. Dulu potongan besi dibuang begitu saja, papa memungutnya, mengumpulkannya lalu menjualnya.
Saat papa bekerja sebagai pengepul bekas potongan besi, kehidupan nenek sekeluarga mulai membaik. Mereka bisa makan nasi, bukan lagi bubur, yang jika beras dimasak segelas menjadi bubur penuh sepanci, sehingga cukup untuk seluruh anggota keluarga.
Lauk telur ceplok pun sudah sangat nikmat bagi mereka. Papa memakan telur itu hanya bagian putihnya lebih dulu, ketika putihnya sudah habis barulah papa memakai kuningnya. Menurut papa, seperti itulah filosofi kehidupan, masa bahagia akan datang setelah masa sulit berlalu.
Papa anak tertua dari tiga bersaudara. Papa bekerja keras agar keluarganya bahagia. Uang hasil penjualan besi papa kumpulkan. Pelan-pelan ikut berbisnis membeli kayu gelondongan.
Perlahan usaha papa semakin membesar sehingga dia bisa membangun CV dan memproduksi kayu lapis. Dengan beberapa investor, usaha papa semakin maju menjadi perusahaan besar eksportir kayu lapis.
Kata Papa, dia perlu waktu 22 tahun untuk membangun semua dari awal hingga perusahaan bisa sebesar ini. Di usia 35 tahun papa menikahi mama, saat itu dia yakin anak dan istrinya tidak akan kelaparan seperti halnya dirinya. Papa tidak melupakan keluarganya, semua hidup sejahtera. Saudara papa pun masing-masing diberi modal untuk usaha mereka.
Namun, saat ini kayu sulit didapatkan, perusahaan tidak sebesar dulu, tapi masih beroperasi dengan baik. PT Adi Jaya Sakti Group masih memiliki ribuan karyawan. Beberapa tower perkantoran pun kami miliki di kota besar dan disewakan. Aku Jovan Jaya Sakti, anak satu-satunya dari Adi Jaya Sakti, di usiaku 34 tahun, aku masih belum memiliki seorang wanita sebagai istriku.
Aku tidak menganggap penting memiliki seorang wanita di sisiku. Aku juga tidak terlalu menikmati harta yang kumiliki.
Tau kenapa?
Karena dengan banyaknya harta yang dimiliki papa, mama bisa membuat restoran mewah di Singapore, mereka sibuk mengurus bisnis, jarang bertemu.
Mama suka lelaki muda yang mungkin berusia di bawahku untuk bersenang-senang. Sejak aku berusia 9 tahun, seringkali aku melihat mereka bertengkar. Jika bertemu mereka pasti ribut. Mereka tidak saling bertemu selama enam bulan hingga setahun, ketika bertemu bertengkar dan mama selalu berteriak meminta cerai.
Aku bosan!
Aku muak dengan semua ini. Aku jarang bertemu mama, aku tidak mendapatkan kasih sayangnya selayaknya seorang ibu kepada anaknya. Saat aku SMA, aku sudah tidak tahan lagi, aku meminta papa bercerai saja dari mama. Lebih baik mama tidak ada dan tidak datang lagi daripada saat datang dia hanya menyakiti papa, tapi papa tidak mau menceraikan mama, papa bilang, jika mereka bercerai, mama yang untung. Dia akan mendapatkan harta gono-gini dan menikmatinya dengan pria-pria muda simpanannya.
Akhirnya hanya aku dan papa di rumah besar ini, aku hanya memiliki papa dan papa hanya hanya memiliki aku.
Belakangan saat aku kuliah, aku tau papa mempunyai istri simpanan, maaf jika aku berkata begitu. Perempuan itu tidak sah menikah dengan papa, karena papa masih terikat pernikahan dengan mama.
Aku mengerti keadaan papa, bukan berarti juga aku menerima gadis seumuran denganku dijadikan papa istri. Aku tidak pernah bicara dengannya, tapi aku juga tidak marah kepadanya.
Aku mencoba mengerti, papa juga butuh kasih sayang dari pendamping hidup, papa butuh wanita untuk ‘kebutuhannya’, tapi kenapa harus dengan gadis yang seumuran denganku? Gadis itu berusia 22 tahun saat itu, dia lebih cocok menjadi pacarku daripada istri papa. Waktu itu papa sudah berusia 59 tahun. Apa yang diharapkan seorang gadis 22 tahun pada lelaki seumuran papa? Tapi … ya sudahlah, yang penting papa bahagia.
Sejak papa memiliki wanita itu, dia jarang papa pulang ke rumah, dia memiliki rumah sendiri bersama istri mudanya. Aku sendirian di rumah besarku. Sesekali papa datang menjengukku, seperti hari ini, dia datang pagi-pagi sekali untuk menikmati sarapan bersamaku lalu memaksaku menikah. Hal ini sudah puluhan kali terjadi, papa selalu memaksaku menikah, tapi hanya pada hari ini terjadi keributan besar seperti ini.
Mungkin karena kami sama-sama bosan. Papa bosan memaksaku menikah, dan aku bosan dipaksa papa menikah.
Hari ini kuputuskan, aku akan menikah demi papa. Ya, papa sangat menyayangiku dan juga perusahaan yang dibangunnya dengan susah payah. Aku akan menikahi seorang gadis demi membahagiakannya.
Aku tiba di kantor dan memperhatikan semua orang, terutama para wanita.
Aaaahh!!!
Aku merasa hampir gila sekarang. Setiap wanita yang kutemui selalu ku analisa, mampukah dia kujadikan istri? Mampukah perempuan itu mengerti diriku dengan segala kekuranganku?
Albin POV.Tertegun aku memperhatikan wajah di cermin. Aku harus tiba di tempat kerja dalam waktu satu jam lagi. Dengan gerakan cepat kusempurnakan tampilan riasan.Alisku yang berwarna putih kuberi warna cokelat, bulu mataku yang juga putih kuberi maskara cokelat gelap. Tidak lupa sedikit sapuan perona pipi berwarnapink peach,tak ketinggalan lipstik berwarna senada.Aku puas dengan tampilan akhirku. "Aku cantik," ucapku pelan sambil tersenyum meyakinkan diri sendiri.Ku buka lilitan handuk di rambutku yang basah. Rambutku yang putih tergerai indah. Aku tersenyum melihatnya, aku bangga dengan warna rambutku. Berapa banyak artis yang mewarnai rambutnya agar terlihat sepertiku? Berapa banyak uang yang harus mereka keluarkan?Besarnya sama seperti gajiku pokokku selama dua bulan.Sedangkan aku?Ini warna asli rambutku. "Ini anugerah," aku mensyukuri semua
“Mau pesan minum lagi?” Aku bertanya kepada sekumpulan lelaki di depanku.“Udahlah cukup, ntar susah,” seorang lelaki berseloroh kepadaku.“Susah kenapa?” Kedua alisku mengkerut. Mereka berempat sering kali datang ke Havana Club. Sepertinya mereka berempat anak orang kaya, wajah mereka masih muda, tapi mereka tak pernah absen datang ke sini saat weekend, apalagi saat ada artis datang, mereka sering kali memesan meja VIP.Susah, Al, nanti habis duit gak bisa kawinin kamu. Kamu mau mas kawin kamu bill doang?” Noval berseloroh kepadaku.“Boleh, kok. Tapiiii, mempelainya wanitanya botol minuman. Mau?” ucapku.“Yah, mana bisa. Kencing di botol aja aku gak bisa apa lagi ngawinin botol, Al. Yang ada botolnya yang pecah.” Noval tertawa lepas.“Kasih
Albin tersedak, beberapa detik setelah menghabiskan minuman yang terakhir. Dia hampir terjatuh ke belakang, aku menahannya, menariknya ke dalam pelukanku.Uang yang kuberikan tadi, dia kumpulkan di atas meja. Jatuh berhamburan ke lantai saat gelas yang dipakainya untuk menahan uang itu terjatuh terkena tangannya.Aku memeluk Albin dengan erat, dagunya tepat betopang di pundakku. Kuhirup aroma harum dari rambutnya, sesuatu yang hangat lembut dan kenyal menempel tepat di dadaku.Kesadaranku seakan lenyap beberapa saat, aku terdiam karena merasakan sesuatu yang tidak pernah aku rasakan lagi sejak hampir 16 tahun yang lalu.Aku menikmatinya. Menikmati wangi rambut dan tubuh Albin. Menikmati rasa hangat yang menyentuh dadaku bahkan sepertinya tubuhku menuntut lebih.Kesadaranku kembali saat melihat orang berlalu lalang di depan meja kami dan melangkahi uang yang kuberikan untuk
Aku melepaskan sabuk pengaman yang sudah terpasang di tubuhku lalu mencondongkan tubuhku mendekati Albin, mendekatkan wajahku ke wajahnya.Aku menyentuh bibirnya dengan ujung jemariku. Desiran darahku terasa semakin naik sampai ke ubun-ubun. Albin masih tertidur pulas. Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat berusaha menyingkirkan pikiran liar di dalam kepalaku, aku menelan air liur, hela napas Albin terasa hangat menyentuh wajahku.Aku menyusupkan tangan ke belakang punggung Albin untuk mengambil tasnya yang tadi diletakkan Gina di belakangnya. Aku mengambil ponsel milik Albin, aku ingin mengirimkan pesan dari
Jovan memperhatikan presentasi dari direktur keuangan perusahaan. Mereka semua menatap ke LED screen besar di ruang meeting. Perusahaan kayu lapisnya semakin terancam karena kayu semakin sulit didapat. Bahkan mereka memiliki rencana mengurangi pegawai demi menyesuaikan keuangan perusahaan yang semakin sulit.Adi Jaya Sakti-ayahnya Jovan dan beberapa investor mendengarkan rapat dengan saksama. Tidak lama setelah itu Jovan memberikan presentasi untuk mengambil proyek pembukaan lahan yang akan dilakukan perusahan sawit, mereka bisa memberikan separuh harga untuk membuka lahan itu, tapi semua kayu yang ditebang menjadi milik PT. Adi Jaya Sakti. Para pemegang saham setuju dengan solusi itu. Rapat berlangsung lancar meski terja
~Jovan POV~Aku menyodorkan ponsel kepadaTasya, memintanya menggantikan ponselku besok. Tasya, dia seseorang yang sangat kupercaya. Dia bekerja bersama kami selama dua belas tahun. Bersamaku enam tahun dan bersama papa enam tahun.Ya, Tasya sebelumnya asisten papa kemudian papa menyerahkan kepadaku saat dia tidak aktif lagi bekerja.Tasya adalah seseorang yang jika diminta semua pekerjaan beres. Kadang dia sudah mengerjakannya sebelum kuminta. Seringkali saat aku mengatakan meminta sesuatu, ternyata sudah beres. Dia seperti bisa membaca pikiranku di masa depan.Dia adalah salah satu dari tiga asisten Papa. Salah satunya Papa Jadikan istri. Entah kenapa saat itu Papa mencari asisten muda, ada satu lagi asisten senior yang membimbing mereka sehingga mereka jadi sangat terampil.Tasya selalu berpenampilan sopan, bahkan bisa dibilang
Jovan menuruni tangga rumahnya sambil menenteng sebuah tas kerja di tangan. Dia mau menikmati sarapan pagi sebelum berangkat ke kantor pagi ini. Tubuhnya sebenarnya masih lelah karena baru kemarin sore tiba dari luar pulau meninjau lokasi lahan yang digarap perusahaannya.Namun, karena banyak hal yang harus dikerjakan dia tetap ke kantor hari ini.Ia bersenandung ringan sambil menapaki anak tangga. saat dia melihat lurus ke depan, di ruang makan sudah duduk lelaki tua yang sangat dikenalnya."Papa, sejak kapan datang?" Jovan menarik napas panjang melihat sang ayah sudah menunggunya."Baru aja, paling lima belas menitan," ucap Adi sambil tersenyum melihat putranya mendekat.Jovan menarik
Sekate-kate ini orang, “Ok Jo yang baik hati, kenapa Lo nipu gue?!”“Enak aja. Aku gak nipu kamu.”“Dasar tukang tipu! Gak ngaku lagi.”“Albin!” Jovan terhenyak. Harga dirinya terluka, “Gue bukan tukang tipu, ya! Lo gak sopan banget sih? Gue pelanggan di sini. Gue bisa adukan Lo bad attitude. Lo bisa dipecat!” Ia memalingkan wajahnya dengan kesal.Albin memajukan langkahnya hingga Jovan terpojok ke dinding “Gue gak butuh pelanggan tukang tipu kaya Lo!”“Club ini butuh pelanggan royal kaya gue!”“Royal apa-an? Sejak kapan orang royal ambil balik uangnya?” Albin mendengus kesal.&ldquo
*Komentar tiap paragraf, ya. Kalau komentar dan riview kalian yahud ... nanti ada ektra part. Hahaha. Jangan lupa kasih riview ... jika yang kasih riview mencukupi 20 orang, aku kasih ektra part hari sabtu minggu nanti. Kenapa sabtu atau Minggu? Pas hari itu aku libur kerja. Jadi maafkan author yang nulis di sela kesibukan inih* BAB INI MENGANDUNG UNSUR PERCINTAN YANG EKPLISIT DAN MENDETIL. SILAHKAN SKIP KALAU KELIAN MERASA TIDAK NYAMAN* *** Jovan pergi ke toilet mencuci tangan dan membasuh celananya yang basah karena masih terdapat sisa-sisa cairan dirinya di sana. Menari di dalam benaknya apa yang baru saja terjadi di ruangan Gloria tadi. Semua benar-benar tampak nyata. Albin mengenakan lingerie cokelat keemasan, panjangnya menutup hingga sedikit di bawah bokong. Renda transparan di bagian dada, memperlihatkan separuh gunungan indah mempesona. Tatapan mata Albin yang sayu menggoda dirinya untuk
Jovan memandangi gedung-gedung tinggi di sisi jalanan sambil menyandarkan kepala di sandaran kursi mobil dengan tatapan hampa. Beberapa kali desah napas berat terdengar keluar dari mulutnya. Pikirannya melayang jauh memikirkan Albin. Akhir-akhir ini Ia merasa kebingungan. Menurutnya, kemungkinan dirinya sudah sembuh, tapi dia merasa takut untuk membuktikannya. Seringkali pikiran untuk membuktikan dirinya sudah sembuh atau belum, muncul di kepalanya. Namun, untuk mencoba kembali menonton video seperti saat itu, dia takut. Ia tidak yakin kalau dirinya akan baik-baik saja. Seringkali ia membayangkan hal-hal romantis dan indah bersama Albin, hal yang sebelumnya tidak pernah berani ia lakukan bahkan hanya dengan sekedar memikirkannya saja. Menurut pemikiran Jovan, mungkin itu indikasi bahwa dirinya sudah siap. Namun, ia sangat ragu. Bukankah saat itu mereka hampir saja bisa melakukannya, tapi gagal?
Jovan terdiam beberapa saat. Sungguh ia sangat ingin bertemu Albin, tetapi ia merasa belum siap. Ia takut jika mendengar Albin kembali bicara meminta kepastian agar dia bisa melakukan apa saja. Tentu saja Jovan paham apa maksud dari kalimat "apa saja" yang dikatakan Albin. Ia sanggup melepaskan Albin meski ia tak ingin, tapi jika memang Albin menginginkannya ia tidak bisa memaksa 'kan? Jovan benar-benar melepaskannya saat Albin terakhir kali mengirimkan pesan yang membuat dirinya merasa tidak berguna, tidak berharga dan tidak layak untuk hidup. Ia yakin, jika dia mendengar kata-kata itu lagi ia tidak akan pernah bisa bangkit lagi. Kata-kata itu sangat menyakiti dirinya. Seakan dikatakan dengan jelas, kalau kamu tidak mampu, aku cari lelaki lain. Belum lagi Jovan sangat takut diselingkuhi, takut ditinggakan lalu terpuruk dalam kesendirian. Karena itu ia melepaskan Albin, tapi Albin menolak untuk berpisah dan m
Jovan tersenyum memandangi pantulan bayangan dirinya di cermin. Ia merasa bahagia. Sudah sebulan terakhir dia sudah tidak lagi meminum obat. Ia dengan rutin mendatangi Felicia sekali dalam seminggu dan saat ini sudah berjalan selama tiga bulan. Perlu waktu bagi Jovan untuk benar-benar pulih. Felicia dan Adi terus membantu dirinya bangkit dan terus berusaha membangun kepercayaan dirinya kembali. Perlahan obat yang biasanya diminum dua kali sehari diturunkan sekali sehari. Beberapa waktu kemudian, terkadang Jovan lupa, kadang dia malas, dan dia baik-baik saja. Tidak lagi merasa cemas berlebihan walaupun tidak meminum obatnya. Setelah itu dia jadi tahu bahwa dirinya baik-baik saja tanpa obat. Ia tahu bahwa dirinya sudah bisa lepas obat. Wajah tampannya kini bersinar seperti sedia kala. Sinar matanya tidak lagi redup penuh kesedihan. Saat ini ia hanya meminum vitamin untuk otaknya karena setelah
"10. Aku akan menghadapi apa pun resikonya," ucap Jovan dengan nada bicara penuh percaya diri. Ia mengangkat wajah melihat dalam ke arah Felicia. "Yakin? Barusan kamu bilang hanya mau mencoba? Mencoba untuk tau lalu mundur? Kenapa? Apa pentingnya kamu sembuh tanpa obat?" Felicia menyandarkan punggung di sandaran kursi sambil meneliti Jovan lebih dalam. "Aku mau bersama Albin," kata Jovan lirih. Ia menurunkan pandangan ke meja. Ia mencoba menyembunyikan kesedihan. Senyuman Albin tiba-tiba membayang di kedua matanya. "Lalu mau apa kalau bersama Albin? 'Kan sekarang sudah bersama? Memangnya apa yang kamu anggap penting saat bersama Albin?" "Menjadi lelaki seutuhnya." Mata Jovan berkaca-kaca, "dia terus membicarakan mau mencari lelaki lain. Aku tau maksudnya, dia menyindirku karena tidak juga menyentuhnya." Air muka Jovan terlihat sangat sedih. "Apa p
Dada Albin bergemuruh hebat saat wajah tampan Kei mendekat dengan cepat ke arah wajahnya. Tubuhnya gemetar. Ia melihat semua seakan dalam gerakan lambat. Perlahan tapi pasti bibir Kei semakin dekat dengan wajahnya. Albin memalingkan wajah menghindari bibir Kei mendarat tepat di bibirnya. Kei terdiam melihat penolakan Albin. Ia menelan kembali hasratnya untuk mengecup bibir Albin yang terlihat sangat menggoda untuk dinikmati. "KEI!" tatap Albin nyalang penuh kemarahan kepada teman suaminya itu, "aku punya suami. Gak nyangka kamu tega begin!" seru Albin dengan kata-kata bergetar. Kei tersenyum tipis mendengar penuturan Albin, "Tapi Jovan sudah lepaskan kamu 'kan?" Albin melihat senyuman itu. Senyuman rumit yang seolah-olah merefleksikan perasaan dan pemikiran Kei. Sulit ditebak entah apa yang ada di benak Kei. Meski begitu, senyuman itu membuat Kei justru terlihat s
Adi bergegas menyusuri koridor dengan kaki tuanya. Suara tongkat beradu dengan lantai hampir serupa dengan suara heels seorang wanita saat menapaki lantai keramik. Seorang wanita muda seumuran Jovan berjalan di sisinya. Dia Ririn, pekerja Adi yang kemudian menjadi istrinya. Seseorang yang mampu menyembuhkan lukanya akibat dari perbuatan Jocelyn. "Aku tunggu di luar aja ya," kata Ririn dengan perasaan tak enak hati. Bukan ia tidak mau menjenguk Jovan, tapi dirinya dan Jovan tidak pernah satu kali pun bertegur sapa meskipun Jovan tidak pernah menyakitinya. Adi mengangguk paham. Mata tuanya mengekori sang istri duduk di kursi penunggu di depan pintu masuk ruang IGD. Ia juga melihat ada Roni dan Herman duduk di kursi itu. "Pak," sapa Roni berdiri, "mari saya antar ke dalam." Adi mengangguk, "Ada apa sebenarnya?" tanya Adi dengan napas berat.
Waktu berlalu. Perlahan tapi pasti detak jantung Jovan yang semula berpacu cepat karena dia merasa cemas kini mulai normal. Perasaan gelisah itu perlahan mulai memudar. Layar LED besar yang tertempel di dinding kamarnya menampilkan sepasang manusia yang saling berkecup mesra penuh cinta dan kemesraan. Jovan memperhatikan dengan saksama. Seulas senyuman manis tersemat di bibirnya. Ia ingat betapa manisnya rasanya saat dia melakukan hal itu dengan Albin. Pakaian sepasang manusia di layar itu terlepas satu persatu. Mereka terlihat begitu bergairah dan saling mencintai. Sayangnya di saat yang sama bayangan Jocelyn dan lelaki yang bersamanya muncul begitu saja. Terpicu adegan sepasang manusia yang tidak mengenakan pakaian. Jovan tetap menatap layar dengan tatapan hampa. Kesedihan kembali memagutnya sangat erat. Desahan nikmat terdengar dari film itu. D
Albin mem-packing barang-barang dengan lelehan air mata. Satu demi satu pakaiannya dimasukkan ke dalam koper dan tas besar. Sebenarnya dia sudah tahu perpisahan dengan Jovan pasti akan terjadi karena perjanjian mereka, tapi dia tidak menyangka akan secepat ini. Ia tidak tahu perpisahan akan sesakit ini. Andai ia tahu, tidak akan terucap kata-kata perpisahan dari bibirnya. Terlintas di pikirannya, Jovan memutuskan bercerai karena selama ini dia terus merongrong ingin berpisah saat mereka bertengkar. Semua barang-barangnya sudah tersimpan rapi. Ia meninggalkan gambar sketsa hasil karyanya menggambar Jovan. Dia membingkainya dengan frame kemudian ditempel di dinding. Albin berharap, saat melihat sketsa itu Jovan akan merindukan dirinya. Ia sudah siap untuk pergi. Tidak ada lagi yang tersisa, kecuali sisa kenangan dirinya dan juga Jovan di kamar itu. Kenangan itu melintas dan membayang dengan jelas secara nyat