"Jangan lepaskan, tetaplah begini..." Valia memeluk punggung Aaron, gadis itu menjadikan lengan kiri Aaron sebagai bantalnya. Rambut Valia masih setengah basah. Ia baru saja membersihkan tubuhnya dan bergegas kembali berdua di atas ranjang. "Aku tidak akan tidur," ucap Aaron pelan, laki-laki itu melorot dan memeluk perut Valia tiba-tiba. "Aku tidak ingin saat aku bangun, kau sudah pergi." Valia terdiam, ia menatap langit-langit kamar dan tersenyum kecil mengusap rambut Aaron. "Kau berbeda dengan Alieston yang aku kenal. Kau... Kau tidak sama seperti Kakakmu, aku harap... Kau tidak bersandiwara di depanku." Valia mengucapkannya dengan pelan. "Aku bukan pengecut, Sayang." Aaron memejamkan kedua matanya dan membenamkan pada pelukan Valia. Laki-laki itu mendongak menatap wajah sembab Valia, ia pun tersenyum seperti ada yang lucu. Hingga tiba-tiba saja Aaron terbangun, ia mengecup kening Valia sebelum menunjuk ke arah jarum jam. Valia terdiam, ia tidak mengerti apa maksud Aaron.
"Kau harus melangkahi mayatku sebelum kau mengambil Avalia dariku." Aaron berdesis geram, rahanganya mengetat mencengkeram kuat pergelangan tangan kiri Valia. Gadis itu ketakutan, ia menangis bersembunyi di belakang tubuh Aaron. "Ja-jangan... Jangan menyakiti Aaron," lirih Valia menaikkan tatapannya menatap Victor. Victor, laki-laki itu tertawa sumbang. "Ya, aku tidak akan menghabisinya kalau kau ikut pergi bersamaku," ujar Victor begitu licik ia mengulurkan tangannya pada Valia. "Ayolah Sayang, aku sangat merindukanmu, Valia." Valia mendongak menatap Aaron, laki-laki itu melepaskan cekalan tangan Valia. "Diamlah di belakangku, aku tidak ingin kehilanganmu," ujar Aaron menangkup satu pipi Valia. "Jangan meracuninya, Aaron!" teriak Victor tiba-tiba ia mengarahkan pukulannya di pipi Aaron. Valia pun menjerit, ia langsung mundur perlahan-lahan. Hati Valia terasa sakit melihat dua bersaudara yang mempeributkannya. "Apa yang kau inginkan? Perusahaanku? Rumah? Vila? Mansion? Bukann
Aaron duduk diam memejamkan kedua matanya, ditemani oleh Riftan yang datang tepat waktu untuk membantunya. Sementara di dalam, dokter tegah berupaya mengobati Valia yang sudah berjam-jam lamanya."Semua akan baik-baik saja, Aaron," ujar Riftan menepuk pundak sahabatnya. Aaron tidak menjawabnya. Ia mengembuskan napasnya panjang dan semakin tertunduk. "Aku tidak ingin dia meninggalkanku," ujar Aaron sedih. "Permisi, Tuan Riftan, mari ikut dengan saya sebantar..." Suara seorang suster memanggil Riftan. Riftan yang bertanggung jawab di sana, karena tidak mungkin Aaron yang melakukannya. Saat ini kondisi Aaron pun sedang sangat kacau. Laki-laki itu lantas menepuk pundak Aaron dan bergegas pergi dari sana meninggalkan sahabatnya. Sementara Aaron, ia tertunduk menatap telapak tangannya yang masih kotor dengan darah. Dadanya terasa sesak ingin berteriak. "Maafkan aku Ava, maafkan aku...." Aaron mengacak rambutnya, ia tidak tahan untuk tidak menangis. Hingga tiba-tiba dari arah lorong
Sore ini Valia berada sorang diri di dalam kamar inapnya, Aaron tengah pergi untuk mengurus sesuatu kondisi genting di kantornya. Valia menegaskan pada Aaron kalau dia akan baik-baik saja sampai Aaron kembali. Gadis itu kini diam menatap kedua kakinya yang kini terasa berat, fakta menyedihkan Valia dengarkan saat dokter mengatakan ia tidak bisa berjalan untuk satu sampai dua bulan ke depan. "Menyedihkan," lirih Valia mendengus pelan memeluk bonekanya. "Lagi-lagi aku harus merepotkan orang lain." Gadis itu mengembuskan napasnya panjang sebelum pintu kamar inapnya tergeser sedikit. Valia pun melebarkan kedua matanya menatap siapa yang ada di luar sana. "Aaron..," panggil Valia, ia menatap sebuah sepatu pantofel yang nampak di depan sana, serta siluet banyak orang berbaju hitam. Detak jantung Valia mulai berpacu, siapa mereka?Pintu kaca buram itu pun terbuka, di sana Valia meremas selimutnya menatap dua laki-laki yang masuk ke dalam ruangannya. "Ohhh... Putri Geraldi," ujar seora
"Ayo makanlah, sekarang aku yang merawatmu. Aaron mungkin sudah mati!" Victor dengan bangganya ia mengatakan hal itu pada Valia. Laki-laki yang kini merasa sangat senang seperti bisa memiliki Valia kembali. Perlahan Victor mengarahkan sendok berisi bubur kacang merah yang masih panas di hadapan Valia, ia cukup tahu kalau gadis ini sangat menyukai makan tersebut. "Ayo makan Valia, kau harus cepat sembuh," ujar Victor menatap wajah Valia yang terdiam menatap kosong. "Apa kau benar-benar ingin selalu di tempat ini? Kau tidak ingin pulang ke rumah kita? Valia..." "Pergi!" Valia menepis tangan Victor hingga sendok yang dia bawa pun terjatuh. Helaan napas berat keluar dari bibir laki-laki itu. Ia menatap kesal pada Valia yang tidak mau menurutinya. Victor berdiri, ia meraih sendok yang terjatuh dan meletakkan di atas nakas. Menggantikan dengan sendok yang bersih. "Makan, aku tidak menerima penolakan apapun!" seru Victor berdesis marah. "Makan!" teriak Victor. "Tidak! Aku tidak ma- E
"Kau berjanji tidak meninggalkan aku lagi, kan?" Valia mengusap pipi Aaron saat laki-laki itu menggendongnya dan mengajaknya keluar dari dalam rumah sakit. Aaron meliriknya dan menggeleng saja, Valia pun menyandarkan kepalanya pada dada bidang Aaron dan menyadari betapa lemahnya ia. "Kita pulang ke Trieste," ujar Aaron. "Heem, aku sangat merindukan Lizer," jawab Valia. "Tidak merindukanku?" Pertanyaan bodoh itu membuat Valia tersenyum dan menggeleng pelan. Mereka pun sudah sampai di luar, Aaron langsung membawa Valia masuk ke dalam mobilnya. Mobil hitam milik Aaron segera melaju meninggalkan rumah sakit. Valia merasa sangat-sangat lega, bersama dengan Aaron, ia merasa terselamatkan dunianya. Di dalam mobil, Aaron menatap Valia yang duduk dipangkuannya. Gadis itu tidak henti-hentinya tersenyum. "Apa tidurmu tidak nyenyak semalam, hem?" tanya Aaron mengusap pipi Valia. "Tidak. Aku tidak bisa tidur, aku tidak makan, dan aku terus menunggumu. Victor bilang kalau dia sudah mengh
Malam gelap kembali menghantui Valia, ia tidak kunjung tidur meskipun Aaron sejak tadi menemaninya. Valia tetap berbaring memeluk bonekanya dan membiarkan pikirannya berkelana. "Tidur Ava, apa yang kau pikirkan, hem?" Aaron meletakkan laptopnya dan ikut berbaring di samping Valia. Gadis itu membalikkan badannya dan menatap wajah Aaron yang tepat berada di depannya. "Apa Ella baik-baik saja?" lirih Valia. "Tentu. Dia akan tinggal di rumah besar keluaga Garnett, dia akan baik-baik saja. Lebih baik pikirkan dirimu sendiri agar kau cepat sembuh, okay?!" Aaron mengecup pipi Valia. Gadis itu tersenyum hangat, ia mengusap pipi Aaron dengan lembut dan kembali tersenyum. "Kau tidak akan jauh-jauh dariku kan, Aaron?" "No. Aku akan meninggalkanmu kalau aku mati." Aaron menjawabnya dengan santai. Valia pun terkekeh. "Kau tidak boleh mati, kan kita belum menikah." Aaron mengubah posisinya menjadi mengurung sisi tubuh Valia. Ditatapnya wajah cantik yang sudah berhari-hari tidak ia peluk.
Satu bulan kemudian...Malam ini Aaron baru saja pulang dari luar kota. Setelah kondisi Valia membaik, Aaron memang memutuskan untuk kembali bekerja. Dan malam ini, kepulangannya setelah lima hari lamanya ia pergi ke luar kota bersama beberapa rekan kerjanya yang lain. Jujur saja, Aaron sangat merindukan Valia dan ingin memeluknya erat-erat malam ini. "Di mana Ava? Kenapa dia tidak menyambut kepulanganku?" Aaron menatap Merina yang baru saja membukakan pintu. "Nona sedang jalan-jalan di ruang samping, Tuan. Nona Ava juga tidak mau saya temani," jawab Merina tersenyum. "Nona sedikit aneh, Tuan. Dia sering murung dan terus mengeluh merindukan Tuan." Aaron pun langsung bergegas, laki-laki itu meletakkan tuxedo hitamnya di sofa dan menatap Merina. "Segeralah kembali ke paviliun!" serunya memerintah."Baik Tuan." Merina berjalan pergi, begitu pula dengan Aaron yang kini langsung bergegas keluar menuju ruangan samping. Langkah kaki Aaron terhenti saat ia melihat sosok Valia yang berd