"Ayo makan yang banyak, pilih saja menu makanan yang mana yang kau suka!" Nathaniel meletakkan buku menu di hadapan Layla. Gadis itu mengerjapkan kedua matanya menatap restoran mewah di hadapannya saat ini. Pasalnya baru kali ini Nathaniel mengajak Layla pergi setelah beberapa hari mengurung diri di rumah saja. "Layla," panggil Nathaniel pelan. Layla sontak menoleh dan tersenyum. Dia menganggukkan kepalanya kembali memilih daftar menu sebelum tiba-tiba saja seseorang mendekati Nathaniel dan menepuk pelan pundaknya. "Tuan Muda! Kenapa jarang ke sini, heh?!" sapa seseorang yang sangat mengejutkan, datang-datang langsung memeluk pundak Nathaniel. "Haahhh... Kau ini! Aku sangat sibuk sekali, Riga," jawab Nathaniel berjabat tangan dengan laki-laki itu dan menarik lengannya untuk diajak duduk. "Kabar dari Kakek, katanya Tuan Muda pergi ke luar negeri untuk urusan bisnis," ujar Riga, dia adalah pimpinan teratas restoran sekaligus hotel milik Arthur, Kakek Nathaniel. "Heem, hanya bebe
Layla menjadi sangat gugup saat tiba-tiba saja Nathaniel mengajaknya masuk ke dalam sebuah ruangan di mana banyak sekali, hampir semua pimpinan bagian perusahaan besar itu berada di sana. Mereka menyambut Layla dengan sangat luar biasa, semuanya tersenyum manis dan menyegani Layla seperti mereka menyegani Aaron dan Valia, selalu pemilik perusahaan besar tersebut. "Selamat datang Tuan Nathaniel dan Nona Muda Jazvier," sapa seorang laki-laki setengah baya berambut putih yang mengulurkan tangannya pada Layla. Layla menjabat tangan laki-laki itu dan menoleh ke belakang pada Nathaniel dengan tatapan bertanya-tanya. Layla sangat bingung sekali saat ini. "Mari," ajak laki-laki itu. Nathaniel merangkul pundak Layla. "Ayo Sayang...." Mereka masuk ke dalam sana dan Layla masih setia berdiri di samping Nathaniel. Nathaniel tiba-tiba saja berjalan ke depan dan ia mengambil sebuah berkas bersampul hitam yang berada di atas meja dan memberikannya pada Layla. Ia menatap para bagian pimpinan
Aaron dan Valia benar-benar menepati apa yang Sarah minta pada mereka untuk datang ke Berlin. Sejujurnya baik Aaron atau Valia juga merindukan putri mereka. Sementara Layla besama dengan Nathaniel mereka berdua berada di bandara menunggu-nunggu sejak beberapa jam yang lalu. "Huhh... Mama sama Papa kenapa lama?" cicit Layla menyangga dagunya pelan. "Sabar Sayang, sebentar lagi pasti bertemu dengan mereka," ujar Nathaniel mengusap pucuk kepala Layla. Gadis itu cemberut dan menganggukkan kepalanya saja. Hingga tak berselang lama, Layla pun berdiri saat ia melihat seorang anak kecil laki-laki berlari menoleh ke kanan dan ke kiri. "Tante, Kakak di mana?" Anak itu menoleh ke belakang. Layla menutup mulutnya begitu tahu kalau anak itu adalah anak yang sangat ia kenali. "Jeremy!" teriak Layla melambaikan tangannya pada Jeremy. Mendengar namanya dipanggil, Jeremy menoleh cepat dan senyumannya mengembang lebar. "Kak Layla!" teriak Jeremy berlari ke arah Layla. Di sana Layla langsung m
"Akhirnya kau datang juga ke Berlin, Aaron! Ohhh... Kau ini, selalu menjadi andalanku!" Arthur merangkul Aaron dan keluarganya menyambut kedatangan Aaron bersama Valia dengan sangat heboh. Sudah beberapa tahun Aaron tidak pernah berkunjung ke Berlin setelah perusahaannya di sana diurus penuh oleh Riftan, dan perusahaannya di Italia dipegang oleh orang kepercayaannya yang lain. "Mungkin hampir tiga tahunan, ya kan Kek?" tanya Aaron menatap Arthur. "Tiga tahun apa?! Lama sekali! Kau ini memang lupa denganku, iya?!" pekik Arthur seraya merangkul Aaron dan mereka tertawa bersama. Sementara Valia bersama dengan Sarah, mereka sibuk membuka beberapa tas berisi oleh-oleh yang Valia bawakan untuk mereka. "Loh, Layla di mana?" tanya Sarah menoleh ke kanan dan ke kiri mencari Layla. "Ada kok Nek, Layla... Itu sama Nathan dan Jeremy." Valia menunjuk ke arah luar di mana Layla dan Nathaniel bersama Jeremy yang tengah berada di luar melihat akuarium besar yang berada di depan rumah Nathaniel
Beberapa hari kemudian...Semua orang sibuk dengan persiapan pernikahan Layla dan Nathaniel. Namun Layla beberapa hari ini menghabiskan waktunya bersama dengan Jeremy di rumahnya. Semenjak Mama dan Papanya datang ke Berlin, hari demi hari banyak barang-barang mereka yang dikirim dari rumah lama ke rumah baru. "Layla," panggil Valia pada sang putri yang tengah duduk di teras sendirian memperhatikan Jeremy yang tengah bermain di taman. "Mama, ada apa Ma?" tanya Layla. "Eum, kapan hari kan Nenek pernah bilang sama Mama kalau Layla tidak mau dibelikan gaun pengantin sama Nenek, kenapa?" tanya Valia merangkul Layla dari samping. Gadis itu mengerjapkan kedua matanya, namun akhirnya senyuman manis Layla mengembang. Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan."Layla pernah nyoba gaun pengantin punya Mama. Kata Mama, Layla cantik kan waktu itu, jadi Layla mau pakai gaunnya Mama saja," jawab gadis itu tersenyum. Valia mengembuskan napas pelan. "Sayang, bukannya tidak boleh. Tapi itu kan beka
Hari yang dinanti-nanti oleh Layla dan Nathaniel esok pagi akan terlaksana. Mereka semua keluarga kini berada di sebuah hotel milik keluarga Ferdherat. Hotel bintang lima yang berada di tengah-tengah kota Berlin. Laila Tengah berada di dalam kamarnya bersama Sarah, Caroline, Rosalia dan juga Valia. Keluarga Jazvier yang datang jauh-jauh hanya ingin melihat Layla menikah dengan Nathaniel. "Tidak terasa kita sudah tua ya Sarah, Cucu kita besok sudah mau menikah," ujar Caroline pada Sarah. "Iya, aku merasa seperti kemarin kita mengasuh anak-anak, tapi sekarang mereka sudah menikah saja. Ini waktu yang terlalu cepat atau apanya yang salah?" gumam Sarah seraya duduk bersandar. Valia bersama Rosalia duduk di atas ranjang bersama Layla yang berbaring bersama Jeremy. "Sepertinya tidak ada yang salah, Nenek saja yang menolak tua," sahut Jeremy tiba-tiba, anak itu sangat cerdas. Mendengar apa yang dikatakan bocah itu sontak membuat semua orang di dalam ruangan tersebut langsung tertawa.
Pernikahan yang dimimpikan selama ini oleh Layla benar-benar terlaksana. Dalam hitungan detik demi detik pernikahan mereka sudah resmi.Dan begitu pula yang dirasakan oleh Nathaniel. Memiliki Layla seutuhnya dan ke mana-mana bisa ia jaga dan ia bawa, adalah cita-cita Nathan sejak dia masih kecil. Layla dan Nathaniel kini tengah sibuk dengan para tamu, tak lain adalah para teman-teman Nathaniel, karena Layla sendiri tidak memiliki teman. "Selamat ya kalian berdua, wahhh... Kapan ya aku nyusul?" seru Vargo menepuk pundak Nathaniel. "Mulutnya!" sinis Caley merangkul dan memukul punggung Vargo hingga laki-laki dengan tuxedo abu-abu itu tertawa. "Ya... Siapa tahu saja yang kedua kalinya." Vargo menjawab dengan sangat santai. Seketika Nathaniel terkekeh, ia menggenggam tangan Layla dan mengecupnya dengan lembut. "Jangan mendengarkan Sayang, mereka ini laki-laki gila!" sinis Nathaniel seraya menatap aneh pada semua temannya. "Iya, mereka lucu," ujar Layla. Layla merasakan ia seperti
Setelah acara pernikahan, Layla dan Nathaniel pulang ke rumah mereka sendiri. Nathaniel adalah laki-laki mapan yang sudah mempersiapkan segalanya sebelum menikah. Ada dua pembantu di rumahnya yang akan mengerjakan pekerjaaan rumah dan membantu Layla. Dan Nathaniel memberikan rumah itu pada Layla untuk hadiah pernikahan mereka. "Rumahnya bagus sekali," cicit Layla seraya menoleh dan menatap wajah tampan Nathaniel. "Kau suka?" Nathaniel mengusap pucuk kepala Layla. Layla pun mengangguk dengan mantap. "Sangat! Ini rumah paling bagus yang pernah Layla lihat. Seperti istana kalau dilihat dari luar, ada kerucutnya di atas sana!" seru Layla tersenyum. "Ya, memang desain awalnya aku buat seprti itu, agar tidak ada yang menyamainya." Layla hanya mengangguk saja, dan ia berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tangga melengkung dan lebar, lantai mengkilat dari marmer berwarna cream, dan beberapa pilar besar di dalam ruangan, serta lampu kristal besar yang menggantung di langit-lan