"Mama... Mama! Layla mau kasih tahu Mama! Ada Paman tampan!" "Mama... Lihat Layla!" Bocah perempuan kecil itu menarik-narik ujung bawah dress yang Valia pakai sambil terus lompat-lompat kecil, Mamanya itu kini tengah sibuk memasak, hanya bisa merespon biasa.Valia menundukkan kepalanya menatap sang putri yang heboh sendiri. "Paman siapa, Sayang? Layla jangan main jauh-jauh, di taman saja sudah cukup. Jangan pergi jauh!" seru Valia masih tidak memperhatikan putrinya. Seketika Layla cemberut, anak itu menundukkan kepalanya menatap lututnya yang terluka. "Layla tadi jatuh, terus Paman tampan yang bersihkan lutut Layla," adu anak itu lagi. "Jatuh?!" Valia memekik menatapnya, ia langsung mematikan kompor dan menekuk lututnya melihat luka di kaki Layla. "Jatuh di mana? Kenapa sampai bisa jatuh? Ayo Mama Obati." Valia langsung menggendong Layla, namun sesaat Valia terdiam karena menghirup aroma yang sangat familiar untuknya. Aroma parfume itu melekat pada tubuh Layla. Aroma maskulin
Setelah Layla bertanya bagaimana rasanya punya Papa, kepada seorang Aaron yang sejatinya juga sangat merindukan buah hatinya. Aaron memutuskan mengajak Layla jalan-jalan berdua di sekitar sana sampai jam sekolah habis. Mereka berdua jalan-jalan di taman kota, Layla tidak pernah sekali pun keluar dari area perumahan megah keluarganya, dan baru kali ini ia merasakan udara bebas. "Paman, itu apa?!" Layla menunjuk ke arah maskot badut kelinci di tengah taman. "Princess mau berfoto dengan dia?" tawar Aaron. Layla pun menganggukkan kepalanya. "Mau! Mau... Princess mau!" serunya. Aaron langsung menggandeng tangan mungil Layla dan mengajaknya mendekat pada maskot badut itu. "Paman, kelincinya besar!" seru Layla tersenyum lebar. "Tentu saja, Princess berdiri di sana, Paman foto dari sini, okay?!" Bocah itu mengangguk, dia langsung berposes sesukanya dan Aaron yang mengambil banyak gambar anak itu. Hingga tanpa terasa mereka menghabiskan waktu sampai beberapa jam. Hingga keduanya kini
"Nyonya Valia kelelahan, suhu badannya juga sangat panas. Beliau hanya demam dan pusing saja."Dokter memberikan sebuah resep obat kepada Rosalia. Dan menjelaskan semuanya, ternyata Valia sedang demam tinggi. Sedangkan Layla, anak kecil itu hanya mengintip di balik pintu. Ia sudah lelah menangis, setelah Rosalia bilang padanya kalau Mamanya akan baik-baik saja. "Layla harus apa?" lirih anak itu menoleh ke kanan dan ke kiri. "Masak Mama sakit Layla hanya diam aja?"Bocah itu mengambil tas sekolahnya, ia memakainya dan pergi keluar dari dalam rumah. Seperti biasa kalau ia selalu kabur. Layla pergi taman di dekat sungai, ia berjalan di sana dan melihat sekitar, nampaknya dia tidak akan menemukan Paman tampan yang dia nantikan saat ini. Layla duduk di tepian sungai di samping sebuah batu besar. Ia mengeluarkan buku dan pensilnya. "Heum, Layla kan tidak bisa menulis," ujarnya lagi dan sangat frustrasi, anak itu memukul-mukul kepalanya. "Huwaa... Bagaimana ini?!" Ia kembali menangis l
Pagi ini Layla tidak berangkat ke sekolah, tidak ada yang merawatnya karena Mamanya sedang sakit. Layla menghabiskan waktu paginya sampai siang bersama Valia di dalam kamar di atas ranjang. Rosalia hanya datang memberikan sarapan untuk Valia dan juga Layla, sebelum wanita itu pergi ke luar kota. Dan kini, Layla merasa lapar, namun ia enggan meninggalkan Mamanya. "Mama, Layla lapar," ujar anak itu memeluk tubuh Valia yang masih lemas. "Layla ke rumah Oma ya, minta makan siang ke Oma. Mama belum bisa bangun, kepala Mama pusing," ujar Valia membalas pelukan Layla. Bibir anak itu cemberut, ia memainkan kancing piyama yang Valia pakai dan kedua mata lebarnya berkaca-kaca. "Mama, kalau ada Papa di sini, kita tidak akan seperti ini. Mama harus nyari Papa yang baru," ujar Layla mendongak menatap Valia. Mendengar keluhan sang putri, Valia hanya bisa tersenyum saja. "Papa yang baru? Memangnya Layla ingin Papa yang seperti apa, Sayang? Papanya Layla itu laki-laki yang hebat." "Hem, percu
"Paman, Lala boleh bawa roti ini pulang? Mama belum makan, Mama masih panas, kepalanya pusing. Boleh, tidak?" Layla memeluk dua bungkus roti yang berada di atas meja restoran itu. Aaron menganggukkan kepalanya, ia mengusap gemas pucuk kepala Layla. "Boleh, bawa saja." Aaron tersenyum tipis. "Kita beli beberapa makanan untuk Mamamu yang sakit, okay?!" "Okay Paman!" Layla langsung turun dari atas kursi, ia menggenggam jari telunjuk Aaron dan berjalan mendekati kasir. Pria tampan dengan balutan pakaian formal membawa anak kecil yang sangat mirip dengannya, tanpa membawa ibunya, mungkin beberapa orang mengira kalau Aaron adalah seorang duda. Setelah keluar dari restoran, Aaron mengajak Layla untuk berbelanja banyak barang-barang lainnya. Mereka yang kini masuk ke dalam satu toko ke toko lainnya, membeli roti, buah, sayuran, dan banyak lagi. Aaron masih sangat-sangat sakit hati saat Nadine memberikan Layla makanan binatang. "Paman, ini sudah banyak. Lala mau pulang, kasihan Mama se
Valia mengantarkan makanan untuk Paman Tampannya Layla. Untuk kali pertama Valia keluar dari area mansion. Ia menatap pemandangan indah taman, jalanan yang sepi dan sungai buatan kecil dengan air jernih gemericik, suara burung-burung di pohon yang rimbun. "Wahh, ternyata tempat ini sangat luas dan indah, ya," lirih Valia mendongak menatap pemandangan di sekitar sana. "Mama... Ayo lari!" teriak Layla yang sudah berlari di depan sana seraya memeluk boneka kelinci miliknya. "Jangan lari, Sayang!" Valia memperhatikan putrinya yang sangat antusias. Mereka berjalan menyusuri jalanan sepi di dalam perumahan itu. Hanya ada beberapa rumah dan pepohonan yang indah di sana. "Ma, itu rumah Paman tampan di sana! Di dekat gerbang!" pekik Layla menujuk ke arah sebuah rumah yang berada di dekat gerbang masuk pekarangan besar perumahan Keluarga Jazvier. Valia dan Layla bergegas pergi ke sana. Begitu sudah sampai di rumah yang itu, di sana sangat sepi. Layla begitu antusias mengetuki pintu. "P
"Anak-anak, surat yang Madam Vivi bagikan, tolong berikan pada orang tua kalian ya! Terutama... Layla, tolong sampaikan ke Mama dan Papamu ya!" Layla mengangguk kecil dengan perintah sang Madam. Anak itu memegang selenbar kertas di tangannya, ia terdiam dan berpikir ini semua maksudnya apa. Dia masih kecil untuk memahami apa yang tadi gurunya perintah. Layla menepuk pundak salah satu temannya. "Eumm... Leo, ini apa? Kenapa dikasihkan ke Mamanya Layla?" tanya anak itu pada Leo, teman sekaligus dia adalah Cucu penasihat keluarga Jazvier. "Ini undangan, Madam meminta agar nanti Mama dan Papamu datang ke sini, Layla! Beberapa hari lagi ada acara di sekolah! Jadi orang tua kita harus datang!" Leo menjelaskan dengan sedetail-detailnya pada Layla. "Heum, tapi kan, Layla tidak ada Papa di rumah, Papanya Laya kan sedang-" "Memangnya Papamu ke mana, Layla? Kata Oma Nadine kau tidak punya Papa, lalu siapa yang pergi bekerja? Tidak ada Layla, kau itu tidak punya Papa, Mamamu kata Oma Nadine
"Paman mau kan, jadi Papa pura-pura buat Lala? Janji deh, Lala setelah itu tidak minta yang aneh-aneh lagi. Kalau Paman tidak mau...." Anak itu menggantung ucapannya sebelum ia menengok ke arah Sergio yang berdiri di belakang Aaron. "Paman itu juga boleh," ujarnya. Aaron mengembuskan napasnya pelan, ia membaca kertas itu dan melipatnya memasukkan ke dalam saku kemeja yang dia pakai. "Ya, Paman mau," ujar Aaron, kali ini ia menekuk lututnya di hadapan Layla, Aaron tersenyum manis menatap anak itu. Setiap kali melihat Layla yang tersenyum lebar dan bahagia seperti ini, dada Aaron terasa bergetar, anak ini mengobati rasa rindunya pada sosok Valia. "Paman tidak bohong sama Lala, kan?! Paman Tampan benar-benar mau, kan?!" pekik anak itu histeris dan heboh seperti biasa. Aaron mengangguk. "Ya, tapi dengan satu syarat!" "Apa... Apa... Apa syaratnya!" Layla lompat-lompat kecil, anak itu kesenangan. Sergio merotasikan kedua matanya. "Tuan, jangan pamrih dengan bocah," peringatnya. Ma
Pemandangan yang indah saat Valia menatap anak dan menantunya tengah menikmati hari yang indah di taman mansion pagi ini. Waktu berjalan dengan cepat, Valia percaya dengan adanya cinta sejati dan ia tidak salah menempatkan hatinya sejak awal pada orang yang mau menjadi sandarannya hingga kini. "Sedang apa, Sayang?" sapa Aaron mendekati Valia. "Hem, tidak ada. Senang sekali melihat mereka, dan tempat ini...." Valia mendongak menatap seisi mansion yang tidak berubah sama sekali. Tempat itu sangat terawat dan juga bersih bahkan beberapa barang-barang yang dulu Valia tinggalkan masih di tempat. Betapa membekas kuat semua kepingan-kepingan ingatannya dari kisah cinta hingga kebenciannya kepada Aaron yang kini sudah tertutup rapat. "Tempat ini masih khas dengan segala hal yang menyangkut kita," ujar Aaron menatap Valia dan memeluknya. "Dan aku merasa bahagia bisa menua bersamamu." Valia tidak yakin mendengar apa yang suaminya katakan barusan, tapi ia merasa tersentuh begitu Aaron men
Trieste, Italia. Seperti masa kecil Mamanya, shopie terlihat sangat heboh saat dia telah sampai di Trieste. Tepatnya di mansion milik sang Opa. Bangunan super megah yang dikelilingi pemandangan laut yang indah. Tidak ada yang berubah di sana, Layla dan Nathaniel juga sangat menikmati keindahan tempat itu. "Wahh... Bagus sekali, kenapa aku dulu tidak betah tinggal di sini Ma? Padahal bagus sekali!" Layla memeluk lengan Valia dan mereka berjalan di teras samping samping mansion."Entah karena apa dulu, mungkin karena kita kasihan pada Kakek," jawab Valia. Ia tidak mau mengingatkan masa lalu yang cukup buruk pada Layla. Nathaniel bersama Aaron di depan sana, laki-laki itu menggendong Shopie yang sudah bingung ingin pergi mengelilingi mansion. Sementara Valia masih bersama dengan Layla. Valia merasa ada sesuatu yang menyentuh hati terdalamnya, tempat ini mempunyai ribuan kisah Valia dan Aaron, dari benci, marah, ambisi, obsesi, hingga cinta yang sangat tulus. Sosok Aaron yang sama
Lima Tahun Kemudian..."Shopie! Jangan lari-lari nanti jatuh..." Suara teriakan keras itu berasal dari bibir Layla yang berdiri di dalam rumah memperhatikan putri kecilnya yang terlihat begitu kesenangan. Shopie Tan Ferdherat, gadis cantik yang memiliki wajah sangat mirip dengan Mamanya. Dia juga sangat keras kepala seperti Papanya, dan Sopie anak yang manja, seperti Mamanya. "Mi, katanya nanti malam mau pergi sama Opa dan Oma, ayo... Sopie bantu-bantu Mami!" seru anak itu lompat-lompat kesenangan. "Iya, tapi nanti dulu, Sayang... Sekarang Shopie naik ke atas yuk, jangan lari-larian di bawah. Mami mau ke atas." Layla mengulurkan tangannya pada Shopie. Anak itu pun seketika mengangguk antusias, mereka berdua langsung berjalan ke lantai atas dan Sophie berjinjit membuka pintu kamarnya. Di dalam sana, anak itu menatap Papanya yang masih tertidur dengan santai dan nyenyak. Shopie tersenyum tipis, ia berjalan perlahan-lahan naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Papanya. "Papi... Ay
"Mama dan Papa akan sering-sering ke sini untuk memantau Layla, karena Papa perhatikan akhir-akhir ini kau sangat sibuk sampai sering meninggalkan istrimu sendiri yang di rumah." Aaron mengatakan hal itu kepada menantunya, dan tentu saja nontonnya langsung mengangguk setuju disadarinya ia memang tidak pernah ada waktu untuk Layla. Bukan berarti Nathaniel merasa leluasa, ia juga berusaha mencari celah di mana ia bisa meliburkan diri dan menjaga Layla seperti suami-suami di luar rencana pada umumnya. "Iya Pa, aku juga mencari waktu yang tepat untuk libur. Aku terus kepikiran dan tidak bisa fokus saat bekerja," ujar Nathaniel. "Harusnya di saat usia kandungan istrimu sudah tua seperti ini kau libur rumah karena bayi lahir itu tidak tahu kapan dan juga sulit untuk diprediksi," jelas Aaron pada Nathaniel. Nathaniel diam dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh Papa mertuanya, ia sadar kalau dirinya memang keliru. Aaron juga orang yang sangat gila kerja, sama seperti dirinya tapi beda
"Kalian ini... Apa tidak bisa ditunda sampai besok pagi, hah?!" Nathaniel marah saat masuk ke dalam ruangannya, di dalam sana semua rekannya sudah menunggu. Laki-laki itu meletakkan dengan kasar kunci mobilnya di atas meja, karena ia sudah menduga kalau di rumah Layla pasti marah padanya. "Ya bagaimana lagi?!" sahut Regar frustrasi. "Huhh... Sialan kalian, jadi jadwal kemarin itu salah?!" Nathaniel menatap mereka semua. "Salah!" jawab keempat orang itu kompak. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Nathaniel. Saat itu juga ia langsung duduk di kursinya dan mulai membuka laptopnya dan segera menyelesaikan pekerjaannya. Namun tetap saja Nathaniel tidak bisa tenang memikirkan Layla yang ia tinggalkan di rumah sendirian. Laki-laki itu pun mengambil ponselnya dan ia menghubungi Papa mertuanya karena hanya Aaron yang bisa membantunya saat ini. "Halo Pa, Pa aku boleh minta tolong, tidak?" pinta Nathaniel. "Hem, ada apa jam segini kok menelepon Papa? Apa terjadi sesuatu pada Layl
Beberapa Bulan Kemudian...Kandungan Layla sudah memasuki tujuh bulan. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat dan Layla menjalani hari-harinya dengan sangat bahagia besama suaminya. Nathaniel, menjadi suami super posesif dan selalu memantau Layla dari segala kondisi, bahkan mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. "Layla ke mana, Bi?"Suara Nathaniel di ruang tamu sore ini membuat Layla langsung menoleh, gadis itu tengah beduaan dengan Jeremy di dalam ruangan keluarga. Seketika Layla meminta Jeremy menutup pintu ruangan itu. Sehari saja, Layla ingin suaminya itu tidak terlalu posesif, Layla pusing dengan sifat Nathaniel yang sangat menyebalkan. "Sudah Kak," ujar Jeremy seraya terkikik geli anak itu berjalan mendekati Layla seraya membawa roti sus miliknya. "Sini-sini, duduk di samping Kakak. Biar saja Kak Nathan teriak-teriak di luar, Kakak pusing sekali dengannya," keluh Layla mendongakkan kepalanya. "Tapi kata Mami Valia, kalau dicereweti Papi Aaron, tandanya Papi Aaron i
Setelah acara pernikahan, Layla dan Nathaniel pulang ke rumah mereka sendiri. Nathaniel adalah laki-laki mapan yang sudah mempersiapkan segalanya sebelum menikah. Ada dua pembantu di rumahnya yang akan mengerjakan pekerjaaan rumah dan membantu Layla. Dan Nathaniel memberikan rumah itu pada Layla untuk hadiah pernikahan mereka. "Rumahnya bagus sekali," cicit Layla seraya menoleh dan menatap wajah tampan Nathaniel. "Kau suka?" Nathaniel mengusap pucuk kepala Layla. Layla pun mengangguk dengan mantap. "Sangat! Ini rumah paling bagus yang pernah Layla lihat. Seperti istana kalau dilihat dari luar, ada kerucutnya di atas sana!" seru Layla tersenyum. "Ya, memang desain awalnya aku buat seprti itu, agar tidak ada yang menyamainya." Layla hanya mengangguk saja, dan ia berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tangga melengkung dan lebar, lantai mengkilat dari marmer berwarna cream, dan beberapa pilar besar di dalam ruangan, serta lampu kristal besar yang menggantung di langit-lan
Pernikahan yang dimimpikan selama ini oleh Layla benar-benar terlaksana. Dalam hitungan detik demi detik pernikahan mereka sudah resmi.Dan begitu pula yang dirasakan oleh Nathaniel. Memiliki Layla seutuhnya dan ke mana-mana bisa ia jaga dan ia bawa, adalah cita-cita Nathan sejak dia masih kecil. Layla dan Nathaniel kini tengah sibuk dengan para tamu, tak lain adalah para teman-teman Nathaniel, karena Layla sendiri tidak memiliki teman. "Selamat ya kalian berdua, wahhh... Kapan ya aku nyusul?" seru Vargo menepuk pundak Nathaniel. "Mulutnya!" sinis Caley merangkul dan memukul punggung Vargo hingga laki-laki dengan tuxedo abu-abu itu tertawa. "Ya... Siapa tahu saja yang kedua kalinya." Vargo menjawab dengan sangat santai. Seketika Nathaniel terkekeh, ia menggenggam tangan Layla dan mengecupnya dengan lembut. "Jangan mendengarkan Sayang, mereka ini laki-laki gila!" sinis Nathaniel seraya menatap aneh pada semua temannya. "Iya, mereka lucu," ujar Layla. Layla merasakan ia seperti
Hari yang dinanti-nanti oleh Layla dan Nathaniel esok pagi akan terlaksana. Mereka semua keluarga kini berada di sebuah hotel milik keluarga Ferdherat. Hotel bintang lima yang berada di tengah-tengah kota Berlin. Laila Tengah berada di dalam kamarnya bersama Sarah, Caroline, Rosalia dan juga Valia. Keluarga Jazvier yang datang jauh-jauh hanya ingin melihat Layla menikah dengan Nathaniel. "Tidak terasa kita sudah tua ya Sarah, Cucu kita besok sudah mau menikah," ujar Caroline pada Sarah. "Iya, aku merasa seperti kemarin kita mengasuh anak-anak, tapi sekarang mereka sudah menikah saja. Ini waktu yang terlalu cepat atau apanya yang salah?" gumam Sarah seraya duduk bersandar. Valia bersama Rosalia duduk di atas ranjang bersama Layla yang berbaring bersama Jeremy. "Sepertinya tidak ada yang salah, Nenek saja yang menolak tua," sahut Jeremy tiba-tiba, anak itu sangat cerdas. Mendengar apa yang dikatakan bocah itu sontak membuat semua orang di dalam ruangan tersebut langsung tertawa.