"Aku akan pergi ke Roma, ada urusan penting yang harus aku selesaikan!" Aaron bediri menyentuh kedua pundak Valia dan menatapnya dengan tatapan tidak biasa. Padahal ini masih pagi buta. Tapi Aaron sudah mau pergi, dan entah kenapa Valia enggan pula untuk ditinggalkannya. "Kau di sini saja dengan Merina dan yang lainnya akan menjagamu," ujar Aaron dengan wajah serius dan terburu-buru. "Tapi Aaron-""Ava..." Aaron menatapnya dingin dan tajam. Valia cemberut seketika, ia meremas kuat bagian belakang mantel yang Aaron pakai saat ini. Gadis itu memejamkan kedua matanya dan menggeleng-gelengkan kepalanya kuat. "Aku ikut, aku ingin ikut ke Roma," serunya. Aaron melepaskan tangan Valia, tanpa menjawab apapun laki-laki itu langsung keluar dari dalam kamarnya. Pintu kamar tertutup rapat dan Valia kembali dengan rasa kecewa yang menyesak di dalam dadanya. "Kenapa aku tidak boleh ikut?" lirihnya sedih. Sementara di lantai satu, Aaron menatap Sergio yang berjalan ke arahnya diikuti Meri
Sepeninggal Valia dan Aaron dari tempat sang Mama angkat. Benar sekali dugaan Aaron kalau di tempat Helen kedatangan seseorang. Seorang Victor Peter Alieston yang datang mencari Valia. Laki-laki tampan itu berjalan masuk ke dalam di mana Helen sudah menduga-duga, untung saja Aaron dan Valia pergi lebih awal. "Tuan Victor," ucap Helen terpana melihat laki-laki itu yang kini sedikit kurus. "A-apa kabar? Apa yang membuat Tuan datang ke sini?" Victor menarik bangku dan duduk di hadapan Helen seraya menatap lekat wanita itu. "Di mana Valia?" tanya Victor, ia nampak mencari-cari."Valia... Valia sudah pergi sekitar satu bulan yang lalu. Dia pergi dari rumah dan saya tidak tahu ke mana dia pergi, Tuan," ujar Helen, tentu saja ia berdusta. Victor mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. "Kau membohongiku kan, Nyonya Helen?" "Tidak Tuan. Saya tidak berbohong sama sekali dan-" "Bagaimana kau tidak membohongiku, aku tahu dan aku kenal siapa Valia! Dia tidak mungkin pergi seorang diri, d
"Avalia, kau milikku malam ini..." Suara berat dari bibir Aaron membuat Valia semakin tidak berdaya dalam rengkuhannya. Valia tidak menyangka, malam ini akan menjadi malam yang indah dan panas. Setelah beberapa menit panjang berlalu, pelukan dibalas pelukan, kecupan dibalas kecupan, kini Akhirnya Aaron memeluknya dengan napas mereka yang beradu.Laki-laki itu menarik selimut dan menutupkan pada tubuh polos mereka. "Aku lelah," lirih Valia dengan mata sayu yang berat. "Tidurlah," bisik Aaron mengusap wajah Valia. Mengusap keringat tipis di pelipis hingga pipi Valia. "Apa aku kelewatan, hem?" Valia menggelengkan kepalanya. "Ja-jangan lakukan lagi, aku ingin tidur," pinta Valia lemah. Aaron mengangguk. "Istirahatlah, Ava." Sudah tidak kuat lagi Valia membuka mata, ia meringkuk bagai anak kecil mencari kehangatan dalam pelukan Aaron. Laki-laki itu merasa dadanya bagai ditekan kuat-kuat. Kenapa ia bisa segila ini? Tidak ia sangka, Valia benar-benar candu yang sebenarnya ia idamkan.
"Apa Tuan Aaron serius ingin membuat Nona Valia hamil? Tuan tidak mempertimbangkan keputusan Tuan dulu?" Pertanyaan penuh tuntutan dari bibir Merina membuat Aaron mengerutkan keningnya. Laki-laki itu menutup laptopnya dan memperhatikan Merina dengan wajah penuh permohonan. "Tuan, Nona Valia masih sangat muda. Kasihan kalau dia sampai hamil dan-" "Kau pikir aku segila itu, huh?!" seru Aaron dengan nada tinggi. "Hah?" Merina mengerjapkan kedua matanya. Aaron langsung berdiri dan berjalan melewati Merina menuju pintu. "Valia tidak akan hamil Merina, aku tahu kau sudah menganggap gadis itu seperti anakmu sendiri.""Mohon jangan terlalu sering berhubungan dengan Nona, Tuan." Merina berani lancang demi Valia, ia sangat-sangat tidak tega. "Ka-kasihan Nona, saya mohon..." Langakah Aaron seketika terhentu, ia menoleh ke belakang hingga tiba-tiba saja Merina menjatuhkan lututnya pelan dan terduduk. Bekerja belasan tahun dengan Aaron, baru kali ini Merina sampai memohon padanya hanya un
"Aaron, ka-kau menyelamatkanku." Valia mendongak mentap wajah Aaron dan kembali memeluknya. Gadis itu merasa kakinya kini seperti tidak lagi bertulang. Laki-laki itu tetap memeluknya sebelum Aaron menatap lekat wajah Valia, Aaron melihat seberapa takutnya Valia pada Victor. "Kita pulang pergi sekarang...""Jangan! Jangan dulu, dia sedang ada di luar tadi, dia sedang bersama anak buahnya. Tadi... Tadi anak buahnya menemuiku, Aaron." "Ava, ada aku bersamamu. Kau jangan takut, okay?!" Valia terdiam ragu, hingga Aaron kembali membawanya bangun. Laki-laki itu memakaikan kembali jaket biru hangat milik Valia, syal putihnya, dan sarung tangan hangat. Suara isakan tiba-tiba terdengar dari bibir Valia. Gadis itu tengah menatap lekat-lekat wajah Aaron yang kini berdiri di depannya. "Kenapa kau menolongku? Bukannya kau sangat membenciku?" tanya Valia mencengkeram erat mentel yang Aaron pakai. Aaron tersenyum tipis, ia membungkukkan badannya menyamakan tinggi mereka dan mengusap lembut pi
Aaron berjalan masuk ke dalam mansion dengan wajahnya yang babak belur. Sudut bibirnya membiru dan robek, pukulan yang Victor daratkan benar-benar membekas. Begitu laki-laki memasuki mansion, ia terdiam sejenak menatap siapa yang menyambutnya dengan hangat. "Kau dari mana? Kenapa pergi? Aku pulang ke sini diantar Riftan," ujar Valia berjalan cepat ke arahnya dan tersenyum. Namun senyuman Valia perlahan pudar begitu ia melihat luka lebam yang membiru di sudut bibir Aaron. "Aaron..." Valia berjinjit menyentuh sudut bibir itu. "Ka-kau kenapa? Siapa yang melakukan ini padamu?" Aaron menatap lekat manik mata Valia, setelah belasan tahun lamanya. Aaron tidak pernah mendapatkan perhatian sehangat ini dari siapapun apa lagi orang tuanya, tidak pernah disambut kepulangannya, tidak pernah ada yang bertanya apa yang terjadi padanya, tapi kini sosok Valia membuatnya ingin memeluk gadis itu erat-erat. "Tidak papa," jawab Aaron dingin. Laki-laki itu hendak melewati Valia, namun gadis itu men
"Aku akan menginap di sini. Nanti malam aku ingin tidur denganmu, Aaron!" Seruan itu terdengar dari bibir Amora, gadis berambut cokelat panjang yang tengah duduk di sofa memeluknya dengan erat. Namun tidak semanis Amora, Aaron malah menjauhkan tangan gadis itu darinya. "Lepaskan Amora! Apa-apaan kau hah?!" sentak Aaron mendorong gadis itu untuk menjauh."Aaron aku ini calon istrimu!" pekik Amora tak terima. Aaron berdiri dengan erat wajah kesal. "Itu bagimu, tapi tidak bagiku! Setelah ini, kau bisa pulang dan pergi dari sini!" teriak Aaron. Amora langsung bangkit dari duduknya. Sejak bertahun-tahun lamanya, bahkan saat mereka masih kecil, mereka sudah berteman dekat, tapi baru kali ini Aaron menunjukkan sikapnya yang demikian pada Amora."Aku tidak tahu apa yang sudah mempengaruhimu! Tapi kau sangat berubah! Bahkan untuk menganggap keberadaanku pun kau terasa enggan! Kenapa, Aaron?! Kenapa?!" teriak Amora. Aaron memijit pangkal hidungnya dengan pelan, sejauh ini di mansionnya se
"Keluar dari kamarku, Amora!" Teriakan keras keras Aaron bersamaan pintu kamar itu terbuka. Di sana Valia dan Merina terkejut melihat Aaron berdiri tegap dengan wajah penuh amarah. Sedangkan Amora berdiri di pojokan dengan wajah menyesal. Kini Valia tahu apa yang membuat Aaron marah, Amora berusaha untuk bermalam dengan Aaron, buktinya dia menyisakan pakaian bagian dalamnya saja yang melekat pada tubuhnya. "Nona Amora..." "Lepas!" teriak Amora menyentak tangan Merina. Amora beralih lagi menatap Aaron dengan tatapan yang tidak biasa. Ia mengambil pakaiannya dan kembali memakainya dengan santai. Bibirnya terangkat, Amora tersenyum smirk pada Aaron yang menatapnya penuh kebencian. "Cih! Aaron, pantas saja kedua orang tuamu selalu malas mengaturmu! Mereka bahkan kau mati pun tidak peduli, mereka berdua hanya berpura-pura sayang padamu, agar terlihat baik-baik saja di mata publik, namun aslinya... Kau hanyalah sampah di dalam keluargamu sendiri," seru Amora dengan penuh kekesalan.