Hari sudah sore, Layla diam di depan rumah. Ia berdiri menatap akuarium kaca besar dan memandangi ikan-ikan cantik di dalamnya. Gadis itu memberinya makan, dan bahkan Layla betah hingga berjam-jam berada di sana. "Loh, Layla... Sedang apa di sini?" tanya seorang laki-laki, dia adalah sahabat sekaligus kerabat Nathaniel, Vargo. Layla tersenyum tipis. "I-ni, lihat ini..." Gugup Layla menjawabnya. "Kasih makan ikan," jawab Layla. Laki-laki itu tersenyum kecil, dia berdiri di samping Layla memperhatikan gadis itu. Gadis dengan wajah cantik menggemaskan, dan wajah yang membuat Nathaniel menjadi bucin sejak kecil. "Layla, usiamu berapa?" tanya Vargo tiba-tiba. "Hem?" Layla menoleh. "Lima bulan lagi sudah dua puluh dua, aku dan Kudanil hanya beda tiga tahun saja." Laki-laki itu pun mengangguk. "Kau ini jauh dari perkiraanku, kau tahu! Aku pikir yang namanya Layla adalah gadis dewasa yang mampu menggoda Nathaniel, karena si Kudanil-mu itu sangat tergila-gila padamu sejak dia masih keci
Liburan di Berlin, Layla cukup menyukai tinggal di sana. Bahkan ia selalu diajak jalan-jalan setiap sore oleh Nathaniel. Tapi sore ini Layla tidak boleh pergi ke mana-mana oleh Sarah, karena semua teman arisan sosialita wanita itu akan datang ke rumah. Dia berjanji pada semua temannya akan memamerkan Cucu perempuannya. "Jangan mengajak Layla pergi dulu sore ini Niel," ujar Sarah, wanita itu tengah duduk mengecek beberapa menu makanan di meja makan. "Iya Nek," jawab Nathaniel pelan. Layla sendiri berdiri di belakang Sarah dan gadis itu juga bingung menatap banyak sekali makanan yang tersaji. "Emm Nenek, ini banyak sekali makanan. Ada acara ya?" tanya Layla. "Iya Sayang, teman-teman arisan Nenek mau ke sini. Mau kenalan mereka semua sama Layla," jawab Sarah. Layla mengerjapkan kedua matanya dan menunjuk dirinya sendiri. "Heum, kenalan sama Layla? Tapi kan Nek-" "Sudah... Ikut saja apa kata Nenek, Sayang. Sekarang Layla ayo ikut Nenek ke depan, kita tunggu teman-teman Nenek, yuk
Dua minggu kemudian...Berada di Berlin awalnya membuat Layla sangat menyukai tempat itu. Tapi saat ini Layla ingin memperhitungkannya. Musim dingin di akhir tahun membuat Layla ingin pulang saja ke rumahnya. Sejak kecil, Layla tidak pernah tahan dengan udara dingin seperti kebanyakan orang. Hingga kini membuat Layla sakit. Layla duduk berjongkok di depan perapian, ia ditemani dua anak anjing kecil milik Nathaniel."Ya ampun, kalau begini terus aku bisa mati," lirih Layla menundukkan kepalanya yang terasa sangat sakit. "Aku harus apa? Ba-bagaimana ini?" Suara derap langkah membuat Layla menatap negeri ke arah pintu. Pasalnya ini sudah tengah malam dan Layla pergi keluar kamar hanya untuk berdiam di depan perapian. "Layla, sedang apa di sini?" seru Arthur, laki-laki tua itu mendekatinya. "Kakek... Layla tidak kuat udara dingin. Kepala Layla sakit sekali," ujar Layla mendongak menatap Arthur. "Astaga nak, di mana Nathan? Apa dia belum pulang dari kantor? Dia lembur?""Kudanil masi
"Aku mau pulang, katanya kita di sini hanya dua mingguan. Ini kenapa sampai berhari-hari?" Layla mendekati Nathaniel yang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Dia langsung menutup laptopnya dan memperhatikan Layla. "Pekerjaanku masih banyak Sayang, perusahaan Kakek juga sedang membutuhkanku di sini. Karena Papa tidak bisa di sini, jadi aku yang mengurus perusahaan Kakekmu di sini," jelas Nathaniel menepuk sofa di sampingnya. Seketika, Layla pun duduk di samping Nathaniel dengan ekspresi kesal. Gadis itu menyandarkan punggungnya menatap langit-langit. "Mama pasti merindukanku," ucap Layla. "Tapi kan kita bisa telepon, Mama dan Papa tidak akan kesepian. Di sana ada Jeremy juga yang menemani Mama, Sayang." "Hem." Layla hanya menjawabnya dengan sebuah gumaman yang Layla berikan. Laki-laki itu tersenyum tipis, ia merangkul pundak Layla dan mengusapnya dengan lembut. "Mau jalan-jalan? Kita bisa beli makanan yang banyak, atau pergi ke tempat yang bagus, mau?" tawar Nathaniel mendekatkan
"Ayo makan yang banyak, pilih saja menu makanan yang mana yang kau suka!" Nathaniel meletakkan buku menu di hadapan Layla. Gadis itu mengerjapkan kedua matanya menatap restoran mewah di hadapannya saat ini. Pasalnya baru kali ini Nathaniel mengajak Layla pergi setelah beberapa hari mengurung diri di rumah saja. "Layla," panggil Nathaniel pelan. Layla sontak menoleh dan tersenyum. Dia menganggukkan kepalanya kembali memilih daftar menu sebelum tiba-tiba saja seseorang mendekati Nathaniel dan menepuk pelan pundaknya. "Tuan Muda! Kenapa jarang ke sini, heh?!" sapa seseorang yang sangat mengejutkan, datang-datang langsung memeluk pundak Nathaniel. "Haahhh... Kau ini! Aku sangat sibuk sekali, Riga," jawab Nathaniel berjabat tangan dengan laki-laki itu dan menarik lengannya untuk diajak duduk. "Kabar dari Kakek, katanya Tuan Muda pergi ke luar negeri untuk urusan bisnis," ujar Riga, dia adalah pimpinan teratas restoran sekaligus hotel milik Arthur, Kakek Nathaniel. "Heem, hanya bebe
Layla menjadi sangat gugup saat tiba-tiba saja Nathaniel mengajaknya masuk ke dalam sebuah ruangan di mana banyak sekali, hampir semua pimpinan bagian perusahaan besar itu berada di sana. Mereka menyambut Layla dengan sangat luar biasa, semuanya tersenyum manis dan menyegani Layla seperti mereka menyegani Aaron dan Valia, selalu pemilik perusahaan besar tersebut. "Selamat datang Tuan Nathaniel dan Nona Muda Jazvier," sapa seorang laki-laki setengah baya berambut putih yang mengulurkan tangannya pada Layla. Layla menjabat tangan laki-laki itu dan menoleh ke belakang pada Nathaniel dengan tatapan bertanya-tanya. Layla sangat bingung sekali saat ini. "Mari," ajak laki-laki itu. Nathaniel merangkul pundak Layla. "Ayo Sayang...." Mereka masuk ke dalam sana dan Layla masih setia berdiri di samping Nathaniel. Nathaniel tiba-tiba saja berjalan ke depan dan ia mengambil sebuah berkas bersampul hitam yang berada di atas meja dan memberikannya pada Layla. Ia menatap para bagian pimpinan
Aaron dan Valia benar-benar menepati apa yang Sarah minta pada mereka untuk datang ke Berlin. Sejujurnya baik Aaron atau Valia juga merindukan putri mereka. Sementara Layla besama dengan Nathaniel mereka berdua berada di bandara menunggu-nunggu sejak beberapa jam yang lalu. "Huhh... Mama sama Papa kenapa lama?" cicit Layla menyangga dagunya pelan. "Sabar Sayang, sebentar lagi pasti bertemu dengan mereka," ujar Nathaniel mengusap pucuk kepala Layla. Gadis itu cemberut dan menganggukkan kepalanya saja. Hingga tak berselang lama, Layla pun berdiri saat ia melihat seorang anak kecil laki-laki berlari menoleh ke kanan dan ke kiri. "Tante, Kakak di mana?" Anak itu menoleh ke belakang. Layla menutup mulutnya begitu tahu kalau anak itu adalah anak yang sangat ia kenali. "Jeremy!" teriak Layla melambaikan tangannya pada Jeremy. Mendengar namanya dipanggil, Jeremy menoleh cepat dan senyumannya mengembang lebar. "Kak Layla!" teriak Jeremy berlari ke arah Layla. Di sana Layla langsung m
"Akhirnya kau datang juga ke Berlin, Aaron! Ohhh... Kau ini, selalu menjadi andalanku!" Arthur merangkul Aaron dan keluarganya menyambut kedatangan Aaron bersama Valia dengan sangat heboh. Sudah beberapa tahun Aaron tidak pernah berkunjung ke Berlin setelah perusahaannya di sana diurus penuh oleh Riftan, dan perusahaannya di Italia dipegang oleh orang kepercayaannya yang lain. "Mungkin hampir tiga tahunan, ya kan Kek?" tanya Aaron menatap Arthur. "Tiga tahun apa?! Lama sekali! Kau ini memang lupa denganku, iya?!" pekik Arthur seraya merangkul Aaron dan mereka tertawa bersama. Sementara Valia bersama dengan Sarah, mereka sibuk membuka beberapa tas berisi oleh-oleh yang Valia bawakan untuk mereka. "Loh, Layla di mana?" tanya Sarah menoleh ke kanan dan ke kiri mencari Layla. "Ada kok Nek, Layla... Itu sama Nathan dan Jeremy." Valia menunjuk ke arah luar di mana Layla dan Nathaniel bersama Jeremy yang tengah berada di luar melihat akuarium besar yang berada di depan rumah Nathaniel
Pemandangan yang indah saat Valia menatap anak dan menantunya tengah menikmati hari yang indah di taman mansion pagi ini. Waktu berjalan dengan cepat, Valia percaya dengan adanya cinta sejati dan ia tidak salah menempatkan hatinya sejak awal pada orang yang mau menjadi sandarannya hingga kini. "Sedang apa, Sayang?" sapa Aaron mendekati Valia. "Hem, tidak ada. Senang sekali melihat mereka, dan tempat ini...." Valia mendongak menatap seisi mansion yang tidak berubah sama sekali. Tempat itu sangat terawat dan juga bersih bahkan beberapa barang-barang yang dulu Valia tinggalkan masih di tempat. Betapa membekas kuat semua kepingan-kepingan ingatannya dari kisah cinta hingga kebenciannya kepada Aaron yang kini sudah tertutup rapat. "Tempat ini masih khas dengan segala hal yang menyangkut kita," ujar Aaron menatap Valia dan memeluknya. "Dan aku merasa bahagia bisa menua bersamamu." Valia tidak yakin mendengar apa yang suaminya katakan barusan, tapi ia merasa tersentuh begitu Aaron men
Trieste, Italia. Seperti masa kecil Mamanya, shopie terlihat sangat heboh saat dia telah sampai di Trieste. Tepatnya di mansion milik sang Opa. Bangunan super megah yang dikelilingi pemandangan laut yang indah. Tidak ada yang berubah di sana, Layla dan Nathaniel juga sangat menikmati keindahan tempat itu. "Wahh... Bagus sekali, kenapa aku dulu tidak betah tinggal di sini Ma? Padahal bagus sekali!" Layla memeluk lengan Valia dan mereka berjalan di teras samping samping mansion."Entah karena apa dulu, mungkin karena kita kasihan pada Kakek," jawab Valia. Ia tidak mau mengingatkan masa lalu yang cukup buruk pada Layla. Nathaniel bersama Aaron di depan sana, laki-laki itu menggendong Shopie yang sudah bingung ingin pergi mengelilingi mansion. Sementara Valia masih bersama dengan Layla. Valia merasa ada sesuatu yang menyentuh hati terdalamnya, tempat ini mempunyai ribuan kisah Valia dan Aaron, dari benci, marah, ambisi, obsesi, hingga cinta yang sangat tulus. Sosok Aaron yang sama
Lima Tahun Kemudian..."Shopie! Jangan lari-lari nanti jatuh..." Suara teriakan keras itu berasal dari bibir Layla yang berdiri di dalam rumah memperhatikan putri kecilnya yang terlihat begitu kesenangan. Shopie Tan Ferdherat, gadis cantik yang memiliki wajah sangat mirip dengan Mamanya. Dia juga sangat keras kepala seperti Papanya, dan Sopie anak yang manja, seperti Mamanya. "Mi, katanya nanti malam mau pergi sama Opa dan Oma, ayo... Sopie bantu-bantu Mami!" seru anak itu lompat-lompat kesenangan. "Iya, tapi nanti dulu, Sayang... Sekarang Shopie naik ke atas yuk, jangan lari-larian di bawah. Mami mau ke atas." Layla mengulurkan tangannya pada Shopie. Anak itu pun seketika mengangguk antusias, mereka berdua langsung berjalan ke lantai atas dan Sophie berjinjit membuka pintu kamarnya. Di dalam sana, anak itu menatap Papanya yang masih tertidur dengan santai dan nyenyak. Shopie tersenyum tipis, ia berjalan perlahan-lahan naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Papanya. "Papi... Ay
"Mama dan Papa akan sering-sering ke sini untuk memantau Layla, karena Papa perhatikan akhir-akhir ini kau sangat sibuk sampai sering meninggalkan istrimu sendiri yang di rumah." Aaron mengatakan hal itu kepada menantunya, dan tentu saja nontonnya langsung mengangguk setuju disadarinya ia memang tidak pernah ada waktu untuk Layla. Bukan berarti Nathaniel merasa leluasa, ia juga berusaha mencari celah di mana ia bisa meliburkan diri dan menjaga Layla seperti suami-suami di luar rencana pada umumnya. "Iya Pa, aku juga mencari waktu yang tepat untuk libur. Aku terus kepikiran dan tidak bisa fokus saat bekerja," ujar Nathaniel. "Harusnya di saat usia kandungan istrimu sudah tua seperti ini kau libur rumah karena bayi lahir itu tidak tahu kapan dan juga sulit untuk diprediksi," jelas Aaron pada Nathaniel. Nathaniel diam dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh Papa mertuanya, ia sadar kalau dirinya memang keliru. Aaron juga orang yang sangat gila kerja, sama seperti dirinya tapi beda
"Kalian ini... Apa tidak bisa ditunda sampai besok pagi, hah?!" Nathaniel marah saat masuk ke dalam ruangannya, di dalam sana semua rekannya sudah menunggu. Laki-laki itu meletakkan dengan kasar kunci mobilnya di atas meja, karena ia sudah menduga kalau di rumah Layla pasti marah padanya. "Ya bagaimana lagi?!" sahut Regar frustrasi. "Huhh... Sialan kalian, jadi jadwal kemarin itu salah?!" Nathaniel menatap mereka semua. "Salah!" jawab keempat orang itu kompak. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Nathaniel. Saat itu juga ia langsung duduk di kursinya dan mulai membuka laptopnya dan segera menyelesaikan pekerjaannya. Namun tetap saja Nathaniel tidak bisa tenang memikirkan Layla yang ia tinggalkan di rumah sendirian. Laki-laki itu pun mengambil ponselnya dan ia menghubungi Papa mertuanya karena hanya Aaron yang bisa membantunya saat ini. "Halo Pa, Pa aku boleh minta tolong, tidak?" pinta Nathaniel. "Hem, ada apa jam segini kok menelepon Papa? Apa terjadi sesuatu pada Layl
Beberapa Bulan Kemudian...Kandungan Layla sudah memasuki tujuh bulan. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat dan Layla menjalani hari-harinya dengan sangat bahagia besama suaminya. Nathaniel, menjadi suami super posesif dan selalu memantau Layla dari segala kondisi, bahkan mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. "Layla ke mana, Bi?"Suara Nathaniel di ruang tamu sore ini membuat Layla langsung menoleh, gadis itu tengah beduaan dengan Jeremy di dalam ruangan keluarga. Seketika Layla meminta Jeremy menutup pintu ruangan itu. Sehari saja, Layla ingin suaminya itu tidak terlalu posesif, Layla pusing dengan sifat Nathaniel yang sangat menyebalkan. "Sudah Kak," ujar Jeremy seraya terkikik geli anak itu berjalan mendekati Layla seraya membawa roti sus miliknya. "Sini-sini, duduk di samping Kakak. Biar saja Kak Nathan teriak-teriak di luar, Kakak pusing sekali dengannya," keluh Layla mendongakkan kepalanya. "Tapi kata Mami Valia, kalau dicereweti Papi Aaron, tandanya Papi Aaron i
Setelah acara pernikahan, Layla dan Nathaniel pulang ke rumah mereka sendiri. Nathaniel adalah laki-laki mapan yang sudah mempersiapkan segalanya sebelum menikah. Ada dua pembantu di rumahnya yang akan mengerjakan pekerjaaan rumah dan membantu Layla. Dan Nathaniel memberikan rumah itu pada Layla untuk hadiah pernikahan mereka. "Rumahnya bagus sekali," cicit Layla seraya menoleh dan menatap wajah tampan Nathaniel. "Kau suka?" Nathaniel mengusap pucuk kepala Layla. Layla pun mengangguk dengan mantap. "Sangat! Ini rumah paling bagus yang pernah Layla lihat. Seperti istana kalau dilihat dari luar, ada kerucutnya di atas sana!" seru Layla tersenyum. "Ya, memang desain awalnya aku buat seprti itu, agar tidak ada yang menyamainya." Layla hanya mengangguk saja, dan ia berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tangga melengkung dan lebar, lantai mengkilat dari marmer berwarna cream, dan beberapa pilar besar di dalam ruangan, serta lampu kristal besar yang menggantung di langit-lan
Pernikahan yang dimimpikan selama ini oleh Layla benar-benar terlaksana. Dalam hitungan detik demi detik pernikahan mereka sudah resmi.Dan begitu pula yang dirasakan oleh Nathaniel. Memiliki Layla seutuhnya dan ke mana-mana bisa ia jaga dan ia bawa, adalah cita-cita Nathan sejak dia masih kecil. Layla dan Nathaniel kini tengah sibuk dengan para tamu, tak lain adalah para teman-teman Nathaniel, karena Layla sendiri tidak memiliki teman. "Selamat ya kalian berdua, wahhh... Kapan ya aku nyusul?" seru Vargo menepuk pundak Nathaniel. "Mulutnya!" sinis Caley merangkul dan memukul punggung Vargo hingga laki-laki dengan tuxedo abu-abu itu tertawa. "Ya... Siapa tahu saja yang kedua kalinya." Vargo menjawab dengan sangat santai. Seketika Nathaniel terkekeh, ia menggenggam tangan Layla dan mengecupnya dengan lembut. "Jangan mendengarkan Sayang, mereka ini laki-laki gila!" sinis Nathaniel seraya menatap aneh pada semua temannya. "Iya, mereka lucu," ujar Layla. Layla merasakan ia seperti
Hari yang dinanti-nanti oleh Layla dan Nathaniel esok pagi akan terlaksana. Mereka semua keluarga kini berada di sebuah hotel milik keluarga Ferdherat. Hotel bintang lima yang berada di tengah-tengah kota Berlin. Laila Tengah berada di dalam kamarnya bersama Sarah, Caroline, Rosalia dan juga Valia. Keluarga Jazvier yang datang jauh-jauh hanya ingin melihat Layla menikah dengan Nathaniel. "Tidak terasa kita sudah tua ya Sarah, Cucu kita besok sudah mau menikah," ujar Caroline pada Sarah. "Iya, aku merasa seperti kemarin kita mengasuh anak-anak, tapi sekarang mereka sudah menikah saja. Ini waktu yang terlalu cepat atau apanya yang salah?" gumam Sarah seraya duduk bersandar. Valia bersama Rosalia duduk di atas ranjang bersama Layla yang berbaring bersama Jeremy. "Sepertinya tidak ada yang salah, Nenek saja yang menolak tua," sahut Jeremy tiba-tiba, anak itu sangat cerdas. Mendengar apa yang dikatakan bocah itu sontak membuat semua orang di dalam ruangan tersebut langsung tertawa.