"Aku akan menandatangani permintaan bantuan saham tiga puluh persen milikku, asal ada satu permintaan yang ingin aku ajukan pada kalian!" Aaron mendorong sebuah berkas bersampul hitam di hadapan Mama dan Papanya. Benar sekali, dalam satu malam, Aaron mampu melumpuhkan perusahaan milik kedua orang tuanya, menjadikan mereka sebagai umpan untuk datang dan meminta bantuannya. "Katakan," seru Petter menatap jeli. Aaron tersenyum smirk. "Aku ingin kalian segera menikahkan Victor dengan seseorang. Baru aku mau menandatangani berkas ini. Karena nantinya, perusahaan ini akan beralih ke tangan Victor, bukan? Bukannya sudah jelas tertulis nama pasangan dan calon pewarisnya nanti!" Senyuman Aaron mengembang seraya memeicing tajam iris biru matanya. Sedangkan kedua orang tuanya begitu terkejut dengan permintaan Aaron. Namun tidak salah bagi Aaron untuk menuntut hal yang memang tertera di sana. "Huuuhhh... Victor masih saja mencari Avalia!" seru Jeselin memejamkan kedua matanya sebal. "Aval
Setelah semua teman-teman Aaron pulang, Valia baru berani keluar dari dalam kamar. Gadis itu menatap banyak sekali gelas dan botol minuman di atas meja. Di sana juga tidak ada siapa-siapa, entah ke mana perginya Aaron. "Hemm... Minuman apa ini? Apa ini bisa membuatku mabuk?" cicit Valia meraih minuman berwarna biru di dalam botol berwarna hijau. Ia menuangnya dan menghirup aroma minuman itu dalam-dalam."Aromanya segar, pasti manis," lirihnya. "Kau bisa mabuk berhari-hari kalau meminum segelas penuh seperti itu, Ava!" Suara Aaron membuat Valia menghentikan kegiatannya. Gadis itu menoleh ke belakang di mana Aaron berdiri di ambang pintu memperhatikan. Valia menatap minuman yang ia bawa dan kembali meletakkannya. "Ini bisa membuatku mabuk?" tanya Valia. "Heem, semua minuman di atas meja ini, tidak ada yang tidak membuatmu mabuk," jawab Aaron tersenyum tipis. Valia langsung memberikan gelas kecil yang berisi minum berwarna merah pada Aaron. "Coba kau minum, apa kau mabuk?" Gad
"Kau harus pergi dari sini, Ava!" Aaron bergegas menyahut mantel hitam miliknya dan memakaikan pada Valia. Gadis itu berdiri di hadapannya dengan pasrah membiarkan Aaron memasangkan mantel hangat di tubuhnya. "Pe-pergi ke mana? Kalau aku pergi... Kau bagaimana? Apa kau juga akan pergi denganku? Aaron..." Valia mencengkeram bagian belakang piyama yang Aaron pakai. Laki-laki itu menoleh menatap Valia dan menggeleng. "Tidak. Pergilah bersama dengan Sergio dan Merina," jawab Aaron. Pupil mata Valia melebar, ia merapat pada Aaron dan menggelengkan kepalanya memeluk laki-laki itu. "Ti-tidak mau!" Valia menggeleng kuat. "Aku hanya akan pergi kalau kau pergi, aku tidak akan mau ke manapun kalau kau masih setia di sini!" "Jangan membantahku, Valia!" sentak Aaron marah.Pintu kamar Aaron terketuk, Aaron pun gegas membuka pintu itu. Di sana berdiri Merina dan Sergio yang menatap Aaron dengan cemas. Aaron menatap Sergio dan menyerahkan sebuah kunci padanya. "Jaga Valia baik-baik, jangan
"Aaarrgghhh... BRENGSEK! Berani sekali kau menidurinya hah?! Berani sekali kau menyentuh Valia, Aaron!" Victor berteriak murka memegangi kepalanya, kedua bola matanya melebar sempurna. Kemarahan merasukinya tanpa jeda. Aaron benar-benar terlihat seperti penjahat yang sebenarnya di sini. Sekali lagi ia tidak peduli, hatinya, jiwanya, dirinya, telah berpihak pada Valia. "Itulah kejujuran yang selama ini aku sembunyikan darimu, Victor!" ujar Aaron berdiri di hadapan sang Kakak. Victor menatapnya sinis, dengan Hans yang memegangi pundak Victor dari belakang karena laki-laki itu begitu terlihat kesakitan. "Kenapa kau melakukan hal ini padaku, Aaron? Kenapa... Kenapa harus Valia?" lirih Victor putus asa. Aaron tersenyum smirk, ia meraih senjata moncong milik Victor yang jatuh. Dengan wajah dinginnya, ia berganti mengarahkan benda itu tepat di depan wajah Victor. Ekspresi datar menyelimuti wajah tampan Aaron. "Kau lebih licik dari yang aku duga. Kau... Kau baik hati padaku karena kau
"Apa kau merindukanku, hem? Ava, buka matamu..." Bisikan lembut menyapa Valia, gadis yang tengah terlelap itu tidak terusik meskipun kecupan mendarat di tiap jengkal wajahnya. Aaron mengembuskan napasnya panjang, usaha membangunkan Valia ternyata gagal. Laki-laki itu memilih berbaring di samping Valia dan menatap langit-langit kamar lamanya. Malam ini, Aaron baru saja datang. Ia merasa tubuhnya sangat lelah, dan begitu pula hatinya sangat merindukan Valia. "Ava..." Aaron kembali memeluk Valia dan mengecupi berulang-ulang pipi gembilnya."Huhh, lepas..." Valia mendorong pipi Aaron sebelum kedua mata sipitnya mulai terbuka. Bagai orang ling-lung, Valia mengerjapkan kedua matanya menatap sosok laki-laki yang ia tunggu seharian ini. Aaron tersenyum miring melihat ekspresi Valia yang begitu terkejut. "A-aaron... I-ini kau?" lirih Valia langsung menyibakkan selimutnya dan duduk menatap Aaron yang masih terbaring dengan santai. "Mungkin bukan," jawab Aaron tersenyum manis, sebelum tu
"Temukan Aaron di manapun dia berada! Bawa ke hadapanku, walaupun hanya mayatnya!" Seruan kejam keluar begitu saja dari bibir Peter, laki-laki itu baru saja melihat kondisi Victor yang mengenaskan. Victor marah besar, segala barang-barangnya hancur ia banting habis-habisan. Karena dirinya tahu kalau Valia bersama Aaron dan entah di sembunyikan di mana. "Aku harap kau tidak lupa kalau dia juga anak kita," seru Jeselin berdiri di depan jendela menatap ke arah luar. "Dia bersama anak Geraldi, Jeselin. Apa kau tahu, aku sangat membenci Geraldi!" seru Peter pada istrinya. "Dan sekarang kau lihat kondisi Victor!" Victor duduk di tepi ranjang menundukkan kepalanya dan tidak berhenti-henti ia mengucapkan nama Valia. Terdengar sangat setia, tapi itu semua nafsu semata. Tidak ada cinta, bersama Valia, ia punya keinginan gila untuk terus mengurung gadis itu, dan membuatnya benar-benar menyanjung Victor setiap detik. "Dia harus kita temukan," ucap Victor, perlahan ia bangkit dari duduknya.
"Sakit... Eunghh!" Valia meremas selimut putih yang menutupinya saat lukanya dibersihkan dan diobati. Di sampingnya, Aaron menggenggam tangan Valia dan laki-laki itu tidak melihat ketika dokter membersihkan luka robekan di pinggang Valia. "Sudah selesai," ujar dokter perempuan itu tersenyum ramah. "Tolong tetap beristirahat ya, jangan bergerak dulu," ujarnya lagi. Tidak ada jawaban dari Valia, namun Aaron hanya menganggukkan kepalanya. Laki-laki itu menarik kursi dan mendekatkan wajahnya di hadapan Valia. "Masih sakit? Aku tidak sengaja menyakitimu, Ava..." Valia menepis tangan Aaron yang nengusap pipinya. Gadis itu menangis, kecewa, kenapa Aaron bertindak sama seperti Victor. "Ava..." "Tinggalkan aku sendiri," lirih Valia mencengkeram bantalnya. "Kau tidak bisa memerintahku," desis Aaron menatap lekat wajah Valia hingga gadis itu menatapnya dengan ekspresi takut. "Ka-kau sama sekali tidak ada bedanya dengan Victor, kau..." "Jangan samakan aku dengan orang lain, Ava!" pekik
"Apa kau sudah lama mengenal Aaron?"Valia berucap seraya menatap Ella yang memakan daging panggang yang sudah Valia potongkan kecil-kecil untuknya. Gadis berwajah kecil itu mengangguk. "Ya, Riftan yang mengenalkan aku padanya. Saat Riftan membawaku ke sini." Anggukan diberikan oleh Valia. "Dia tidak pernah bercerita apapun tentang dirinya? Eumm... Aku sangat penasaran, siapa dia sebenarnya?" cicit Valia mendengus pelan. Ella mengerjapkan kedua matanya dan menoleh lekat menatap Valia. "Bukannya dia suamimu? Kenapa bisa tidak kenal? Aku saja tahu banyak tentang Riftan, apa iya kau tidak tahu sesuatu tentang suamimu?" Gelengan sekali diberikan oleh Valia, hingga akhirnya Valia meraih tangan Ella dan ia genggam. Valia menoleh ke kanan dan ke kiri menatap situasi sekitar. Ia baru saja punya teman baru yang katanya cukup mengernal Aaron, Valia Tidak mau kehilangan kesempatan untuk mencari tahu. "Tolong Ella, ceritakan sedikit saja tentang Aaron seperti yang kau kenal," lirih Valia m