"Aku akan berangkat lagi ke luar negeri nanti malam, tolong jaga dirimu baik-baik dan... Aku punya sesuatu untukmu, Layla." Leo duduk di tepi ranjang kamar Layla, dia sengaja menemui Layla dan berpamitan sebelum pergi bertugas. Tiba-tiba Leo merogoh saku mentel yang dipakainya dan mengambil sebuah kotak cincin berwarna merah beludru."Leo," cicit Layla sedikit ragu dan bimbang. "Ke-kenapa memberikan ini padaku?" Leo tersenyum kecil. "Agar pergiku bertujuan. Aku ingin pergi untuk pulang, dan pulangku hanya padamu," ujar Leo pelan. Perlahan dia meraih tangan Layla dan memasangkan cincin berlian di jari manis tangan kiri Layla. Sangat pas, cantik, dan begitu cocok di jari manis Layla. Leo juga mengecup punggung tangan Layla dengan sangat tulus. "Satu bulan lagi aku akan pulang, Layla. Aku akan mengajakmu jalan-jalan ke London, okay?!" Leo mengusap pucuk kepala Layla. Anggukan Layla berikan, gadis itu diam saja begitu Leo memeluknya dengan erat. Menepuk punggungnya dan memberikan s
Satu Bulan Kemudian..."Huuhhh... Kenapa kepalaku tiba-tiba pusing? Musim panas begini aku malah kedinginan." Layla masuk ke dalam kamarnya dan duduk meringkuk di dalam selimut. Layla berpikir keras, ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan Layla semalam memikirkannya pula. Gadis itu menoleh ke arah sebuah kalender di atas mejanya dan mulai menghitung hari demi hari yang tidak biasa ada sesuatu Layla lewatkan dalam satu bulan. "Hem? Hampir tiga minggu?! Yang benar saja?!" pekik Layla kembali mengecek dan menghitungnya lagi. "I-ini tidak salah, kan?!"Layla menarik dirinya, ia mengerjapkan kedua matanya dan menutup kalender yang ia ambil. "Ba-bagaimana bisa?" lirih Layla mulai cemas dan berkeringat dingin. "Aku harus mencaritahunya sendiri. Ya... Aku tidak boleh bilang pada siapapun!"Layla berjalan membuka lemari pakaiannya, gadis itu mengganti baju dan merapikan dirinya. Dia juga mengambil tas dan beberapa uang yang dia simpan. Baru kali ini Layla memutuskan untuk pergi dari ruma
Setelah pergi bersama Nathaniel pagi tadi, Layla kembali ke rumahnya saat Mama dan Papanya belum juga pulang. Gadis itu berjalan masuk ke dalam kamarnya, di dalam sana Layla membuka tas miliknya dan mencari sesuatu. Terdiam merenung sejenak Layla menatap sebuah alat tes kehamilan yang tadi dia beli. "Kenapa aku tiba-tiba mnjadi takut begini?" gumam Layla pelan. "Kalau aku benar-benar itu, bagaimana?" Layla menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Ia diam menatap langit-langit dan berusaha menjernihkan pikirannya sejenak. "Tidak! Aku tidak boleh membiarkannya begini saja! Tidak boleh!" seru Layla pada dirinya sendiri. Saat itu juga Layla bangkit dari tidurnya, ia berjalan masuk ke dalam kamar mandi."Ya Tuhan, aku takut sekali," lirih Layla memegangi dadanya. Beberapa menit Layla berdiri di sana dan ia mondar-mandir menunggu hingga tiba saatnya gadis itu meraih sebuah alat test kehamilan yang dia beli di apotek. Layla menatapnya dengan perasaan terkejut. Bagai tersambar petir di
Nathaniel sampai tertidur dengan posisi duduk di sofa kamar Layla. Ia mengirimkan pesan pada Aaron dan Valia, ternyata mereka tidak pulang, hingga Nathaniel memutuskan menjaga Layla. "Huhh... Dingin," racau Layla menarik selimutnya. Suara Layla membuat Nathaniel menoleh, laki-laki itu pun mendekat. Dia menarik selimutnya dan menutupkan pada tubuh Layla. Gadis itu mencekal lengan Nathaniel dan memeluknya sampai kedua mata Layla kini terbuka. Sedetik dia terdiam masih belum benar-benar sadar sebelum ia tersentak saat mendapati Nathaniel di hadapannya. "Na-nathaniel, sedang apa kau di sini?!" teriak Layla langsung beringsut. "Layla tunggu..." Layla hendak berlari, namun nyaris saja ia terjatuh dari atas ranjang andai Nathaniel tidak memeluk tubuhnya dari belakang."Mau apa kau, Nathaniel?! Aku tidak mau... Aku tidak mau lagi! Jangan..." Layla menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kuat. "Layla, aku tidak akan melakukan apapun padamu," bisik Nathaniel mendekapnya erat. Layla langsu
"Saya ingin pertunangan ini batal, dan tidak akan ada pernikahan antara saya dan Laudia Ivana." Semua orang di dalam ruangan itu terkejut bukan main. Termasuk Laudia yang langsung bangkit menarik lengan Nathaniel, berharap kalau calon suaminya itu bercanda. "A-apa yang Kakak katakan?! Kenapa?!" pekik Laudia marah. "Nathan, kau jangan bercanda!" sentak Rodrick menatapnya tegas. Nathaniel terdiam sesaat, ia memperhatikan Sergio yang ada di sana pula. "Saya telah melakukan kesalahan," jawab Nathaniel berani. "Ke-kesalahan?" Nadine berdiri mendekatinya. "Kesalahan apa yang Kakak lakukan?! Aku dan keluarga ini pasti bisa memaafkan Kakak!" seru Laudia memeluk Nathaniel. "Tidak Laudia." Semua orang mungkin sudah paham kalau hari ini akan terjadi. Nathaniel yang selalu melakukan pemberontakan sejak awal. Helaan napas terdengar dari bibir Rodrick, laki-laki itu menatap Nathaniel lagi. "Katakan apa alasamu, setelah itu baru kau bisa bebas dari pertunangan ini!" seru Rodrick. "Opa!"
"Bagaimana rasanya? Apa masih takut?" Nathaniel mengusap pucuk kepala Layla, mereka berdua duduk di sebuah bangku yang berada di taman kota. Tempat itu sudah sepi karena hari juga sudah sore. Layla tersenyum menggelengkan kepalanya, ia memeluk tubuh Nathaniel dengan satu tangannya memegangi hamburger. "Tadinya aku takut Mama dan Papa akan marah, tapi kau tahu Kudanil... Mereka memelukku erat, mungkin karena mereka tahu ini semua bukan salahku, tapi salahmu!" seru Layla terkikik geli. Laki-laki itu menghela napasnya panjang dengan panggilan masa kecil yang dia rindukan kembali terucap dari bibir Layla. "Aku pikir kau sudah lupa dengan panggilan menggelikan itu, Sayang," ujar Nathaniel bersandar dan menarik pundak Layla. "Tidak, aku tidak pernah melupakannya. Bukannya itu panggilan yang sangat cocok unukmu. Aku selalu mencatatnya di semua buku milikku. Kudanil love Layla Tan, itu ada di mana-mana, kau tahu!" seru Layla sambil terkekeh. "Panggil saja aku dengan sebutan itu kalau k
Untuk pertama kali Layla pergi tanpa Mama dan Papanya, melainkan dengan calon suaminya. Mereka telah tiba di Jerman setelah membutuhkan waktu lama untuk perjalanan. Keduanya kini dalam perjalanan dari bandara menuju ke kediaman keluarga Ferdherat. Sepanjang perjalanan banyak sekali pertanyaan Layla pada Nathaniel hingga membuat laki-laki itu sering tertawa. "Ya ampun Kudanil, itu bagus sekali. Aku pernah punya lukisannya dulu dari Papa, ternyata dari dekat jauh lebih bagus ya," seru Layla menunjuk sebuah bangunan megah yang memiliki kubah besar berwarna hijau. "Itu Katedral Berlin," jawab Nathaniel seraya merangkul pundak Layla. "Di sana, gedung besar itu... Itu perusahaan Kakek Rodrick yang berada di sini dan yang aku kelola." "Hah?! Yang mana?!" pekik Layla heboh. "Itu Sayang, sebelah sana." Nathaniel menunjukkannya dengan teliti, namun sepertinya pandangan mata Layla menatap ke arah lain. "Heum, itu pasti enak," ujarnya tidak menyambung dengan apa yang Nathaniel tunjukkan.
Saat pagi tiba, Layla yang baru saja bangun dari tidurnya merasa berisik saat mendengar suara tawa gembira dan sangat ramai. Gadis itu mencuci wajahnya sebelum memutuskan keluar dari dalam kamar. Ada beberapa pelayan yang membersihkan ruangan di lantai dua dan menyapa Layla. "Selamat pagi Nyonya Layla," sapa para pelayan pada Layla. "Eh, Layla be-belum menikah, ja-jangan panggil Nyonya dulu," seru Layla dengan wajah kaget. Para pelayan itu saling tatap dan tersenyum. "Tapi Tuan Nathaniel yang meminta kami memanggil begitu," jawab salah satu dari mereka. "Hah? Kudanil?!" Layla membeo. Para pelayan itu mengerjapkan kedua matanya, baru kali ini mereka mendengar nama Tuan Mudanya dibuat menjadi panggilan yang macam-macam. Tapi terdengar unik dan lucu. Layla langsung berlalu dan mencari calon suaminya. Namun begitu Layla tutun ke lantai satu, langkahnya langsung terhenti saat melihat ada lima laki-laki yang tengah bersama dengan Nathaniel. Sepertinya mereka pun seumuran. "Heh, siap