"Aku tidak bisa memastikan kondisi janinmu. Bagaimana kau bisa terjatuh, Avalia?" Fabio, dokter muda itu menatap Valia dengan penuh kecemasan. Gadis yang berbaring itu hanya diam takut menjawabnya. "Nona Ava jatuh karena kakinya tergelincir dan cukup kuat dia terjatuh," jelas Merina yang berada di sana. "Astaga, kau ini sedang hamil kenapa lari-larian?!" seru Fabio tidak sabaran. Bukannya menjawab, Valia menarik selimut dan menutupkan pada wajahnya. "Kau sama seperti Aaron, terus marah-marah padaku. Lebih baik kau pergi saja dari sini!" seru Valia dengan nada sedih. Merina menarik lengan Fabio dengan pelan, wanita itu memberikan isyarat pada Fabio untuk tidak melawan perkataan Valia. "Apa perutmu masih sakit?" tanya Fabio lagi, ia menyentuh perut Valia di balik selimut putih tebal. "Heem, sedikit nyeri," jawabnya. "Istirahatlah, aku akan menghubungi rekanku untuk memeriksamu nanti. Jangan lari-larian lagi," tutur Fabio. Dokter Muda itu pun melangkahkan kakinya keluar dari da
"Aaron, aku akan menulis beberapa nama untuk anak kita nanti!" Valia berdiri mengambil selembar kertas dan bolpoin di hadapan Aaron. Gadis itu dibebaskan melakukan apa saja, termasuk menemani Aaron bekerja malam ini. Sedangkan Aaron, ia memijit pelipisnya memperhatikan Valia yang sungguh mengganggu konsentrasi kerjanya malam ini. "Lebih baik kau sekarang istirahat, aku tidak akan selesai kalau kau terus menggangguku, Ava," ujar Aaron menatap Valia yang kini sibuk menulis. Cemberut bibir Valia dengan perkataan Aaron. Ia melipat kedua tangannya dan menyembunyikan wajahnya dia atas meja. "Eumm... Kau mengusirku," cicit Valia. "Aku memintamu istirahat. Sudah, itu saja." Gelengan diberikan oleh Valia, ia kembali menegakkan tubuhnya dan berdiri di samping meja kerja Aaron seraya melebarkan kertas yang ia pegang. "Aku tidak ngantuk, aku tidak mau tidur dan kau jangan mengaturku!" sinis Valia menyipitkan kedua matanya. Gadis itu menunjukkan kertas yang pegang. "Lebih baik kau lihat i
Sepeninggal Aaron sejak pagi, Valia berada di paviliun bersama dengan Sergio yang berdiri bagai patung di belakangnya. Tidak jarang dia menyahuti pertanyaan Valia yang dilontarkan secara tiba-tiba. Kini gadis itu memegang gagang kuas lukisnya, Valia ingin melukis dan Sergio langsung memerintah anak buahnya berangkat membelikan keperluan yang Valia inginkan. "Sergio, apa kau tidak ingin minum?" tanya Valia menatap sebal laki-laki itu. Sergio tersenyum tipis dan menggeleng. "Tidak Nona, kalau Nona mau, saya bisa ambilkan sekarang juga," jawab Sergio.Valia menggeleng juga. "Heem, aku tidak mau minum. Aku hanya mau kau pergi saja dari sini, aku tidak fokus melukis," alibi Valia seraya melirik Sergio. "Saya bisa berbalik ke belakang saja, Nona. Sudah menjadi tanggung jawab saya menjaga Nona Valia." 'Aaakkhhh... Menyebalkan!' teriak Valia dalam hati, ia menunjukkan wajah melasnya dan menyandarkan keningnya pada kanvas di hadapannya. 'Aaron, aku ingin memukulmu sampai pingsan! Kenapa k
"Sudah tidak sakit, kan?" Aaron menatap wajah Valia yang masih ingin menangis, laki-laki itu tersenyum tipis mengusap pipi gembilnya. Valia menjadi sangat-sangat manja sejak dia hamil. Namun apapun yang dia inginkan, mudah sekali baginya untuk ia dapatkan. "Ava, tidak sakit lagi kan? Jangan diam saja... Kalau sakit lebih baik aku menghubungi Fabio, biar dia yang-" "Sup rumput lautnya," lirih Valia sebelum ia menangis tanpa suara. Helaan napas pelan terdengar di bibir Aaron, padahal ia panik dengan jari tangan Valia, tapi gadis itu malah memikirkan sup rumput lautnya yang tumpah. Aaron menegakkan tubuhnya, ia mengusap pucuk kepala gadis itu. "Merina akan memasakkan yang lebih enak lagi, bagaimana?" "Tidak mau," jawab Valia menggeleng-gelengkan kepalanya. Kali ini Aaron membungkukkan badannya, ia menangkup satu pipi Valia dan menatapnya dalam-dalam. "Aku masih lelah, Sayang. Nanti malam saja kita pergi keluar membelinya lagi, ya? Jangan marah..." Aaron membujuk Valia dengan ek
Aaron mengajak Valia pergi untuk menghiburnya, membelanjakan apapun yang dia mau, dan pergi membeli makanan sup rumput laut sepuasnya. Mereka berdua kini berada di sebuah toko perhiasan. Aaron sengaja ingin membelikan Valia perhiasan-perhiasan untuk mempercantik dirinya. "Kau suka yang mana, Sayang?" Aaron melingkarkan satu tangannya di pinggang Valia. "Eum... Yang itu bagus, tapi mahal," bisik Valia. Aaron berdecak kesal, ia memanggil sang pegawai toko. "Saya beli yang ini!" seru Aaron. "Baik Tuan." Selalu begitu, Aaron selalu melakukan apapun yang Valia larang hingga gadis itu kini menatapnya dengan bibir cemberut. "Jangan seperti orang susah, pemilikmu ini seorang Presdir, paham!" Aaron menarik gemas pipi Valia. Gadis itu tersenyum manis menganggukkan kepalanya. "Terima kasih, Aaron." Kecupan di pucuk kepala menjadi jawaban dari Aaron. Valia memperhatikan sekitar sana, sampai tatapannya tertuju pada sebuah penjual hamburger di stand yang berada di dalam pusat perbelanjaa
Aaron mengajak Valia bertemu dengan Mamanya di sebuah restoran bintang lima di kota Roma. Mereka harus melakukan perjalanan beberapa jam untuk sampai di sana. Meskipun awalnya Valia merasa antusias, nyatanya begitu ia bertatap muka dengan Jeselin, Valia masih merasa sangat takut. "Mama dari tadi menunggu kalian, Mama pikir kalian tidak akan datang," ujar Jeselin menatap Aaron dan Valia bergantian. "Tentu saja kami akan datang," jawab Aaron dengan nada datar. Jeselin tersenyum tipis, wanita itu memperhatikan Valia yang diam menundukkan kepalanya saja. Gadis itu kadang menyembunyikan wajahnya di balik lengan Aaron dan meremas-remas telapak tangan Aaron, ia tampak menahan sesuatu. "Valia, kenapa diam saja, jangan takut lagi ya," ujar Jeselin meletakkan beberapa potongan daging di piring Valia. "Ayo makan, jangan hanya dilihat saja. Tubuhmu semakin kurus, nak. Apa Aaron berlaku kasar padamu?" Valia dengan cepat menggeleng. "Ti-tidak Ma." Mendengar pertanyaan konyol dari Mamanya, A
"Aaron peluk aku... Aaron? Kau sudah bangun? Aaron...." Valia mendengus kesal saat pertama kali ia menyibak selimutnya, ternyata Aaron tidak berada di sampingnya, Begitu Valia hendak turun dari atas ranjang, pintu kamarnya terbuka dan seperti biasa kalau Merina mengantarkan sarapan untuknya. "Selamat pagi Nona, apa semalam Nona Valia tidur dengan nyenyak?" Merina mendekati Valia. "Hem, aku selalu mimpi indah," jawab Valia tersenyum lebar. "Apa lagi kalau dipeluk Aaron!" Wanita itu tersenyum hangat seraya memperhatikan Valia yang kini gegas masuk ke dalam kamar mandi, di sana Merina merapikan meja di kamar Aaron. Sampai beberapa menit lamanya hingga Valia keluar dari dalam kamar mandi. Gadis itu menatap Merina yang masih berada di sana merapikan kamar. "Apa Aaron sudah berangkat dari tadi?" tanya Valia pada wanita itu. "Berangkat? Hari ini Tuan libur, Nona. Tapi... Tuan sedang berada di kolam renang belakang." "Dia sedang berenang?" tanya Valia dengan kedua matanya yang meleba
"Aku akan pergi dan pulang cukup malam, berhati-hatilah di rumah. Segio untuk sementara akan ikut bersamaku ke luar kota." Aaron mengusap pucuk kepala Valia dengan lembut. Laki-laki itu tersenyum hangat dan mengecup pipi Valia dengan gemas. Di sana Valia hanya diam mencengkeram erat lengan Aaron. Biasanya dia akan tersenyum, tapi entah kenapa pikiran Valia menjadi tidak nyaman sejak pagi. "Ava," panggil Aaron pelan. Gadis itu mendongak. "A-apa kau tidak bisa pergi besok saja? Perasaanku sangat tidak enak," ujar Valia menahannya. Di sana, Aaron tersenyum tipis menangkup pipi gembil Valia. "Mana ada, aku harus pergi karena ini urusan yang sangat serius. Kau jangan khawatir, tidak ada hal buruk yang akan terjadi, okay?!" Dengan berat hati Valia menganggukkan kepalanya. Aaron langsung berjalan keluar dari dalam rumah. Mereka berdiri di teras, dan Sergio bersiap pergi ke luar kota bersama dengan Aaron. Seperti biasa, Aaron memeluk dan mengecup gadisnya setiap dia hendak pergi. Dan V