"Papa, Layla mau pulang ke rumah Opa lagi, Layla tidak mau tinggal di sini." Layla merengek, setelah bangun dari tidurnya anak itu langsung memeluk Aaron. "Iya Sayang, tapi Layla harus sembuh dulu, ya? Kalau sudah sembuh nanti pulang ke rumah Opa," jawab Aaron mengusap rambut Layla yang berantakan. "Layla sedih," lirihnya seraya membenamkan wajahnya pada dada bidang sang Papa. "Mama dipukul, Mama dicakar, Mamanya Layla disakiti!" Anak itu mendongak menatap wajah Aaron dengan bibir mencebik ingin menangis. Aaron mengerti betapa sedihnya hati sang putri dengan hal yang tengah dirasakannya. Layla menjadi anak yang tumbuh penuh kasih sayang dan cinta yang begitu banyak dari Valia. Pagi siang malam hanya Valia yang selalu ada untuk Layla. Setiap banyak hal yang Layla keluhkan, di situlah Aaron selalu merasa bersalah. "Maafkan Papa ya, Sayang," bisik Aaron di telinga Layla. "Harusnya Papa menemanimu tumbuh, nak." Layla diam tidak menjawab selain memeluk boneka kelinci merah muda mili
Victor pergi sebelum Aaron kembali, di dalam kamar inapnya Layla kembali menangis dan tidak mau sedikit saja ia melihat Pamannya. "Mama, ayo pulang... Layla tidak suka di sini, Mama," seru anak itu menatap wajah Valia dengan tangisannya yang sesenggukan. "Iya Sayang, kan Layla masih sakit. Anak kecil yang sakit tidak boleh naik pesawat. Nanti Pak pilotnya bisa marah," alibi Valia memeluk putrinya erat-erat. "Layla tidak suka Paman Victor, tidak mau ketemu," ujarnya menyandarkan kepalanya di pindak Valia. Dalam hati, Valia pun juga mengatakan hal yang sama. Meskipun dirinya juga tidak mau dan tidak sudi bertemu dengan laki-laki itu, apapun caranya. "Itu Papa kembali," ujar Valia melihat pintu kamar inap yang kembali terbuka. Aaron masuk ke dalam sana, ia memperhatikan Layla yang menangis di pelukan Valia. "Loh kenapa menangis, Sayang?" Aaron mendekati putrinya. "Barusan ada Victor ke sini, aku... Aku mengusirnya karena Layla langsung menangis." Valia menjelaskan pada Aaron. He
Aaron dan Valia memutuskan untuk kembali lagi ke Murcia dan meneruskan kesibukan dan fokus membesarkan Layla di sana. Mereka berangkat sore hari, dan saat pagi tiba barulah mereka sampai di Murcia. Kedatangan mereka disambut dengan hangat, kepergian untuk pulang nyatanya bagai liburan beberapa hari saja. "Kalian ini, sudah Oma bilang tidak usah pulang!" seru Caroline seraya merebut Layla dari gendongan Valia. "Kami mana tahu kalau akan kembali lagi ke sini, Nek," sahut Aaron duduk di sofa dan mendongakkan kepalanya.Layla langsung menempel pada Rosalia, anak itu sangat merindukan wanita yang dia kenali sebagai Oma-nya. "Aaron, Valia, biar Layla Tante bawa ya, Paman kalian sangat merindukan Layla," ujar wanita itu. Valia pun mengangguk setuju. "Iya Tante." "Kalian berdua bisa beristirahat dulu. Di sini kalian juga punya rumah, apa kurang megah rumah kalian? Ingin minta berapa lantai lagi?!" seru Rodrick pada Aaron. Tidak ada jawaban dari dua Cucunya, Aaron seketika berdiri dan
Hari sudah hampir gelap, Layla masih diam di dekat sungai sendirian. Bajunya basah, kakinya sakit tidak bisa ia buat berjalan karena Nadine mendorongnya terlalu keras. Anak itu seolah memiliki kekuatan besar di mana ia tidak mengeluh saat orang lain menyakitinya, tapi Layla lebih pintar meresapi ucapan orang lain, dia sama seperti Mamanya. Tiga mobil melewati jalanan, hingga ada satu mobil yang berhenti tak terlalu jauh. Layla tidak peduli, ia hanya diam merasakan kakinya yang sangat amat sakit barang untuk bergerak. "Layla, kau sedang apa?" Suara itu, Layla kecil menoleh ke belakang. Melihat siapa yang berdiri di sana, sontak Layla mengulurkan kedua tangannya. "Kudanil..." Layla menangis seketika. Nathaniel, anak itu baru saja datang ke Murcia untuk ikut dengan Kakeknya. Dia berjalan mendekati Layla dan menyentuh pucuk kepala Layla. "Kenapa? Kau ini cengeng sekali!" maki Nathaniel pada Layla. "Kaki Layla sakit, Layla tidak bisa berjalan. Kudanil lihat ini..." layla menyingkap
"Besok aku akan pulang ke Jerman, dan kembali ke sini setelah beberapa tahun lagi." Nathaniel mengatakannya pada Layla seraya menemani gadis itu. Layla yang duduk di atas kursi roda dan Nathaniel mengajaknya ke taman. Layla seketika menoleh ke arah Nathaniel yang kini membukakan tutup botol susu stroberi milik Layla dan menyerahkannya. "Tapi Kudanil ke sini lagi kan? Layla tidak punya teman, tahu!" seru Layla tersenyum memamerkan deretan giginya. "Mungkin. Tapi aku tidak janji ya, Layla! Kalau sudah besar nanti kau jangan cengeng! Awas kalau aku lihat kau cengeng, aku tidak akan membiarkanmu diam!" seru Nathaniel tersenyum gemas ia menarik pipi Layla. Tiba-tiba saja muncul sosok Laudia di antara mereka berdua. Gadis berambut hitam bergelombang yang kini mendekati Layla dan Nathaniel seraya membawa dua bungkus cokelat di tangannya. "Laudia," sapa Layla tersenyum manis. "Layla tidak bisa main, kaki Layla sakit." "Siapa pula yang mau main denganmu. Aku mau kasih ini buat Kak Natha
"Kudanil mau pulang ya? Kok pagi-pagi ke rumahnya Layla?" Gadis cantik itu duduk di kursi roda di depan rumahnya seraya memeluk boneka kelinci miliknya. Di hadapan Layla, sosok Nathaniel yang kini duduk menundukkan kepalanya dan tersenyum tipis. "Ya, aku harus pulang ke Jerman dan ke sini lagi kalau kau sudah besar," jawab Nathaniel. "Hem? Layla sudah besar? Layla kan sekarang sudah besar, Kudanil." "Kata siapa? Kau masih cengeng dan kau mudah sekali menangis, Layla Tan." "Huum..." Layla tersenyum hingga kedua matanya menyipit dan mengangguk lucu. Nathaniel diam memperhatikan wajah Layla, anak laki-laki itu pernah meminta pada sang Kakek untuk membujuk Aaron menyerahkan Layla pada keluarga Ferdherat. Pasalnya, Nathaniel ingin mempunyai adik secantik Layla. Rambut Layla yang sedikit kecoklatan, senada dengan matanya, pipinya yang bulat putih merona, dan tanda lahir bintik hitam di leher Layla, sama seperti mendiang Ibu Nathaniel yang meninggal. "Kalau aku sudah besar nanti, aku
Beberapa Tahun Kemudian..."Tunanganku akan ke sini besok siang! Aku tidak sabar menunggunya! Aaa... Senangnya aku!" Seruan itu terdengar dari bibir gadis cantik yang duduk di sebuah sofa besar di ruang tamu dalam mansion besar milik Rodrick. Laudia sangat berbahagia, gadis berambut hitam sepundak itu merangkul Layla yang duduk di sampingnya. "Selamat ya, Laudia. Aku turut bahagia," ucap Layla pada sang sepupu. "Heem, tentu! Oh ya, Layla... Aku ingin besok kau membantuku menyiapkan gaun yang paling bagus untuk menyambut calon suamiku!" seru Laudia tersenyum lebar. Layla menganggukkan kepalanya. "Heem, jangan khawatir!" Di sana, semua keluarga berkumpul menyambut tamu besar yang akan bergabung dan tinggal dalam satu pekarangan keluarga Jazvier. Dan, bunga di antara segala bunga paling indah di tanah Jazvier. Sosok cantik Layla Tan tumbuh menjadi salah satu gadis paling cantik. Layla memiliki rambut berwarna cokelat tua sebawah sepinggang, kulit putih halus, parasnya yang cantik
"Sayang, Layla tidak papa?" Suara Valia membuat lamunan Layla buyar. Gadis itu tengah duduk di dalam kamarnya di runah utama. Sebagai pengurus tempat itu, Layla memiliki kamar pribadi di sana. Gadis itu sontak tersenyum lebar dan menggeleng. "Tidak papa Ma, Layla malah senang, bisa bertemu Nathaniel lagi saat sudah dewasa," jawab Layla tersenyum manis.Awalnya Valia takut kalau anaknya bersedih, karena banyaknya cacian dari Nadine yang Layla terima, tapi kenyataannya Layla tetap berlapang dada. "Kalau begitu Mama pulang dulu ya, Sayang. Kalau ada sesuatu yang Layla butuhkan, Layla bisa pulang," ujar Valia pada putrinya. "Iya Mama." Valia mengecup kening Layla dan segera beranjak dari sana. Setelah Mamanya keluar, Layla mengganti pakaiannya dengan gaun tidur panjang, dan juga sama berlengan panjang berwarna merah muda. Hari sudah malam, ia akan menemui Nathaniel dan menunjukkan pada laki-laki itu di mana kamarnya. Layla menggerai rambutnya yang sepanjang bawah pinggang, gadis it