"Sayang, jangan cemberut terus ya nanti, tidak enak sama yang lainnya." Valia memeluk Layla seraya berjalan bersama menuju rumah kaca. Malam ini Rodrick mengajak semua anggota keluarga yang tinggal di sana untuk makan malam bersama. Begitu Layla ikut Mama dan Papanya masuk ke dalam, di sana sudsh berkumpul semua. Tatapan Layla tertuju pada Nathaniel yang duduk bersama dengan Laudia. "Sayang, sini duduk di samping Oma," panggil Rosalia pada Layla. Layla duduk di samping wanita itu, di ujung kanan ada Leo yang duduk bersama sang Kakek dan orang tuanya yang tengah sibuk memperhatikan kecantikan Layla malam ini. Mereka semua makan malam bersama dan berjalan biasa saja, ada yang bercanda dan ada pula yang berdiskusi. "Oh iya Kek, kira-kira kapan pertunangan Nathaniel dan Laudia akan diadakan?" tanya Kevin, dia adalah Papa Laudia. Rodrick menoleh. "Lebih cepat lebih baik, supaya mereka bisa menjadi sangat dekat, bukan begitu, Nathaniel?" Tidak ada tanggapan apapun dari Nathaniel sam
"Pertunangan Layla dan Leo akan dilangsungkan bersama dengan pertunangan Nathaniel dan Laudia, nanti!" Seruan itu terucap oleh Rodrick malam ini, di sana ada keluarga Nathaniel dan keluarga Oktav. Begitu gelisah hati Layla dengan keputusan bodoh yag ia buat. Papanya juga sedikit marah padanya, Layla sangat terburu-buru dan memaksakan diri."Terima kasih, Layla," ucap Leo tiba-tiba merangkul pundak Layla. "Heem," jawab Layla hanya bergumam. Tiba-tiba saja seorang anak kecil berlari dan memeluk tubuh Layla dari belakang. Anak itu dua hari ini tidak muncul. Layla pun langsung tersenyum saat mendapati Jeremy yang memeluknya. "Nona, ada apa ini, kok lame-lame?" tanya Jeremy menatap semua orang di ruangan itu. "Iya, harusnya Jeremy tunggu Nona Layla di depan," ujar Layla mengusap pucuk kepala Jeremy. Bibir Jeremy tiba-tiba mengerucut, anak itu menggelengkan kepalanya. Dia kembali memeluk Layla dan duduk di pangkuannya. Tatapan mata Jeremy tertuju pada Nathaniel, dia melambaikan tan
Udara dingin membuat Layla terbangun dari tidurnya, gadis itu membuka kedua matanya yang terasa berat. Sesuatu melingkar erat dan posesif memeluknya. Tubuh Layla terasa sakit, barang ia bergerak sedikit saja. Kesadarannya perlahan terkumpul, semalam yang dia lakukan dengan Nathaniel. Malam yang panjang, pelukan, kecupan bersentuhan dan terus memburu kenikmatan. "Hah?!" Layla membekam bibirnya, berdesakan air mata di pelupuknya. 'Apa yang sudah aku lakukan?!' batin Layla berteriak. Gadis itu melepaskan pelukan Nathaniel perlahan-lahan, ditatapnya wajah tampan Nathaniel yang kini terlihat begitu menakutkan di mata Layla. "Akkhh..." Layla memekik pelan saat ia terbangun. Sakit luar biasa pada inti tubuhnya, pengalaman pertama yang hitam dan kelam. Gemetar sekujur tubuh Layla, air matanya sama seperti suara deras hujan di luar sana. Pukul dua dini hari, menjadi saksi Layla bukanlah gadis suci lagi. Layla dengan tubuh lemas mengambil pakaiannya di lantai dan kembali memakainya deng
"Kondisi Nona Layla sangat buruk, Nona Layla harusnya dirawat di rumah sakit."Dokter Rea memeriksa Layla, gadis itu sangat-sangat pucat dan tidak bangun dari atas ranjang selama dua hari. Layla juga tidak mau dijenguk siapapun selain Oma dan Opa, juga orang tuanya. Penjelasan dokter membuat kedua kaki Valia lemas, selama beberapa hari ini Layla sakit, Valia tidak mau makan dan tidak mau melakukan apapun. "Layla, kita ke rumah sakit ya Sayang, Opa akan mengantarmu kalau Layla tidak mau diantar Papa," bujuk Keivan, semua orang tidak akan tega dengan keadaan Layla. "Tidak mau," seru Layla menggelengkan kepalanya. Valia yang memeluknya, dia hanya diam dan memejamkan kedua matanya saja. "Layla ternyata sudah tidak sayang lagi sama Mama," ucap Valia lembut. "Layla ternyata memang ingin Mama sedih terus menerus." Gadis itu mengeratkan pelukannya, di samping Layla ada Aaron yang merangkul mereka berdua. Layla tetap kuekeh menolak, ia sangat takut dengan jarum. Sejak Layla kecil, rumah
Setelah berjam-jam menangis, marah, emosi, dan merasa gagal menjaga putrinya. Bahkan Aaron kini lemas duduk di samping Layla yang tertidur. Valia duduk di ruang keluarga sendirian, dia menatap foto Layla yang terpasang di dinding. Senyuman Layla yang indah dan merekah. "Anakku," lirih Valia memejamkan kedua matanya. "Apa yang telah terjadi padanya Ya Tuhan... Orang jahat mana yang melukai malaikatku..." Valia kembali tersedu-sedu. Dijaga sang Papa dalam kamar, Layla terbangun saat merasakan seseorang memeluknya dengan hangat dan nyaman. Selalunya pelukan sang Papa yang membuat Layla merasa tenang. "Papa," lirih Layla. Aaron yang tadinya memejamkan kedua matanya, kini dia menatap Layla dan tersenyum hangat. "Masih pusing?" tanya Aaron mengusap pucuk kepala putrinya. "Tidak... Papa. Eumm... Pa, kalau Layla sudah sembuh kita pulang ke Italia ya," ajaknya."Iya nak, ke manapun Layla mengajak Papa dan Mama pergi, kita akan turuti." Aaron mengecup kening Layla. Dirinya mulai menyada
Satu Minggu Kemudian....Kondisi Layla berangsur membaik, namun gadis itu tetap saja bersembunyi di dalam rumah bagai seekor kura-kura di dalam tempurungnya. Dan sosok yang selalu menemani Layla, Leo yang beberapa hari ini datang ke rumahnya. Tapi sepertinya siang ini Leo mengajak Layla pergi ke rumah kaca dan membujuknya diajak jalan-jalan. "Semua bunga Lily sedang mekar-mekarnya. Ayo, apa mau aku gendong?" Leo tersenyum manis menatap Layla. "Eh, tidak usah. Aku bisa berjalan sendiri." Layla merangkul lengan Leo sembari menuruni anak tangga. Mereka berdua masuk ke dalam sana. Benar sekali, udara sejuk menyapa Layla dan banyak sekali bunga-bunga yang mekar, kupu-kupu berterbangan cantik, dan juga suara air mancur yang memanjakan telinga. Senyuman Layla langsung mengembang, ia berjalan mendekati beberapa tanaman yang telah berbunga. "Aku yang menanam bunga ini, sekarang sudah mekar dan cantik sekali," ujar Layla tersenyum senang. "Ya, secantik yang menanamnya, kan?" Leo sedikit m
Saat hari sudah gelap, Layla pulang ke rumahnya diantar oleh Nathaniel. Mereka berjalan melewati rumah kaca, di dalam sana nampak sangat terang dan sejuk. "Mau pulang atau masih ingin ke sana?" tanya Nathaniel menatap Layla. "Ke sana sebentar," jawab Layla. "Heem, ayo." Laki-laki itu merangkul pundak Layla, Nathaniel memakaikan tuxedo hitamnya menutupi punggung Layla dan mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah kaca. Di sana banyak sekali tanaman hingga udara sejuk membuat tempat itu sangat nyaman. Layla berdiri di hadapan Nathaniel dan menatap tanaman yang digantung di atasnya. Sedangkan Nathaniel duduk di hadapan Layla seraya menggenggam satu tangannya. Tatapan mata Layla kembali tertuju pada Nathaniel. "Kenapa kau menatapku begitu?" tanya Layla dengan nada pelan. "Kau sangat cantik," jawabnya singkat. Kedua pipi Layla bersemu. Gadis itu mengembuskan napasnya pelan dan menoleh saat pintu rumah kaca terbuka. Sosok Rodrick berdiri di sana menatap mereka berdua, bahkan Ke
Sudah tiga hari berlalu setelah kejadian kemarin. Layla menuruti apa yang Papanya inginkan, tidak keluar dari dalam rumah, bahkan saat kini diadakan pesta pertunangan Nathaniel dan Laudia. Layla sibuk dengan menggambar, dan menghibur dirinya. Ditemani Jeremy yang kini berada di kamar Layla. "Nona Layla kenapa tidak ke mansion, di sana lamai cekali, Nona Laudia katanya tunangan sama Tuan," ujar Jeremy seraya tengkurap di atas ranjang kamar Layla. Layla menoleh, dia tersenyum dan menggeleng. "Tidak Jeremy, kalau Jeremy mau ke sana, Nona tidak papa sendirian kok," ujar Layla pada anak itu. Jeremy menggeleng pelan. "Nanti kalau Nona sendirian bagaimana?" Jeremy bangun dan berjalan mendekati Layla. Di sana, Layla menekuk lututnya di hadapan Jeremy. Dia tersenyum manis mengusap pipi gembil bocah itu. "Jeremy... Nona boleh minta tolong sama Jeremy," pinta Layla pada anak itu. "Huum, boleh." Layla beranjak, dia mengambil sebuah kotak besar dan memberikan pada Jeremy. "Berikan ini pad
Pemandangan yang indah saat Valia menatap anak dan menantunya tengah menikmati hari yang indah di taman mansion pagi ini. Waktu berjalan dengan cepat, Valia percaya dengan adanya cinta sejati dan ia tidak salah menempatkan hatinya sejak awal pada orang yang mau menjadi sandarannya hingga kini. "Sedang apa, Sayang?" sapa Aaron mendekati Valia. "Hem, tidak ada. Senang sekali melihat mereka, dan tempat ini...." Valia mendongak menatap seisi mansion yang tidak berubah sama sekali. Tempat itu sangat terawat dan juga bersih bahkan beberapa barang-barang yang dulu Valia tinggalkan masih di tempat. Betapa membekas kuat semua kepingan-kepingan ingatannya dari kisah cinta hingga kebenciannya kepada Aaron yang kini sudah tertutup rapat. "Tempat ini masih khas dengan segala hal yang menyangkut kita," ujar Aaron menatap Valia dan memeluknya. "Dan aku merasa bahagia bisa menua bersamamu." Valia tidak yakin mendengar apa yang suaminya katakan barusan, tapi ia merasa tersentuh begitu Aaron men
Trieste, Italia. Seperti masa kecil Mamanya, shopie terlihat sangat heboh saat dia telah sampai di Trieste. Tepatnya di mansion milik sang Opa. Bangunan super megah yang dikelilingi pemandangan laut yang indah. Tidak ada yang berubah di sana, Layla dan Nathaniel juga sangat menikmati keindahan tempat itu. "Wahh... Bagus sekali, kenapa aku dulu tidak betah tinggal di sini Ma? Padahal bagus sekali!" Layla memeluk lengan Valia dan mereka berjalan di teras samping samping mansion."Entah karena apa dulu, mungkin karena kita kasihan pada Kakek," jawab Valia. Ia tidak mau mengingatkan masa lalu yang cukup buruk pada Layla. Nathaniel bersama Aaron di depan sana, laki-laki itu menggendong Shopie yang sudah bingung ingin pergi mengelilingi mansion. Sementara Valia masih bersama dengan Layla. Valia merasa ada sesuatu yang menyentuh hati terdalamnya, tempat ini mempunyai ribuan kisah Valia dan Aaron, dari benci, marah, ambisi, obsesi, hingga cinta yang sangat tulus. Sosok Aaron yang sama
Lima Tahun Kemudian..."Shopie! Jangan lari-lari nanti jatuh..." Suara teriakan keras itu berasal dari bibir Layla yang berdiri di dalam rumah memperhatikan putri kecilnya yang terlihat begitu kesenangan. Shopie Tan Ferdherat, gadis cantik yang memiliki wajah sangat mirip dengan Mamanya. Dia juga sangat keras kepala seperti Papanya, dan Sopie anak yang manja, seperti Mamanya. "Mi, katanya nanti malam mau pergi sama Opa dan Oma, ayo... Sopie bantu-bantu Mami!" seru anak itu lompat-lompat kesenangan. "Iya, tapi nanti dulu, Sayang... Sekarang Shopie naik ke atas yuk, jangan lari-larian di bawah. Mami mau ke atas." Layla mengulurkan tangannya pada Shopie. Anak itu pun seketika mengangguk antusias, mereka berdua langsung berjalan ke lantai atas dan Sophie berjinjit membuka pintu kamarnya. Di dalam sana, anak itu menatap Papanya yang masih tertidur dengan santai dan nyenyak. Shopie tersenyum tipis, ia berjalan perlahan-lahan naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Papanya. "Papi... Ay
"Mama dan Papa akan sering-sering ke sini untuk memantau Layla, karena Papa perhatikan akhir-akhir ini kau sangat sibuk sampai sering meninggalkan istrimu sendiri yang di rumah." Aaron mengatakan hal itu kepada menantunya, dan tentu saja nontonnya langsung mengangguk setuju disadarinya ia memang tidak pernah ada waktu untuk Layla. Bukan berarti Nathaniel merasa leluasa, ia juga berusaha mencari celah di mana ia bisa meliburkan diri dan menjaga Layla seperti suami-suami di luar rencana pada umumnya. "Iya Pa, aku juga mencari waktu yang tepat untuk libur. Aku terus kepikiran dan tidak bisa fokus saat bekerja," ujar Nathaniel. "Harusnya di saat usia kandungan istrimu sudah tua seperti ini kau libur rumah karena bayi lahir itu tidak tahu kapan dan juga sulit untuk diprediksi," jelas Aaron pada Nathaniel. Nathaniel diam dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh Papa mertuanya, ia sadar kalau dirinya memang keliru. Aaron juga orang yang sangat gila kerja, sama seperti dirinya tapi beda
"Kalian ini... Apa tidak bisa ditunda sampai besok pagi, hah?!" Nathaniel marah saat masuk ke dalam ruangannya, di dalam sana semua rekannya sudah menunggu. Laki-laki itu meletakkan dengan kasar kunci mobilnya di atas meja, karena ia sudah menduga kalau di rumah Layla pasti marah padanya. "Ya bagaimana lagi?!" sahut Regar frustrasi. "Huhh... Sialan kalian, jadi jadwal kemarin itu salah?!" Nathaniel menatap mereka semua. "Salah!" jawab keempat orang itu kompak. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Nathaniel. Saat itu juga ia langsung duduk di kursinya dan mulai membuka laptopnya dan segera menyelesaikan pekerjaannya. Namun tetap saja Nathaniel tidak bisa tenang memikirkan Layla yang ia tinggalkan di rumah sendirian. Laki-laki itu pun mengambil ponselnya dan ia menghubungi Papa mertuanya karena hanya Aaron yang bisa membantunya saat ini. "Halo Pa, Pa aku boleh minta tolong, tidak?" pinta Nathaniel. "Hem, ada apa jam segini kok menelepon Papa? Apa terjadi sesuatu pada Layl
Beberapa Bulan Kemudian...Kandungan Layla sudah memasuki tujuh bulan. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat dan Layla menjalani hari-harinya dengan sangat bahagia besama suaminya. Nathaniel, menjadi suami super posesif dan selalu memantau Layla dari segala kondisi, bahkan mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. "Layla ke mana, Bi?"Suara Nathaniel di ruang tamu sore ini membuat Layla langsung menoleh, gadis itu tengah beduaan dengan Jeremy di dalam ruangan keluarga. Seketika Layla meminta Jeremy menutup pintu ruangan itu. Sehari saja, Layla ingin suaminya itu tidak terlalu posesif, Layla pusing dengan sifat Nathaniel yang sangat menyebalkan. "Sudah Kak," ujar Jeremy seraya terkikik geli anak itu berjalan mendekati Layla seraya membawa roti sus miliknya. "Sini-sini, duduk di samping Kakak. Biar saja Kak Nathan teriak-teriak di luar, Kakak pusing sekali dengannya," keluh Layla mendongakkan kepalanya. "Tapi kata Mami Valia, kalau dicereweti Papi Aaron, tandanya Papi Aaron i
Setelah acara pernikahan, Layla dan Nathaniel pulang ke rumah mereka sendiri. Nathaniel adalah laki-laki mapan yang sudah mempersiapkan segalanya sebelum menikah. Ada dua pembantu di rumahnya yang akan mengerjakan pekerjaaan rumah dan membantu Layla. Dan Nathaniel memberikan rumah itu pada Layla untuk hadiah pernikahan mereka. "Rumahnya bagus sekali," cicit Layla seraya menoleh dan menatap wajah tampan Nathaniel. "Kau suka?" Nathaniel mengusap pucuk kepala Layla. Layla pun mengangguk dengan mantap. "Sangat! Ini rumah paling bagus yang pernah Layla lihat. Seperti istana kalau dilihat dari luar, ada kerucutnya di atas sana!" seru Layla tersenyum. "Ya, memang desain awalnya aku buat seprti itu, agar tidak ada yang menyamainya." Layla hanya mengangguk saja, dan ia berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tangga melengkung dan lebar, lantai mengkilat dari marmer berwarna cream, dan beberapa pilar besar di dalam ruangan, serta lampu kristal besar yang menggantung di langit-lan
Pernikahan yang dimimpikan selama ini oleh Layla benar-benar terlaksana. Dalam hitungan detik demi detik pernikahan mereka sudah resmi.Dan begitu pula yang dirasakan oleh Nathaniel. Memiliki Layla seutuhnya dan ke mana-mana bisa ia jaga dan ia bawa, adalah cita-cita Nathan sejak dia masih kecil. Layla dan Nathaniel kini tengah sibuk dengan para tamu, tak lain adalah para teman-teman Nathaniel, karena Layla sendiri tidak memiliki teman. "Selamat ya kalian berdua, wahhh... Kapan ya aku nyusul?" seru Vargo menepuk pundak Nathaniel. "Mulutnya!" sinis Caley merangkul dan memukul punggung Vargo hingga laki-laki dengan tuxedo abu-abu itu tertawa. "Ya... Siapa tahu saja yang kedua kalinya." Vargo menjawab dengan sangat santai. Seketika Nathaniel terkekeh, ia menggenggam tangan Layla dan mengecupnya dengan lembut. "Jangan mendengarkan Sayang, mereka ini laki-laki gila!" sinis Nathaniel seraya menatap aneh pada semua temannya. "Iya, mereka lucu," ujar Layla. Layla merasakan ia seperti
Hari yang dinanti-nanti oleh Layla dan Nathaniel esok pagi akan terlaksana. Mereka semua keluarga kini berada di sebuah hotel milik keluarga Ferdherat. Hotel bintang lima yang berada di tengah-tengah kota Berlin. Laila Tengah berada di dalam kamarnya bersama Sarah, Caroline, Rosalia dan juga Valia. Keluarga Jazvier yang datang jauh-jauh hanya ingin melihat Layla menikah dengan Nathaniel. "Tidak terasa kita sudah tua ya Sarah, Cucu kita besok sudah mau menikah," ujar Caroline pada Sarah. "Iya, aku merasa seperti kemarin kita mengasuh anak-anak, tapi sekarang mereka sudah menikah saja. Ini waktu yang terlalu cepat atau apanya yang salah?" gumam Sarah seraya duduk bersandar. Valia bersama Rosalia duduk di atas ranjang bersama Layla yang berbaring bersama Jeremy. "Sepertinya tidak ada yang salah, Nenek saja yang menolak tua," sahut Jeremy tiba-tiba, anak itu sangat cerdas. Mendengar apa yang dikatakan bocah itu sontak membuat semua orang di dalam ruangan tersebut langsung tertawa.