"Aaron peluk aku... Aaron? Kau sudah bangun? Aaron...." Valia mendengus kesal saat pertama kali ia menyibak selimutnya, ternyata Aaron tidak berada di sampingnya, Begitu Valia hendak turun dari atas ranjang, pintu kamarnya terbuka dan seperti biasa kalau Merina mengantarkan sarapan untuknya. "Selamat pagi Nona, apa semalam Nona Valia tidur dengan nyenyak?" Merina mendekati Valia. "Hem, aku selalu mimpi indah," jawab Valia tersenyum lebar. "Apa lagi kalau dipeluk Aaron!" Wanita itu tersenyum hangat seraya memperhatikan Valia yang kini gegas masuk ke dalam kamar mandi, di sana Merina merapikan meja di kamar Aaron. Sampai beberapa menit lamanya hingga Valia keluar dari dalam kamar mandi. Gadis itu menatap Merina yang masih berada di sana merapikan kamar. "Apa Aaron sudah berangkat dari tadi?" tanya Valia pada wanita itu. "Berangkat? Hari ini Tuan libur, Nona. Tapi... Tuan sedang berada di kolam renang belakang." "Dia sedang berenang?" tanya Valia dengan kedua matanya yang meleba
"Aku akan pergi dan pulang cukup malam, berhati-hatilah di rumah. Segio untuk sementara akan ikut bersamaku ke luar kota." Aaron mengusap pucuk kepala Valia dengan lembut. Laki-laki itu tersenyum hangat dan mengecup pipi Valia dengan gemas. Di sana Valia hanya diam mencengkeram erat lengan Aaron. Biasanya dia akan tersenyum, tapi entah kenapa pikiran Valia menjadi tidak nyaman sejak pagi. "Ava," panggil Aaron pelan. Gadis itu mendongak. "A-apa kau tidak bisa pergi besok saja? Perasaanku sangat tidak enak," ujar Valia menahannya. Di sana, Aaron tersenyum tipis menangkup pipi gembil Valia. "Mana ada, aku harus pergi karena ini urusan yang sangat serius. Kau jangan khawatir, tidak ada hal buruk yang akan terjadi, okay?!" Dengan berat hati Valia menganggukkan kepalanya. Aaron langsung berjalan keluar dari dalam rumah. Mereka berdiri di teras, dan Sergio bersiap pergi ke luar kota bersama dengan Aaron. Seperti biasa, Aaron memeluk dan mengecup gadisnya setiap dia hendak pergi. Dan V
Hari ini adalah hari ulang tahun Jeselin, satu minggu yang lalu Victor mengantarkan sebuah undangan pada Aaron, tidak mungkin bagi Aaron untuk tidak datang. Dan kini Aaron tengah bersiap, laki-laki itu memperhatikan Valia yang diam berdiri di depan cermin. "Apa yang kau tunggu, Sayang? Cepat ganti bajumu dan ayo kita bersiap ke ulang tahun Mama," ajak Aaron mengusap pundak Valia dari belakang. Gadis itu menoleh dan menatap resah. "Aaron, apa di sana ada Victor?" tanya Valia mendongak menatap dua manik mata Aaron yang nampak resah. Senyuman di bibir laki-laki itu berusaha menenangkan Valia. Aaron meraih tuxedo hitamnya dan menggeleng kecil. "Entahlah, Victor yang menyerahkan undangannya padaku. Tapi tadi siang Jack mengatakan padaku kalau Victor pergi ke Barcelona, jadi dia tidak bisa datang." Penjelasan Aaron membuat Valia mengangguk dan tersenyum kecil. "Heem syukurlah kalau dia tidak ada, aku tidak akan resah. Kalau begitu... Aku ganti baju dulu," ujar gadis itu. Gegas Valia
Aaron mendapatkan perawatan yang serius di rumah sakit. Luka yang dialaminya cukup fatal hingga bisa berdampak pada kematian. Bersama dengan Jeselin yang menemaninya, Valia terduduk lemas di sebuah bangku tunggu di luar ruangan. Sejak tadi Valia sibuk meremas-remas perutnya yang terasa nyeri. "Sayang, Valia baik-baik saja, nak? Apa perutmu sakit?" Jeselin mendekati Valia dan mengusap pipinya. Gadis itu menggeleng pelan. "Tidak Papa, Ma. Aku hanya takut," jawab Valia sebelum air matanya kembali mentes. Jeselin menggenggam tangan Valia dan ia menatapnya dalam-dalam. "Sayang, kita sama-sama berdoa, semoga tidak tejadi hal yang serius pada Aaron, ya?" Jeselin menangis membawa Valia dalam pelukannya. Mereka saling memeluk hingga tiba-tiba saja pintu kaca buram di depan Valia terbuka, di sana nampak seorang dokter yang keluar dari dalam ruangan itu. "Dokter...." Valia langsung berjalan mendekatinya. "Dok, bagaimana keadaan putra saya?" tanya Jeselin tak sabaran. Laki-laki berjubah
Murcia, Spanyol. Jeselin membawa Valia ke Murcia, di mansion megah milik keluarga besarnya yang begitu disegani. Ia tidak punya pilihan lain, selain harus membawa Valia ke sana. Kedua orang tua Jeselin, Rodrick dan Caroline, menyambut kedatangan Jeselin dengan banyak tanda tanya di benak mereka tentang siapa yang dibawanya, belum lagi beberapa anggota keluarga lainnya yang juga tinggal di sana, satu pekarangan luas milik keluarga Jazvier. "Siapa yang kau bawa ini, Jes?" tanya Caroline menatap gadis cantik yang bersama Jeselin. "Ini Valia, Ma. Aku ingin menitipkan Valia pada kalian semua, dia sedang hamil dan Aaron sekarang dalam keadaan koma di rumah sakit. Valia tengah hamil muda, jadi aku-" "Aaron sakit?! Sakit apa dia?!" sentak Rodrick pada Jeselin. "Katakan, sakit apa Cucuku, hah?!" Valia semakin menundukkan kepalanya dan ia sangat takut dengan keluarga itu. Di sana juga ada beberapa orang lagi yang ikut berkumpul di dalam ruang keluarga yang sangat megah dan mewah. "Aaron,
Hari demi hari, Valia menjalani kehidupan barunya di Murcia. Ia terus menulis banyak catatan di buku hariannya tentang dirinya, dan perkembangan bayinya. Bahkan kini setelah hampir lebih dari satu minggu ia tinggal di Murcia. Valia yang kini tengah duduk di tepi ranjang dan mengusap figura foto, wajah tampan Aaron yang terpampang di sana. "Aaron, kemarin Josevin bilang kalau Layla akan baik-baik saja. Aku selalu berdoa kalau kau segera sembuh," ujar Valia, ia mengecup gambar itu. Pintu kamar Valia tiba-tiba terketuk, gadis itu beranjak dari duduknya dan mendapati Rodrick di depannya. "O-opa?" "Keluarlah, Opa ingin bicara denganmu," ajak laki-laki tua itu. Valia menganggukkan kepalanya, ia berjalan keluar dari dalam kamar. Di sana Valia melihat ada Caroline yang juga menunggunya. Mereka meminta Valia duduk di sofa dan apapun yang terjadi, Valia siap mendengarkan mereka. "Valia, Opa dan Oma ingin memberitahu sesuatu padamu," ujar laki-laki itu. Valia mengangguk. "Ada apa, Opa?"
Beberapa bulan kemudian...Semua terlewati begitu saja oleh Valia, ia melewati masa sulitnya sendirian. Valia akan menjadi seorang Mama, yang baik, cantik, dan dipenuhi kasih sayang. Pagi ini suara rintihan memenuhi salah satu ruangan rumah sakit. Rasa sakit bagai semua tulang disekujur tubuhnya diremukkan. Ditemani oleh Caroline dan Rosalia, hari ini Valia berjuang melahirkan anaknya. Sejak petang, Valia berusaha menahan semua rasa sakitnya. "Valia... Bertahan ya, kau pasti bisa, Sayang!" seru Rosalia, wanita itu tidak sejahat Nadine. Di sana, Valia hanya diam tidak berbicara dan terus menggenggam tangan Rosalia. "Tante, peluk Valia," pinta gadis itu tiba-tiba.Baik Rosalia dan Caroline langsung memeluknya, mereka mengusap kening Valia dengan lembut. "Semua akan baik-baik saja ya, Sayang." Caroline menangis mengatakannya. "Oma, ini sakit," ucapnya lirih tanpa suara. "Hussttt... Oma yakin kalau Valia pasti kuat!" serunya menyemangati. Pintu kamar itu tiba-tiba terbuka, di san
Valia sudah dibawa pulang dari rumah sakit sejak dua harian yang lalu. Setiap malam ia ditemani oleh Rosalia, wanita itu benar-benar sangat menyayangi Valia, terutama saat dia mendengar semua jalan hidup Valia yang benar-benar kacau. Tapi malam ini, Valia sendirian karena Rosalia sedang ada acara dengan suaminya. Valia begitu kebingungan karena Layla yang terus menangis. "Ya Tuhan, anakku kenapa? Bagaimana ini..." Valia kebingungan. Kembali ia berdiri dan menggendongnya, Valia menimang-nimang, dan memberikan dia ASI, namun anak bayi itu tetap menangis. "Sayang, jangan menangis terus... Ini sudah malam, Mama tidak punya teman lagi selain Layla, jangan menangis ya, Sayang," bisik Valia mengecup pipi putri mungilnya, kembali menyelimuti bayinya dan mengajaknya mondar-mandir di selasar lantai dua. Tangisan Layla pun perlahan reda, bayi itu kembali tertidur pulas. Namun saat Valia merebahkannya, dia menangis kembali. Tak ada cara lain bayi Valia selain mondar-mandir dan terus meniman