'Kenapa Aaron meninggalkanku di sini? Kenapa... Kenapa, Aaron?' Valia memeluk dirinya sendiri dalam dinginnya malam. Detik demi detik terus berlalu, gadis itu setia duduk meringkuk di sana. Hingga tak berselang lama, sebuah mobil behenti di depan Valia. Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar keluar dari dalam mobil dan berjalan mendekatinya. "Permisi Nona Valia, perkenalan saya Edward. Saya diperintah oleh Tuan Aaron untuk membawa Nona kembali ke Rom-" "Pergilah, aku tidak mau ke mana-mana," ujar Valia menggelengkan kepalanya. "Nona, tapi malam ini salju akan turun lebih tebal, Nona Valia bisa sakit kalau terus di sini..."Valia menangis menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku bilang aku tidak mau! Aku akan tetap di sini menunggu Aaron menjemputku. Pergilah... Pergi! Jangan kembali lagi!" teriak Valia. Laki-laki itu terdiam sesaat, perlahan ia pun mundur menjauh. Mungkin benar dengan apa yang Aaron katakan, kalau sosok seorang Valia memang sangat keras kepala, dia juga gadis yang
"Aaron, jangan beranjak. Tetaplah begini." Kedua tangan kecil Valia melingkar memeluk punggung laki-laki itu. Dengan wajahnya yang bersemu dan memerah merona indah. Laki-laki itu mengembuskan napasnya pelan, ia tersenyum miring sekilas dan mengecup ujung hidung Valia hingga membuat gadis itu terkikik geli. "Kau sangat kecil Ava, kau bisa sesak," ucap Aaron hendak beranjak, lagi-lagi gadis itu menahannya. "Jangan beranjak," lirihnya menarik tengkuk leher laki-laki itu dengan pelan dan ia sandarkan di pundaknya. Aaron pun menuruti apa yang Valia minta, laki-laki itu tidak beranjak dari atas tubuhnya. Meskipun mereka masih berada di sisa-sisa percintaannya. Tidak ada yang membuka suara setelahnya, namun Aaron merasakan usapan lembut jemari Valia di punggungnya yang terasa lembut. "Aku bangun," ucap Aaron menarik tubuhnya. Valia menoleh, ia memperhatikan Aaron yang kini memakai piyamanya. Valia pun bergegas bagun, ia menunjuk ke arah gaun tidurnya di ujung ranjang. "Ambilkan," pi
"Ada pesta penting dari keluarga ternama yang akan segera diselenggarakan di salah hotel Roma, apa Tuan akan mendatangi undangan tersebut?" Merina menuangkan teh melati dalam cangkir milik Aaron. Sedangkan sang Tuan sibuk memangku gadisnya dan menatap apa yang tengah gadisnya itu lakukan kini. "Tu-tuan?" Merina memanggilnya sekali lagi. Aaron mendengus pelan. "Ya, aku akan datang. Kau siapkan gaun yang paling mahal untuk gadisku," ujar Aaron mengusap rambut panjang Valia. Gadis itu terdiam sejenak menghentikan kegiatan merajutnya dan menoleh ke belakang menatap lekat wajah Aaron. "Ka-kau mengajakku ke pesta?" tanya Valia dengan kedua matanya yang melebar sempurna. "Ya, kau mau ikut denganku?" tawar Aaron melingkarkan kedua tangannya di pinggang kecil Valia. Valia pun mengangguk antusias, ia tersenyum hingga kedua matanya menyipit sempurna. Seorang asisten Aaron, yang bertahun-tahun lamanya kerja dengannya, baru kali ini Merina melihat Aaron begitu perhatian dan hangat pada seo
"Eungghhh... Peluk aku erat-erat." Kedua tangan kecil Valia mencengkeram pundak Aaron dengan erat. Embusan napas hangat gadis itu menerpa wajah laki-laki yang mendekapnya. Diusap dengan lembut pipi putih Valia dan Aaron menyatukan keningnya dengan gadis itu. "Kau takut, hem?" bisik Aaron dengan sangat lembut. Valia mengangguk samar. "Heem, aku takut..." Suaranya begitu gemetar. Mantel hitam itu pun dibuka oleh Aaron, laki-laki itu mengembuskan napasnya panjang dan merangkul Valia. Keduanya duduk bersandar, Valia pun masih meringkuk sebelum ia menarik diri dan duduk memeluk kedua lututnya. "Kenapa...," lirih Valia bergetar hebat. Ia menangis kuat tanpa suara. "Kenapa aku bertemu dengannya? Kenapa..." Aaron menoleh. "Ava..." "Di-dia masih sempat memanggilku Sayang, suaranya... Aku benci suaranya! Aku benci wajahnya! Aku benci dia menarik lenganku, AKU BENCI!" pekik Valia marah. Di dalam gudang itu, Valia menangis menggosok lengannya dengan kuat. Ia berharap sentuhan tangan Vic
"Aku akan menandatangani permintaan bantuan saham tiga puluh persen milikku, asal ada satu permintaan yang ingin aku ajukan pada kalian!" Aaron mendorong sebuah berkas bersampul hitam di hadapan Mama dan Papanya. Benar sekali, dalam satu malam, Aaron mampu melumpuhkan perusahaan milik kedua orang tuanya, menjadikan mereka sebagai umpan untuk datang dan meminta bantuannya. "Katakan," seru Petter menatap jeli. Aaron tersenyum smirk. "Aku ingin kalian segera menikahkan Victor dengan seseorang. Baru aku mau menandatangani berkas ini. Karena nantinya, perusahaan ini akan beralih ke tangan Victor, bukan? Bukannya sudah jelas tertulis nama pasangan dan calon pewarisnya nanti!" Senyuman Aaron mengembang seraya memeicing tajam iris biru matanya. Sedangkan kedua orang tuanya begitu terkejut dengan permintaan Aaron. Namun tidak salah bagi Aaron untuk menuntut hal yang memang tertera di sana. "Huuuhhh... Victor masih saja mencari Avalia!" seru Jeselin memejamkan kedua matanya sebal. "Aval
Setelah semua teman-teman Aaron pulang, Valia baru berani keluar dari dalam kamar. Gadis itu menatap banyak sekali gelas dan botol minuman di atas meja. Di sana juga tidak ada siapa-siapa, entah ke mana perginya Aaron. "Hemm... Minuman apa ini? Apa ini bisa membuatku mabuk?" cicit Valia meraih minuman berwarna biru di dalam botol berwarna hijau. Ia menuangnya dan menghirup aroma minuman itu dalam-dalam."Aromanya segar, pasti manis," lirihnya. "Kau bisa mabuk berhari-hari kalau meminum segelas penuh seperti itu, Ava!" Suara Aaron membuat Valia menghentikan kegiatannya. Gadis itu menoleh ke belakang di mana Aaron berdiri di ambang pintu memperhatikan. Valia menatap minuman yang ia bawa dan kembali meletakkannya. "Ini bisa membuatku mabuk?" tanya Valia. "Heem, semua minuman di atas meja ini, tidak ada yang tidak membuatmu mabuk," jawab Aaron tersenyum tipis. Valia langsung memberikan gelas kecil yang berisi minum berwarna merah pada Aaron. "Coba kau minum, apa kau mabuk?" Gad
"Kau harus pergi dari sini, Ava!" Aaron bergegas menyahut mantel hitam miliknya dan memakaikan pada Valia. Gadis itu berdiri di hadapannya dengan pasrah membiarkan Aaron memasangkan mantel hangat di tubuhnya. "Pe-pergi ke mana? Kalau aku pergi... Kau bagaimana? Apa kau juga akan pergi denganku? Aaron..." Valia mencengkeram bagian belakang piyama yang Aaron pakai. Laki-laki itu menoleh menatap Valia dan menggeleng. "Tidak. Pergilah bersama dengan Sergio dan Merina," jawab Aaron. Pupil mata Valia melebar, ia merapat pada Aaron dan menggelengkan kepalanya memeluk laki-laki itu. "Ti-tidak mau!" Valia menggeleng kuat. "Aku hanya akan pergi kalau kau pergi, aku tidak akan mau ke manapun kalau kau masih setia di sini!" "Jangan membantahku, Valia!" sentak Aaron marah.Pintu kamar Aaron terketuk, Aaron pun gegas membuka pintu itu. Di sana berdiri Merina dan Sergio yang menatap Aaron dengan cemas. Aaron menatap Sergio dan menyerahkan sebuah kunci padanya. "Jaga Valia baik-baik, jangan
"Aaarrgghhh... BRENGSEK! Berani sekali kau menidurinya hah?! Berani sekali kau menyentuh Valia, Aaron!" Victor berteriak murka memegangi kepalanya, kedua bola matanya melebar sempurna. Kemarahan merasukinya tanpa jeda. Aaron benar-benar terlihat seperti penjahat yang sebenarnya di sini. Sekali lagi ia tidak peduli, hatinya, jiwanya, dirinya, telah berpihak pada Valia. "Itulah kejujuran yang selama ini aku sembunyikan darimu, Victor!" ujar Aaron berdiri di hadapan sang Kakak. Victor menatapnya sinis, dengan Hans yang memegangi pundak Victor dari belakang karena laki-laki itu begitu terlihat kesakitan. "Kenapa kau melakukan hal ini padaku, Aaron? Kenapa... Kenapa harus Valia?" lirih Victor putus asa. Aaron tersenyum smirk, ia meraih senjata moncong milik Victor yang jatuh. Dengan wajah dinginnya, ia berganti mengarahkan benda itu tepat di depan wajah Victor. Ekspresi datar menyelimuti wajah tampan Aaron. "Kau lebih licik dari yang aku duga. Kau... Kau baik hati padaku karena kau
Pemandangan yang indah saat Valia menatap anak dan menantunya tengah menikmati hari yang indah di taman mansion pagi ini. Waktu berjalan dengan cepat, Valia percaya dengan adanya cinta sejati dan ia tidak salah menempatkan hatinya sejak awal pada orang yang mau menjadi sandarannya hingga kini. "Sedang apa, Sayang?" sapa Aaron mendekati Valia. "Hem, tidak ada. Senang sekali melihat mereka, dan tempat ini...." Valia mendongak menatap seisi mansion yang tidak berubah sama sekali. Tempat itu sangat terawat dan juga bersih bahkan beberapa barang-barang yang dulu Valia tinggalkan masih di tempat. Betapa membekas kuat semua kepingan-kepingan ingatannya dari kisah cinta hingga kebenciannya kepada Aaron yang kini sudah tertutup rapat. "Tempat ini masih khas dengan segala hal yang menyangkut kita," ujar Aaron menatap Valia dan memeluknya. "Dan aku merasa bahagia bisa menua bersamamu." Valia tidak yakin mendengar apa yang suaminya katakan barusan, tapi ia merasa tersentuh begitu Aaron men
Trieste, Italia. Seperti masa kecil Mamanya, shopie terlihat sangat heboh saat dia telah sampai di Trieste. Tepatnya di mansion milik sang Opa. Bangunan super megah yang dikelilingi pemandangan laut yang indah. Tidak ada yang berubah di sana, Layla dan Nathaniel juga sangat menikmati keindahan tempat itu. "Wahh... Bagus sekali, kenapa aku dulu tidak betah tinggal di sini Ma? Padahal bagus sekali!" Layla memeluk lengan Valia dan mereka berjalan di teras samping samping mansion."Entah karena apa dulu, mungkin karena kita kasihan pada Kakek," jawab Valia. Ia tidak mau mengingatkan masa lalu yang cukup buruk pada Layla. Nathaniel bersama Aaron di depan sana, laki-laki itu menggendong Shopie yang sudah bingung ingin pergi mengelilingi mansion. Sementara Valia masih bersama dengan Layla. Valia merasa ada sesuatu yang menyentuh hati terdalamnya, tempat ini mempunyai ribuan kisah Valia dan Aaron, dari benci, marah, ambisi, obsesi, hingga cinta yang sangat tulus. Sosok Aaron yang sama
Lima Tahun Kemudian..."Shopie! Jangan lari-lari nanti jatuh..." Suara teriakan keras itu berasal dari bibir Layla yang berdiri di dalam rumah memperhatikan putri kecilnya yang terlihat begitu kesenangan. Shopie Tan Ferdherat, gadis cantik yang memiliki wajah sangat mirip dengan Mamanya. Dia juga sangat keras kepala seperti Papanya, dan Sopie anak yang manja, seperti Mamanya. "Mi, katanya nanti malam mau pergi sama Opa dan Oma, ayo... Sopie bantu-bantu Mami!" seru anak itu lompat-lompat kesenangan. "Iya, tapi nanti dulu, Sayang... Sekarang Shopie naik ke atas yuk, jangan lari-larian di bawah. Mami mau ke atas." Layla mengulurkan tangannya pada Shopie. Anak itu pun seketika mengangguk antusias, mereka berdua langsung berjalan ke lantai atas dan Sophie berjinjit membuka pintu kamarnya. Di dalam sana, anak itu menatap Papanya yang masih tertidur dengan santai dan nyenyak. Shopie tersenyum tipis, ia berjalan perlahan-lahan naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Papanya. "Papi... Ay
"Mama dan Papa akan sering-sering ke sini untuk memantau Layla, karena Papa perhatikan akhir-akhir ini kau sangat sibuk sampai sering meninggalkan istrimu sendiri yang di rumah." Aaron mengatakan hal itu kepada menantunya, dan tentu saja nontonnya langsung mengangguk setuju disadarinya ia memang tidak pernah ada waktu untuk Layla. Bukan berarti Nathaniel merasa leluasa, ia juga berusaha mencari celah di mana ia bisa meliburkan diri dan menjaga Layla seperti suami-suami di luar rencana pada umumnya. "Iya Pa, aku juga mencari waktu yang tepat untuk libur. Aku terus kepikiran dan tidak bisa fokus saat bekerja," ujar Nathaniel. "Harusnya di saat usia kandungan istrimu sudah tua seperti ini kau libur rumah karena bayi lahir itu tidak tahu kapan dan juga sulit untuk diprediksi," jelas Aaron pada Nathaniel. Nathaniel diam dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh Papa mertuanya, ia sadar kalau dirinya memang keliru. Aaron juga orang yang sangat gila kerja, sama seperti dirinya tapi beda
"Kalian ini... Apa tidak bisa ditunda sampai besok pagi, hah?!" Nathaniel marah saat masuk ke dalam ruangannya, di dalam sana semua rekannya sudah menunggu. Laki-laki itu meletakkan dengan kasar kunci mobilnya di atas meja, karena ia sudah menduga kalau di rumah Layla pasti marah padanya. "Ya bagaimana lagi?!" sahut Regar frustrasi. "Huhh... Sialan kalian, jadi jadwal kemarin itu salah?!" Nathaniel menatap mereka semua. "Salah!" jawab keempat orang itu kompak. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Nathaniel. Saat itu juga ia langsung duduk di kursinya dan mulai membuka laptopnya dan segera menyelesaikan pekerjaannya. Namun tetap saja Nathaniel tidak bisa tenang memikirkan Layla yang ia tinggalkan di rumah sendirian. Laki-laki itu pun mengambil ponselnya dan ia menghubungi Papa mertuanya karena hanya Aaron yang bisa membantunya saat ini. "Halo Pa, Pa aku boleh minta tolong, tidak?" pinta Nathaniel. "Hem, ada apa jam segini kok menelepon Papa? Apa terjadi sesuatu pada Layl
Beberapa Bulan Kemudian...Kandungan Layla sudah memasuki tujuh bulan. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat dan Layla menjalani hari-harinya dengan sangat bahagia besama suaminya. Nathaniel, menjadi suami super posesif dan selalu memantau Layla dari segala kondisi, bahkan mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. "Layla ke mana, Bi?"Suara Nathaniel di ruang tamu sore ini membuat Layla langsung menoleh, gadis itu tengah beduaan dengan Jeremy di dalam ruangan keluarga. Seketika Layla meminta Jeremy menutup pintu ruangan itu. Sehari saja, Layla ingin suaminya itu tidak terlalu posesif, Layla pusing dengan sifat Nathaniel yang sangat menyebalkan. "Sudah Kak," ujar Jeremy seraya terkikik geli anak itu berjalan mendekati Layla seraya membawa roti sus miliknya. "Sini-sini, duduk di samping Kakak. Biar saja Kak Nathan teriak-teriak di luar, Kakak pusing sekali dengannya," keluh Layla mendongakkan kepalanya. "Tapi kata Mami Valia, kalau dicereweti Papi Aaron, tandanya Papi Aaron i
Setelah acara pernikahan, Layla dan Nathaniel pulang ke rumah mereka sendiri. Nathaniel adalah laki-laki mapan yang sudah mempersiapkan segalanya sebelum menikah. Ada dua pembantu di rumahnya yang akan mengerjakan pekerjaaan rumah dan membantu Layla. Dan Nathaniel memberikan rumah itu pada Layla untuk hadiah pernikahan mereka. "Rumahnya bagus sekali," cicit Layla seraya menoleh dan menatap wajah tampan Nathaniel. "Kau suka?" Nathaniel mengusap pucuk kepala Layla. Layla pun mengangguk dengan mantap. "Sangat! Ini rumah paling bagus yang pernah Layla lihat. Seperti istana kalau dilihat dari luar, ada kerucutnya di atas sana!" seru Layla tersenyum. "Ya, memang desain awalnya aku buat seprti itu, agar tidak ada yang menyamainya." Layla hanya mengangguk saja, dan ia berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tangga melengkung dan lebar, lantai mengkilat dari marmer berwarna cream, dan beberapa pilar besar di dalam ruangan, serta lampu kristal besar yang menggantung di langit-lan
Pernikahan yang dimimpikan selama ini oleh Layla benar-benar terlaksana. Dalam hitungan detik demi detik pernikahan mereka sudah resmi.Dan begitu pula yang dirasakan oleh Nathaniel. Memiliki Layla seutuhnya dan ke mana-mana bisa ia jaga dan ia bawa, adalah cita-cita Nathan sejak dia masih kecil. Layla dan Nathaniel kini tengah sibuk dengan para tamu, tak lain adalah para teman-teman Nathaniel, karena Layla sendiri tidak memiliki teman. "Selamat ya kalian berdua, wahhh... Kapan ya aku nyusul?" seru Vargo menepuk pundak Nathaniel. "Mulutnya!" sinis Caley merangkul dan memukul punggung Vargo hingga laki-laki dengan tuxedo abu-abu itu tertawa. "Ya... Siapa tahu saja yang kedua kalinya." Vargo menjawab dengan sangat santai. Seketika Nathaniel terkekeh, ia menggenggam tangan Layla dan mengecupnya dengan lembut. "Jangan mendengarkan Sayang, mereka ini laki-laki gila!" sinis Nathaniel seraya menatap aneh pada semua temannya. "Iya, mereka lucu," ujar Layla. Layla merasakan ia seperti
Hari yang dinanti-nanti oleh Layla dan Nathaniel esok pagi akan terlaksana. Mereka semua keluarga kini berada di sebuah hotel milik keluarga Ferdherat. Hotel bintang lima yang berada di tengah-tengah kota Berlin. Laila Tengah berada di dalam kamarnya bersama Sarah, Caroline, Rosalia dan juga Valia. Keluarga Jazvier yang datang jauh-jauh hanya ingin melihat Layla menikah dengan Nathaniel. "Tidak terasa kita sudah tua ya Sarah, Cucu kita besok sudah mau menikah," ujar Caroline pada Sarah. "Iya, aku merasa seperti kemarin kita mengasuh anak-anak, tapi sekarang mereka sudah menikah saja. Ini waktu yang terlalu cepat atau apanya yang salah?" gumam Sarah seraya duduk bersandar. Valia bersama Rosalia duduk di atas ranjang bersama Layla yang berbaring bersama Jeremy. "Sepertinya tidak ada yang salah, Nenek saja yang menolak tua," sahut Jeremy tiba-tiba, anak itu sangat cerdas. Mendengar apa yang dikatakan bocah itu sontak membuat semua orang di dalam ruangan tersebut langsung tertawa.