Nathaniel membawa Layla ke rumah utama, gilanya dia tidak memberitahu siapapun kalau Layla pingsan. Nathaniel ingin bersama Layla dan merawatnya sendiri. Meskipun ia tahu efeknya, Aaron akan murka dan Valia akan marah begitu besar kalau tahu terjadi sesuatu pada putrinya. Tapi kenyataannya mereka berdua tengah berangkat bepergian. Laki-laki itu merebahkan Layla di atas ranjangnya dan mengelap wajah Layla dengan handuk kecil. Layla demam, mungkin karena menangis semalaman. "Kau sakit, Layla.., segeralah bangun," bisik Nathaniel menggenggam tangan Layla dengan hangat. Perlahan, Layla membuka kedua matanya. Ia mampu merasakan udara hangat menyapa tubuhnya dan suara seseorang tengah menggenggam erat telapak tangannya. Begitu kesadaran Layla terkumpul, ia melotot saat tahu dirinya berada di kamar Nathaniel. "Kepalamu masih pusing?" tanya Nathaniel mengusap kening Layla.Gadis itu memegangi kepalanya dan langsung terduduk. Ia menepis tangan Nathaniel saat itu juga. "Kenapa aku ada di
"Mama sama Papa ke mana? Kenapa belum pulang juga. Apa mereka pamit Paman Sergio, ya?" Layla, gadis cantik itu melangkah keluar dari dalam rumah. Hari masih petang, semalaman Mama dan Papanya tidak pulang, hal ini membuat Layla kesepian dan hampa. Langkah kecilnya mengantarkan Layla ke paviliun utama, gadis itu menaiki anak tangga teras dan mengetuk pintu paviliun. "Paman... Paman Sergio, Paman!" teriak Layla memanggil Sergio. "Iya sebentar!" pekik Sergio dari dalam. Pintu paviliun terbuka, Sergio terkejut melihat Layla berdiri di hadapannya dengan wajah ingin menangis. "Layla, kenapa menangis? Apa yang laki-laki itu lakukan padamu, hah?!" pekik Sergio menarik Layla dan memeluknya. Sergio menyayangi Layla seperti anaknya sendiri. Namun nyatanya kini Layla menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak paman, Layla nyari Mama dan Papa!" serunya lirih dengan kaki yang menghentak, dia tidak berubah sama sekali sejak kecil. "Astaga nak... Mama dan Papamu sedang pulang ke Italia, hanya du
Hari sudah sore, Layla merasa jengah di dalam rumah saat Mama dan Papanya belum pulang. Layla menghabiskan sorenya duduk di teras samping mansion sembari merajut sebuah syal. Tiba-tiba saja seseorang merangkul Layla dari belakang sampai tubuh Layla terjingkat kaget. "Astaga, Leo!" pekik Layla menoleh dan memukul lengan Laki-laki tampan di sampingnya. Leo pun terkekeh. "Kau pasti melamun kan, Nona Tan?!" Leo menarik gemas pipi Layla. Gadis itu hanya cemberut saja sebelum Leo berpindah duduk di hadapan Layla. "Layla, jujur saja padaku, laki-laki yang tadi di rumahmu bukan suamimu, kan?" tanya Leo dengan wajahnya yang ia dekatkan pada Layla. Ekspresi Layla mendadak sangat sedih, Leo padahal tidak bermaksud yang aneh-aneh apa lagi menyinggung Layla tentang laki-laki tadi. Tangan Leo perlahan menggenggam hangat telapak tangan Layla. "Kalau kau tidak ingin menjawabnya juga tidak papa, maaf aku tidak bisa hadir di hari pernikahanmu dan laki-laki it-""Dia bukan siapa-siapaku, Leo," j
"Sayang, jangan cemberut terus ya nanti, tidak enak sama yang lainnya." Valia memeluk Layla seraya berjalan bersama menuju rumah kaca. Malam ini Rodrick mengajak semua anggota keluarga yang tinggal di sana untuk makan malam bersama. Begitu Layla ikut Mama dan Papanya masuk ke dalam, di sana sudsh berkumpul semua. Tatapan Layla tertuju pada Nathaniel yang duduk bersama dengan Laudia. "Sayang, sini duduk di samping Oma," panggil Rosalia pada Layla. Layla duduk di samping wanita itu, di ujung kanan ada Leo yang duduk bersama sang Kakek dan orang tuanya yang tengah sibuk memperhatikan kecantikan Layla malam ini. Mereka semua makan malam bersama dan berjalan biasa saja, ada yang bercanda dan ada pula yang berdiskusi. "Oh iya Kek, kira-kira kapan pertunangan Nathaniel dan Laudia akan diadakan?" tanya Kevin, dia adalah Papa Laudia. Rodrick menoleh. "Lebih cepat lebih baik, supaya mereka bisa menjadi sangat dekat, bukan begitu, Nathaniel?" Tidak ada tanggapan apapun dari Nathaniel sam
"Pertunangan Layla dan Leo akan dilangsungkan bersama dengan pertunangan Nathaniel dan Laudia, nanti!" Seruan itu terucap oleh Rodrick malam ini, di sana ada keluarga Nathaniel dan keluarga Oktav. Begitu gelisah hati Layla dengan keputusan bodoh yag ia buat. Papanya juga sedikit marah padanya, Layla sangat terburu-buru dan memaksakan diri."Terima kasih, Layla," ucap Leo tiba-tiba merangkul pundak Layla. "Heem," jawab Layla hanya bergumam. Tiba-tiba saja seorang anak kecil berlari dan memeluk tubuh Layla dari belakang. Anak itu dua hari ini tidak muncul. Layla pun langsung tersenyum saat mendapati Jeremy yang memeluknya. "Nona, ada apa ini, kok lame-lame?" tanya Jeremy menatap semua orang di ruangan itu. "Iya, harusnya Jeremy tunggu Nona Layla di depan," ujar Layla mengusap pucuk kepala Jeremy. Bibir Jeremy tiba-tiba mengerucut, anak itu menggelengkan kepalanya. Dia kembali memeluk Layla dan duduk di pangkuannya. Tatapan mata Jeremy tertuju pada Nathaniel, dia melambaikan tan
Udara dingin membuat Layla terbangun dari tidurnya, gadis itu membuka kedua matanya yang terasa berat. Sesuatu melingkar erat dan posesif memeluknya. Tubuh Layla terasa sakit, barang ia bergerak sedikit saja. Kesadarannya perlahan terkumpul, semalam yang dia lakukan dengan Nathaniel. Malam yang panjang, pelukan, kecupan bersentuhan dan terus memburu kenikmatan. "Hah?!" Layla membekam bibirnya, berdesakan air mata di pelupuknya. 'Apa yang sudah aku lakukan?!' batin Layla berteriak. Gadis itu melepaskan pelukan Nathaniel perlahan-lahan, ditatapnya wajah tampan Nathaniel yang kini terlihat begitu menakutkan di mata Layla. "Akkhh..." Layla memekik pelan saat ia terbangun. Sakit luar biasa pada inti tubuhnya, pengalaman pertama yang hitam dan kelam. Gemetar sekujur tubuh Layla, air matanya sama seperti suara deras hujan di luar sana. Pukul dua dini hari, menjadi saksi Layla bukanlah gadis suci lagi. Layla dengan tubuh lemas mengambil pakaiannya di lantai dan kembali memakainya deng
"Kondisi Nona Layla sangat buruk, Nona Layla harusnya dirawat di rumah sakit."Dokter Rea memeriksa Layla, gadis itu sangat-sangat pucat dan tidak bangun dari atas ranjang selama dua hari. Layla juga tidak mau dijenguk siapapun selain Oma dan Opa, juga orang tuanya. Penjelasan dokter membuat kedua kaki Valia lemas, selama beberapa hari ini Layla sakit, Valia tidak mau makan dan tidak mau melakukan apapun. "Layla, kita ke rumah sakit ya Sayang, Opa akan mengantarmu kalau Layla tidak mau diantar Papa," bujuk Keivan, semua orang tidak akan tega dengan keadaan Layla. "Tidak mau," seru Layla menggelengkan kepalanya. Valia yang memeluknya, dia hanya diam dan memejamkan kedua matanya saja. "Layla ternyata sudah tidak sayang lagi sama Mama," ucap Valia lembut. "Layla ternyata memang ingin Mama sedih terus menerus." Gadis itu mengeratkan pelukannya, di samping Layla ada Aaron yang merangkul mereka berdua. Layla tetap kuekeh menolak, ia sangat takut dengan jarum. Sejak Layla kecil, rumah
Setelah berjam-jam menangis, marah, emosi, dan merasa gagal menjaga putrinya. Bahkan Aaron kini lemas duduk di samping Layla yang tertidur. Valia duduk di ruang keluarga sendirian, dia menatap foto Layla yang terpasang di dinding. Senyuman Layla yang indah dan merekah. "Anakku," lirih Valia memejamkan kedua matanya. "Apa yang telah terjadi padanya Ya Tuhan... Orang jahat mana yang melukai malaikatku..." Valia kembali tersedu-sedu. Dijaga sang Papa dalam kamar, Layla terbangun saat merasakan seseorang memeluknya dengan hangat dan nyaman. Selalunya pelukan sang Papa yang membuat Layla merasa tenang. "Papa," lirih Layla. Aaron yang tadinya memejamkan kedua matanya, kini dia menatap Layla dan tersenyum hangat. "Masih pusing?" tanya Aaron mengusap pucuk kepala putrinya. "Tidak... Papa. Eumm... Pa, kalau Layla sudah sembuh kita pulang ke Italia ya," ajaknya."Iya nak, ke manapun Layla mengajak Papa dan Mama pergi, kita akan turuti." Aaron mengecup kening Layla. Dirinya mulai menyada