"Temukan Aaron di manapun dia berada! Bawa ke hadapanku, walaupun hanya mayatnya!" Seruan kejam keluar begitu saja dari bibir Peter, laki-laki itu baru saja melihat kondisi Victor yang mengenaskan. Victor marah besar, segala barang-barangnya hancur ia banting habis-habisan. Karena dirinya tahu kalau Valia bersama Aaron dan entah di sembunyikan di mana. "Aku harap kau tidak lupa kalau dia juga anak kita," seru Jeselin berdiri di depan jendela menatap ke arah luar. "Dia bersama anak Geraldi, Jeselin. Apa kau tahu, aku sangat membenci Geraldi!" seru Peter pada istrinya. "Dan sekarang kau lihat kondisi Victor!" Victor duduk di tepi ranjang menundukkan kepalanya dan tidak berhenti-henti ia mengucapkan nama Valia. Terdengar sangat setia, tapi itu semua nafsu semata. Tidak ada cinta, bersama Valia, ia punya keinginan gila untuk terus mengurung gadis itu, dan membuatnya benar-benar menyanjung Victor setiap detik. "Dia harus kita temukan," ucap Victor, perlahan ia bangkit dari duduknya.
"Sakit... Eunghh!" Valia meremas selimut putih yang menutupinya saat lukanya dibersihkan dan diobati. Di sampingnya, Aaron menggenggam tangan Valia dan laki-laki itu tidak melihat ketika dokter membersihkan luka robekan di pinggang Valia. "Sudah selesai," ujar dokter perempuan itu tersenyum ramah. "Tolong tetap beristirahat ya, jangan bergerak dulu," ujarnya lagi. Tidak ada jawaban dari Valia, namun Aaron hanya menganggukkan kepalanya. Laki-laki itu menarik kursi dan mendekatkan wajahnya di hadapan Valia. "Masih sakit? Aku tidak sengaja menyakitimu, Ava..." Valia menepis tangan Aaron yang nengusap pipinya. Gadis itu menangis, kecewa, kenapa Aaron bertindak sama seperti Victor. "Ava..." "Tinggalkan aku sendiri," lirih Valia mencengkeram bantalnya. "Kau tidak bisa memerintahku," desis Aaron menatap lekat wajah Valia hingga gadis itu menatapnya dengan ekspresi takut. "Ka-kau sama sekali tidak ada bedanya dengan Victor, kau..." "Jangan samakan aku dengan orang lain, Ava!" pekik
"Apa kau sudah lama mengenal Aaron?"Valia berucap seraya menatap Ella yang memakan daging panggang yang sudah Valia potongkan kecil-kecil untuknya. Gadis berwajah kecil itu mengangguk. "Ya, Riftan yang mengenalkan aku padanya. Saat Riftan membawaku ke sini." Anggukan diberikan oleh Valia. "Dia tidak pernah bercerita apapun tentang dirinya? Eumm... Aku sangat penasaran, siapa dia sebenarnya?" cicit Valia mendengus pelan. Ella mengerjapkan kedua matanya dan menoleh lekat menatap Valia. "Bukannya dia suamimu? Kenapa bisa tidak kenal? Aku saja tahu banyak tentang Riftan, apa iya kau tidak tahu sesuatu tentang suamimu?" Gelengan sekali diberikan oleh Valia, hingga akhirnya Valia meraih tangan Ella dan ia genggam. Valia menoleh ke kanan dan ke kiri menatap situasi sekitar. Ia baru saja punya teman baru yang katanya cukup mengernal Aaron, Valia Tidak mau kehilangan kesempatan untuk mencari tahu. "Tolong Ella, ceritakan sedikit saja tentang Aaron seperti yang kau kenal," lirih Valia m
Kedua mata Valia terbuka perlahan kala sinar hangat matahari menyapanya. Lilitan erat lengan kekar Aaron semakin membelit di perut Valia. Ekor mata gadis itu melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tiga sore. Valia mengembuskan napasnya pelan, ia menoleh dan menatap wajah Aaron yang begitu damai dalam mimpinya. "Aaron," lirih Valia mengusap pipi Aaron dengan ibu jarinya. "Hem?" Aaron sudah terbangun, hanya saja ia enggan beranjak. Kelopak matanya perlahan terbuka, terlihat jelas iris biru laut yang terang dan dingin. Jemari Valia menyusuri wajah laki-laki itu, mengusap tiap-tiap noda freackles di tulang pipi dan hidung laki-laki itu. "Jangan menggodaku," bisik Aaron menarik tangan Valia dengan pelan. "Aku tidak menggodamu, hanya saja aku..." Valia menghentikan ucapannya, ia kembali menatap ke arah jendela kamarnya. Di sana Valia menerawang jauh, memikirkan sesosok Alieston yang ia takutkan. "Ayo mandi," ajak laki-laki itu tebangun lebih dulu. "Kau duluan saj
Malam ini Aaron menepati janjinya pada Valia, laki-laki itu mengajaknya pergi jalan-jalan. Meskipun harus berbalut pakaian hangat, ia mampu melihat ekspresi bahagia Valia dan rasa tenang saat bersamanya. Mereka baru saja turun dari dalam mobil, Valia menatap sekitar dengan tatapan berbinar-binar karena tempat itu sangat ramai. "Benarkan syalmu, jangan sampai kedinginan," ujar Aaron merapikan syal putih yang Valia pakai. Tapi gadis itu tidak terlalu memperhatikannya. "Ramai sekali, Aaron... Wahh, bagus sekali," seru Valia memandangi ramainya kota Milan di malam hari, di musim dingin bulan Desember. Aaron yang berdiri di depannya memeluk pinggang Valia, laki-laki itu tersenyum tipis memandangi wajah Valia. Ia meraih kedua telapak tangan Valia dan mengeluarkan sarung tangan dari dalam saku mentel hangat yang Aaron pakai. "Ayo ke sana, Aaron... Aku ingin melihat apa yang ada di dalam tempat yang terang-terang itu!" ajak Valia. "Sebentar, pakai dulu sarung tanganmu. Jangan sampai ka
"Istirahatlah... Aku akan menyusulmu nanti." Aaron mengusap pucuk kepala Valia, laki-laki itu kini berdiri di tepi ranjang dan membuka sweeter hitam yang ia pakai. Ia berjalan lemari dan menatap isi kamarnya, kamar yang di dominasi abu-abu maskulin itu mendadak lenyap auranya sejak delapan boneka kelinci menyebalkan ada di beberapa tempat. "Ava, kau bisa membawa satu saja bonekamu, sisanya-" "Biarkan saja di sini, mereka tidak akan mengganggumu. Apa kau tidak melihat kalau mereka selucu ini?" seru Valia berseri-seri ia menatap boneka itu. "Ck! Awas saja," seru Aaron. "Awas apa? Jangan macam-macam ya!" sinis Valia, gadis itu duduk di atas ranjang menatap Aaron dengan tatapan kesal. "Baru juga romantis, tapi kau sudah menyebalkan lagi! Kau memang bukan laki-laki yang romantis!" "Eh," lirih Aaron tanpa suara, ia langsung mengangkat wajahnya menatap cerminEkor matanya melirik Valia yang kini sudah berbaring memeluk bonekanya. Gadis itu kurang kasih sayang, hingga dia kadang bersif
"Tidak perlu kau tahu siapa aku! Aku berbeda dengan mereka, Ava!" Aaron mencekal kedua pundak Valia dan menatapnya dalam-dalam pada gadis yang meringkuk menundukkan kepalanya menangis hebat. Valia terus menggelengkan kepalanya dan ia merasa menjijikkan atas dirinya sendiri. "Ti-tidak... Pergilah! Pergi!" pekik Valia mendorongnya. Aaron tidak akan semenyerah itu. Ia mendekat dan menangkup kedua pipi Valia dengan hangat. "Lihat aku, Ava! Lihat!" pekik Aaron menatap kedua manik mata Valia lekat-lekat. "Aku berbeda dengan mereka, aku bukan Victor, aku bukan Alieston, dan aku tetap Aaron! Aku Aaron, milikmu!" seru Aaron. "Tidak. Kau... Kau Alieston, kau penjahat, kau bagian dari mereka yang membuatku menderita. Kau bagian dari orang yang membuat Papaku meninggal, kau bagian dari orang yang menghabisi pengasuhku dan membakar peninggalan mendiang Mamaku! Kalian semua penjahat... Aku benci padamu." Valia menangis hebat, dan kenyataannya, Ella tidak membohongi Valia, justru Aaron yang m
"Jangan lepaskan, tetaplah begini..." Valia memeluk punggung Aaron, gadis itu menjadikan lengan kiri Aaron sebagai bantalnya. Rambut Valia masih setengah basah. Ia baru saja membersihkan tubuhnya dan bergegas kembali berdua di atas ranjang. "Aku tidak akan tidur," ucap Aaron pelan, laki-laki itu melorot dan memeluk perut Valia tiba-tiba. "Aku tidak ingin saat aku bangun, kau sudah pergi." Valia terdiam, ia menatap langit-langit kamar dan tersenyum kecil mengusap rambut Aaron. "Kau berbeda dengan Alieston yang aku kenal. Kau... Kau tidak sama seperti Kakakmu, aku harap... Kau tidak bersandiwara di depanku." Valia mengucapkannya dengan pelan. "Aku bukan pengecut, Sayang." Aaron memejamkan kedua matanya dan membenamkan pada pelukan Valia. Laki-laki itu mendongak menatap wajah sembab Valia, ia pun tersenyum seperti ada yang lucu. Hingga tiba-tiba saja Aaron terbangun, ia mengecup kening Valia sebelum menunjuk ke arah jarum jam. Valia terdiam, ia tidak mengerti apa maksud Aaron.
Pemandangan yang indah saat Valia menatap anak dan menantunya tengah menikmati hari yang indah di taman mansion pagi ini. Waktu berjalan dengan cepat, Valia percaya dengan adanya cinta sejati dan ia tidak salah menempatkan hatinya sejak awal pada orang yang mau menjadi sandarannya hingga kini. "Sedang apa, Sayang?" sapa Aaron mendekati Valia. "Hem, tidak ada. Senang sekali melihat mereka, dan tempat ini...." Valia mendongak menatap seisi mansion yang tidak berubah sama sekali. Tempat itu sangat terawat dan juga bersih bahkan beberapa barang-barang yang dulu Valia tinggalkan masih di tempat. Betapa membekas kuat semua kepingan-kepingan ingatannya dari kisah cinta hingga kebenciannya kepada Aaron yang kini sudah tertutup rapat. "Tempat ini masih khas dengan segala hal yang menyangkut kita," ujar Aaron menatap Valia dan memeluknya. "Dan aku merasa bahagia bisa menua bersamamu." Valia tidak yakin mendengar apa yang suaminya katakan barusan, tapi ia merasa tersentuh begitu Aaron men
Trieste, Italia. Seperti masa kecil Mamanya, shopie terlihat sangat heboh saat dia telah sampai di Trieste. Tepatnya di mansion milik sang Opa. Bangunan super megah yang dikelilingi pemandangan laut yang indah. Tidak ada yang berubah di sana, Layla dan Nathaniel juga sangat menikmati keindahan tempat itu. "Wahh... Bagus sekali, kenapa aku dulu tidak betah tinggal di sini Ma? Padahal bagus sekali!" Layla memeluk lengan Valia dan mereka berjalan di teras samping samping mansion."Entah karena apa dulu, mungkin karena kita kasihan pada Kakek," jawab Valia. Ia tidak mau mengingatkan masa lalu yang cukup buruk pada Layla. Nathaniel bersama Aaron di depan sana, laki-laki itu menggendong Shopie yang sudah bingung ingin pergi mengelilingi mansion. Sementara Valia masih bersama dengan Layla. Valia merasa ada sesuatu yang menyentuh hati terdalamnya, tempat ini mempunyai ribuan kisah Valia dan Aaron, dari benci, marah, ambisi, obsesi, hingga cinta yang sangat tulus. Sosok Aaron yang sama
Lima Tahun Kemudian..."Shopie! Jangan lari-lari nanti jatuh..." Suara teriakan keras itu berasal dari bibir Layla yang berdiri di dalam rumah memperhatikan putri kecilnya yang terlihat begitu kesenangan. Shopie Tan Ferdherat, gadis cantik yang memiliki wajah sangat mirip dengan Mamanya. Dia juga sangat keras kepala seperti Papanya, dan Sopie anak yang manja, seperti Mamanya. "Mi, katanya nanti malam mau pergi sama Opa dan Oma, ayo... Sopie bantu-bantu Mami!" seru anak itu lompat-lompat kesenangan. "Iya, tapi nanti dulu, Sayang... Sekarang Shopie naik ke atas yuk, jangan lari-larian di bawah. Mami mau ke atas." Layla mengulurkan tangannya pada Shopie. Anak itu pun seketika mengangguk antusias, mereka berdua langsung berjalan ke lantai atas dan Sophie berjinjit membuka pintu kamarnya. Di dalam sana, anak itu menatap Papanya yang masih tertidur dengan santai dan nyenyak. Shopie tersenyum tipis, ia berjalan perlahan-lahan naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Papanya. "Papi... Ay
"Mama dan Papa akan sering-sering ke sini untuk memantau Layla, karena Papa perhatikan akhir-akhir ini kau sangat sibuk sampai sering meninggalkan istrimu sendiri yang di rumah." Aaron mengatakan hal itu kepada menantunya, dan tentu saja nontonnya langsung mengangguk setuju disadarinya ia memang tidak pernah ada waktu untuk Layla. Bukan berarti Nathaniel merasa leluasa, ia juga berusaha mencari celah di mana ia bisa meliburkan diri dan menjaga Layla seperti suami-suami di luar rencana pada umumnya. "Iya Pa, aku juga mencari waktu yang tepat untuk libur. Aku terus kepikiran dan tidak bisa fokus saat bekerja," ujar Nathaniel. "Harusnya di saat usia kandungan istrimu sudah tua seperti ini kau libur rumah karena bayi lahir itu tidak tahu kapan dan juga sulit untuk diprediksi," jelas Aaron pada Nathaniel. Nathaniel diam dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh Papa mertuanya, ia sadar kalau dirinya memang keliru. Aaron juga orang yang sangat gila kerja, sama seperti dirinya tapi beda
"Kalian ini... Apa tidak bisa ditunda sampai besok pagi, hah?!" Nathaniel marah saat masuk ke dalam ruangannya, di dalam sana semua rekannya sudah menunggu. Laki-laki itu meletakkan dengan kasar kunci mobilnya di atas meja, karena ia sudah menduga kalau di rumah Layla pasti marah padanya. "Ya bagaimana lagi?!" sahut Regar frustrasi. "Huhh... Sialan kalian, jadi jadwal kemarin itu salah?!" Nathaniel menatap mereka semua. "Salah!" jawab keempat orang itu kompak. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Nathaniel. Saat itu juga ia langsung duduk di kursinya dan mulai membuka laptopnya dan segera menyelesaikan pekerjaannya. Namun tetap saja Nathaniel tidak bisa tenang memikirkan Layla yang ia tinggalkan di rumah sendirian. Laki-laki itu pun mengambil ponselnya dan ia menghubungi Papa mertuanya karena hanya Aaron yang bisa membantunya saat ini. "Halo Pa, Pa aku boleh minta tolong, tidak?" pinta Nathaniel. "Hem, ada apa jam segini kok menelepon Papa? Apa terjadi sesuatu pada Layl
Beberapa Bulan Kemudian...Kandungan Layla sudah memasuki tujuh bulan. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat dan Layla menjalani hari-harinya dengan sangat bahagia besama suaminya. Nathaniel, menjadi suami super posesif dan selalu memantau Layla dari segala kondisi, bahkan mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. "Layla ke mana, Bi?"Suara Nathaniel di ruang tamu sore ini membuat Layla langsung menoleh, gadis itu tengah beduaan dengan Jeremy di dalam ruangan keluarga. Seketika Layla meminta Jeremy menutup pintu ruangan itu. Sehari saja, Layla ingin suaminya itu tidak terlalu posesif, Layla pusing dengan sifat Nathaniel yang sangat menyebalkan. "Sudah Kak," ujar Jeremy seraya terkikik geli anak itu berjalan mendekati Layla seraya membawa roti sus miliknya. "Sini-sini, duduk di samping Kakak. Biar saja Kak Nathan teriak-teriak di luar, Kakak pusing sekali dengannya," keluh Layla mendongakkan kepalanya. "Tapi kata Mami Valia, kalau dicereweti Papi Aaron, tandanya Papi Aaron i
Setelah acara pernikahan, Layla dan Nathaniel pulang ke rumah mereka sendiri. Nathaniel adalah laki-laki mapan yang sudah mempersiapkan segalanya sebelum menikah. Ada dua pembantu di rumahnya yang akan mengerjakan pekerjaaan rumah dan membantu Layla. Dan Nathaniel memberikan rumah itu pada Layla untuk hadiah pernikahan mereka. "Rumahnya bagus sekali," cicit Layla seraya menoleh dan menatap wajah tampan Nathaniel. "Kau suka?" Nathaniel mengusap pucuk kepala Layla. Layla pun mengangguk dengan mantap. "Sangat! Ini rumah paling bagus yang pernah Layla lihat. Seperti istana kalau dilihat dari luar, ada kerucutnya di atas sana!" seru Layla tersenyum. "Ya, memang desain awalnya aku buat seprti itu, agar tidak ada yang menyamainya." Layla hanya mengangguk saja, dan ia berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tangga melengkung dan lebar, lantai mengkilat dari marmer berwarna cream, dan beberapa pilar besar di dalam ruangan, serta lampu kristal besar yang menggantung di langit-lan
Pernikahan yang dimimpikan selama ini oleh Layla benar-benar terlaksana. Dalam hitungan detik demi detik pernikahan mereka sudah resmi.Dan begitu pula yang dirasakan oleh Nathaniel. Memiliki Layla seutuhnya dan ke mana-mana bisa ia jaga dan ia bawa, adalah cita-cita Nathan sejak dia masih kecil. Layla dan Nathaniel kini tengah sibuk dengan para tamu, tak lain adalah para teman-teman Nathaniel, karena Layla sendiri tidak memiliki teman. "Selamat ya kalian berdua, wahhh... Kapan ya aku nyusul?" seru Vargo menepuk pundak Nathaniel. "Mulutnya!" sinis Caley merangkul dan memukul punggung Vargo hingga laki-laki dengan tuxedo abu-abu itu tertawa. "Ya... Siapa tahu saja yang kedua kalinya." Vargo menjawab dengan sangat santai. Seketika Nathaniel terkekeh, ia menggenggam tangan Layla dan mengecupnya dengan lembut. "Jangan mendengarkan Sayang, mereka ini laki-laki gila!" sinis Nathaniel seraya menatap aneh pada semua temannya. "Iya, mereka lucu," ujar Layla. Layla merasakan ia seperti
Hari yang dinanti-nanti oleh Layla dan Nathaniel esok pagi akan terlaksana. Mereka semua keluarga kini berada di sebuah hotel milik keluarga Ferdherat. Hotel bintang lima yang berada di tengah-tengah kota Berlin. Laila Tengah berada di dalam kamarnya bersama Sarah, Caroline, Rosalia dan juga Valia. Keluarga Jazvier yang datang jauh-jauh hanya ingin melihat Layla menikah dengan Nathaniel. "Tidak terasa kita sudah tua ya Sarah, Cucu kita besok sudah mau menikah," ujar Caroline pada Sarah. "Iya, aku merasa seperti kemarin kita mengasuh anak-anak, tapi sekarang mereka sudah menikah saja. Ini waktu yang terlalu cepat atau apanya yang salah?" gumam Sarah seraya duduk bersandar. Valia bersama Rosalia duduk di atas ranjang bersama Layla yang berbaring bersama Jeremy. "Sepertinya tidak ada yang salah, Nenek saja yang menolak tua," sahut Jeremy tiba-tiba, anak itu sangat cerdas. Mendengar apa yang dikatakan bocah itu sontak membuat semua orang di dalam ruangan tersebut langsung tertawa.