Kedua mata Valia terbuka perlahan kala sinar hangat matahari menyapanya. Lilitan erat lengan kekar Aaron semakin membelit di perut Valia. Ekor mata gadis itu melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tiga sore. Valia mengembuskan napasnya pelan, ia menoleh dan menatap wajah Aaron yang begitu damai dalam mimpinya. "Aaron," lirih Valia mengusap pipi Aaron dengan ibu jarinya. "Hem?" Aaron sudah terbangun, hanya saja ia enggan beranjak. Kelopak matanya perlahan terbuka, terlihat jelas iris biru laut yang terang dan dingin. Jemari Valia menyusuri wajah laki-laki itu, mengusap tiap-tiap noda freackles di tulang pipi dan hidung laki-laki itu. "Jangan menggodaku," bisik Aaron menarik tangan Valia dengan pelan. "Aku tidak menggodamu, hanya saja aku..." Valia menghentikan ucapannya, ia kembali menatap ke arah jendela kamarnya. Di sana Valia menerawang jauh, memikirkan sesosok Alieston yang ia takutkan. "Ayo mandi," ajak laki-laki itu tebangun lebih dulu. "Kau duluan saj
Malam ini Aaron menepati janjinya pada Valia, laki-laki itu mengajaknya pergi jalan-jalan. Meskipun harus berbalut pakaian hangat, ia mampu melihat ekspresi bahagia Valia dan rasa tenang saat bersamanya. Mereka baru saja turun dari dalam mobil, Valia menatap sekitar dengan tatapan berbinar-binar karena tempat itu sangat ramai. "Benarkan syalmu, jangan sampai kedinginan," ujar Aaron merapikan syal putih yang Valia pakai. Tapi gadis itu tidak terlalu memperhatikannya. "Ramai sekali, Aaron... Wahh, bagus sekali," seru Valia memandangi ramainya kota Milan di malam hari, di musim dingin bulan Desember. Aaron yang berdiri di depannya memeluk pinggang Valia, laki-laki itu tersenyum tipis memandangi wajah Valia. Ia meraih kedua telapak tangan Valia dan mengeluarkan sarung tangan dari dalam saku mentel hangat yang Aaron pakai. "Ayo ke sana, Aaron... Aku ingin melihat apa yang ada di dalam tempat yang terang-terang itu!" ajak Valia. "Sebentar, pakai dulu sarung tanganmu. Jangan sampai ka
"Istirahatlah... Aku akan menyusulmu nanti." Aaron mengusap pucuk kepala Valia, laki-laki itu kini berdiri di tepi ranjang dan membuka sweeter hitam yang ia pakai. Ia berjalan lemari dan menatap isi kamarnya, kamar yang di dominasi abu-abu maskulin itu mendadak lenyap auranya sejak delapan boneka kelinci menyebalkan ada di beberapa tempat. "Ava, kau bisa membawa satu saja bonekamu, sisanya-" "Biarkan saja di sini, mereka tidak akan mengganggumu. Apa kau tidak melihat kalau mereka selucu ini?" seru Valia berseri-seri ia menatap boneka itu. "Ck! Awas saja," seru Aaron. "Awas apa? Jangan macam-macam ya!" sinis Valia, gadis itu duduk di atas ranjang menatap Aaron dengan tatapan kesal. "Baru juga romantis, tapi kau sudah menyebalkan lagi! Kau memang bukan laki-laki yang romantis!" "Eh," lirih Aaron tanpa suara, ia langsung mengangkat wajahnya menatap cerminEkor matanya melirik Valia yang kini sudah berbaring memeluk bonekanya. Gadis itu kurang kasih sayang, hingga dia kadang bersif
"Tidak perlu kau tahu siapa aku! Aku berbeda dengan mereka, Ava!" Aaron mencekal kedua pundak Valia dan menatapnya dalam-dalam pada gadis yang meringkuk menundukkan kepalanya menangis hebat. Valia terus menggelengkan kepalanya dan ia merasa menjijikkan atas dirinya sendiri. "Ti-tidak... Pergilah! Pergi!" pekik Valia mendorongnya. Aaron tidak akan semenyerah itu. Ia mendekat dan menangkup kedua pipi Valia dengan hangat. "Lihat aku, Ava! Lihat!" pekik Aaron menatap kedua manik mata Valia lekat-lekat. "Aku berbeda dengan mereka, aku bukan Victor, aku bukan Alieston, dan aku tetap Aaron! Aku Aaron, milikmu!" seru Aaron. "Tidak. Kau... Kau Alieston, kau penjahat, kau bagian dari mereka yang membuatku menderita. Kau bagian dari orang yang membuat Papaku meninggal, kau bagian dari orang yang menghabisi pengasuhku dan membakar peninggalan mendiang Mamaku! Kalian semua penjahat... Aku benci padamu." Valia menangis hebat, dan kenyataannya, Ella tidak membohongi Valia, justru Aaron yang m
"Jangan lepaskan, tetaplah begini..." Valia memeluk punggung Aaron, gadis itu menjadikan lengan kiri Aaron sebagai bantalnya. Rambut Valia masih setengah basah. Ia baru saja membersihkan tubuhnya dan bergegas kembali berdua di atas ranjang. "Aku tidak akan tidur," ucap Aaron pelan, laki-laki itu melorot dan memeluk perut Valia tiba-tiba. "Aku tidak ingin saat aku bangun, kau sudah pergi." Valia terdiam, ia menatap langit-langit kamar dan tersenyum kecil mengusap rambut Aaron. "Kau berbeda dengan Alieston yang aku kenal. Kau... Kau tidak sama seperti Kakakmu, aku harap... Kau tidak bersandiwara di depanku." Valia mengucapkannya dengan pelan. "Aku bukan pengecut, Sayang." Aaron memejamkan kedua matanya dan membenamkan pada pelukan Valia. Laki-laki itu mendongak menatap wajah sembab Valia, ia pun tersenyum seperti ada yang lucu. Hingga tiba-tiba saja Aaron terbangun, ia mengecup kening Valia sebelum menunjuk ke arah jarum jam. Valia terdiam, ia tidak mengerti apa maksud Aaron.
"Kau harus melangkahi mayatku sebelum kau mengambil Avalia dariku." Aaron berdesis geram, rahanganya mengetat mencengkeram kuat pergelangan tangan kiri Valia. Gadis itu ketakutan, ia menangis bersembunyi di belakang tubuh Aaron. "Ja-jangan... Jangan menyakiti Aaron," lirih Valia menaikkan tatapannya menatap Victor. Victor, laki-laki itu tertawa sumbang. "Ya, aku tidak akan menghabisinya kalau kau ikut pergi bersamaku," ujar Victor begitu licik ia mengulurkan tangannya pada Valia. "Ayolah Sayang, aku sangat merindukanmu, Valia." Valia mendongak menatap Aaron, laki-laki itu melepaskan cekalan tangan Valia. "Diamlah di belakangku, aku tidak ingin kehilanganmu," ujar Aaron menangkup satu pipi Valia. "Jangan meracuninya, Aaron!" teriak Victor tiba-tiba ia mengarahkan pukulannya di pipi Aaron. Valia pun menjerit, ia langsung mundur perlahan-lahan. Hati Valia terasa sakit melihat dua bersaudara yang mempeributkannya. "Apa yang kau inginkan? Perusahaanku? Rumah? Vila? Mansion? Bukann
Aaron duduk diam memejamkan kedua matanya, ditemani oleh Riftan yang datang tepat waktu untuk membantunya. Sementara di dalam, dokter tegah berupaya mengobati Valia yang sudah berjam-jam lamanya."Semua akan baik-baik saja, Aaron," ujar Riftan menepuk pundak sahabatnya. Aaron tidak menjawabnya. Ia mengembuskan napasnya panjang dan semakin tertunduk. "Aku tidak ingin dia meninggalkanku," ujar Aaron sedih. "Permisi, Tuan Riftan, mari ikut dengan saya sebantar..." Suara seorang suster memanggil Riftan. Riftan yang bertanggung jawab di sana, karena tidak mungkin Aaron yang melakukannya. Saat ini kondisi Aaron pun sedang sangat kacau. Laki-laki itu lantas menepuk pundak Aaron dan bergegas pergi dari sana meninggalkan sahabatnya. Sementara Aaron, ia tertunduk menatap telapak tangannya yang masih kotor dengan darah. Dadanya terasa sesak ingin berteriak. "Maafkan aku Ava, maafkan aku...." Aaron mengacak rambutnya, ia tidak tahan untuk tidak menangis. Hingga tiba-tiba dari arah lorong
Sore ini Valia berada sorang diri di dalam kamar inapnya, Aaron tengah pergi untuk mengurus sesuatu kondisi genting di kantornya. Valia menegaskan pada Aaron kalau dia akan baik-baik saja sampai Aaron kembali. Gadis itu kini diam menatap kedua kakinya yang kini terasa berat, fakta menyedihkan Valia dengarkan saat dokter mengatakan ia tidak bisa berjalan untuk satu sampai dua bulan ke depan. "Menyedihkan," lirih Valia mendengus pelan memeluk bonekanya. "Lagi-lagi aku harus merepotkan orang lain." Gadis itu mengembuskan napasnya panjang sebelum pintu kamar inapnya tergeser sedikit. Valia pun melebarkan kedua matanya menatap siapa yang ada di luar sana. "Aaron..," panggil Valia, ia menatap sebuah sepatu pantofel yang nampak di depan sana, serta siluet banyak orang berbaju hitam. Detak jantung Valia mulai berpacu, siapa mereka?Pintu kaca buram itu pun terbuka, di sana Valia meremas selimutnya menatap dua laki-laki yang masuk ke dalam ruangannya. "Ohhh... Putri Geraldi," ujar seora