"Bagaimana rasanya? Apa masih takut?" Nathaniel mengusap pucuk kepala Layla, mereka berdua duduk di sebuah bangku yang berada di taman kota. Tempat itu sudah sepi karena hari juga sudah sore. Layla tersenyum menggelengkan kepalanya, ia memeluk tubuh Nathaniel dengan satu tangannya memegangi hamburger. "Tadinya aku takut Mama dan Papa akan marah, tapi kau tahu Kudanil... Mereka memelukku erat, mungkin karena mereka tahu ini semua bukan salahku, tapi salahmu!" seru Layla terkikik geli. Laki-laki itu menghela napasnya panjang dengan panggilan masa kecil yang dia rindukan kembali terucap dari bibir Layla. "Aku pikir kau sudah lupa dengan panggilan menggelikan itu, Sayang," ujar Nathaniel bersandar dan menarik pundak Layla. "Tidak, aku tidak pernah melupakannya. Bukannya itu panggilan yang sangat cocok unukmu. Aku selalu mencatatnya di semua buku milikku. Kudanil love Layla Tan, itu ada di mana-mana, kau tahu!" seru Layla sambil terkekeh. "Panggil saja aku dengan sebutan itu kalau k
Untuk pertama kali Layla pergi tanpa Mama dan Papanya, melainkan dengan calon suaminya. Mereka telah tiba di Jerman setelah membutuhkan waktu lama untuk perjalanan. Keduanya kini dalam perjalanan dari bandara menuju ke kediaman keluarga Ferdherat. Sepanjang perjalanan banyak sekali pertanyaan Layla pada Nathaniel hingga membuat laki-laki itu sering tertawa. "Ya ampun Kudanil, itu bagus sekali. Aku pernah punya lukisannya dulu dari Papa, ternyata dari dekat jauh lebih bagus ya," seru Layla menunjuk sebuah bangunan megah yang memiliki kubah besar berwarna hijau. "Itu Katedral Berlin," jawab Nathaniel seraya merangkul pundak Layla. "Di sana, gedung besar itu... Itu perusahaan Kakek Rodrick yang berada di sini dan yang aku kelola." "Hah?! Yang mana?!" pekik Layla heboh. "Itu Sayang, sebelah sana." Nathaniel menunjukkannya dengan teliti, namun sepertinya pandangan mata Layla menatap ke arah lain. "Heum, itu pasti enak," ujarnya tidak menyambung dengan apa yang Nathaniel tunjukkan.
Saat pagi tiba, Layla yang baru saja bangun dari tidurnya merasa berisik saat mendengar suara tawa gembira dan sangat ramai. Gadis itu mencuci wajahnya sebelum memutuskan keluar dari dalam kamar. Ada beberapa pelayan yang membersihkan ruangan di lantai dua dan menyapa Layla. "Selamat pagi Nyonya Layla," sapa para pelayan pada Layla. "Eh, Layla be-belum menikah, ja-jangan panggil Nyonya dulu," seru Layla dengan wajah kaget. Para pelayan itu saling tatap dan tersenyum. "Tapi Tuan Nathaniel yang meminta kami memanggil begitu," jawab salah satu dari mereka. "Hah? Kudanil?!" Layla membeo. Para pelayan itu mengerjapkan kedua matanya, baru kali ini mereka mendengar nama Tuan Mudanya dibuat menjadi panggilan yang macam-macam. Tapi terdengar unik dan lucu. Layla langsung berlalu dan mencari calon suaminya. Namun begitu Layla tutun ke lantai satu, langkahnya langsung terhenti saat melihat ada lima laki-laki yang tengah bersama dengan Nathaniel. Sepertinya mereka pun seumuran. "Heh, siap
Hari sudah sore, Layla diam di depan rumah. Ia berdiri menatap akuarium kaca besar dan memandangi ikan-ikan cantik di dalamnya. Gadis itu memberinya makan, dan bahkan Layla betah hingga berjam-jam berada di sana. "Loh, Layla... Sedang apa di sini?" tanya seorang laki-laki, dia adalah sahabat sekaligus kerabat Nathaniel, Vargo. Layla tersenyum tipis. "I-ni, lihat ini..." Gugup Layla menjawabnya. "Kasih makan ikan," jawab Layla. Laki-laki itu tersenyum kecil, dia berdiri di samping Layla memperhatikan gadis itu. Gadis dengan wajah cantik menggemaskan, dan wajah yang membuat Nathaniel menjadi bucin sejak kecil. "Layla, usiamu berapa?" tanya Vargo tiba-tiba. "Hem?" Layla menoleh. "Lima bulan lagi sudah dua puluh dua, aku dan Kudanil hanya beda tiga tahun saja." Laki-laki itu pun mengangguk. "Kau ini jauh dari perkiraanku, kau tahu! Aku pikir yang namanya Layla adalah gadis dewasa yang mampu menggoda Nathaniel, karena si Kudanil-mu itu sangat tergila-gila padamu sejak dia masih keci
Liburan di Berlin, Layla cukup menyukai tinggal di sana. Bahkan ia selalu diajak jalan-jalan setiap sore oleh Nathaniel. Tapi sore ini Layla tidak boleh pergi ke mana-mana oleh Sarah, karena semua teman arisan sosialita wanita itu akan datang ke rumah. Dia berjanji pada semua temannya akan memamerkan Cucu perempuannya. "Jangan mengajak Layla pergi dulu sore ini Niel," ujar Sarah, wanita itu tengah duduk mengecek beberapa menu makanan di meja makan. "Iya Nek," jawab Nathaniel pelan. Layla sendiri berdiri di belakang Sarah dan gadis itu juga bingung menatap banyak sekali makanan yang tersaji. "Emm Nenek, ini banyak sekali makanan. Ada acara ya?" tanya Layla. "Iya Sayang, teman-teman arisan Nenek mau ke sini. Mau kenalan mereka semua sama Layla," jawab Sarah. Layla mengerjapkan kedua matanya dan menunjuk dirinya sendiri. "Heum, kenalan sama Layla? Tapi kan Nek-" "Sudah... Ikut saja apa kata Nenek, Sayang. Sekarang Layla ayo ikut Nenek ke depan, kita tunggu teman-teman Nenek, yuk
Dua minggu kemudian...Berada di Berlin awalnya membuat Layla sangat menyukai tempat itu. Tapi saat ini Layla ingin memperhitungkannya. Musim dingin di akhir tahun membuat Layla ingin pulang saja ke rumahnya. Sejak kecil, Layla tidak pernah tahan dengan udara dingin seperti kebanyakan orang. Hingga kini membuat Layla sakit. Layla duduk berjongkok di depan perapian, ia ditemani dua anak anjing kecil milik Nathaniel."Ya ampun, kalau begini terus aku bisa mati," lirih Layla menundukkan kepalanya yang terasa sangat sakit. "Aku harus apa? Ba-bagaimana ini?" Suara derap langkah membuat Layla menatap negeri ke arah pintu. Pasalnya ini sudah tengah malam dan Layla pergi keluar kamar hanya untuk berdiam di depan perapian. "Layla, sedang apa di sini?" seru Arthur, laki-laki tua itu mendekatinya. "Kakek... Layla tidak kuat udara dingin. Kepala Layla sakit sekali," ujar Layla mendongak menatap Arthur. "Astaga nak, di mana Nathan? Apa dia belum pulang dari kantor? Dia lembur?""Kudanil masi
"Aku mau pulang, katanya kita di sini hanya dua mingguan. Ini kenapa sampai berhari-hari?" Layla mendekati Nathaniel yang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Dia langsung menutup laptopnya dan memperhatikan Layla. "Pekerjaanku masih banyak Sayang, perusahaan Kakek juga sedang membutuhkanku di sini. Karena Papa tidak bisa di sini, jadi aku yang mengurus perusahaan Kakekmu di sini," jelas Nathaniel menepuk sofa di sampingnya. Seketika, Layla pun duduk di samping Nathaniel dengan ekspresi kesal. Gadis itu menyandarkan punggungnya menatap langit-langit. "Mama pasti merindukanku," ucap Layla. "Tapi kan kita bisa telepon, Mama dan Papa tidak akan kesepian. Di sana ada Jeremy juga yang menemani Mama, Sayang." "Hem." Layla hanya menjawabnya dengan sebuah gumaman yang Layla berikan. Laki-laki itu tersenyum tipis, ia merangkul pundak Layla dan mengusapnya dengan lembut. "Mau jalan-jalan? Kita bisa beli makanan yang banyak, atau pergi ke tempat yang bagus, mau?" tawar Nathaniel mendekatkan
"Ayo makan yang banyak, pilih saja menu makanan yang mana yang kau suka!" Nathaniel meletakkan buku menu di hadapan Layla. Gadis itu mengerjapkan kedua matanya menatap restoran mewah di hadapannya saat ini. Pasalnya baru kali ini Nathaniel mengajak Layla pergi setelah beberapa hari mengurung diri di rumah saja. "Layla," panggil Nathaniel pelan. Layla sontak menoleh dan tersenyum. Dia menganggukkan kepalanya kembali memilih daftar menu sebelum tiba-tiba saja seseorang mendekati Nathaniel dan menepuk pelan pundaknya. "Tuan Muda! Kenapa jarang ke sini, heh?!" sapa seseorang yang sangat mengejutkan, datang-datang langsung memeluk pundak Nathaniel. "Haahhh... Kau ini! Aku sangat sibuk sekali, Riga," jawab Nathaniel berjabat tangan dengan laki-laki itu dan menarik lengannya untuk diajak duduk. "Kabar dari Kakek, katanya Tuan Muda pergi ke luar negeri untuk urusan bisnis," ujar Riga, dia adalah pimpinan teratas restoran sekaligus hotel milik Arthur, Kakek Nathaniel. "Heem, hanya bebe