"Kumohon, lepaskan..." Valia mencengkeram selimut hitam di ranjang Aaron dengan kuat. Ia memejamkan kedua matanya dengan sangat erat. "Aaron, kau jahat sekali." Valia membuka kedua matanya dan menangis. "Aaron..." Laki-laki itu nyatanya malah tersenyum, tiba-tiba saja ia mendekati wajah Valia dan mngusap pucuk kepalanya. "Tenanglah," ucap Aaron. Valia menggeleng. "A-aaron... A-aku tidak-" Ucapan Valia lagi-lagi terhenti, kali ini Aaron memeluknya erat. Laki-laki itu tidak bergerak sedikitpun dan ia masih menghargai sekaligus terkejut karena Valia masih suci dan belum pernah tersentuh oleh Victor. Di sana, Aaron mulai menyimpulkan banyak hal dalam benaknya.'Pantas saja Victor sampai gila pada Valia, gadis ini... Dia sangat pintar menjaga diri dan aku... Aku yang berhasil memilikinya untuk kali pertama,' batin Aaron seraya menengkan Valia. Tangisan Valia pun mereda, gadis itu menatapnya sayu dan lemah. "Aaron...""Aku tidak akan berhenti," ujar Aaron membelai pipi Valia dan ma
"Aaron, aku sangat merindukanmu!" Seorang wanita cantik dengan balutan dress merah maron yang berlari keluar dari dalam rumah megah dan berhambur memeluk Aaron dengan sangat erat. Lain dengan Aaron, laki-laki itu malah melepaskan pelukan yang terkesan begitu mengganggunya. "Lepas," ucap Aaron terdengar bagai perintah. "Kenapa? Apa kau tidak merindukan aku?"Wanita cantik berambut cokelat terang itu adalah Amora, dia gadis yang akan menjadi calon istri Aaron. Selain teman kecilnya, Amora juga menjadi salah satu gadis yang pernah dekat dengan Aaron selama ini. Namun sesungguhnya Aaron tidak pernah menyukai Amora. "Aaron, setiap hari aku menemani Mamamu di rumah. Aku bahkan juga menemani Kak Victor, meskipun... Dia mengusirku," ujar gadis itu seraya terkekeh pelan dan berjalan masuk ke dalam rumah megah milik Aaron. "Lepaskan tanganmu, Amora!" Aaron menyentak tangan gadis itu. Amora mengerjapkan kedua matanya, hanya saja ia tidak lagi kaget dengan sifat Aaron yang dingin. Dan A
"Nona Valia diam-diam ternyata sangat peduli pada Tuan, dan terus merindukan Tuan." Aaron menoleh sekilas mendengar suara Merina. Asisten pribadinya itu berdiri di belakang Aaron yang tengah berdiri diam di balkon, tempat favorit Aaron. "Apa dia yang mengatakannya padamu?" tanya Aaron dengan nada pelan. Merina langsung menganggukkan kepalanya. "Benar sekali, Tuan. Nona Valia terus bertanya kapan Tuan akan pulang, dan Nona bilang... Tuan jauh lebih baik dari Tuan Victor." Aaron mengembuskan napasnya berat. Ia melirik Merina yang kini berjalan dan berdiri sejajar dengannya. Wanita itu menemani Aaron sejak Aaron masih duduk di bangku sekolah hingga kini Aaron sudah sangat dewasa. "Saya tahu apa yang Tuan pikikan. Untuk saat ini, melepaskan Nona Valia bukanlah hal yang mudah. Tapi akan memburuk kalau keluarga Tuan tahu semua ini." Merina bersedekap dan menatap air kolam di bawah sana yang berkilat karena cahaya lampu taman. "Victor sudah sembuh, Merina. Dia akan terus mencari Valia
Malam ini berbeda dari malam biasanya, entah kenapa suara di luar sangat menyeramkan. Antara hujan yang sangat-sangat lebar dan angin yang begitu kencang diikuti suara petir yang menyambar-nyambar. Valia yang takut, ia turun dari atas ranjang kamar Aaron. Ia mencari Aaron yang belum ke kamarnya. "Di-di mana Aaron?" lirih Valia mencengkeram erat gaun tidurnya. Gadis itu menyahut mentel tebal berwarna hitam milik Aaron yang berada di sofa dan Valia keluar dari dalam kemar. "Apa dia masih di ruangan kerjanya?" lirih Valia. Buru-buru Valia menuruni anak tangga, di ruang tengah ia melihat sosok Aaron yang duduk seorang diri dengan beberapa berkas yang menumpuk. "Aaron," panggil Valia dari ujung bawah anak tangga. Laki-laki itu mendongak. "Kenapa kau bangun?" Valia langsung berlari dan mendekatinya, gadis itu memeluk lengan Aaron dan kedua matanya menyala-nyala takut. "Kenapa hujannya seperti ini? Suara apa itu, Aaron? Kenapa mengerikan?" Valia menatap wajah tampan Aaron yang kini
"Aku akan pergi ke Roma, ada urusan penting yang harus aku selesaikan!" Aaron bediri menyentuh kedua pundak Valia dan menatapnya dengan tatapan tidak biasa. Padahal ini masih pagi buta. Tapi Aaron sudah mau pergi, dan entah kenapa Valia enggan pula untuk ditinggalkannya. "Kau di sini saja dengan Merina dan yang lainnya akan menjagamu," ujar Aaron dengan wajah serius dan terburu-buru. "Tapi Aaron-""Ava..." Aaron menatapnya dingin dan tajam. Valia cemberut seketika, ia meremas kuat bagian belakang mantel yang Aaron pakai saat ini. Gadis itu memejamkan kedua matanya dan menggeleng-gelengkan kepalanya kuat. "Aku ikut, aku ingin ikut ke Roma," serunya. Aaron melepaskan tangan Valia, tanpa menjawab apapun laki-laki itu langsung keluar dari dalam kamarnya. Pintu kamar tertutup rapat dan Valia kembali dengan rasa kecewa yang menyesak di dalam dadanya. "Kenapa aku tidak boleh ikut?" lirihnya sedih. Sementara di lantai satu, Aaron menatap Sergio yang berjalan ke arahnya diikuti Meri
Sepeninggal Valia dan Aaron dari tempat sang Mama angkat. Benar sekali dugaan Aaron kalau di tempat Helen kedatangan seseorang. Seorang Victor Peter Alieston yang datang mencari Valia. Laki-laki tampan itu berjalan masuk ke dalam di mana Helen sudah menduga-duga, untung saja Aaron dan Valia pergi lebih awal. "Tuan Victor," ucap Helen terpana melihat laki-laki itu yang kini sedikit kurus. "A-apa kabar? Apa yang membuat Tuan datang ke sini?" Victor menarik bangku dan duduk di hadapan Helen seraya menatap lekat wanita itu. "Di mana Valia?" tanya Victor, ia nampak mencari-cari."Valia... Valia sudah pergi sekitar satu bulan yang lalu. Dia pergi dari rumah dan saya tidak tahu ke mana dia pergi, Tuan," ujar Helen, tentu saja ia berdusta. Victor mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. "Kau membohongiku kan, Nyonya Helen?" "Tidak Tuan. Saya tidak berbohong sama sekali dan-" "Bagaimana kau tidak membohongiku, aku tahu dan aku kenal siapa Valia! Dia tidak mungkin pergi seorang diri, d
"Avalia, kau milikku malam ini..." Suara berat dari bibir Aaron membuat Valia semakin tidak berdaya dalam rengkuhannya. Valia tidak menyangka, malam ini akan menjadi malam yang indah dan panas. Setelah beberapa menit panjang berlalu, pelukan dibalas pelukan, kecupan dibalas kecupan, kini Akhirnya Aaron memeluknya dengan napas mereka yang beradu.Laki-laki itu menarik selimut dan menutupkan pada tubuh polos mereka. "Aku lelah," lirih Valia dengan mata sayu yang berat. "Tidurlah," bisik Aaron mengusap wajah Valia. Mengusap keringat tipis di pelipis hingga pipi Valia. "Apa aku kelewatan, hem?" Valia menggelengkan kepalanya. "Ja-jangan lakukan lagi, aku ingin tidur," pinta Valia lemah. Aaron mengangguk. "Istirahatlah, Ava." Sudah tidak kuat lagi Valia membuka mata, ia meringkuk bagai anak kecil mencari kehangatan dalam pelukan Aaron. Laki-laki itu merasa dadanya bagai ditekan kuat-kuat. Kenapa ia bisa segila ini? Tidak ia sangka, Valia benar-benar candu yang sebenarnya ia idamkan.
"Apa Tuan Aaron serius ingin membuat Nona Valia hamil? Tuan tidak mempertimbangkan keputusan Tuan dulu?" Pertanyaan penuh tuntutan dari bibir Merina membuat Aaron mengerutkan keningnya. Laki-laki itu menutup laptopnya dan memperhatikan Merina dengan wajah penuh permohonan. "Tuan, Nona Valia masih sangat muda. Kasihan kalau dia sampai hamil dan-" "Kau pikir aku segila itu, huh?!" seru Aaron dengan nada tinggi. "Hah?" Merina mengerjapkan kedua matanya. Aaron langsung berdiri dan berjalan melewati Merina menuju pintu. "Valia tidak akan hamil Merina, aku tahu kau sudah menganggap gadis itu seperti anakmu sendiri.""Mohon jangan terlalu sering berhubungan dengan Nona, Tuan." Merina berani lancang demi Valia, ia sangat-sangat tidak tega. "Ka-kasihan Nona, saya mohon..." Langakah Aaron seketika terhentu, ia menoleh ke belakang hingga tiba-tiba saja Merina menjatuhkan lututnya pelan dan terduduk. Bekerja belasan tahun dengan Aaron, baru kali ini Merina sampai memohon padanya hanya un