"Tidak biasanya kepalaku sakit begini, kenapa akhir-akhir ini aku selalu pusing dan tidak enak badan."Valia meluruskan satu lengannya dan meletakkan kepalanya di atas meja besar di paviliun. Baru saja ia membuang bosannya bermain piano, dan banyak hal yang ia coba. Satu tangannya mengusap wajahnya yang berpeluh. Keringat dingin membuat tubuhnya lemas dan tidak bertenaga. "Permisi Nona," sapa pelayan masuk ke dalam sana. Valia menatap wanita itu yang mendekatinya dan membawakan mangkuk berisi buah-buahan."Nona tadi pagi sudah tidak sarapan, setidaknya Nona makan buah-buahan ini. Kalau Tuan tahu, beliau bisa marah," ujar pelayan itu pada Valia. "Aku tidak mau. Bawa saja kembali, aku tidak lapar," jawab Valia menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali meletakkan kepalanya di atas meja "Nona..." "Pegilah! Jangan ganggu aku, pelayan!" pekik Valia malah marah pada pelayan itu.Wanita itu pun langsung menutup pintunya dan meninggalkan Valia sendirian di dalam paviliun megah tersebut.
Rumah makan kecil di tepian dermaga, berhimpitan dengan cafe-cafe jalanan. Tempat ramai dan banyak sekali pengunjung yang berjalan kaki di sana. Aaron menutup hidung dan mulutnya, ia tidak pernah berada di tempat semacam itu. Dirinya sibuk memperhatikan Valia yang begitu acuh dengan situasi. "Enak?" tanya Aaron menatap Valia yang memakan sup rumput laut itu dengan lahap. "Hem, kau mau?" Valia menatapnya berseri-seri. Aaron menggeleng cepat dan kembali menutup hidungnya dengan telapak tangan. Aroma makanan itu sudah membuatnya pening, apa lagi memakannya, mungkin akan lebih parah lagi. "Tumben kau menginkan makan yang seperti ini, hem?" tanya Aaron menyelipkan rambut Valia dengan pelan dan merangkulnya. "Tidak tahu, tiba-tiba ingin. Kau saja yang tidak peka kalau aku ingin makan ini." Valia menatap mangkuknya yang sudah kosong. Aaron mengembuskan napasnya pelan. "Mau lagi? Aku akan memesankan kalau kau mau lagi." "Heem, aku sudah kenyang. Dirasa-rasa setelah kenyang rasanya jad
"Hah, du-dua garis! Ta-tandanya aku..." Valia langsung membungkam mulutnya dan tangannya gemetar memegang alat test kehamilan yang ia tatap. Ia menyandarkan punggungnya pada dinding kamar mandi memegang dadanya yang bergemuruh. "Ya Tuhan...!" Valia tersenyum lebar ia menangis karena bahagia. "Aaron pasti senang dengan kabar ini." Cepat Valia mengusap air matanya, ia langsung membuka pintu kamar mandi dan Merina berdiri di sana menanti-nanti. "Nona... Bagaimana?" tanya wanita itu antusias. Valia memasang wajah lesu sebelum ia mendekati Merina dan berdiri tepat di hadapan pelayan wanita itu. "Pelayan Merina, lihat ini!" Valia langsung tersenyum lebar menunjukkan test kehamilan yang ia bawa pada Merina.Merina langsung tersenyum bahagia, wanita itu memeluk Valia seketika. Keduanya sama-sama heboh dan rasa bahagia menyeruak pada hati mereka. "Nona Valia... Selamat!" pekik Merina mendekap erat-erat tubuh Valia. Anggukan diberikan oleh Valia, ia menarik dirinya dari pelukan sang pe
"Aku tidak bisa memastikan kondisi janinmu. Bagaimana kau bisa terjatuh, Avalia?" Fabio, dokter muda itu menatap Valia dengan penuh kecemasan. Gadis yang berbaring itu hanya diam takut menjawabnya. "Nona Ava jatuh karena kakinya tergelincir dan cukup kuat dia terjatuh," jelas Merina yang berada di sana. "Astaga, kau ini sedang hamil kenapa lari-larian?!" seru Fabio tidak sabaran. Bukannya menjawab, Valia menarik selimut dan menutupkan pada wajahnya. "Kau sama seperti Aaron, terus marah-marah padaku. Lebih baik kau pergi saja dari sini!" seru Valia dengan nada sedih. Merina menarik lengan Fabio dengan pelan, wanita itu memberikan isyarat pada Fabio untuk tidak melawan perkataan Valia. "Apa perutmu masih sakit?" tanya Fabio lagi, ia menyentuh perut Valia di balik selimut putih tebal. "Heem, sedikit nyeri," jawabnya. "Istirahatlah, aku akan menghubungi rekanku untuk memeriksamu nanti. Jangan lari-larian lagi," tutur Fabio. Dokter Muda itu pun melangkahkan kakinya keluar dari da
"Aaron, aku akan menulis beberapa nama untuk anak kita nanti!" Valia berdiri mengambil selembar kertas dan bolpoin di hadapan Aaron. Gadis itu dibebaskan melakukan apa saja, termasuk menemani Aaron bekerja malam ini. Sedangkan Aaron, ia memijit pelipisnya memperhatikan Valia yang sungguh mengganggu konsentrasi kerjanya malam ini. "Lebih baik kau sekarang istirahat, aku tidak akan selesai kalau kau terus menggangguku, Ava," ujar Aaron menatap Valia yang kini sibuk menulis. Cemberut bibir Valia dengan perkataan Aaron. Ia melipat kedua tangannya dan menyembunyikan wajahnya dia atas meja. "Eumm... Kau mengusirku," cicit Valia. "Aku memintamu istirahat. Sudah, itu saja." Gelengan diberikan oleh Valia, ia kembali menegakkan tubuhnya dan berdiri di samping meja kerja Aaron seraya melebarkan kertas yang ia pegang. "Aku tidak ngantuk, aku tidak mau tidur dan kau jangan mengaturku!" sinis Valia menyipitkan kedua matanya. Gadis itu menunjukkan kertas yang pegang. "Lebih baik kau lihat i
Sepeninggal Aaron sejak pagi, Valia berada di paviliun bersama dengan Sergio yang berdiri bagai patung di belakangnya. Tidak jarang dia menyahuti pertanyaan Valia yang dilontarkan secara tiba-tiba. Kini gadis itu memegang gagang kuas lukisnya, Valia ingin melukis dan Sergio langsung memerintah anak buahnya berangkat membelikan keperluan yang Valia inginkan. "Sergio, apa kau tidak ingin minum?" tanya Valia menatap sebal laki-laki itu. Sergio tersenyum tipis dan menggeleng. "Tidak Nona, kalau Nona mau, saya bisa ambilkan sekarang juga," jawab Sergio.Valia menggeleng juga. "Heem, aku tidak mau minum. Aku hanya mau kau pergi saja dari sini, aku tidak fokus melukis," alibi Valia seraya melirik Sergio. "Saya bisa berbalik ke belakang saja, Nona. Sudah menjadi tanggung jawab saya menjaga Nona Valia." 'Aaakkhhh... Menyebalkan!' teriak Valia dalam hati, ia menunjukkan wajah melasnya dan menyandarkan keningnya pada kanvas di hadapannya. 'Aaron, aku ingin memukulmu sampai pingsan! Kenapa k
"Sudah tidak sakit, kan?" Aaron menatap wajah Valia yang masih ingin menangis, laki-laki itu tersenyum tipis mengusap pipi gembilnya. Valia menjadi sangat-sangat manja sejak dia hamil. Namun apapun yang dia inginkan, mudah sekali baginya untuk ia dapatkan. "Ava, tidak sakit lagi kan? Jangan diam saja... Kalau sakit lebih baik aku menghubungi Fabio, biar dia yang-" "Sup rumput lautnya," lirih Valia sebelum ia menangis tanpa suara. Helaan napas pelan terdengar di bibir Aaron, padahal ia panik dengan jari tangan Valia, tapi gadis itu malah memikirkan sup rumput lautnya yang tumpah. Aaron menegakkan tubuhnya, ia mengusap pucuk kepala gadis itu. "Merina akan memasakkan yang lebih enak lagi, bagaimana?" "Tidak mau," jawab Valia menggeleng-gelengkan kepalanya. Kali ini Aaron membungkukkan badannya, ia menangkup satu pipi Valia dan menatapnya dalam-dalam. "Aku masih lelah, Sayang. Nanti malam saja kita pergi keluar membelinya lagi, ya? Jangan marah..." Aaron membujuk Valia dengan ek
Aaron mengajak Valia pergi untuk menghiburnya, membelanjakan apapun yang dia mau, dan pergi membeli makanan sup rumput laut sepuasnya. Mereka berdua kini berada di sebuah toko perhiasan. Aaron sengaja ingin membelikan Valia perhiasan-perhiasan untuk mempercantik dirinya. "Kau suka yang mana, Sayang?" Aaron melingkarkan satu tangannya di pinggang Valia. "Eum... Yang itu bagus, tapi mahal," bisik Valia. Aaron berdecak kesal, ia memanggil sang pegawai toko. "Saya beli yang ini!" seru Aaron. "Baik Tuan." Selalu begitu, Aaron selalu melakukan apapun yang Valia larang hingga gadis itu kini menatapnya dengan bibir cemberut. "Jangan seperti orang susah, pemilikmu ini seorang Presdir, paham!" Aaron menarik gemas pipi Valia. Gadis itu tersenyum manis menganggukkan kepalanya. "Terima kasih, Aaron." Kecupan di pucuk kepala menjadi jawaban dari Aaron. Valia memperhatikan sekitar sana, sampai tatapannya tertuju pada sebuah penjual hamburger di stand yang berada di dalam pusat perbelanjaa