Dua minggu kemudian...Berada di Berlin awalnya membuat Layla sangat menyukai tempat itu. Tapi saat ini Layla ingin memperhitungkannya. Musim dingin di akhir tahun membuat Layla ingin pulang saja ke rumahnya. Sejak kecil, Layla tidak pernah tahan dengan udara dingin seperti kebanyakan orang. Hingga kini membuat Layla sakit. Layla duduk berjongkok di depan perapian, ia ditemani dua anak anjing kecil milik Nathaniel."Ya ampun, kalau begini terus aku bisa mati," lirih Layla menundukkan kepalanya yang terasa sangat sakit. "Aku harus apa? Ba-bagaimana ini?" Suara derap langkah membuat Layla menatap negeri ke arah pintu. Pasalnya ini sudah tengah malam dan Layla pergi keluar kamar hanya untuk berdiam di depan perapian. "Layla, sedang apa di sini?" seru Arthur, laki-laki tua itu mendekatinya. "Kakek... Layla tidak kuat udara dingin. Kepala Layla sakit sekali," ujar Layla mendongak menatap Arthur. "Astaga nak, di mana Nathan? Apa dia belum pulang dari kantor? Dia lembur?""Kudanil masi
"Aku mau pulang, katanya kita di sini hanya dua mingguan. Ini kenapa sampai berhari-hari?" Layla mendekati Nathaniel yang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Dia langsung menutup laptopnya dan memperhatikan Layla. "Pekerjaanku masih banyak Sayang, perusahaan Kakek juga sedang membutuhkanku di sini. Karena Papa tidak bisa di sini, jadi aku yang mengurus perusahaan Kakekmu di sini," jelas Nathaniel menepuk sofa di sampingnya. Seketika, Layla pun duduk di samping Nathaniel dengan ekspresi kesal. Gadis itu menyandarkan punggungnya menatap langit-langit. "Mama pasti merindukanku," ucap Layla. "Tapi kan kita bisa telepon, Mama dan Papa tidak akan kesepian. Di sana ada Jeremy juga yang menemani Mama, Sayang." "Hem." Layla hanya menjawabnya dengan sebuah gumaman yang Layla berikan. Laki-laki itu tersenyum tipis, ia merangkul pundak Layla dan mengusapnya dengan lembut. "Mau jalan-jalan? Kita bisa beli makanan yang banyak, atau pergi ke tempat yang bagus, mau?" tawar Nathaniel mendekatkan
"Ayo makan yang banyak, pilih saja menu makanan yang mana yang kau suka!" Nathaniel meletakkan buku menu di hadapan Layla. Gadis itu mengerjapkan kedua matanya menatap restoran mewah di hadapannya saat ini. Pasalnya baru kali ini Nathaniel mengajak Layla pergi setelah beberapa hari mengurung diri di rumah saja. "Layla," panggil Nathaniel pelan. Layla sontak menoleh dan tersenyum. Dia menganggukkan kepalanya kembali memilih daftar menu sebelum tiba-tiba saja seseorang mendekati Nathaniel dan menepuk pelan pundaknya. "Tuan Muda! Kenapa jarang ke sini, heh?!" sapa seseorang yang sangat mengejutkan, datang-datang langsung memeluk pundak Nathaniel. "Haahhh... Kau ini! Aku sangat sibuk sekali, Riga," jawab Nathaniel berjabat tangan dengan laki-laki itu dan menarik lengannya untuk diajak duduk. "Kabar dari Kakek, katanya Tuan Muda pergi ke luar negeri untuk urusan bisnis," ujar Riga, dia adalah pimpinan teratas restoran sekaligus hotel milik Arthur, Kakek Nathaniel. "Heem, hanya bebe
Layla menjadi sangat gugup saat tiba-tiba saja Nathaniel mengajaknya masuk ke dalam sebuah ruangan di mana banyak sekali, hampir semua pimpinan bagian perusahaan besar itu berada di sana. Mereka menyambut Layla dengan sangat luar biasa, semuanya tersenyum manis dan menyegani Layla seperti mereka menyegani Aaron dan Valia, selalu pemilik perusahaan besar tersebut. "Selamat datang Tuan Nathaniel dan Nona Muda Jazvier," sapa seorang laki-laki setengah baya berambut putih yang mengulurkan tangannya pada Layla. Layla menjabat tangan laki-laki itu dan menoleh ke belakang pada Nathaniel dengan tatapan bertanya-tanya. Layla sangat bingung sekali saat ini. "Mari," ajak laki-laki itu. Nathaniel merangkul pundak Layla. "Ayo Sayang...." Mereka masuk ke dalam sana dan Layla masih setia berdiri di samping Nathaniel. Nathaniel tiba-tiba saja berjalan ke depan dan ia mengambil sebuah berkas bersampul hitam yang berada di atas meja dan memberikannya pada Layla. Ia menatap para bagian pimpinan
Aaron dan Valia benar-benar menepati apa yang Sarah minta pada mereka untuk datang ke Berlin. Sejujurnya baik Aaron atau Valia juga merindukan putri mereka. Sementara Layla besama dengan Nathaniel mereka berdua berada di bandara menunggu-nunggu sejak beberapa jam yang lalu. "Huhh... Mama sama Papa kenapa lama?" cicit Layla menyangga dagunya pelan. "Sabar Sayang, sebentar lagi pasti bertemu dengan mereka," ujar Nathaniel mengusap pucuk kepala Layla. Gadis itu cemberut dan menganggukkan kepalanya saja. Hingga tak berselang lama, Layla pun berdiri saat ia melihat seorang anak kecil laki-laki berlari menoleh ke kanan dan ke kiri. "Tante, Kakak di mana?" Anak itu menoleh ke belakang. Layla menutup mulutnya begitu tahu kalau anak itu adalah anak yang sangat ia kenali. "Jeremy!" teriak Layla melambaikan tangannya pada Jeremy. Mendengar namanya dipanggil, Jeremy menoleh cepat dan senyumannya mengembang lebar. "Kak Layla!" teriak Jeremy berlari ke arah Layla. Di sana Layla langsung m
"Akhirnya kau datang juga ke Berlin, Aaron! Ohhh... Kau ini, selalu menjadi andalanku!" Arthur merangkul Aaron dan keluarganya menyambut kedatangan Aaron bersama Valia dengan sangat heboh. Sudah beberapa tahun Aaron tidak pernah berkunjung ke Berlin setelah perusahaannya di sana diurus penuh oleh Riftan, dan perusahaannya di Italia dipegang oleh orang kepercayaannya yang lain. "Mungkin hampir tiga tahunan, ya kan Kek?" tanya Aaron menatap Arthur. "Tiga tahun apa?! Lama sekali! Kau ini memang lupa denganku, iya?!" pekik Arthur seraya merangkul Aaron dan mereka tertawa bersama. Sementara Valia bersama dengan Sarah, mereka sibuk membuka beberapa tas berisi oleh-oleh yang Valia bawakan untuk mereka. "Loh, Layla di mana?" tanya Sarah menoleh ke kanan dan ke kiri mencari Layla. "Ada kok Nek, Layla... Itu sama Nathan dan Jeremy." Valia menunjuk ke arah luar di mana Layla dan Nathaniel bersama Jeremy yang tengah berada di luar melihat akuarium besar yang berada di depan rumah Nathaniel
Beberapa hari kemudian...Semua orang sibuk dengan persiapan pernikahan Layla dan Nathaniel. Namun Layla beberapa hari ini menghabiskan waktunya bersama dengan Jeremy di rumahnya. Semenjak Mama dan Papanya datang ke Berlin, hari demi hari banyak barang-barang mereka yang dikirim dari rumah lama ke rumah baru. "Layla," panggil Valia pada sang putri yang tengah duduk di teras sendirian memperhatikan Jeremy yang tengah bermain di taman. "Mama, ada apa Ma?" tanya Layla. "Eum, kapan hari kan Nenek pernah bilang sama Mama kalau Layla tidak mau dibelikan gaun pengantin sama Nenek, kenapa?" tanya Valia merangkul Layla dari samping. Gadis itu mengerjapkan kedua matanya, namun akhirnya senyuman manis Layla mengembang. Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan."Layla pernah nyoba gaun pengantin punya Mama. Kata Mama, Layla cantik kan waktu itu, jadi Layla mau pakai gaunnya Mama saja," jawab gadis itu tersenyum. Valia mengembuskan napas pelan. "Sayang, bukannya tidak boleh. Tapi itu kan beka
Hari yang dinanti-nanti oleh Layla dan Nathaniel esok pagi akan terlaksana. Mereka semua keluarga kini berada di sebuah hotel milik keluarga Ferdherat. Hotel bintang lima yang berada di tengah-tengah kota Berlin. Laila Tengah berada di dalam kamarnya bersama Sarah, Caroline, Rosalia dan juga Valia. Keluarga Jazvier yang datang jauh-jauh hanya ingin melihat Layla menikah dengan Nathaniel. "Tidak terasa kita sudah tua ya Sarah, Cucu kita besok sudah mau menikah," ujar Caroline pada Sarah. "Iya, aku merasa seperti kemarin kita mengasuh anak-anak, tapi sekarang mereka sudah menikah saja. Ini waktu yang terlalu cepat atau apanya yang salah?" gumam Sarah seraya duduk bersandar. Valia bersama Rosalia duduk di atas ranjang bersama Layla yang berbaring bersama Jeremy. "Sepertinya tidak ada yang salah, Nenek saja yang menolak tua," sahut Jeremy tiba-tiba, anak itu sangat cerdas. Mendengar apa yang dikatakan bocah itu sontak membuat semua orang di dalam ruangan tersebut langsung tertawa.