Aaron berjalan masuk ke dalam mansion dengan wajahnya yang babak belur. Sudut bibirnya membiru dan robek, pukulan yang Victor daratkan benar-benar membekas. Begitu laki-laki memasuki mansion, ia terdiam sejenak menatap siapa yang menyambutnya dengan hangat. "Kau dari mana? Kenapa pergi? Aku pulang ke sini diantar Riftan," ujar Valia berjalan cepat ke arahnya dan tersenyum. Namun senyuman Valia perlahan pudar begitu ia melihat luka lebam yang membiru di sudut bibir Aaron. "Aaron..." Valia berjinjit menyentuh sudut bibir itu. "Ka-kau kenapa? Siapa yang melakukan ini padamu?" Aaron menatap lekat manik mata Valia, setelah belasan tahun lamanya. Aaron tidak pernah mendapatkan perhatian sehangat ini dari siapapun apa lagi orang tuanya, tidak pernah disambut kepulangannya, tidak pernah ada yang bertanya apa yang terjadi padanya, tapi kini sosok Valia membuatnya ingin memeluk gadis itu erat-erat. "Tidak papa," jawab Aaron dingin. Laki-laki itu hendak melewati Valia, namun gadis itu men
"Aku akan menginap di sini. Nanti malam aku ingin tidur denganmu, Aaron!" Seruan itu terdengar dari bibir Amora, gadis berambut cokelat panjang yang tengah duduk di sofa memeluknya dengan erat. Namun tidak semanis Amora, Aaron malah menjauhkan tangan gadis itu darinya. "Lepaskan Amora! Apa-apaan kau hah?!" sentak Aaron mendorong gadis itu untuk menjauh."Aaron aku ini calon istrimu!" pekik Amora tak terima. Aaron berdiri dengan erat wajah kesal. "Itu bagimu, tapi tidak bagiku! Setelah ini, kau bisa pulang dan pergi dari sini!" teriak Aaron. Amora langsung bangkit dari duduknya. Sejak bertahun-tahun lamanya, bahkan saat mereka masih kecil, mereka sudah berteman dekat, tapi baru kali ini Aaron menunjukkan sikapnya yang demikian pada Amora."Aku tidak tahu apa yang sudah mempengaruhimu! Tapi kau sangat berubah! Bahkan untuk menganggap keberadaanku pun kau terasa enggan! Kenapa, Aaron?! Kenapa?!" teriak Amora. Aaron memijit pangkal hidungnya dengan pelan, sejauh ini di mansionnya se
"Keluar dari kamarku, Amora!" Teriakan keras keras Aaron bersamaan pintu kamar itu terbuka. Di sana Valia dan Merina terkejut melihat Aaron berdiri tegap dengan wajah penuh amarah. Sedangkan Amora berdiri di pojokan dengan wajah menyesal. Kini Valia tahu apa yang membuat Aaron marah, Amora berusaha untuk bermalam dengan Aaron, buktinya dia menyisakan pakaian bagian dalamnya saja yang melekat pada tubuhnya. "Nona Amora..." "Lepas!" teriak Amora menyentak tangan Merina. Amora beralih lagi menatap Aaron dengan tatapan yang tidak biasa. Ia mengambil pakaiannya dan kembali memakainya dengan santai. Bibirnya terangkat, Amora tersenyum smirk pada Aaron yang menatapnya penuh kebencian. "Cih! Aaron, pantas saja kedua orang tuamu selalu malas mengaturmu! Mereka bahkan kau mati pun tidak peduli, mereka berdua hanya berpura-pura sayang padamu, agar terlihat baik-baik saja di mata publik, namun aslinya... Kau hanyalah sampah di dalam keluargamu sendiri," seru Amora dengan penuh kekesalan.
Valia tengah berdiri di tepi kolam membawakan handuk dan sebuah bathroube untuk Amora. Wanita itu tidak mau kunjung pergi dan keras kepala ia ingin menetap di mansion Aaron.Kini, Amora menunjuk apapun yang dia inginkan dan Valia lah yang harus mengerjakannya. "Pelayan! Ambilkan minumanku!" perintah Amora menunjuk ke arah meja kecil di mana ada segelas jus jeruk milik Amora di sana. "Ini, Nona," ujar Valia menyerahkan segelas jus itu pada Amora. "Di mana Aaron? Apa kau melihat calon suamiku?" tanya Amora seraya berdiri di tepian kolam. Valia menggelengkan kepalanya. "Tidak Nona. Tapi sepertinya saya melihat Tuan tadi di dalam ruangan kerjanya." Amora memicingkan matanya dengan tatapan tajam dan kesal. Benar-benar ia menatap penuh kebencian pada Valia saat ini. "Jangan dekati Aaron lagi, Ava. Ini perintah!" tegas Amora, kali ini Amora menaraik pelan lengan Valia dan menatap lekat kedua mata Valia. "Kau seorang wanita kan? Kau paham kan, bagaimana rasanya kalau orang yang kau cint
"Tidurlah... Aku akan memelukmu. Kau pasti lelah, kan?" Aaron menjadikan lengan kekarnya sebagai bantal untuk Valia. Gadis itu dengan wajah lemah dan tatapan sayu, ia menatap lekat wajah Aaron.Jemari lentik Valia mengusap wajah Aaron dengan sangat lembut. Valia kembali menyembunyikan wajahnya dalam dekapan Aaron. "Aaron," panggil Valia pelan. "Hem, ada apa, Ava?" Aaron tertunduk menatap Valia yang cemberut ingin menangis. Laki-laki itu tersenyum tipis. "Kenapa, Ava?" "Kau ingin menghabisiku ya?" lirih Valia begitu manja untuk kali pertama pada Aaron. "Kau lihat, ini sudah jam berapa!" Aaron tersenyum. "Lalu? Kau juga tidak menolaknya. Aku lihat tadi kau malah menikmatinya dan... suka," seru Aaron sengaja menggoda Valia. Kedua pipi gadis itu bersemu dan merah padam wajahnya. Valia pun segera menarik selimut dan menutupkan pada sekujur tubuhnya. Memalukan sekali. Valia rasanya ingin menghilang saja kalau ucapan yang Aaron katakan memang benar. "Kau bohong kan, Aaron?" lirih Va
"Kau pasti tahu di mana Valia, kan?! KATAKAN PADAKU, BRENGSEK!" Teriakan keras Victor bersamaan dengannya menarik krah kemeja putih yang Aaron pakai dan mendorongnya hingga nyaris terjatuh. Aaron hanya diam tanpa ekspresi. Ia sudah menduga kalau Victor akan semarah ini padanya, dan Aaron tidak akan peduli padanya. "Untuk apa kau mencari gadis yang selalu kau sakiti, Victor? Apa kau lupa, apa saja yang pernah kau lakukan pada Valia?" Aaron berjalan mendekatinya perlahan. "Bayangkan kalau gadis itu tahu, kematian Papanya disebabkan olehmu. Kau yang diam-diam membeli sahan perusahaan milik Papa Valia dengan cara yang gelap. Dan kau pikir itu semua akan menjadi acuan bagimu, agar Valia tunduk padamu? Nyatanya... Geraldi mati karenamu, dan secara tidak nyata, kau yang menghabisinya!" "Cukup Aaron!" teriak Victor, kali ini ia melayangkan satu bogeman di pipi Aaron dengan cukup kuat. Aaron terhuyung, ia menyeka darah di sudut bibirnya dan tersenyum menyeringai. "Victor, kau sakit buka
Satu bulan kemudian.Sesuatu yang hangat terasa menyelimuti tubuh Valia, gadis itu masih bersembunyi di balik selimut tebal berwarna hitam dan bersarang dalam pelukan Aaron. Waktu berjalan dengan cepat, Valia merasakan Aaron semakin dekat dengannya, meskipun kadang laki-laki itu menunjukkan sikapnya yang aneh dan Valia menjadi serba salah bersamanya. "Eunghhh... Dingin," lirih Valia menarik selimutnya pelan. "Ava..." Aaron kian kuat melilitkan tangannya di pinggang Valia. Kedua mata gadis itu terbuka lebar, ia menatap ke arah luar jendela di mana hujan salju turun pagi ini. Bulan Desember yang sudah Valia nantikan. Dulu, setiap turun salju, Valia akan menghabiskan waktunya bersama sang Papa untuk jalan-jalan di kota. Tapi kali ini tidak lagi. Gadis cantik itu membalikkan badannya dan menatap wajah Aaron yang begitu damai dalam tidurnya. "Kau masih tidur?" Valia mengusap pipi Aaron yang kini mulai ditumbuhi bulu halus. "Ayo keluar, pagi ini turun salju. Ayo..." "Di luar dingin,
"Jelaskan padaku, apa maksudmu kau memberikan obat ini pada Ava, hah?!" Pelayan Merina langsung tersentak begitu Aaron meletakkan sebotol obat di atas meja kayu tepat di hadapan Merina. Dari belakang, Valia berlari mengejar Aaron."Aaron jangan, jangan memarahinya!" pekik Valia, gadis itu menarik lengan Aaron dan menatap pelayan Merina. "Jangan..." "Jawab Merina!" desis Aaron tetap menatap pelayan itu. Merina mengembuskan napasnya berat, ekor matanya melirik Valia yang sangat cemas. "Maaf kalau saya lancang Tuan, hanya saja... Saya tidak mau kalau akan timbul banyak masalah kalau Nona sampai hamil," jawab Merina dengan jujur. "Sampai di sini saja, sudah banyak sekali masalah yang Tuan hadapi. Bagaimana kalau Nona sampai hamil?" Valia terdiam mendengarkan penjelasan Merina, gadis itu melirik Aaron yang mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. "Kau pikir aku-" "Aaron, pelayan Merina benar." Valia menyela cepat dan beralih berdiri di hadapan laki-laki itu. Valia menatapnya dan m