Dalam satu malam kehidupan Valia berubah drastis. Aaron membawanya pulang ke kediamannya yang megah.
Laki-laki itu melangkah memasuki mansion miliknya yang seindah istana. Aaron berjalan menaiki anak tangga dan terhenti di depan sebuah ruangan yang pintunya masih tertutup."Baringkan dia di dalam kamar!" perintah Aaron, menatap dingin pada anak buahnya yang menggendong Valia."Baik, Tuan."Sergio membawa masuk Valia ke dalam sebuah kamar dan membaringkannya perlahan-lahan di atas sebuah ranjang sebelum ia kembali keluar dan menutup pintu kamar itu."Pastikan dia tidak bisa melarikan diri, Sergio!" seru Aaron melirik anak buahnya dari ambang pintu."Tidak akan, Tuan. Nona Valia sepanjang perjalanan tertidur pulas. Mungkin dia kelelahan karena terlalu lama menangis," ujar Sergio menjelaskan. Laki-laki bertubuh gempal itu menundukkan kepala dengan sopan, mengikuti Aaron menuruni anak tangga menuju sebuah ruangan.Sementara di dalam kamar. Valia membuka kedua matanya lebar-lebar dan beringsut bangun. Napasnya naik turun setelah menahan semua rasa takut untuk pura-pura tertidur selama perjalanan ke kediaman yang terasa sangat asing baginya."Mereka sudah pergi," lirih Valia dengan suara bergetar sambil mengelus dada.Ia lantas turun dari atas ranjang dan berjalan di dalam kamar yang gelap mendekati pintu kayu di depan sana. Setelah meyakinkan diri, Valia mengulurkan tangan untuk memutar kenop pintu. Matanya terbelalak saat menyadari pintu itu tidak terkunci. Gadis itu pun memutar kenop perlahan tanpa menimbulkan suara.
"Tidak ada siapa pun," gumamnya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.Langkahnya mengendap-endap keluar dari dalam kamar, menuruni anak tangga. Keindahan dan kemegahan tempat itu sesaat membuatnya berdecak kagum.Valia berjalan cepat menuju pintu terdekat yang terbuka lebar. Dapat ia rasakan angin malam yang menerpa saat kakinya menapaki teras samping mansion."Akhirnya!" kata Valia, merasakan kelegaan memenuhi dadanya begitu menghirup udara yang sejuk. Dia melirik ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang melihatnya, sambil berusaha mencari jalan keluar. Valia berlari menyusuri sayap mansion untuk menemukan pintu utama.Namun tiba-tiba saja kaki Valia terhenti. Tubuhnya mendadak kaku, dengan kedua mata melotot ngeri. Valia menelan saliva melihat apa yang menjegatnya di depan sana."Se-serigala?!" Kaki Valia perlahan mundur teratur. Anjing bertubuh besar jenis Siberian Husky itu pun menatap Valia dengan tajam. Wajah buasnya seperti berhadapan dengan mangsa yang siap diterkam."A-apa yang akan dia lakukan?" Valia terus mundur perlahan-lahan dengan tubuh gemetar takut.Hewan itu menggonggong keras di hadapan Valia, membuatnya mundur tergesa dan tidak sengaja menabrak sebuah guci hingga menimbulkan suara pecahan yang keras. Valia menjerit saat anjing itu menerjang dan menggonggong lebih keras, hingga Valia jatuh terduduk di samping kepingan beling."Akh, kakiku..." ringis gadis itu saat merasa sesuatu yang runcing dan tajam menusuk telapak kakinya.Di hadapannya, hewan mengerikan bagai serigala itu pun masih menggeram-geram ingin menerkam.
Valia menelan salivanya dan bergerak mundur sambil menggeleng-gelengkan kepala. Keringat dingin mengalir di pelipis seiring dengan rasa takut yang menjalari tubuhnya.'Ya Tuhan, bagaimana aku pergi dari keadaan ini?'
Di sisi lain, Aaron dan Sergio yang tengah berbincang di ruang kerja, tiba-tiba dikejutkan dengan suara pecahan kaca dari arah luar. Kedua laki-laki itu gegas keluar untuk memastikan apa yang terjadi.Mata elang Aaron tertuju pada pintu kamar di lantai dua yang terbuka. Seketika rahangnya mengetat kuat. "Gadis sialan!"
Aaron melangkah cepat menuju teras samping mansionnya, sumber suara pecahan itu berasal. Saat tiba di sana, Aaron berdiri dengan tangan terkepal kuat melihat apa yang terjadi."Berani-beraninya kau, Valia!" desisnya pelan.Aaron mendekat dengan langkah tegas dan pasti. Rupanya Lizer, anjing Siberian Husky miliknya sedang menakuti Valia dan menghentikan aksi kaburnya."Jangan mendekat, jangan memakanku!" Gadis itu berseru ketakutan. "Ke-kenapa kau galak sekali?! Kau sama saja seperti pemilikmu!" berangnya sambil meraih pecahan beling dan melemparnya ke anjing itu. Aaron berdiri tepat di belakang Valia tanpa sepengetahuannya. Gadis itu masih duduk memegangi kakinya, dengan bibir yang tak berhenti memaki."Tidak peliharaannya, tidak Tuannya, sama-sama kurang ajar!" berang Valia tidak tahan."Siapa yang kurang ajar?!"Suara dalam itu membuat tubuh Valia seketika menegang. Ia merasakan cengkeraman erat di leher belakangnya sampai napas Valia pun kembali terengah.Valia menelan salivanya susah payah begitu Aaron membungkukkan badannya dan menunjukkan wajah dinginnya tepat di samping Valia.
"Ka-kau..." Valia yang ketakutan dan dilanda panik, tidak sengaja mencengkeram pecahan guci.
"Berdiri!"Dengan cepat Aaron menarik kerah dress bagian belakang yang Valia pakai hingga membuat sang empu berdiri terpaksa."Lepaskan aku!" pekik Valia sambil memberontak. Gerakan yang tiba-tiba itu membuat telapak kakinya yang terluka berdenyut nyeri."Kau berusaha kabur, hah?" berang Aaron, matanya menghunus tajam.Valia menggeleng ketakutan. Dalam satu tarikan kuat, tubuh Valia tersentak begitu Aaron menarik kuat pergelangan tangan dan menyeretnya kasar masuk ke dalam manison."Akh, kakiku! Aaron lepaskan aku!" teriak Valia meraung kesakitan.Pintu kamar kembali terbuka, segera Aaron mendorong Valia masuk dan membanting pintu dengan kuat.Iris biru pucat itu kembali menghunus tajam, napasnya naik turun menahan amarah yang siap meledak."Ja-jangan mendekat," lirih Valia menggeleng cepat. Kakinya melangkah mundur pelan-pelan. "Aku... aku bisa jelaskan."Aaron hanya diam dengan tatapan tajam yang terus ditujukan pada Valia, membuat gadis itu merasa terintimidasi.Valia mulai terisak pelan. "Aku... Aku tidak..."
Ucapan Valia terhenti seketika. Begitu cepat Aaron mencengkeram kerah gaunnya dan mendorong tubuh ringkihnya ke dinding."Wanita sialan!" desis Aaron tepat di depan wajah Valia.Kedua mata gadis itu melebar sempurna, suara tangis pilu pun seketika terhenti. Jantungnya seperti berhenti berdegup dan telinganya berdenging panjang. Bibir Valia tampak gemetar dengan tatapan penuh kebingungan. Ia bisa melihat raut kebencian yang begitu kentara pada wajah tampan di hadapannya itu."A-apa salahku padamu sebenarnya?" lirih Valia tertunduk lemas. "Kenapa kau melakukan ini padaku?"Naik turun napas Aaron, ia berdecih mendengar pertanyaan konyol Valia. "Karena wanita sepertimu pantas mendapatkannya!"Valia memegangi tangan Aaron yang masih menghimpitnya ke dinding."Wanita sepertiku? Apa maksudmu? Aku bahkan tidak mengenalmu!" seru Valia tidak terima. "Kau tidak berhak melakukan hal ini padaku, Aaron! Aku manusia, bukan binatang peliharaanmu!"
Valia memekik tak tahan, air matanya tak lagi berlindung. Ia memukuli tangan Aaron sebelum laki-laki itu menyentaknya hingga Valia limbung jatuh di atas lantai.
"Kau ingin tahu?" Aaron berucap dingin. "Kau ingin tahu kenapa aku melakukan ini padamu?"Laki-laki itu menekuk lututnya dan menatap nyalang wajah Valia yang sembab dan pucat."Ya. Katakan padaku! Kenapa kau sejahat ini padaku, kenapa ka-"Ucapan Valia langsung terhenti lagi begitu Aaron mengapit dagu dan menekan pipi gembilnya dengan kuat.Aaron mendekatkan wajahnya di telinga Valia. "Karena kau, harus membayar semua kesalahan yang pernah kau lakukan!"
Setelah semalaman Valia dikurung di dalam kamar, pagi-pagi tadi pelayan mendatangi kamarnya dan membantu Valia membersihkan tubuhnya, juga memberikan pakaian ganti sebuah dress yang cantik. Bukan hanya itu, ternyata mereka mengajak seorang dokter laki-laki berwajah tampan yang kini tengah mengobati kaki dan tangan Valia. "Lukanya tidak terlalu dalam, hanya tergores sedikit. Tapi kau harus berhati-hati, Nona," ujar dokter tampan itu membalut telapak kaki Valia dengan perban. Valia diam tidak menjawab dan tidak meresponnya sama sekali. Laki-laki dengan jas putih itu meliriknya dengan tatapan memicing. "Ulurkan tanganmu, Nona Valia," pintanya, beralih duduk di tepi ranjang dan memeriksa telapak tangan Valia yang terluka. "Dari mana kau tahu namaku?" tanya Valia heran. "Siapa yang memintamu mengobatiku?"Dokter tampan itu tersenyum hangat tanpa menghentikan kegiatannya merawat luka Valia. "Panggil saja saya Dokter Fabio. Dan saya cukup tahu siapa Nona Valia dari Tuan Aaron yang penya
"Lebih baik aku mati kelaparan daripada di sini seumur hidup." Valia berucap nanar menatap langit-langit kamarnya. Kembali ia mengeliat menekan perutnya yang terasa sakit. Dua hari Valia menolak bujukan makan dari siapapun dan memilih mati kelaparan. Gadis itu meringkuk di atas ranjang dan menjambak sendiri rambut panjangnya, menangis frustrasi. "Kapan... Kapan aku tidak bisa pergi dari tempat ini, aku tidak bisa melakukan apapun di sini selain terus disakiti."Valia memukul bantalnya. "Sebenarnya apa salahku dengannya? Kemunafikan apa yang dia maksud?" Kata-kata Aaron saat itu terus terngiang di kepalanya, tentang kemunafikan di masa lalu. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang Aaron maksud. Demi Tuhan, Valia bahkan tidak mengenal pria itu sebelum ini!Merasa putus asa karena berusaha kabur pun tidak mungkin, Valia tidak bisa melakukan apapun untuk membebaskan dirinya sendiri. Karena itu ia memilih untuk mati saja, daripada terperangkap seumur hidup bersama orang tak punya hati s
Hari sudah senja, Valia diam berdiri di teras belakang mansion. Tempat itu menyuguhkan langsung pemandangan indahnya lautan biru teluk Trieste. Hati Valia kini sangat resah gelisah. Pasalnya sejak kejadian kemarin, Aaron tidak lagi muncul di hadapannya. Valia memikirkan tentang luka di tangan laki-laki itu."Di mana dia dua hari ini?" lirihnya lemas. Valia meletakkan satu tangannya dinding pembatas setinggi pinggang di depannya. Sejenak Valia memilih duduk bersandar pada pilar dan menikmati semilir angin yang berhembus. "Dia terluka sama sepertiku," ucap Valia memperhatikan telapak tangannya yang masih terbungkus perban. "Apa dia baik-baik saja? Mungkinkah lukanya sangat fatal?" Valia menarik napasnya panjang memejamkan kedua matanya pelan. "Nona Valia!" Suara Merina, pelayan wanita itu pun mendekat dengan segelas air putih yang dia bawa."Nona sedang apa? Baru saja saya ambilkan air minum, tapi Nona sudah hilang dan ternyata berada di sini," ujar pelayan itu menyerahkan segelas
"Kenapa hari cepat sekali berubah gelap, aku harus bagaimana malam ini?" Valia bersembunyi di balik selimut tebalnya memeluk bantal dengan erat. Perasaannya sangat resah gelisah tak bisa tenang. Aaron mengatakan padanya malam ini ingin ia puaskan. Valia merasa bingung dan ingin rasanya ia menghilang dengan cepat. "Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mau memuaskan Aaron, aku tidak mau tidur dengannya... Tidak mau!" Valia memukuli kepalanya dengan rengekan frustrasi. Di tengah ia meracau, tiba-tiba saja Valia tersentak saat seseorang menyentuh punggungnya di balik selimut. Sontak Valia menyibakkan selimut itu dan mendongak menatap siapa yang berada di kamarnya. "Pe-pelayan Merina!" Valia menatap sedih wanita itu dengan napas yang naik turun."Nona kenapa?" Pelayan Merina menyentuh kening Valia. "Nona masih pusing ya?" Valia menggeleng pelan. "Aku pikir tadi Aaron yang menyentuh punggungku," lirih Valia cemberut. Kekehan gemas terdengar dari bibir Merina. "Tuan Aaron sedang ber
"Tidak akan ada yang membebaskan aku dari tempat ini. Aku berharap ada yang menolongku."Valia berucap sedih. Kedua matanya menatap jauh lautan lepas yang telihat sangat gelap si subuh hari. Sejak dua jam yang lalu, lebih tepatnya pukul tiga dini hari Valia terbangun dan keluar dari dalam kamar milik Aaron. "Aku ingin pulang," lirih Valia duduk memeluk kedua lututnya. "Aku tidak mau hidup berlama-lama di sini." Saat Valia menangis, tiba-tiba saja sesuatu mengendus dan menjilati pipinya dengan sangat lembut. Sontak Valia mengangkat wajahnya, ia terjingkat kaget mendapati siapa yang mendekatinya. "Astaga!" teriaknya terkejut. "Li-lizer, apa yang kau lakukan?" Valia mengembuskan napasnya pelan mendapati anjing Siberian Husky yang ternyata menjilati wajah cantinya. Sejenak Valia menatap wajah lucu hewan itu sebelum ia tersenyum. Jemari Valia terangkat mengusap bulu-bulu lembut kepala anjing itu. "Kenapa kau tidak tidur, Lizer? Ini masih petang. Udaranya sangat dingin di sini," uja
"Brengsek!" Teriakan keras lolos dari bibir Aaron. Kepalan tangan meninju kuat meja kayu di depannya. Rasa ingin marah meluap-luap dari hatinya. Sergio yang berdiri di dekat pintu pun hanya diam tertunduk melihat kemarahan Tuan Mudanya yang tidak bisa dihentikan. "Beraninya dia menginginkan Valia secara terang-terangan," desis Aaron dengan rahang mengetat. "Sam memang belum pernah melihat Nona Valia, Tuan," ujar Sergio menyahuti. Aaron tersenyum smirk. "Berkata menginginkan Valia, adalah kebodohan. Dia tidak akan mengira kalau sampai mati pun aku tidak akan melepaskan Valia, semudah itu!" desis Aaron dengan napas naik turun. Aaron tertunduk, menahan pikirannya yang dipenuhi kekesalan pada Sam, sahabat karibnya yang berani menawar Valia untuk dimiliki."Apa kau masih mengurung Valia?" tanya Aaron lirih. "Masih Tuan." Seketika Aaron keluar dari dalam ruangan kerjanya setelah tempat itu berantakan karena luapan emosi Aaron. Ia melangkah menuju kamar Valia di lantai dua. Begitu p
Pemandangan yang sangat langka saat bangun tidur terdapat wajah tampan di hadapan Valia. Pahatan wajah tampan bak dewa Yunani, dia yang begitu sempurna. Valia meringkuk segera memunggunginya. Sampai ia tersadar sesuatu menahannya untuk tidak menjaga jarak. "Apa ini," lirih Valia tak bersuara. Ia menyibak selimut yang menutupinya dan melihat lengan kekar Aaron yang melilit di pinggangnya dengan erat dan posesif. Valia terdiam sejenak. 'Aaron memelukku? Setelah semalam dia marah-marah dan mengatakan hal yang menyakitkan, sekarang dia memelukku dengan sangat erat.' Perlahan-lahan Valia mulai mencoba melepaskan pelukan itu sebelum ia malah merasa tertarik dengan erat. "Mau ke mana, Valia?" Suara serak Aaron menghentikan gerakan Valia. "Ini sudah pagi," jawab Valia menatap jendela besar yang sengaja tidak ia tutup. Aaron mengerang pelan, namun kali ini ia kembali menarik pinggang Valia lagi lebih erat. "Aaron..." Valia mulai tak nyaman. "Diamlah." Aaron masih memejamkan kedua ma
Valia berdiri di depan pintu kamar Aaron yang sedikit terbuka, ia meremas jemarinya mengintip ke dalam sana. Entah kenapa, Valia harus melakukan hal ini. Padahal malam ini ia punya misi untuk kabur dan pergi menjauh sejauh-jauhnya dari Aaron. "Sedang apa berdiri di sana? Kemarilah." Valia menelan salivanya. Langkah kecilnya berjalan membawa Valia masuk ke dalam kamar itu. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, Valia memperhatikan Aaron yang tengah bercermin dengan pakaian rapi. "Ada apa, Valia? Kenapa kau mengintipku? Apa kau ingin tidur di kamarku lagi, huh?" tanya laki-laki itu seraya memakai jam tangan mahalnya. "Emm... Tidak, tapi kalau aku boleh tahu, kau mau ke mana?" tanya Valia dengan polosnya. Aktivitas Aaron pun terhenti, selama ini di dalam hidupnya tidak ada yang bertanya ia mau ke mana, sedang apa, dan tidak ada yang peduli. Aaron menoleh, tiba-tiba bibirnya tersenyum miring menatap Valia dengan balutan gaun tidur merah muda bermotifkan bunga dan berlangan panjang.