"Mama, Layla mau bobo sendirian pokoknya. Tidak usah ditemani lagi, tapi mau minum susu stroberi dulu." "Iya Sayang, sebentar," jawab Valia mendudukkan putri kecilnya di atas meja di ruang makan. Valia tengah membuatkan susu stroberi untuk Layla. Putri cantiknya malam ini meminta tidur sendirian di kamarnya yang baru. Sebelum pulang ke Trieste, Aaron meminta banyak orang-orangnya membuatkan kamar khusus untuk Layla, dan kini Layla sangat menyukai kamar barunya. "Mama, sudah?" tanya Layla memiringkan kepalanya."Sudah, ini... Minum sampai habis ya, Sayang..." "Iya Mama." Valia menurunkan Layla dari atas meja, anaknya berjalan mendahului Valia sambil memeluk botol susu miliknya. Saat tiba di ruangan utama, Valia dan Layla melihat seseora yang datang di mansion Aaron. Laki-laki tampan berbalut mantel panjang hitam yang membawa sebuah paper bag di tangannya. "Paman Victor," cicit Layla memegangi jemari Valia. Victor tersenyum manis pada Layla dan mendekatinya. "Heum, Paman baw
Pagi-pagi sekali, di mansion milik Aaron sudah kedatangan Selin. Wanita itu terlihat sedang amat marah dan mendesak pada penjaga untuk diizinkan masuk ke dalam mansion. Ia baru saja ribut dengan suaminya, perkara Victor semalam kembali mabuk dan mencari Valia disetiap ucapannya, Selin marah akan hal itu. Kedatangan Selin langsung disambut oleh Valia yang baru saja bangun tidur. Selin berjalan masuk ke dalam mansion dengan wajah dipenuhi amarah hebat pada Valia. "Kak Selin, ada apa? Kenapa Kakak datang ke sini pagi-pagi sekali? Ada perlu dengan Ar-""Dasar kurang ajar kau, Valia!" teriak Selin menyela cepat dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke udara sebelum teat ia daratkan di pipi Valia. PLAAKK...Kedua mata Valia terbeliak, ia bingung apa yang terjadi sampai Selin menamparnya dengan sangat kuat seperti ini. "Ka-kak Selin," lirih Valia menatapnya dengan wajah sangat amat terkejut. Selin menarik lengan Valia dan mendorongnya ke dinding. Wajahnya sembab dan dia menangis, penuh
"Layla mau pulang ke rumah Opa, Layla tidak mau tinggal di sini lagi..." Layla memeluk boneka kelincinya dan meringkuk dalam gendongan Valia. Suhu tubuhnya sangat panas, anak itu terus menangis dan mengajak pulang ke Murcia. Sesabar mungkin Valia mengusap punggung Layla dan menggendongnya ke sana kemari. "Iya Sayang, kita tunggu Papa pulang dulu ya nak, nanti kalau Papa sudah pulang kerja, kita kembali ke rumah Opa, ya?" Valia mengecupi wajah putrinya yang hangat. Merina merasa kasihan dengan Valia, karena Layla sejak pagi tadi menangis tiada henti sampai hari sudah sore. "Nyonya, biar saya gantikan gendong, Nyonya Valia belum makan sama sekali," ujar Merina dan beberapa pelayan di sana mendekati Valia. "Tidak perlu Merina, nanti Layla akan semakin mengamuk. Dia tidak pernah demam sampai seperti ini." Valia menatap wajah putrinya yang memerah, kini anaknya mulai terlelap dan hanya tersisa napasnya yang masih jelas sesekali sesenggukan. "Tolong hubungi Aaron ya, bilang padanya un
"Papa, Layla mau pulang ke rumah Opa lagi, Layla tidak mau tinggal di sini." Layla merengek, setelah bangun dari tidurnya anak itu langsung memeluk Aaron. "Iya Sayang, tapi Layla harus sembuh dulu, ya? Kalau sudah sembuh nanti pulang ke rumah Opa," jawab Aaron mengusap rambut Layla yang berantakan. "Layla sedih," lirihnya seraya membenamkan wajahnya pada dada bidang sang Papa. "Mama dipukul, Mama dicakar, Mamanya Layla disakiti!" Anak itu mendongak menatap wajah Aaron dengan bibir mencebik ingin menangis. Aaron mengerti betapa sedihnya hati sang putri dengan hal yang tengah dirasakannya. Layla menjadi anak yang tumbuh penuh kasih sayang dan cinta yang begitu banyak dari Valia. Pagi siang malam hanya Valia yang selalu ada untuk Layla. Setiap banyak hal yang Layla keluhkan, di situlah Aaron selalu merasa bersalah. "Maafkan Papa ya, Sayang," bisik Aaron di telinga Layla. "Harusnya Papa menemanimu tumbuh, nak." Layla diam tidak menjawab selain memeluk boneka kelinci merah muda mili
Victor pergi sebelum Aaron kembali, di dalam kamar inapnya Layla kembali menangis dan tidak mau sedikit saja ia melihat Pamannya. "Mama, ayo pulang... Layla tidak suka di sini, Mama," seru anak itu menatap wajah Valia dengan tangisannya yang sesenggukan. "Iya Sayang, kan Layla masih sakit. Anak kecil yang sakit tidak boleh naik pesawat. Nanti Pak pilotnya bisa marah," alibi Valia memeluk putrinya erat-erat. "Layla tidak suka Paman Victor, tidak mau ketemu," ujarnya menyandarkan kepalanya di pindak Valia. Dalam hati, Valia pun juga mengatakan hal yang sama. Meskipun dirinya juga tidak mau dan tidak sudi bertemu dengan laki-laki itu, apapun caranya. "Itu Papa kembali," ujar Valia melihat pintu kamar inap yang kembali terbuka. Aaron masuk ke dalam sana, ia memperhatikan Layla yang menangis di pelukan Valia. "Loh kenapa menangis, Sayang?" Aaron mendekati putrinya. "Barusan ada Victor ke sini, aku... Aku mengusirnya karena Layla langsung menangis." Valia menjelaskan pada Aaron. He
Aaron dan Valia memutuskan untuk kembali lagi ke Murcia dan meneruskan kesibukan dan fokus membesarkan Layla di sana. Mereka berangkat sore hari, dan saat pagi tiba barulah mereka sampai di Murcia. Kedatangan mereka disambut dengan hangat, kepergian untuk pulang nyatanya bagai liburan beberapa hari saja. "Kalian ini, sudah Oma bilang tidak usah pulang!" seru Caroline seraya merebut Layla dari gendongan Valia. "Kami mana tahu kalau akan kembali lagi ke sini, Nek," sahut Aaron duduk di sofa dan mendongakkan kepalanya.Layla langsung menempel pada Rosalia, anak itu sangat merindukan wanita yang dia kenali sebagai Oma-nya. "Aaron, Valia, biar Layla Tante bawa ya, Paman kalian sangat merindukan Layla," ujar wanita itu. Valia pun mengangguk setuju. "Iya Tante." "Kalian berdua bisa beristirahat dulu. Di sini kalian juga punya rumah, apa kurang megah rumah kalian? Ingin minta berapa lantai lagi?!" seru Rodrick pada Aaron. Tidak ada jawaban dari dua Cucunya, Aaron seketika berdiri dan
Hari sudah hampir gelap, Layla masih diam di dekat sungai sendirian. Bajunya basah, kakinya sakit tidak bisa ia buat berjalan karena Nadine mendorongnya terlalu keras. Anak itu seolah memiliki kekuatan besar di mana ia tidak mengeluh saat orang lain menyakitinya, tapi Layla lebih pintar meresapi ucapan orang lain, dia sama seperti Mamanya. Tiga mobil melewati jalanan, hingga ada satu mobil yang berhenti tak terlalu jauh. Layla tidak peduli, ia hanya diam merasakan kakinya yang sangat amat sakit barang untuk bergerak. "Layla, kau sedang apa?" Suara itu, Layla kecil menoleh ke belakang. Melihat siapa yang berdiri di sana, sontak Layla mengulurkan kedua tangannya. "Kudanil..." Layla menangis seketika. Nathaniel, anak itu baru saja datang ke Murcia untuk ikut dengan Kakeknya. Dia berjalan mendekati Layla dan menyentuh pucuk kepala Layla. "Kenapa? Kau ini cengeng sekali!" maki Nathaniel pada Layla. "Kaki Layla sakit, Layla tidak bisa berjalan. Kudanil lihat ini..." layla menyingkap
"Besok aku akan pulang ke Jerman, dan kembali ke sini setelah beberapa tahun lagi." Nathaniel mengatakannya pada Layla seraya menemani gadis itu. Layla yang duduk di atas kursi roda dan Nathaniel mengajaknya ke taman. Layla seketika menoleh ke arah Nathaniel yang kini membukakan tutup botol susu stroberi milik Layla dan menyerahkannya. "Tapi Kudanil ke sini lagi kan? Layla tidak punya teman, tahu!" seru Layla tersenyum memamerkan deretan giginya. "Mungkin. Tapi aku tidak janji ya, Layla! Kalau sudah besar nanti kau jangan cengeng! Awas kalau aku lihat kau cengeng, aku tidak akan membiarkanmu diam!" seru Nathaniel tersenyum gemas ia menarik pipi Layla. Tiba-tiba saja muncul sosok Laudia di antara mereka berdua. Gadis berambut hitam bergelombang yang kini mendekati Layla dan Nathaniel seraya membawa dua bungkus cokelat di tangannya. "Laudia," sapa Layla tersenyum manis. "Layla tidak bisa main, kaki Layla sakit." "Siapa pula yang mau main denganmu. Aku mau kasih ini buat Kak Natha