"Bagaimana pun juga, kau harus kembali ke Milan. Kondisi Kakakmu sekarang cukup parah, Aaron." Seruan itu terdengar seperti perintah. Riftan, sahabatnya yang kini datang ke kediaman Aaron untuk menyampaikan hal itu. Aaron terlihat putus asa, ia mengacak rambutnya dan menyandarkan kepalanya di punggung sofa. "Apa Hans yang mengatakan ini padamu?" tanya Aaron. "Heem. Orang tuamu sudah menghubungimu, tapi kau tidak menjawabnya. Dan mereka ingin mnerikan kabar tentang Kakakmu." Senyuman getir mengiringi perasaan perih yang Aaron rasakan. Aaron sangat menyayangi Kakak laki-lakinya, di saat kedua orang tuanya tidak peduli padanya, namun Kakaknya selalu peduli dan memberikannya banyak perhatian. Namun sekitar dua tahun yang lalu, sang Kakak mendapatkan sebuah masalah hingga membuat mentalnya jatuh dan penyakit jantung yang dia derita kembali kambuh. "Tidak usah terlalu kau pikirkan, Kakakmu akan baik-baik saja." Riftan berdiri dan menepuk pundak Aaron. "Harusnya dia tidak merasakan i
Jam menunjukkan pukul tepat tengah malam, Aaron terlihat sangat terburu-buru ia menyahut mantel hangatnya dan berjalan keluar kamar. Langkahnya dengan refleks mengantarkan laki-laki itu menuju kamar Valia. Dibuka pelan pintu kayu di hadapannya, sosok Valia mengangkat wajahnya dengan tatapan terkejut. "Aaron," lirih Valia, gadis itu meletakkan sebuah jam pasir yang tadinya ia tatapi. "Aku akan pergi untuk beberapa hari, kau jangan coba-coba keluar atau bertemu dengan siapapun! Kau paham!"Valia mendongak menatap wajah tegas Aaron. Laki-laki itu berdiri di sisi ranjang menatapnya dengan tajam, namun terlintas mustahil Aaron tidak perhatian padanya. "Apa kau akan pergi lama?" tanya Valia menyibak selimutnya dan duduk di tepi ranjang. Seringai tipis terbit di sudit bibir Aaron. Ia membungkukkan badannya dan mensejajarkan wajahnya dengan Valia. "Mungkin. Kenapa? Apa kau takut merindukanku?" Aaron menepuk gemas pipi Valia. Wajah Valia terasa sangat panas, ia menggeleng cepat menghin
"Sudah satu minggu Aaron belum pulang, apa dia pergi ke luar negeri, Merisa?" Pertanyaan itu terucap dari bibir Valia pada pelayan yang tengah menyisir rambut panjangnya. Pelayan itu pun hanya mengangguk saja dan bergumam pelan. Begitu pun Valia juga sudah langsung paham. "Mungkin Tuan Aaron membahas seputar bisnisnya, Nona. Tuan adalah seorang presdir ternama, akan sangat sibuk beliau dengan semua pekerjaannya," jelas Merina pada sang Nona. Merina memajukan tubuhnya sejajar dengan wajah Valia dari samping dan tersenyum manis menatap pantulan cermin. "Emm, apa Nona Valia merindukan Tuan Aaron?" tanya Merina sedikit berbisik. Kedua mata Valia pun melebar mendengarnya, pipinya memerah bersemu dan dengan kuekeh ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ti... Tidak, aku tidak merindukannya.""Heum, Nona Valia berbohong. Buktinya pipi Nona Valia memerah." Merina terus menggoda Valia hingga gadis itu cemberut kesal. "Tidak Merina, hiihhh kau ini." Valia kesal Merina tertawa pelan dan teru
"Kenapa? Kenapa kejadian ini terulang lagi? Aku takut...." Valia duduk di atas lantai kayu yang dingin, ia menutup kepalanya dan menangis. Kejadian ini membuatnya trauma dan takut. Dikunci di dalam tempat yang gelap dan dingin tanpa ada satu cahaya pun di sana. Valia meremas puncak lengannya. 'Kenapa setiap aku melihat Aaron marah, rasanya aku seperti melihat Victor yang marah dan memaksaku. Kenapa mereka terlihat sangat mirip?' Di tengah rasa sedih yang Valia rasakan, tiba-tiba saja pintu paviliun depan terbuka. Sosok Aaron berdiri tegap di sana menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Aaron," lirih Valia. Laki-laki itu berjalan mendekatinya. "Berdiri. Apa yang kau lakukan dengan duduk di sini, huh?!" seru Aaron.Perlahan-lahan Valia bangkit dari duduknya, kakinya terasa pegal dan kesemutan karena terlalu lama. "Kau mau apa ke sini?" Valia mendongak menatap wajah Aaron. "Kau... Kau tidak memintaku pindah lagi ke tempat yang lebih gelap kan?" Laki-laki itu menatap wa
"Sebenarnya mau kau apakan Valia, sampai sekarang tidak kau eksekusi. Jangan-jangan kau jatuh cinta dengannya, ya?" Pertanyaan bernada gurau keluar dari bibir Fabio. Laki-laki dengan balutan kaos polos hitam yang menutupi tubuh kekarnya itu, tengah membidik sasarannya. Aaron hanya meliriknya, ia sibuk dengan mengisi butiran timah dalam senjata bermoncong yang ia pegang. "Aku tidak semudah itu jatuh cinta, Fabio," jawab Aaron berdiri. "Cih, aku takutnya kau ini lain di mulut lain pula di hati," canda Fabio terkekeh pelan. Aaron mendengkus sebal. "Untuk apa pula kau ke tempatku hari ini hah?! Kau hanya membuat suasana hatiku semakin buruk!" "Untuk menemanimu bermain ini. Atau... Bagaimana kalau Valia yang menjadi sasaran bidikanmu?" usul Fabio dengan wajah cengengesan.Dokter muda dan tampan itu, selalu hobi membuat Aaron marah hingga seperti monster bertanduk. Kali ini, Aaron meliriknya tajam. "Kau gila hah?! Ini hanya hobi, tidak untuk menghabisi siapapun!" Dan Fabio langsung
Valia tertatih memapah Aaron berbaring di atas ranjang di dalam paviliun ia tempati. Valia juga menarik selimut dan menutupinya. Sebelum beranjak, Valia menatap dalam-dalam wajah tampan Aaron yang terpahat begitu sempurna. "Laki-laki yang membingungkan," ucap Valia hendak mengulurkan tangannya menyentuh pipi Aaro, namun urung. "Kau kadang dingin padaku, kadang kau juga terlihat peduli, meskipun kau tidak mau mengakuinya." Valia mengembuskan napasnya panjang, ia hendak beranjak dari duduknya sebelum satu lengannya dicekal kuat oleh Aaron. Dengan cepat Valia menoleh. "Mau ke mana kau hah? Tidurlah denganku, Ava," ucap Aaron dengan mata terpejam.Valia kembali duduk di tepi ranjang, kali ini Aaron benar-benar terlelap. Entah apa yang merasukinya, ia memeluk pinggang Valia dengan erat dan mendusal seperti anak kecil. "Kau sedang mabuk berat, Aaron," ucap Valia dengan berani menyentuh surai rambut cokelat milik Aaron."Cerewet," maki Aaron dalam racauannya. Valia pikir kalau laki-lak
"Mama ingin kau cepat pulang ke Milan minggu ini. Jangan menunda lagi, Aaron! Mama ingin kau bertunagan dengan Amora secepatnya!" Suara amukan seorang wanita yang terdengar sambungan telepon di ponsel milik Aaron. Sedangkan putranya, sangat kesal tiap kali Mamanya membahas masalah ini. "Aku sudah bilang berapa kali pada Mama kalau aku tidak bisa pulang sekarang, Ma! Kalian urus saja sendiri!" seru Aaron dengan nada marah. "Hei... Amora menunggumu. Dia merindukanmu dan kami semua tidak tahu kau berada di mana!" teriak Jeselin. "Aku tidak peduli. Jangan menghubungiku lagi kalau kalian hanya membahas ini!" Aaron langsung memutus panggilan itu dan melemparkan ponselnya di sofa. Ia memijit pangkal hidungnya pelan. "Sial!" umpat Aaron kesal. Dari ujung atas anak tangga, sosok Valia diam-diam memperhatikan Aaron, semenjak beberapa hari yang lalu Valia menerima tawarannya, untuk patuh pada Aaron asal laki-laki itu tidak kasar padanya. Di situlah Valia merasa sangat bergantung pada Aa
Setelah pergi jalan-jalan hingga malam, Aaron langsung menggiring Valia masuk ke dalam kamar miliknya. Di sana, Valia yang baru saja masuk ke dalam kamar itu, ia berdiri di depan meja rias dan menatap kotak cincin berwarna merah beludru. Valia hendak menyentuhnya, namun urung. "Cincin milik siapa ini, Aaron?" tanya Valia akhirnya berani meraih kotak cincin di depannya. "Calon istriku," jawab Aaron, namun tiba-tiba ia memeluk Valia dari belakang usai menggati pakaiannya dengan stelan piyama. Valia tersenyum getir. "Ka-kau akan menikah, ya? Kapan?" Gadis itu membalikkan badannya dan tersenyum penuh dusta. "Entahlah, aku dan calon istriku akan bertemu beberapa minggu lagi. Aku akan mengajaknya ke sini." Aaron beringsut berjalan ke arah ranjang. Valia memejamkan kedua matanya perlahan. Sekali lagi dengan berani ia membalikkan badannya menatap Aaron. "Kau sebentar lagi akan menikah, apa artinya aku boleh pergi dari sini?" tanya Valia penuh harap. Aaron terkekeh. "Kau masih bergun