Saat hari sudah gelap, Layla pulang ke rumahnya diantar oleh Nathaniel. Mereka berjalan melewati rumah kaca, di dalam sana nampak sangat terang dan sejuk. "Mau pulang atau masih ingin ke sana?" tanya Nathaniel menatap Layla. "Ke sana sebentar," jawab Layla. "Heem, ayo." Laki-laki itu merangkul pundak Layla, Nathaniel memakaikan tuxedo hitamnya menutupi punggung Layla dan mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah kaca. Di sana banyak sekali tanaman hingga udara sejuk membuat tempat itu sangat nyaman. Layla berdiri di hadapan Nathaniel dan menatap tanaman yang digantung di atasnya. Sedangkan Nathaniel duduk di hadapan Layla seraya menggenggam satu tangannya. Tatapan mata Layla kembali tertuju pada Nathaniel. "Kenapa kau menatapku begitu?" tanya Layla dengan nada pelan. "Kau sangat cantik," jawabnya singkat. Kedua pipi Layla bersemu. Gadis itu mengembuskan napasnya pelan dan menoleh saat pintu rumah kaca terbuka. Sosok Rodrick berdiri di sana menatap mereka berdua, bahkan Ke
Sudah tiga hari berlalu setelah kejadian kemarin. Layla menuruti apa yang Papanya inginkan, tidak keluar dari dalam rumah, bahkan saat kini diadakan pesta pertunangan Nathaniel dan Laudia. Layla sibuk dengan menggambar, dan menghibur dirinya. Ditemani Jeremy yang kini berada di kamar Layla. "Nona Layla kenapa tidak ke mansion, di sana lamai cekali, Nona Laudia katanya tunangan sama Tuan," ujar Jeremy seraya tengkurap di atas ranjang kamar Layla. Layla menoleh, dia tersenyum dan menggeleng. "Tidak Jeremy, kalau Jeremy mau ke sana, Nona tidak papa sendirian kok," ujar Layla pada anak itu. Jeremy menggeleng pelan. "Nanti kalau Nona sendirian bagaimana?" Jeremy bangun dan berjalan mendekati Layla. Di sana, Layla menekuk lututnya di hadapan Jeremy. Dia tersenyum manis mengusap pipi gembil bocah itu. "Jeremy... Nona boleh minta tolong sama Jeremy," pinta Layla pada anak itu. "Huum, boleh." Layla beranjak, dia mengambil sebuah kotak besar dan memberikan pada Jeremy. "Berikan ini pad
"Aku akan berangkat lagi ke luar negeri nanti malam, tolong jaga dirimu baik-baik dan... Aku punya sesuatu untukmu, Layla." Leo duduk di tepi ranjang kamar Layla, dia sengaja menemui Layla dan berpamitan sebelum pergi bertugas. Tiba-tiba Leo merogoh saku mentel yang dipakainya dan mengambil sebuah kotak cincin berwarna merah beludru."Leo," cicit Layla sedikit ragu dan bimbang. "Ke-kenapa memberikan ini padaku?" Leo tersenyum kecil. "Agar pergiku bertujuan. Aku ingin pergi untuk pulang, dan pulangku hanya padamu," ujar Leo pelan. Perlahan dia meraih tangan Layla dan memasangkan cincin berlian di jari manis tangan kiri Layla. Sangat pas, cantik, dan begitu cocok di jari manis Layla. Leo juga mengecup punggung tangan Layla dengan sangat tulus. "Satu bulan lagi aku akan pulang, Layla. Aku akan mengajakmu jalan-jalan ke London, okay?!" Leo mengusap pucuk kepala Layla. Anggukan Layla berikan, gadis itu diam saja begitu Leo memeluknya dengan erat. Menepuk punggungnya dan memberikan s
Satu Bulan Kemudian..."Huuhhh... Kenapa kepalaku tiba-tiba pusing? Musim panas begini aku malah kedinginan." Layla masuk ke dalam kamarnya dan duduk meringkuk di dalam selimut. Layla berpikir keras, ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan Layla semalam memikirkannya pula. Gadis itu menoleh ke arah sebuah kalender di atas mejanya dan mulai menghitung hari demi hari yang tidak biasa ada sesuatu Layla lewatkan dalam satu bulan. "Hem? Hampir tiga minggu?! Yang benar saja?!" pekik Layla kembali mengecek dan menghitungnya lagi. "I-ini tidak salah, kan?!"Layla menarik dirinya, ia mengerjapkan kedua matanya dan menutup kalender yang ia ambil. "Ba-bagaimana bisa?" lirih Layla mulai cemas dan berkeringat dingin. "Aku harus mencaritahunya sendiri. Ya... Aku tidak boleh bilang pada siapapun!"Layla berjalan membuka lemari pakaiannya, gadis itu mengganti baju dan merapikan dirinya. Dia juga mengambil tas dan beberapa uang yang dia simpan. Baru kali ini Layla memutuskan untuk pergi dari ruma
Setelah pergi bersama Nathaniel pagi tadi, Layla kembali ke rumahnya saat Mama dan Papanya belum juga pulang. Gadis itu berjalan masuk ke dalam kamarnya, di dalam sana Layla membuka tas miliknya dan mencari sesuatu. Terdiam merenung sejenak Layla menatap sebuah alat tes kehamilan yang tadi dia beli. "Kenapa aku tiba-tiba mnjadi takut begini?" gumam Layla pelan. "Kalau aku benar-benar itu, bagaimana?" Layla menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Ia diam menatap langit-langit dan berusaha menjernihkan pikirannya sejenak. "Tidak! Aku tidak boleh membiarkannya begini saja! Tidak boleh!" seru Layla pada dirinya sendiri. Saat itu juga Layla bangkit dari tidurnya, ia berjalan masuk ke dalam kamar mandi."Ya Tuhan, aku takut sekali," lirih Layla memegangi dadanya. Beberapa menit Layla berdiri di sana dan ia mondar-mandir menunggu hingga tiba saatnya gadis itu meraih sebuah alat test kehamilan yang dia beli di apotek. Layla menatapnya dengan perasaan terkejut. Bagai tersambar petir di
Nathaniel sampai tertidur dengan posisi duduk di sofa kamar Layla. Ia mengirimkan pesan pada Aaron dan Valia, ternyata mereka tidak pulang, hingga Nathaniel memutuskan menjaga Layla. "Huhh... Dingin," racau Layla menarik selimutnya. Suara Layla membuat Nathaniel menoleh, laki-laki itu pun mendekat. Dia menarik selimutnya dan menutupkan pada tubuh Layla. Gadis itu mencekal lengan Nathaniel dan memeluknya sampai kedua mata Layla kini terbuka. Sedetik dia terdiam masih belum benar-benar sadar sebelum ia tersentak saat mendapati Nathaniel di hadapannya. "Na-nathaniel, sedang apa kau di sini?!" teriak Layla langsung beringsut. "Layla tunggu..." Layla hendak berlari, namun nyaris saja ia terjatuh dari atas ranjang andai Nathaniel tidak memeluk tubuhnya dari belakang."Mau apa kau, Nathaniel?! Aku tidak mau... Aku tidak mau lagi! Jangan..." Layla menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kuat. "Layla, aku tidak akan melakukan apapun padamu," bisik Nathaniel mendekapnya erat. Layla langsu
"Saya ingin pertunangan ini batal, dan tidak akan ada pernikahan antara saya dan Laudia Ivana." Semua orang di dalam ruangan itu terkejut bukan main. Termasuk Laudia yang langsung bangkit menarik lengan Nathaniel, berharap kalau calon suaminya itu bercanda. "A-apa yang Kakak katakan?! Kenapa?!" pekik Laudia marah. "Nathan, kau jangan bercanda!" sentak Rodrick menatapnya tegas. Nathaniel terdiam sesaat, ia memperhatikan Sergio yang ada di sana pula. "Saya telah melakukan kesalahan," jawab Nathaniel berani. "Ke-kesalahan?" Nadine berdiri mendekatinya. "Kesalahan apa yang Kakak lakukan?! Aku dan keluarga ini pasti bisa memaafkan Kakak!" seru Laudia memeluk Nathaniel. "Tidak Laudia." Semua orang mungkin sudah paham kalau hari ini akan terjadi. Nathaniel yang selalu melakukan pemberontakan sejak awal. Helaan napas terdengar dari bibir Rodrick, laki-laki itu menatap Nathaniel lagi. "Katakan apa alasamu, setelah itu baru kau bisa bebas dari pertunangan ini!" seru Rodrick. "Opa!"
"Bagaimana rasanya? Apa masih takut?" Nathaniel mengusap pucuk kepala Layla, mereka berdua duduk di sebuah bangku yang berada di taman kota. Tempat itu sudah sepi karena hari juga sudah sore. Layla tersenyum menggelengkan kepalanya, ia memeluk tubuh Nathaniel dengan satu tangannya memegangi hamburger. "Tadinya aku takut Mama dan Papa akan marah, tapi kau tahu Kudanil... Mereka memelukku erat, mungkin karena mereka tahu ini semua bukan salahku, tapi salahmu!" seru Layla terkikik geli. Laki-laki itu menghela napasnya panjang dengan panggilan masa kecil yang dia rindukan kembali terucap dari bibir Layla. "Aku pikir kau sudah lupa dengan panggilan menggelikan itu, Sayang," ujar Nathaniel bersandar dan menarik pundak Layla. "Tidak, aku tidak pernah melupakannya. Bukannya itu panggilan yang sangat cocok unukmu. Aku selalu mencatatnya di semua buku milikku. Kudanil love Layla Tan, itu ada di mana-mana, kau tahu!" seru Layla sambil terkekeh. "Panggil saja aku dengan sebutan itu kalau k
Pemandangan yang indah saat Valia menatap anak dan menantunya tengah menikmati hari yang indah di taman mansion pagi ini. Waktu berjalan dengan cepat, Valia percaya dengan adanya cinta sejati dan ia tidak salah menempatkan hatinya sejak awal pada orang yang mau menjadi sandarannya hingga kini. "Sedang apa, Sayang?" sapa Aaron mendekati Valia. "Hem, tidak ada. Senang sekali melihat mereka, dan tempat ini...." Valia mendongak menatap seisi mansion yang tidak berubah sama sekali. Tempat itu sangat terawat dan juga bersih bahkan beberapa barang-barang yang dulu Valia tinggalkan masih di tempat. Betapa membekas kuat semua kepingan-kepingan ingatannya dari kisah cinta hingga kebenciannya kepada Aaron yang kini sudah tertutup rapat. "Tempat ini masih khas dengan segala hal yang menyangkut kita," ujar Aaron menatap Valia dan memeluknya. "Dan aku merasa bahagia bisa menua bersamamu." Valia tidak yakin mendengar apa yang suaminya katakan barusan, tapi ia merasa tersentuh begitu Aaron men
Trieste, Italia. Seperti masa kecil Mamanya, shopie terlihat sangat heboh saat dia telah sampai di Trieste. Tepatnya di mansion milik sang Opa. Bangunan super megah yang dikelilingi pemandangan laut yang indah. Tidak ada yang berubah di sana, Layla dan Nathaniel juga sangat menikmati keindahan tempat itu. "Wahh... Bagus sekali, kenapa aku dulu tidak betah tinggal di sini Ma? Padahal bagus sekali!" Layla memeluk lengan Valia dan mereka berjalan di teras samping samping mansion."Entah karena apa dulu, mungkin karena kita kasihan pada Kakek," jawab Valia. Ia tidak mau mengingatkan masa lalu yang cukup buruk pada Layla. Nathaniel bersama Aaron di depan sana, laki-laki itu menggendong Shopie yang sudah bingung ingin pergi mengelilingi mansion. Sementara Valia masih bersama dengan Layla. Valia merasa ada sesuatu yang menyentuh hati terdalamnya, tempat ini mempunyai ribuan kisah Valia dan Aaron, dari benci, marah, ambisi, obsesi, hingga cinta yang sangat tulus. Sosok Aaron yang sama
Lima Tahun Kemudian..."Shopie! Jangan lari-lari nanti jatuh..." Suara teriakan keras itu berasal dari bibir Layla yang berdiri di dalam rumah memperhatikan putri kecilnya yang terlihat begitu kesenangan. Shopie Tan Ferdherat, gadis cantik yang memiliki wajah sangat mirip dengan Mamanya. Dia juga sangat keras kepala seperti Papanya, dan Sopie anak yang manja, seperti Mamanya. "Mi, katanya nanti malam mau pergi sama Opa dan Oma, ayo... Sopie bantu-bantu Mami!" seru anak itu lompat-lompat kesenangan. "Iya, tapi nanti dulu, Sayang... Sekarang Shopie naik ke atas yuk, jangan lari-larian di bawah. Mami mau ke atas." Layla mengulurkan tangannya pada Shopie. Anak itu pun seketika mengangguk antusias, mereka berdua langsung berjalan ke lantai atas dan Sophie berjinjit membuka pintu kamarnya. Di dalam sana, anak itu menatap Papanya yang masih tertidur dengan santai dan nyenyak. Shopie tersenyum tipis, ia berjalan perlahan-lahan naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Papanya. "Papi... Ay
"Mama dan Papa akan sering-sering ke sini untuk memantau Layla, karena Papa perhatikan akhir-akhir ini kau sangat sibuk sampai sering meninggalkan istrimu sendiri yang di rumah." Aaron mengatakan hal itu kepada menantunya, dan tentu saja nontonnya langsung mengangguk setuju disadarinya ia memang tidak pernah ada waktu untuk Layla. Bukan berarti Nathaniel merasa leluasa, ia juga berusaha mencari celah di mana ia bisa meliburkan diri dan menjaga Layla seperti suami-suami di luar rencana pada umumnya. "Iya Pa, aku juga mencari waktu yang tepat untuk libur. Aku terus kepikiran dan tidak bisa fokus saat bekerja," ujar Nathaniel. "Harusnya di saat usia kandungan istrimu sudah tua seperti ini kau libur rumah karena bayi lahir itu tidak tahu kapan dan juga sulit untuk diprediksi," jelas Aaron pada Nathaniel. Nathaniel diam dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh Papa mertuanya, ia sadar kalau dirinya memang keliru. Aaron juga orang yang sangat gila kerja, sama seperti dirinya tapi beda
"Kalian ini... Apa tidak bisa ditunda sampai besok pagi, hah?!" Nathaniel marah saat masuk ke dalam ruangannya, di dalam sana semua rekannya sudah menunggu. Laki-laki itu meletakkan dengan kasar kunci mobilnya di atas meja, karena ia sudah menduga kalau di rumah Layla pasti marah padanya. "Ya bagaimana lagi?!" sahut Regar frustrasi. "Huhh... Sialan kalian, jadi jadwal kemarin itu salah?!" Nathaniel menatap mereka semua. "Salah!" jawab keempat orang itu kompak. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Nathaniel. Saat itu juga ia langsung duduk di kursinya dan mulai membuka laptopnya dan segera menyelesaikan pekerjaannya. Namun tetap saja Nathaniel tidak bisa tenang memikirkan Layla yang ia tinggalkan di rumah sendirian. Laki-laki itu pun mengambil ponselnya dan ia menghubungi Papa mertuanya karena hanya Aaron yang bisa membantunya saat ini. "Halo Pa, Pa aku boleh minta tolong, tidak?" pinta Nathaniel. "Hem, ada apa jam segini kok menelepon Papa? Apa terjadi sesuatu pada Layl
Beberapa Bulan Kemudian...Kandungan Layla sudah memasuki tujuh bulan. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat dan Layla menjalani hari-harinya dengan sangat bahagia besama suaminya. Nathaniel, menjadi suami super posesif dan selalu memantau Layla dari segala kondisi, bahkan mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. "Layla ke mana, Bi?"Suara Nathaniel di ruang tamu sore ini membuat Layla langsung menoleh, gadis itu tengah beduaan dengan Jeremy di dalam ruangan keluarga. Seketika Layla meminta Jeremy menutup pintu ruangan itu. Sehari saja, Layla ingin suaminya itu tidak terlalu posesif, Layla pusing dengan sifat Nathaniel yang sangat menyebalkan. "Sudah Kak," ujar Jeremy seraya terkikik geli anak itu berjalan mendekati Layla seraya membawa roti sus miliknya. "Sini-sini, duduk di samping Kakak. Biar saja Kak Nathan teriak-teriak di luar, Kakak pusing sekali dengannya," keluh Layla mendongakkan kepalanya. "Tapi kata Mami Valia, kalau dicereweti Papi Aaron, tandanya Papi Aaron i
Setelah acara pernikahan, Layla dan Nathaniel pulang ke rumah mereka sendiri. Nathaniel adalah laki-laki mapan yang sudah mempersiapkan segalanya sebelum menikah. Ada dua pembantu di rumahnya yang akan mengerjakan pekerjaaan rumah dan membantu Layla. Dan Nathaniel memberikan rumah itu pada Layla untuk hadiah pernikahan mereka. "Rumahnya bagus sekali," cicit Layla seraya menoleh dan menatap wajah tampan Nathaniel. "Kau suka?" Nathaniel mengusap pucuk kepala Layla. Layla pun mengangguk dengan mantap. "Sangat! Ini rumah paling bagus yang pernah Layla lihat. Seperti istana kalau dilihat dari luar, ada kerucutnya di atas sana!" seru Layla tersenyum. "Ya, memang desain awalnya aku buat seprti itu, agar tidak ada yang menyamainya." Layla hanya mengangguk saja, dan ia berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tangga melengkung dan lebar, lantai mengkilat dari marmer berwarna cream, dan beberapa pilar besar di dalam ruangan, serta lampu kristal besar yang menggantung di langit-lan
Pernikahan yang dimimpikan selama ini oleh Layla benar-benar terlaksana. Dalam hitungan detik demi detik pernikahan mereka sudah resmi.Dan begitu pula yang dirasakan oleh Nathaniel. Memiliki Layla seutuhnya dan ke mana-mana bisa ia jaga dan ia bawa, adalah cita-cita Nathan sejak dia masih kecil. Layla dan Nathaniel kini tengah sibuk dengan para tamu, tak lain adalah para teman-teman Nathaniel, karena Layla sendiri tidak memiliki teman. "Selamat ya kalian berdua, wahhh... Kapan ya aku nyusul?" seru Vargo menepuk pundak Nathaniel. "Mulutnya!" sinis Caley merangkul dan memukul punggung Vargo hingga laki-laki dengan tuxedo abu-abu itu tertawa. "Ya... Siapa tahu saja yang kedua kalinya." Vargo menjawab dengan sangat santai. Seketika Nathaniel terkekeh, ia menggenggam tangan Layla dan mengecupnya dengan lembut. "Jangan mendengarkan Sayang, mereka ini laki-laki gila!" sinis Nathaniel seraya menatap aneh pada semua temannya. "Iya, mereka lucu," ujar Layla. Layla merasakan ia seperti
Hari yang dinanti-nanti oleh Layla dan Nathaniel esok pagi akan terlaksana. Mereka semua keluarga kini berada di sebuah hotel milik keluarga Ferdherat. Hotel bintang lima yang berada di tengah-tengah kota Berlin. Laila Tengah berada di dalam kamarnya bersama Sarah, Caroline, Rosalia dan juga Valia. Keluarga Jazvier yang datang jauh-jauh hanya ingin melihat Layla menikah dengan Nathaniel. "Tidak terasa kita sudah tua ya Sarah, Cucu kita besok sudah mau menikah," ujar Caroline pada Sarah. "Iya, aku merasa seperti kemarin kita mengasuh anak-anak, tapi sekarang mereka sudah menikah saja. Ini waktu yang terlalu cepat atau apanya yang salah?" gumam Sarah seraya duduk bersandar. Valia bersama Rosalia duduk di atas ranjang bersama Layla yang berbaring bersama Jeremy. "Sepertinya tidak ada yang salah, Nenek saja yang menolak tua," sahut Jeremy tiba-tiba, anak itu sangat cerdas. Mendengar apa yang dikatakan bocah itu sontak membuat semua orang di dalam ruangan tersebut langsung tertawa.