"Kau berjanji tidak meninggalkan aku lagi, kan?" Valia mengusap pipi Aaron saat laki-laki itu menggendongnya dan mengajaknya keluar dari dalam rumah sakit. Aaron meliriknya dan menggeleng saja, Valia pun menyandarkan kepalanya pada dada bidang Aaron dan menyadari betapa lemahnya ia. "Kita pulang ke Trieste," ujar Aaron. "Heem, aku sangat merindukan Lizer," jawab Valia. "Tidak merindukanku?" Pertanyaan bodoh itu membuat Valia tersenyum dan menggeleng pelan. Mereka pun sudah sampai di luar, Aaron langsung membawa Valia masuk ke dalam mobilnya. Mobil hitam milik Aaron segera melaju meninggalkan rumah sakit. Valia merasa sangat-sangat lega, bersama dengan Aaron, ia merasa terselamatkan dunianya. Di dalam mobil, Aaron menatap Valia yang duduk dipangkuannya. Gadis itu tidak henti-hentinya tersenyum. "Apa tidurmu tidak nyenyak semalam, hem?" tanya Aaron mengusap pipi Valia. "Tidak. Aku tidak bisa tidur, aku tidak makan, dan aku terus menunggumu. Victor bilang kalau dia sudah mengh
Malam gelap kembali menghantui Valia, ia tidak kunjung tidur meskipun Aaron sejak tadi menemaninya. Valia tetap berbaring memeluk bonekanya dan membiarkan pikirannya berkelana. "Tidur Ava, apa yang kau pikirkan, hem?" Aaron meletakkan laptopnya dan ikut berbaring di samping Valia. Gadis itu membalikkan badannya dan menatap wajah Aaron yang tepat berada di depannya. "Apa Ella baik-baik saja?" lirih Valia. "Tentu. Dia akan tinggal di rumah besar keluaga Garnett, dia akan baik-baik saja. Lebih baik pikirkan dirimu sendiri agar kau cepat sembuh, okay?!" Aaron mengecup pipi Valia. Gadis itu tersenyum hangat, ia mengusap pipi Aaron dengan lembut dan kembali tersenyum. "Kau tidak akan jauh-jauh dariku kan, Aaron?" "No. Aku akan meninggalkanmu kalau aku mati." Aaron menjawabnya dengan santai. Valia pun terkekeh. "Kau tidak boleh mati, kan kita belum menikah." Aaron mengubah posisinya menjadi mengurung sisi tubuh Valia. Ditatapnya wajah cantik yang sudah berhari-hari tidak ia peluk.
Satu bulan kemudian...Malam ini Aaron baru saja pulang dari luar kota. Setelah kondisi Valia membaik, Aaron memang memutuskan untuk kembali bekerja. Dan malam ini, kepulangannya setelah lima hari lamanya ia pergi ke luar kota bersama beberapa rekan kerjanya yang lain. Jujur saja, Aaron sangat merindukan Valia dan ingin memeluknya erat-erat malam ini. "Di mana Ava? Kenapa dia tidak menyambut kepulanganku?" Aaron menatap Merina yang baru saja membukakan pintu. "Nona sedang jalan-jalan di ruang samping, Tuan. Nona Ava juga tidak mau saya temani," jawab Merina tersenyum. "Nona sedikit aneh, Tuan. Dia sering murung dan terus mengeluh merindukan Tuan." Aaron pun langsung bergegas, laki-laki itu meletakkan tuxedo hitamnya di sofa dan menatap Merina. "Segeralah kembali ke paviliun!" serunya memerintah."Baik Tuan." Merina berjalan pergi, begitu pula dengan Aaron yang kini langsung bergegas keluar menuju ruangan samping. Langkah kaki Aaron terhenti saat ia melihat sosok Valia yang berd
"Tidak biasanya kepalaku sakit begini, kenapa akhir-akhir ini aku selalu pusing dan tidak enak badan."Valia meluruskan satu lengannya dan meletakkan kepalanya di atas meja besar di paviliun. Baru saja ia membuang bosannya bermain piano, dan banyak hal yang ia coba. Satu tangannya mengusap wajahnya yang berpeluh. Keringat dingin membuat tubuhnya lemas dan tidak bertenaga. "Permisi Nona," sapa pelayan masuk ke dalam sana. Valia menatap wanita itu yang mendekatinya dan membawakan mangkuk berisi buah-buahan."Nona tadi pagi sudah tidak sarapan, setidaknya Nona makan buah-buahan ini. Kalau Tuan tahu, beliau bisa marah," ujar pelayan itu pada Valia. "Aku tidak mau. Bawa saja kembali, aku tidak lapar," jawab Valia menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali meletakkan kepalanya di atas meja "Nona..." "Pegilah! Jangan ganggu aku, pelayan!" pekik Valia malah marah pada pelayan itu.Wanita itu pun langsung menutup pintunya dan meninggalkan Valia sendirian di dalam paviliun megah tersebut.
Rumah makan kecil di tepian dermaga, berhimpitan dengan cafe-cafe jalanan. Tempat ramai dan banyak sekali pengunjung yang berjalan kaki di sana. Aaron menutup hidung dan mulutnya, ia tidak pernah berada di tempat semacam itu. Dirinya sibuk memperhatikan Valia yang begitu acuh dengan situasi. "Enak?" tanya Aaron menatap Valia yang memakan sup rumput laut itu dengan lahap. "Hem, kau mau?" Valia menatapnya berseri-seri. Aaron menggeleng cepat dan kembali menutup hidungnya dengan telapak tangan. Aroma makanan itu sudah membuatnya pening, apa lagi memakannya, mungkin akan lebih parah lagi. "Tumben kau menginkan makan yang seperti ini, hem?" tanya Aaron menyelipkan rambut Valia dengan pelan dan merangkulnya. "Tidak tahu, tiba-tiba ingin. Kau saja yang tidak peka kalau aku ingin makan ini." Valia menatap mangkuknya yang sudah kosong. Aaron mengembuskan napasnya pelan. "Mau lagi? Aku akan memesankan kalau kau mau lagi." "Heem, aku sudah kenyang. Dirasa-rasa setelah kenyang rasanya jad
"Hah, du-dua garis! Ta-tandanya aku..." Valia langsung membungkam mulutnya dan tangannya gemetar memegang alat test kehamilan yang ia tatap. Ia menyandarkan punggungnya pada dinding kamar mandi memegang dadanya yang bergemuruh. "Ya Tuhan...!" Valia tersenyum lebar ia menangis karena bahagia. "Aaron pasti senang dengan kabar ini." Cepat Valia mengusap air matanya, ia langsung membuka pintu kamar mandi dan Merina berdiri di sana menanti-nanti. "Nona... Bagaimana?" tanya wanita itu antusias. Valia memasang wajah lesu sebelum ia mendekati Merina dan berdiri tepat di hadapan pelayan wanita itu. "Pelayan Merina, lihat ini!" Valia langsung tersenyum lebar menunjukkan test kehamilan yang ia bawa pada Merina.Merina langsung tersenyum bahagia, wanita itu memeluk Valia seketika. Keduanya sama-sama heboh dan rasa bahagia menyeruak pada hati mereka. "Nona Valia... Selamat!" pekik Merina mendekap erat-erat tubuh Valia. Anggukan diberikan oleh Valia, ia menarik dirinya dari pelukan sang pe
"Aku tidak bisa memastikan kondisi janinmu. Bagaimana kau bisa terjatuh, Avalia?" Fabio, dokter muda itu menatap Valia dengan penuh kecemasan. Gadis yang berbaring itu hanya diam takut menjawabnya. "Nona Ava jatuh karena kakinya tergelincir dan cukup kuat dia terjatuh," jelas Merina yang berada di sana. "Astaga, kau ini sedang hamil kenapa lari-larian?!" seru Fabio tidak sabaran. Bukannya menjawab, Valia menarik selimut dan menutupkan pada wajahnya. "Kau sama seperti Aaron, terus marah-marah padaku. Lebih baik kau pergi saja dari sini!" seru Valia dengan nada sedih. Merina menarik lengan Fabio dengan pelan, wanita itu memberikan isyarat pada Fabio untuk tidak melawan perkataan Valia. "Apa perutmu masih sakit?" tanya Fabio lagi, ia menyentuh perut Valia di balik selimut putih tebal. "Heem, sedikit nyeri," jawabnya. "Istirahatlah, aku akan menghubungi rekanku untuk memeriksamu nanti. Jangan lari-larian lagi," tutur Fabio. Dokter Muda itu pun melangkahkan kakinya keluar dari da
"Aaron, aku akan menulis beberapa nama untuk anak kita nanti!" Valia berdiri mengambil selembar kertas dan bolpoin di hadapan Aaron. Gadis itu dibebaskan melakukan apa saja, termasuk menemani Aaron bekerja malam ini. Sedangkan Aaron, ia memijit pelipisnya memperhatikan Valia yang sungguh mengganggu konsentrasi kerjanya malam ini. "Lebih baik kau sekarang istirahat, aku tidak akan selesai kalau kau terus menggangguku, Ava," ujar Aaron menatap Valia yang kini sibuk menulis. Cemberut bibir Valia dengan perkataan Aaron. Ia melipat kedua tangannya dan menyembunyikan wajahnya dia atas meja. "Eumm... Kau mengusirku," cicit Valia. "Aku memintamu istirahat. Sudah, itu saja." Gelengan diberikan oleh Valia, ia kembali menegakkan tubuhnya dan berdiri di samping meja kerja Aaron seraya melebarkan kertas yang ia pegang. "Aku tidak ngantuk, aku tidak mau tidur dan kau jangan mengaturku!" sinis Valia menyipitkan kedua matanya. Gadis itu menunjukkan kertas yang pegang. "Lebih baik kau lihat i