Murcia, Spanyol. Jeselin membawa Valia ke Murcia, di mansion megah milik keluarga besarnya yang begitu disegani. Ia tidak punya pilihan lain, selain harus membawa Valia ke sana. Kedua orang tua Jeselin, Rodrick dan Caroline, menyambut kedatangan Jeselin dengan banyak tanda tanya di benak mereka tentang siapa yang dibawanya, belum lagi beberapa anggota keluarga lainnya yang juga tinggal di sana, satu pekarangan luas milik keluarga Jazvier. "Siapa yang kau bawa ini, Jes?" tanya Caroline menatap gadis cantik yang bersama Jeselin. "Ini Valia, Ma. Aku ingin menitipkan Valia pada kalian semua, dia sedang hamil dan Aaron sekarang dalam keadaan koma di rumah sakit. Valia tengah hamil muda, jadi aku-" "Aaron sakit?! Sakit apa dia?!" sentak Rodrick pada Jeselin. "Katakan, sakit apa Cucuku, hah?!" Valia semakin menundukkan kepalanya dan ia sangat takut dengan keluarga itu. Di sana juga ada beberapa orang lagi yang ikut berkumpul di dalam ruang keluarga yang sangat megah dan mewah. "Aaron,
Hari demi hari, Valia menjalani kehidupan barunya di Murcia. Ia terus menulis banyak catatan di buku hariannya tentang dirinya, dan perkembangan bayinya. Bahkan kini setelah hampir lebih dari satu minggu ia tinggal di Murcia. Valia yang kini tengah duduk di tepi ranjang dan mengusap figura foto, wajah tampan Aaron yang terpampang di sana. "Aaron, kemarin Josevin bilang kalau Layla akan baik-baik saja. Aku selalu berdoa kalau kau segera sembuh," ujar Valia, ia mengecup gambar itu. Pintu kamar Valia tiba-tiba terketuk, gadis itu beranjak dari duduknya dan mendapati Rodrick di depannya. "O-opa?" "Keluarlah, Opa ingin bicara denganmu," ajak laki-laki tua itu. Valia menganggukkan kepalanya, ia berjalan keluar dari dalam kamar. Di sana Valia melihat ada Caroline yang juga menunggunya. Mereka meminta Valia duduk di sofa dan apapun yang terjadi, Valia siap mendengarkan mereka. "Valia, Opa dan Oma ingin memberitahu sesuatu padamu," ujar laki-laki itu. Valia mengangguk. "Ada apa, Opa?"
Beberapa bulan kemudian...Semua terlewati begitu saja oleh Valia, ia melewati masa sulitnya sendirian. Valia akan menjadi seorang Mama, yang baik, cantik, dan dipenuhi kasih sayang. Pagi ini suara rintihan memenuhi salah satu ruangan rumah sakit. Rasa sakit bagai semua tulang disekujur tubuhnya diremukkan. Ditemani oleh Caroline dan Rosalia, hari ini Valia berjuang melahirkan anaknya. Sejak petang, Valia berusaha menahan semua rasa sakitnya. "Valia... Bertahan ya, kau pasti bisa, Sayang!" seru Rosalia, wanita itu tidak sejahat Nadine. Di sana, Valia hanya diam tidak berbicara dan terus menggenggam tangan Rosalia. "Tante, peluk Valia," pinta gadis itu tiba-tiba.Baik Rosalia dan Caroline langsung memeluknya, mereka mengusap kening Valia dengan lembut. "Semua akan baik-baik saja ya, Sayang." Caroline menangis mengatakannya. "Oma, ini sakit," ucapnya lirih tanpa suara. "Hussttt... Oma yakin kalau Valia pasti kuat!" serunya menyemangati. Pintu kamar itu tiba-tiba terbuka, di san
Valia sudah dibawa pulang dari rumah sakit sejak dua harian yang lalu. Setiap malam ia ditemani oleh Rosalia, wanita itu benar-benar sangat menyayangi Valia, terutama saat dia mendengar semua jalan hidup Valia yang benar-benar kacau. Tapi malam ini, Valia sendirian karena Rosalia sedang ada acara dengan suaminya. Valia begitu kebingungan karena Layla yang terus menangis. "Ya Tuhan, anakku kenapa? Bagaimana ini..." Valia kebingungan. Kembali ia berdiri dan menggendongnya, Valia menimang-nimang, dan memberikan dia ASI, namun anak bayi itu tetap menangis. "Sayang, jangan menangis terus... Ini sudah malam, Mama tidak punya teman lagi selain Layla, jangan menangis ya, Sayang," bisik Valia mengecup pipi putri mungilnya, kembali menyelimuti bayinya dan mengajaknya mondar-mandir di selasar lantai dua. Tangisan Layla pun perlahan reda, bayi itu kembali tertidur pulas. Namun saat Valia merebahkannya, dia menangis kembali. Tak ada cara lain bayi Valia selain mondar-mandir dan terus meniman
Empat Tahun Kemudian..."Aaa... Jangan nakal! Awas ya, kalian! Layla bilangin Mama!" Teriakan melengking di sebuah taman terdengar keras dari anak kecil perempuan cantik yang bajunya kini basah kuyup. Gadis mungil itu cemberut saat semua teman-teman seusianya bersorak dan berlari meninggalkannya usai menyiram Layla dengan air beramai-ramai. "Heum, nakal," cicit Layla kesal, ia kembali mengambil boneka kelinci merah muda miliknya yang kotor terjatuh di atas rumput basah di taman. Layla, gadis kecil mungil berusia empat tahun kurang, yang cantik berkulit putih, rambut cokelat dikuncir dua dengan pira merah, pipi gembil kemerahan, dia persis seperti jiplakan Mamanya saat masih kecil, hanya saja rambutnya berwarna cokelat. Dengan balutan dress selutut berwarna merah, Layla berdiri di tengah taman mencari semua temannya yang bersembunyi. Di tengah taman, Layla menatap sekitar dengan wajah geram. "Hei... Kalian keluar! Ayo main sama Layla!" teriaknya kesal dan marah. "Layla bawa perm
Roma, Italia. "Aaron, beberapa bulan ke depan sepertinya Kakekmu ingin meminta bantuanmu untuk mengurus perusahaannya. Paman Keivan, sudah hampir menyerah." Seruan itu langsung terucap dari Keivan, atas perintah Rodrick dia pergi menemui Aaron. Nampak Aaron yang sedang berpikir panjang, ia seperti ingin menerima atau tidak, dan sangat menimbangnya. "Tapi Paman, pekerjaanku di sini juga cukup banyak. Aku-" "Ini penting. Kau di sini masih ada beberapa anak buah, sedangkan Paman? Ini perusahaan besar, Kakek hanya percaya padamu, Aaron!" tegas Kevian, ia harus bisa meyakinkan Aaron. Nampak Aaron melirik foto milik Valia yang ada di atas meja kerjanya. Hingga tiba-tiba saja Aaron langsung menganggukkan kepalanya. "Tapi aku tidak bisa tinggal bersama kalian, aku akan tinggal di penginapan depan," ujar Aaron, dia menolak tinggal di mansion atau di rumahnya. "Di penginapan? Itu cukup jauh dari rumah milik Mamamu dan manison Opa, kau yakin?"Aaron mengangguk. "Ya, aku akan memburu seti
"Mama... Mama! Layla mau kasih tahu Mama! Ada Paman tampan!" "Mama... Lihat Layla!" Bocah perempuan kecil itu menarik-narik ujung bawah dress yang Valia pakai sambil terus lompat-lompat kecil, Mamanya itu kini tengah sibuk memasak, hanya bisa merespon biasa.Valia menundukkan kepalanya menatap sang putri yang heboh sendiri. "Paman siapa, Sayang? Layla jangan main jauh-jauh, di taman saja sudah cukup. Jangan pergi jauh!" seru Valia masih tidak memperhatikan putrinya. Seketika Layla cemberut, anak itu menundukkan kepalanya menatap lututnya yang terluka. "Layla tadi jatuh, terus Paman tampan yang bersihkan lutut Layla," adu anak itu lagi. "Jatuh?!" Valia memekik menatapnya, ia langsung mematikan kompor dan menekuk lututnya melihat luka di kaki Layla. "Jatuh di mana? Kenapa sampai bisa jatuh? Ayo Mama Obati." Valia langsung menggendong Layla, namun sesaat Valia terdiam karena menghirup aroma yang sangat familiar untuknya. Aroma parfume itu melekat pada tubuh Layla. Aroma maskulin
Setelah Layla bertanya bagaimana rasanya punya Papa, kepada seorang Aaron yang sejatinya juga sangat merindukan buah hatinya. Aaron memutuskan mengajak Layla jalan-jalan berdua di sekitar sana sampai jam sekolah habis. Mereka berdua jalan-jalan di taman kota, Layla tidak pernah sekali pun keluar dari area perumahan megah keluarganya, dan baru kali ini ia merasakan udara bebas. "Paman, itu apa?!" Layla menunjuk ke arah maskot badut kelinci di tengah taman. "Princess mau berfoto dengan dia?" tawar Aaron. Layla pun menganggukkan kepalanya. "Mau! Mau... Princess mau!" serunya. Aaron langsung menggandeng tangan mungil Layla dan mengajaknya mendekat pada maskot badut itu. "Paman, kelincinya besar!" seru Layla tersenyum lebar. "Tentu saja, Princess berdiri di sana, Paman foto dari sini, okay?!" Bocah itu mengangguk, dia langsung berposes sesukanya dan Aaron yang mengambil banyak gambar anak itu. Hingga tanpa terasa mereka menghabiskan waktu sampai beberapa jam. Hingga keduanya kini