"Brengsek!"
Teriakan keras lolos dari bibir Aaron. Kepalan tangan meninju kuat meja kayu di depannya. Rasa ingin marah meluap-luap dari hatinya.Sergio yang berdiri di dekat pintu pun hanya diam tertunduk melihat kemarahan Tuan Mudanya yang tidak bisa dihentikan."Beraninya dia menginginkan Valia secara terang-terangan," desis Aaron dengan rahang mengetat."Sam memang belum pernah melihat Nona Valia, Tuan," ujar Sergio menyahuti.Aaron tersenyum smirk. "Berkata menginginkan Valia, adalah kebodohan. Dia tidak akan mengira kalau sampai mati pun aku tidak akan melepaskan Valia, semudah itu!" desis Aaron dengan napas naik turun.Aaron tertunduk, menahan pikirannya yang dipenuhi kekesalan pada Sam, sahabat karibnya yang berani menawar Valia untuk dimiliki."Apa kau masih mengurung Valia?" tanya Aaron lirih."Masih Tuan."Seketika Aaron keluar dari dalam ruangan kerjanya setelah tempat itu berantakan karena luapan emosi Aaron.Ia melangkah menuju kamar Valia di lantai dua. Begitu pintu itu terbuka, dapat Aaron lihat Valia duduk meringkuk di atas ranjang."Aaron," lirih gadis itu memanggilnya pelan.Sang pemilik nama berjalan mendekat ke arah ranjang."Apa saja yang kau katakan dengan si brengsek tadi, Valia?" tanya Aaron membungkuk ke atas ranjang tepat di hadapan Valia."Eumm... Tidak ada," jawab Valia menggeleng-geleng.Aaron semakin kesal dengan jawaban bohong dari bibir Valia. Kali ini ditariknya betis gadis itu hingga Valia merosot telentang di bawah kungkungannya.Kilauan mata yang berapi-api tak terima kalau pertanyaannya dijawab dengan kebohongan. Nyali Valia benar-benar menciut dalam posisi seperti ini."Katakan yang sejujurnya," bisik Aaron, ia menunduk cepat memangkas jarak."Ti-tidak ada, Aaron. Aku hanya... Hanya meminta tolong padanya," lirih Valia menjawabnya jujur.Jemari lentik tangan Valia mencengkeram erat kemeja putih yang Aaron pakai.Kedua matanya terpejam, bibirnya gemetar takut sampai tubuh Valia menegang saat ia merasakan usapan ibu jari lembut menyapu bibirnya."Aku tidak segan-segan menghabisi Sam tanpa ampunan kalau kau berani menunjukkan muka padanya," bisik Aaron di depan bibir Valia."Jangan... Jangan libatkan siapapun tantang ini. Kumohon jangan," pinta Valia memohon."Kau," lirih Aaron menjeda ucapannya.Ia tertunduk mengalihkan jemarinya membuka satu kancing dress yang kini Valia pakai.Kedua mata Valia melebar, cepat ia menahan tangan Aaron sampai tatapan mata keduanya bertemu."Mau... Mau apa?" lirih Valia menggelengkan kepalanya."Ini hukuman, Sayang," bisik Aaron menyeringai."Aku minta maaf, tapi kumohon berhenti," pinta Valia memberontak begitu dua kancing dressnya lolos terbuka. "Jangan melakukan apapun!"Aaron tersenyum tipis melihat ekspresi takut dan air mata yang berderai. Munafik sekali, berlagak paling suci.Valia sekuat-kuatnya mendorong pundak Aaron untuk menjauh. Meskipun ia sadar tenaganya tidak cukup kuat melawan laki-laki ini."Aaron berhenti!" pekik Valia, satu tangannya menampar pipi mulus laki-laki itu.Kegiatan Aaron seketika terhenti tepat di kancing terakhir dress yang Valia pakai.Aaron tersenyum smirk, Valia adalah gadis pertama yang berani memberikan tamparan di pipi Aaron yang mulus."Berani sekali kau, hah?!""Aku, akkhh...."Valia memekik saat tubuh mungilnya benar-benar ditindih oleh Aaron yang jelas-jelas lebih besar darinya.Laki-laki mengunci pergelangan tangan Valia ke atas kepala dan mendekatkan wajahnya, nyaris saja Aaron menyembar bibir tipis yang begitu melambai ingin disentuh."Sial!" umpat Aaron lirih."Aaron, aku... Aku tidak akan menemui siapapun lagi. Kumohon, aku tidak mau melakukan itu!" Valia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku bukan wanita murahan. Aku tidak pernah diperlakukan seperti ini."Valia meronta-ronta menangis kuat. "Papa... Tolong, tolong Valia..," lirih gadis itu yang mampu Aaron dengar.Aaron menatap iris cokelat Valia dalam-dalam, sedetik sebelum akhirnya ia melepaskan pergelangan tangan gadis itu.Sekelebat laki-laki itu langsung berdiri tegap beranjak pergi keluar dan membanting pintu kamar Valia dengan kuat.Valia menangis tersedu-sedu meringkuk di atas ranjang memeluk dirinya sendiri"Kenapa dia sangat menakutkan? Aku harus bagaimana..." Valia membenamkan wajahnya pada bantal yang ia peluk."Papa, lebih baik aku ikut Papa saja. Lebih baik bawa Valia, Pa... Bawa Valia mati saja."Tangisan pilu di dalam kamar mampu Aaron dengar. Ia berdiri di depan pintu dengan napasnya yang naik turun dipenuhi pikirkan marah dan merutuki diri sendiri.Gegas Aaron melangkah pergi. Di sana ia berpapasan dengan Merina."Urus gadis itu, Merina!" seru Aaron."Baik Tuan."Merina menoleh ke belakang memperhatikan punggung tegap Aaron yang menjauh."Apa lagi yang terjadi dengan Nona?"**Sebotol wine Aaron habiskan dalam waktu sekejap. Ditemani kegelapan di ruangan pribadinya, ia disiksa frustrasi, emosi, dan menahan diri.Diremas gelas beling yang dipegangnya sebelum Aaron melempar gelas itu dengan kuat di atas lantai."Aaarrgghhh... Brengsek!" teriak Aaron menggebu.Ia mengacak rambutnya. "Kalau kau tidak memasang wajah sedihmu, aku pastikan kau sudah hancur!" desisnya geram.Aaron mengacak rambutnya dengan kesal."Sial! Sial! Sialan!" makinya memukuli meja.Sejenak Aaron duduk bersandar menenangkan dirinya. Benaknya terus dipenuhi tangisan Valia, gadis itu tidak membuatnya tenang.Aaron beranjak bangkit dari duduknya. Ia keluar dari dalam ruangan kerjanya dan melihat seisi mansionnya sangat sepi malam ini.Rasa kesal mengantarkan Aaron ke lantai dua. Perlahan ia membuka pintu kamar di depannya dan berjalan masuk tanpa suara."Ma-mau apa lagi?" lirih suara itu dalam gelap.Seperti anak kucing yang hilang, Valia duduk meringkuk di tengah ranjang menutup diri dengan selimut menatap takut pada Aaron yang melangkah mendekat."Kenapa kau belum tidur?" Aaron malah bertanya balik."Aku tidak mengantuk, kenapa kau masuk ke sini? Kau hanya menakutiku," ujar Valia menyeka air matanya.Aaron yang berdiri di depan jendela memunggungi Valia, ia tersenyum tipis mendengar apa yang Valia katakan."Aku akan tidur bersamamu, malam ini.""Ti-tidur denganku?" Valia kembali merasa jantungan dengan perkataan Aaron.Kali ini laki-laki itu membalikkan badannya pelan seraya melepaskan kancing kemeja katun putih yang melekat ditubuhnya yang kekar.Valia menelan salivanya susah payah, ia turun dari atas ranjang saat Aaron mendekat. Terasa atsmosfer menipis melingkupi Valia." Kenapa... Kenapa kau melepaskan kemejamu?" Valia gugup dan memalingkan wajahnya."Apa kau lupa kalau aku tidak akan main-main dengan ucapanku?" Aaron tersenyum tipis duduk di atas ranjang dan menoleh pada Valia.Gadis itu bediri menjauh di sudut ruangan memeluk bantalnya dengan erat. Wajah cantik Valia menjadi tegang ketakutan."Kemarilah, lakukan tugasmu!" seru Aaron memulai permainannya.Valia menggeleng-geleng menolak. "Aku tidak mau. Aku dilahirkan bukan untuk menjadi wanita murahan," jawab Valia tertunduk lesu."Valia," panggil Aaron pelan. "Jangan membuat kesabaranku habis."Kata-kata dingin dari bibir Aaron mampu menggerakkan tubuh Valia. Ia melangkah mendekati ranjang.Valia hanya duduk di tepian ranjang dan menunggungi Aaron."Ha-hanya tidur, kan?" cicit Valia."Tidur setelah bercinta," jawab Aaron dengan santainya."Tapi Aaron-"Bibir Valia mengatup rapat saat lengan kekar Aaron melingkar di pinggangnya dan menarik Valia ke tengah hamparan ranjang yang luas.Tubuh kecilnya sudah berada dalam Kungkungan Aaron. Kilatan iris biru yang terasa mencabik-cabik hati Valia.Perlahan lembut ibu jari Aaron membelai pipi Valia dan wajahnya yang mendekat."Lakukan tugasmu malam ini, kau harus memuaskanku, Valia!"Pemandangan yang sangat langka saat bangun tidur terdapat wajah tampan di hadapan Valia. Pahatan wajah tampan bak dewa Yunani, dia yang begitu sempurna. Valia meringkuk segera memunggunginya. Sampai ia tersadar sesuatu menahannya untuk tidak menjaga jarak. "Apa ini," lirih Valia tak bersuara. Ia menyibak selimut yang menutupinya dan melihat lengan kekar Aaron yang melilit di pinggangnya dengan erat dan posesif. Valia terdiam sejenak. 'Aaron memelukku? Setelah semalam dia marah-marah dan mengatakan hal yang menyakitkan, sekarang dia memelukku dengan sangat erat.' Perlahan-lahan Valia mulai mencoba melepaskan pelukan itu sebelum ia malah merasa tertarik dengan erat. "Mau ke mana, Valia?" Suara serak Aaron menghentikan gerakan Valia. "Ini sudah pagi," jawab Valia menatap jendela besar yang sengaja tidak ia tutup. Aaron mengerang pelan, namun kali ini ia kembali menarik pinggang Valia lagi lebih erat. "Aaron..." Valia mulai tak nyaman. "Diamlah." Aaron masih memejamkan kedua ma
Valia berdiri di depan pintu kamar Aaron yang sedikit terbuka, ia meremas jemarinya mengintip ke dalam sana. Entah kenapa, Valia harus melakukan hal ini. Padahal malam ini ia punya misi untuk kabur dan pergi menjauh sejauh-jauhnya dari Aaron. "Sedang apa berdiri di sana? Kemarilah." Valia menelan salivanya. Langkah kecilnya berjalan membawa Valia masuk ke dalam kamar itu. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, Valia memperhatikan Aaron yang tengah bercermin dengan pakaian rapi. "Ada apa, Valia? Kenapa kau mengintipku? Apa kau ingin tidur di kamarku lagi, huh?" tanya laki-laki itu seraya memakai jam tangan mahalnya. "Emm... Tidak, tapi kalau aku boleh tahu, kau mau ke mana?" tanya Valia dengan polosnya. Aktivitas Aaron pun terhenti, selama ini di dalam hidupnya tidak ada yang bertanya ia mau ke mana, sedang apa, dan tidak ada yang peduli. Aaron menoleh, tiba-tiba bibirnya tersenyum miring menatap Valia dengan balutan gaun tidur merah muda bermotifkan bunga dan berlangan panjang.
"Aku akan tetap membawamu kembali ke sini Valia, dan aku menghabisi si brengsek Samuel!" Aaron mengepalkan kedua tangannya dengan sangat kuat. Kini ia berdiri dalam kamar Valia. Ia pulang untuk memastikan, dan menunggu kabar dari Nick yang melacak Valia dan Sam. Laki-laki itu merasa terbakar seluruh amarahnya. Amarahnya pada Samuel tidak dapat ia tahan-tahan. "Valia..." Aaron menggeram kesal. "Aaarrgghhh! Brengsek! Bisa gagal semua rencanaku!" Teriaknya keras-keras, ia menyapukan tangannya di meja rias hingga semua barang-barang di atas sana menjadi berantakan dan berjatuhan."Sialan kau, Valia!" teriak Aaron memukul meja kayu itu. "Permisi Tuan," sapa Sergio berdiri di ambang pintu. "Apa Nick sudah memberi kabar, di mana Valia?!" Aaron menoleh ke arah anak buahnya tersebut. Laki-laki itu mengangguk. "Sudah Tuan." Seketika Aaron berdiri tegap menyahut kembali mantel hangatnya dan gegas keluar dari dalam kamar."Ikut denganku, Sergio!" "Baik Tuan." Mereka berdua keluar dari d
"Eungghh, aku di mana?" Valia membuka kedua matanya perlahan, kepalanya terasa pening karena terlalu banyak menangis. Gadis itu terdiam menatap langit-langit kamar mengingat kejadian semalam. Ia pun kembali meringkuk sedih, bayangan semalam kalau Aaron tidak menemukannya, mungkin Valia akan hilang. Dan kejadian ini, ia berfirasat kalau Aaron pasti akan marah. "Aaron," lirih Valia terdiam sejenak memejamkan kedua matanya. "Semalam dia datang menyelamatkan aku dan memelukku semalaman penuh." Valia merengut bimbang. "Sebenarnya, dia peduli atau membenciku? Kenapa dia sangat aneh?" Tidak mau berlama-lama, perlahan Valia bangkit dari tidurnya sebelum selimut hitam yang pakai menutupi tubuhnya jatuh melorot dan menunjukkan tubuhnya tanpa balutan dress semalam. "Astaga!" pekik Valia nyaris menjerit. Valia terkejut saat sadar ia hanya mengenakan kain tipis berlengan spaghetti yang terbuat dari kain yang tembus pandang. "Ke-kemana bajuku?! Kenapa hanya tersisa dalaman ini?! Bajuku...
"Bagaimana pun juga, kau harus kembali ke Milan. Kondisi Kakakmu sekarang cukup parah, Aaron." Seruan itu terdengar seperti perintah. Riftan, sahabatnya yang kini datang ke kediaman Aaron untuk menyampaikan hal itu. Aaron terlihat putus asa, ia mengacak rambutnya dan menyandarkan kepalanya di punggung sofa. "Apa Hans yang mengatakan ini padamu?" tanya Aaron. "Heem. Orang tuamu sudah menghubungimu, tapi kau tidak menjawabnya. Dan mereka ingin mnerikan kabar tentang Kakakmu." Senyuman getir mengiringi perasaan perih yang Aaron rasakan. Aaron sangat menyayangi Kakak laki-lakinya, di saat kedua orang tuanya tidak peduli padanya, namun Kakaknya selalu peduli dan memberikannya banyak perhatian. Namun sekitar dua tahun yang lalu, sang Kakak mendapatkan sebuah masalah hingga membuat mentalnya jatuh dan penyakit jantung yang dia derita kembali kambuh. "Tidak usah terlalu kau pikirkan, Kakakmu akan baik-baik saja." Riftan berdiri dan menepuk pundak Aaron. "Harusnya dia tidak merasakan i
Jam menunjukkan pukul tepat tengah malam, Aaron terlihat sangat terburu-buru ia menyahut mantel hangatnya dan berjalan keluar kamar. Langkahnya dengan refleks mengantarkan laki-laki itu menuju kamar Valia. Dibuka pelan pintu kayu di hadapannya, sosok Valia mengangkat wajahnya dengan tatapan terkejut. "Aaron," lirih Valia, gadis itu meletakkan sebuah jam pasir yang tadinya ia tatapi. "Aku akan pergi untuk beberapa hari, kau jangan coba-coba keluar atau bertemu dengan siapapun! Kau paham!"Valia mendongak menatap wajah tegas Aaron. Laki-laki itu berdiri di sisi ranjang menatapnya dengan tajam, namun terlintas mustahil Aaron tidak perhatian padanya. "Apa kau akan pergi lama?" tanya Valia menyibak selimutnya dan duduk di tepi ranjang. Seringai tipis terbit di sudit bibir Aaron. Ia membungkukkan badannya dan mensejajarkan wajahnya dengan Valia. "Mungkin. Kenapa? Apa kau takut merindukanku?" Aaron menepuk gemas pipi Valia. Wajah Valia terasa sangat panas, ia menggeleng cepat menghin
"Sudah satu minggu Aaron belum pulang, apa dia pergi ke luar negeri, Merisa?" Pertanyaan itu terucap dari bibir Valia pada pelayan yang tengah menyisir rambut panjangnya. Pelayan itu pun hanya mengangguk saja dan bergumam pelan. Begitu pun Valia juga sudah langsung paham. "Mungkin Tuan Aaron membahas seputar bisnisnya, Nona. Tuan adalah seorang presdir ternama, akan sangat sibuk beliau dengan semua pekerjaannya," jelas Merina pada sang Nona. Merina memajukan tubuhnya sejajar dengan wajah Valia dari samping dan tersenyum manis menatap pantulan cermin. "Emm, apa Nona Valia merindukan Tuan Aaron?" tanya Merina sedikit berbisik. Kedua mata Valia pun melebar mendengarnya, pipinya memerah bersemu dan dengan kuekeh ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ti... Tidak, aku tidak merindukannya.""Heum, Nona Valia berbohong. Buktinya pipi Nona Valia memerah." Merina terus menggoda Valia hingga gadis itu cemberut kesal. "Tidak Merina, hiihhh kau ini." Valia kesal Merina tertawa pelan dan teru
"Kenapa? Kenapa kejadian ini terulang lagi? Aku takut...." Valia duduk di atas lantai kayu yang dingin, ia menutup kepalanya dan menangis. Kejadian ini membuatnya trauma dan takut. Dikunci di dalam tempat yang gelap dan dingin tanpa ada satu cahaya pun di sana. Valia meremas puncak lengannya. 'Kenapa setiap aku melihat Aaron marah, rasanya aku seperti melihat Victor yang marah dan memaksaku. Kenapa mereka terlihat sangat mirip?' Di tengah rasa sedih yang Valia rasakan, tiba-tiba saja pintu paviliun depan terbuka. Sosok Aaron berdiri tegap di sana menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Aaron," lirih Valia. Laki-laki itu berjalan mendekatinya. "Berdiri. Apa yang kau lakukan dengan duduk di sini, huh?!" seru Aaron.Perlahan-lahan Valia bangkit dari duduknya, kakinya terasa pegal dan kesemutan karena terlalu lama. "Kau mau apa ke sini?" Valia mendongak menatap wajah Aaron. "Kau... Kau tidak memintaku pindah lagi ke tempat yang lebih gelap kan?" Laki-laki itu menatap wa
Pemandangan yang indah saat Valia menatap anak dan menantunya tengah menikmati hari yang indah di taman mansion pagi ini. Waktu berjalan dengan cepat, Valia percaya dengan adanya cinta sejati dan ia tidak salah menempatkan hatinya sejak awal pada orang yang mau menjadi sandarannya hingga kini. "Sedang apa, Sayang?" sapa Aaron mendekati Valia. "Hem, tidak ada. Senang sekali melihat mereka, dan tempat ini...." Valia mendongak menatap seisi mansion yang tidak berubah sama sekali. Tempat itu sangat terawat dan juga bersih bahkan beberapa barang-barang yang dulu Valia tinggalkan masih di tempat. Betapa membekas kuat semua kepingan-kepingan ingatannya dari kisah cinta hingga kebenciannya kepada Aaron yang kini sudah tertutup rapat. "Tempat ini masih khas dengan segala hal yang menyangkut kita," ujar Aaron menatap Valia dan memeluknya. "Dan aku merasa bahagia bisa menua bersamamu." Valia tidak yakin mendengar apa yang suaminya katakan barusan, tapi ia merasa tersentuh begitu Aaron men
Trieste, Italia. Seperti masa kecil Mamanya, shopie terlihat sangat heboh saat dia telah sampai di Trieste. Tepatnya di mansion milik sang Opa. Bangunan super megah yang dikelilingi pemandangan laut yang indah. Tidak ada yang berubah di sana, Layla dan Nathaniel juga sangat menikmati keindahan tempat itu. "Wahh... Bagus sekali, kenapa aku dulu tidak betah tinggal di sini Ma? Padahal bagus sekali!" Layla memeluk lengan Valia dan mereka berjalan di teras samping samping mansion."Entah karena apa dulu, mungkin karena kita kasihan pada Kakek," jawab Valia. Ia tidak mau mengingatkan masa lalu yang cukup buruk pada Layla. Nathaniel bersama Aaron di depan sana, laki-laki itu menggendong Shopie yang sudah bingung ingin pergi mengelilingi mansion. Sementara Valia masih bersama dengan Layla. Valia merasa ada sesuatu yang menyentuh hati terdalamnya, tempat ini mempunyai ribuan kisah Valia dan Aaron, dari benci, marah, ambisi, obsesi, hingga cinta yang sangat tulus. Sosok Aaron yang sama
Lima Tahun Kemudian..."Shopie! Jangan lari-lari nanti jatuh..." Suara teriakan keras itu berasal dari bibir Layla yang berdiri di dalam rumah memperhatikan putri kecilnya yang terlihat begitu kesenangan. Shopie Tan Ferdherat, gadis cantik yang memiliki wajah sangat mirip dengan Mamanya. Dia juga sangat keras kepala seperti Papanya, dan Sopie anak yang manja, seperti Mamanya. "Mi, katanya nanti malam mau pergi sama Opa dan Oma, ayo... Sopie bantu-bantu Mami!" seru anak itu lompat-lompat kesenangan. "Iya, tapi nanti dulu, Sayang... Sekarang Shopie naik ke atas yuk, jangan lari-larian di bawah. Mami mau ke atas." Layla mengulurkan tangannya pada Shopie. Anak itu pun seketika mengangguk antusias, mereka berdua langsung berjalan ke lantai atas dan Sophie berjinjit membuka pintu kamarnya. Di dalam sana, anak itu menatap Papanya yang masih tertidur dengan santai dan nyenyak. Shopie tersenyum tipis, ia berjalan perlahan-lahan naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Papanya. "Papi... Ay
"Mama dan Papa akan sering-sering ke sini untuk memantau Layla, karena Papa perhatikan akhir-akhir ini kau sangat sibuk sampai sering meninggalkan istrimu sendiri yang di rumah." Aaron mengatakan hal itu kepada menantunya, dan tentu saja nontonnya langsung mengangguk setuju disadarinya ia memang tidak pernah ada waktu untuk Layla. Bukan berarti Nathaniel merasa leluasa, ia juga berusaha mencari celah di mana ia bisa meliburkan diri dan menjaga Layla seperti suami-suami di luar rencana pada umumnya. "Iya Pa, aku juga mencari waktu yang tepat untuk libur. Aku terus kepikiran dan tidak bisa fokus saat bekerja," ujar Nathaniel. "Harusnya di saat usia kandungan istrimu sudah tua seperti ini kau libur rumah karena bayi lahir itu tidak tahu kapan dan juga sulit untuk diprediksi," jelas Aaron pada Nathaniel. Nathaniel diam dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh Papa mertuanya, ia sadar kalau dirinya memang keliru. Aaron juga orang yang sangat gila kerja, sama seperti dirinya tapi beda
"Kalian ini... Apa tidak bisa ditunda sampai besok pagi, hah?!" Nathaniel marah saat masuk ke dalam ruangannya, di dalam sana semua rekannya sudah menunggu. Laki-laki itu meletakkan dengan kasar kunci mobilnya di atas meja, karena ia sudah menduga kalau di rumah Layla pasti marah padanya. "Ya bagaimana lagi?!" sahut Regar frustrasi. "Huhh... Sialan kalian, jadi jadwal kemarin itu salah?!" Nathaniel menatap mereka semua. "Salah!" jawab keempat orang itu kompak. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Nathaniel. Saat itu juga ia langsung duduk di kursinya dan mulai membuka laptopnya dan segera menyelesaikan pekerjaannya. Namun tetap saja Nathaniel tidak bisa tenang memikirkan Layla yang ia tinggalkan di rumah sendirian. Laki-laki itu pun mengambil ponselnya dan ia menghubungi Papa mertuanya karena hanya Aaron yang bisa membantunya saat ini. "Halo Pa, Pa aku boleh minta tolong, tidak?" pinta Nathaniel. "Hem, ada apa jam segini kok menelepon Papa? Apa terjadi sesuatu pada Layl
Beberapa Bulan Kemudian...Kandungan Layla sudah memasuki tujuh bulan. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat dan Layla menjalani hari-harinya dengan sangat bahagia besama suaminya. Nathaniel, menjadi suami super posesif dan selalu memantau Layla dari segala kondisi, bahkan mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. "Layla ke mana, Bi?"Suara Nathaniel di ruang tamu sore ini membuat Layla langsung menoleh, gadis itu tengah beduaan dengan Jeremy di dalam ruangan keluarga. Seketika Layla meminta Jeremy menutup pintu ruangan itu. Sehari saja, Layla ingin suaminya itu tidak terlalu posesif, Layla pusing dengan sifat Nathaniel yang sangat menyebalkan. "Sudah Kak," ujar Jeremy seraya terkikik geli anak itu berjalan mendekati Layla seraya membawa roti sus miliknya. "Sini-sini, duduk di samping Kakak. Biar saja Kak Nathan teriak-teriak di luar, Kakak pusing sekali dengannya," keluh Layla mendongakkan kepalanya. "Tapi kata Mami Valia, kalau dicereweti Papi Aaron, tandanya Papi Aaron i
Setelah acara pernikahan, Layla dan Nathaniel pulang ke rumah mereka sendiri. Nathaniel adalah laki-laki mapan yang sudah mempersiapkan segalanya sebelum menikah. Ada dua pembantu di rumahnya yang akan mengerjakan pekerjaaan rumah dan membantu Layla. Dan Nathaniel memberikan rumah itu pada Layla untuk hadiah pernikahan mereka. "Rumahnya bagus sekali," cicit Layla seraya menoleh dan menatap wajah tampan Nathaniel. "Kau suka?" Nathaniel mengusap pucuk kepala Layla. Layla pun mengangguk dengan mantap. "Sangat! Ini rumah paling bagus yang pernah Layla lihat. Seperti istana kalau dilihat dari luar, ada kerucutnya di atas sana!" seru Layla tersenyum. "Ya, memang desain awalnya aku buat seprti itu, agar tidak ada yang menyamainya." Layla hanya mengangguk saja, dan ia berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tangga melengkung dan lebar, lantai mengkilat dari marmer berwarna cream, dan beberapa pilar besar di dalam ruangan, serta lampu kristal besar yang menggantung di langit-lan
Pernikahan yang dimimpikan selama ini oleh Layla benar-benar terlaksana. Dalam hitungan detik demi detik pernikahan mereka sudah resmi.Dan begitu pula yang dirasakan oleh Nathaniel. Memiliki Layla seutuhnya dan ke mana-mana bisa ia jaga dan ia bawa, adalah cita-cita Nathan sejak dia masih kecil. Layla dan Nathaniel kini tengah sibuk dengan para tamu, tak lain adalah para teman-teman Nathaniel, karena Layla sendiri tidak memiliki teman. "Selamat ya kalian berdua, wahhh... Kapan ya aku nyusul?" seru Vargo menepuk pundak Nathaniel. "Mulutnya!" sinis Caley merangkul dan memukul punggung Vargo hingga laki-laki dengan tuxedo abu-abu itu tertawa. "Ya... Siapa tahu saja yang kedua kalinya." Vargo menjawab dengan sangat santai. Seketika Nathaniel terkekeh, ia menggenggam tangan Layla dan mengecupnya dengan lembut. "Jangan mendengarkan Sayang, mereka ini laki-laki gila!" sinis Nathaniel seraya menatap aneh pada semua temannya. "Iya, mereka lucu," ujar Layla. Layla merasakan ia seperti
Hari yang dinanti-nanti oleh Layla dan Nathaniel esok pagi akan terlaksana. Mereka semua keluarga kini berada di sebuah hotel milik keluarga Ferdherat. Hotel bintang lima yang berada di tengah-tengah kota Berlin. Laila Tengah berada di dalam kamarnya bersama Sarah, Caroline, Rosalia dan juga Valia. Keluarga Jazvier yang datang jauh-jauh hanya ingin melihat Layla menikah dengan Nathaniel. "Tidak terasa kita sudah tua ya Sarah, Cucu kita besok sudah mau menikah," ujar Caroline pada Sarah. "Iya, aku merasa seperti kemarin kita mengasuh anak-anak, tapi sekarang mereka sudah menikah saja. Ini waktu yang terlalu cepat atau apanya yang salah?" gumam Sarah seraya duduk bersandar. Valia bersama Rosalia duduk di atas ranjang bersama Layla yang berbaring bersama Jeremy. "Sepertinya tidak ada yang salah, Nenek saja yang menolak tua," sahut Jeremy tiba-tiba, anak itu sangat cerdas. Mendengar apa yang dikatakan bocah itu sontak membuat semua orang di dalam ruangan tersebut langsung tertawa.