"Besok aku akan pulang ke Jerman, dan kembali ke sini setelah beberapa tahun lagi." Nathaniel mengatakannya pada Layla seraya menemani gadis itu. Layla yang duduk di atas kursi roda dan Nathaniel mengajaknya ke taman. Layla seketika menoleh ke arah Nathaniel yang kini membukakan tutup botol susu stroberi milik Layla dan menyerahkannya. "Tapi Kudanil ke sini lagi kan? Layla tidak punya teman, tahu!" seru Layla tersenyum memamerkan deretan giginya. "Mungkin. Tapi aku tidak janji ya, Layla! Kalau sudah besar nanti kau jangan cengeng! Awas kalau aku lihat kau cengeng, aku tidak akan membiarkanmu diam!" seru Nathaniel tersenyum gemas ia menarik pipi Layla. Tiba-tiba saja muncul sosok Laudia di antara mereka berdua. Gadis berambut hitam bergelombang yang kini mendekati Layla dan Nathaniel seraya membawa dua bungkus cokelat di tangannya. "Laudia," sapa Layla tersenyum manis. "Layla tidak bisa main, kaki Layla sakit." "Siapa pula yang mau main denganmu. Aku mau kasih ini buat Kak Natha
"Kudanil mau pulang ya? Kok pagi-pagi ke rumahnya Layla?" Gadis cantik itu duduk di kursi roda di depan rumahnya seraya memeluk boneka kelinci miliknya. Di hadapan Layla, sosok Nathaniel yang kini duduk menundukkan kepalanya dan tersenyum tipis. "Ya, aku harus pulang ke Jerman dan ke sini lagi kalau kau sudah besar," jawab Nathaniel. "Hem? Layla sudah besar? Layla kan sekarang sudah besar, Kudanil." "Kata siapa? Kau masih cengeng dan kau mudah sekali menangis, Layla Tan." "Huum..." Layla tersenyum hingga kedua matanya menyipit dan mengangguk lucu. Nathaniel diam memperhatikan wajah Layla, anak laki-laki itu pernah meminta pada sang Kakek untuk membujuk Aaron menyerahkan Layla pada keluarga Ferdherat. Pasalnya, Nathaniel ingin mempunyai adik secantik Layla. Rambut Layla yang sedikit kecoklatan, senada dengan matanya, pipinya yang bulat putih merona, dan tanda lahir bintik hitam di leher Layla, sama seperti mendiang Ibu Nathaniel yang meninggal. "Kalau aku sudah besar nanti, aku
Beberapa Tahun Kemudian..."Tunanganku akan ke sini besok siang! Aku tidak sabar menunggunya! Aaa... Senangnya aku!" Seruan itu terdengar dari bibir gadis cantik yang duduk di sebuah sofa besar di ruang tamu dalam mansion besar milik Rodrick. Laudia sangat berbahagia, gadis berambut hitam sepundak itu merangkul Layla yang duduk di sampingnya. "Selamat ya, Laudia. Aku turut bahagia," ucap Layla pada sang sepupu. "Heem, tentu! Oh ya, Layla... Aku ingin besok kau membantuku menyiapkan gaun yang paling bagus untuk menyambut calon suamiku!" seru Laudia tersenyum lebar. Layla menganggukkan kepalanya. "Heem, jangan khawatir!" Di sana, semua keluarga berkumpul menyambut tamu besar yang akan bergabung dan tinggal dalam satu pekarangan keluarga Jazvier. Dan, bunga di antara segala bunga paling indah di tanah Jazvier. Sosok cantik Layla Tan tumbuh menjadi salah satu gadis paling cantik. Layla memiliki rambut berwarna cokelat tua sebawah sepinggang, kulit putih halus, parasnya yang cantik
"Sayang, Layla tidak papa?" Suara Valia membuat lamunan Layla buyar. Gadis itu tengah duduk di dalam kamarnya di runah utama. Sebagai pengurus tempat itu, Layla memiliki kamar pribadi di sana. Gadis itu sontak tersenyum lebar dan menggeleng. "Tidak papa Ma, Layla malah senang, bisa bertemu Nathaniel lagi saat sudah dewasa," jawab Layla tersenyum manis.Awalnya Valia takut kalau anaknya bersedih, karena banyaknya cacian dari Nadine yang Layla terima, tapi kenyataannya Layla tetap berlapang dada. "Kalau begitu Mama pulang dulu ya, Sayang. Kalau ada sesuatu yang Layla butuhkan, Layla bisa pulang," ujar Valia pada putrinya. "Iya Mama." Valia mengecup kening Layla dan segera beranjak dari sana. Setelah Mamanya keluar, Layla mengganti pakaiannya dengan gaun tidur panjang, dan juga sama berlengan panjang berwarna merah muda. Hari sudah malam, ia akan menemui Nathaniel dan menunjukkan pada laki-laki itu di mana kamarnya. Layla menggerai rambutnya yang sepanjang bawah pinggang, gadis it
"Nona bobo cini sama Jelemy ya, mau puk-puk!" Anak kecil empat tahun itu menyelinap masuk ke dalam kamar Layla. Entah kenapa, Layla sangat menyukai Jeremy, meskipun awalnya rasa itu dilandasi perasaan kasihan saja. "Jeremy tidak dicari pelayan Donna, kan?" tanya Layla menepuk-nepuk punggung mungil anak itu. "Tidak. Jelemy bilang mau bobo sama Nona Layla," jawab anak itu. Layla terkikik geli, ia menyelimuti Jeremy dan mematikan lampu kamarnya di rumah utama. Namun saat Layla hendak berbaring, ia menatap botol airnya yang kosong. "Astaga, Jeremy bisa merengek kalau tidak ada air minum nanti malam," gumam Layla lirih. Layla pun kembali menyingkap selimutnya, gadis itu keluar dari dalam kamar. Ia berjalan ke arah dapur dan membiarkan ruangan itu tetap gelap."Apa yang kau lakukan, Layla Tan?!" Suara bariton dingin menyapa telinga Layla, penerangan ruang itu tiba-tiba saja menyala. Layla menoleh ke belakang di mana Nathaniel berdiri di sana. Laki-laki tampan itu hanya memakai celan
Kejadian semalam membuat Layla pulang ke rumahnya sebelum subuh. Ia terpaksa meninggalkan Jeremy, anak itu akan tetap aman di sana meskipun tanpa Layla. Dan kini Layla masuk ke dalam rumahnya dengan keadaan dan perasaanya yang sangat kacau. Layla berjalan gemetar, semalaman tak tidur dan ia merasa takut. Untuk kali pertama ada lelaki yang menyentuhnya. "Layla, kenapa Sayang?!" Suara sang Papa membuat Layla menoleh, bodohnya Layla yang tidak menyadari kalau sang Papa selalu lembur bekerja setiap malam. "Pa-papa..." "Layla kenapa?" Aaron mendekat dan merangkulnya, ia menyentuh kening Layla yang sedikit hangat. "Astaga, kau demam Sayang, cepat ke kamar dan istirahat!" Layla mengangguk pelan, ia pun melangkah dan bergegas masuk ke dalam kamarnya. Langkahnya membawa Layla ke arah ranjang dan berbaring dengan perasaan hampa. Pandangannya tertuju pada pergelangan tangan yang memar dan memerah. 'Ini baru permulaan, Layla Tan!' Kata-kata itu terngiang-ngiang di telinga Layla. Betapa j
Nathaniel membawa Layla ke rumah utama, gilanya dia tidak memberitahu siapapun kalau Layla pingsan. Nathaniel ingin bersama Layla dan merawatnya sendiri. Meskipun ia tahu efeknya, Aaron akan murka dan Valia akan marah begitu besar kalau tahu terjadi sesuatu pada putrinya. Tapi kenyataannya mereka berdua tengah berangkat bepergian. Laki-laki itu merebahkan Layla di atas ranjangnya dan mengelap wajah Layla dengan handuk kecil. Layla demam, mungkin karena menangis semalaman. "Kau sakit, Layla.., segeralah bangun," bisik Nathaniel menggenggam tangan Layla dengan hangat. Perlahan, Layla membuka kedua matanya. Ia mampu merasakan udara hangat menyapa tubuhnya dan suara seseorang tengah menggenggam erat telapak tangannya. Begitu kesadaran Layla terkumpul, ia melotot saat tahu dirinya berada di kamar Nathaniel. "Kepalamu masih pusing?" tanya Nathaniel mengusap kening Layla.Gadis itu memegangi kepalanya dan langsung terduduk. Ia menepis tangan Nathaniel saat itu juga. "Kenapa aku ada di
"Mama sama Papa ke mana? Kenapa belum pulang juga. Apa mereka pamit Paman Sergio, ya?" Layla, gadis cantik itu melangkah keluar dari dalam rumah. Hari masih petang, semalaman Mama dan Papanya tidak pulang, hal ini membuat Layla kesepian dan hampa. Langkah kecilnya mengantarkan Layla ke paviliun utama, gadis itu menaiki anak tangga teras dan mengetuk pintu paviliun. "Paman... Paman Sergio, Paman!" teriak Layla memanggil Sergio. "Iya sebentar!" pekik Sergio dari dalam. Pintu paviliun terbuka, Sergio terkejut melihat Layla berdiri di hadapannya dengan wajah ingin menangis. "Layla, kenapa menangis? Apa yang laki-laki itu lakukan padamu, hah?!" pekik Sergio menarik Layla dan memeluknya. Sergio menyayangi Layla seperti anaknya sendiri. Namun nyatanya kini Layla menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak paman, Layla nyari Mama dan Papa!" serunya lirih dengan kaki yang menghentak, dia tidak berubah sama sekali sejak kecil. "Astaga nak... Mama dan Papamu sedang pulang ke Italia, hanya du