"Anak-anak, surat yang Madam Vivi bagikan, tolong berikan pada orang tua kalian ya! Terutama... Layla, tolong sampaikan ke Mama dan Papamu ya!" Layla mengangguk kecil dengan perintah sang Madam. Anak itu memegang selenbar kertas di tangannya, ia terdiam dan berpikir ini semua maksudnya apa. Dia masih kecil untuk memahami apa yang tadi gurunya perintah. Layla menepuk pundak salah satu temannya. "Eumm... Leo, ini apa? Kenapa dikasihkan ke Mamanya Layla?" tanya anak itu pada Leo, teman sekaligus dia adalah Cucu penasihat keluarga Jazvier. "Ini undangan, Madam meminta agar nanti Mama dan Papamu datang ke sini, Layla! Beberapa hari lagi ada acara di sekolah! Jadi orang tua kita harus datang!" Leo menjelaskan dengan sedetail-detailnya pada Layla. "Heum, tapi kan, Layla tidak ada Papa di rumah, Papanya Laya kan sedang-" "Memangnya Papamu ke mana, Layla? Kata Oma Nadine kau tidak punya Papa, lalu siapa yang pergi bekerja? Tidak ada Layla, kau itu tidak punya Papa, Mamamu kata Oma Nadine
"Paman mau kan, jadi Papa pura-pura buat Lala? Janji deh, Lala setelah itu tidak minta yang aneh-aneh lagi. Kalau Paman tidak mau...." Anak itu menggantung ucapannya sebelum ia menengok ke arah Sergio yang berdiri di belakang Aaron. "Paman itu juga boleh," ujarnya. Aaron mengembuskan napasnya pelan, ia membaca kertas itu dan melipatnya memasukkan ke dalam saku kemeja yang dia pakai. "Ya, Paman mau," ujar Aaron, kali ini ia menekuk lututnya di hadapan Layla, Aaron tersenyum manis menatap anak itu. Setiap kali melihat Layla yang tersenyum lebar dan bahagia seperti ini, dada Aaron terasa bergetar, anak ini mengobati rasa rindunya pada sosok Valia. "Paman tidak bohong sama Lala, kan?! Paman Tampan benar-benar mau, kan?!" pekik anak itu histeris dan heboh seperti biasa. Aaron mengangguk. "Ya, tapi dengan satu syarat!" "Apa... Apa... Apa syaratnya!" Layla lompat-lompat kecil, anak itu kesenangan. Sergio merotasikan kedua matanya. "Tuan, jangan pamrih dengan bocah," peringatnya. Ma
Hari ini semua teman-teman di sekolah Layla, juga para wali murid mulai berdatangan. Layla diam duduk di atas kursi yang berjajar di taman depan kelas, anak itu menunggu kedatangan Aaron. Sengaja ia tidak mengajak Mamanya karena kondisi Valia sering sakit-sakitan, Layla ingin menunjukkan pada semua temannya kalau dia punya Papa. "Layla, orang tuamu mana?" tanya seroang teman pada Layla. "Papa masih dalam perjalanan ke sini," jawab Layla tersenyum manis. "Papa? Kau mimpi ya, kau kan tidak punya Papa. Mamamu juga tidak pernah keluar, kau ini anak terlantar atau bagaimana hah?!" "Lucu sekali dia bilang katanya punya Papa. Dia kan tidak punya siapa-siapa. Ada yang bilang katamya dia anak haram!" bisik salah satu teman Layla ke teman yang lainnya. "Jangan dekati dia, jangan temani anak itu! Sini sama Mama!" Seorang wali murid menarik anak-anak mereka saat mendekati Layla. Wajah cantik Layla seketika murung, sampai akhirnya Madam Vivi yang memperhatikan anak itu merasa tersentuh. W
"Nyonya Valia, baru saja penjaga memberitahu saya kalau Nona Layla tidak mau pulang. Nona Layla menunggu Nyonya di dekat sungai." Valia yang sejak tadi berdiri di teras menanti Layla sampai sore, ternyata anaknya malah asik bermain di sana. "Layla di sana?!" pekik Valia menatap lekat pelayan itu. "Benar Nyonya, penjaga sudah mengajaknya pulang, tapi kataya Non Layla menunggu Mama." Helaan napas panjang terdengar dari bibir Valia. Ia langsung gegas melangkah menuruni anak tangga. Valia selalu mengeluh tentang kenakalan Layla, anak itu selalu bermain di luar. Sedangkan Valia mendapatkan peraturan ketat kalau dirinya tidak boleh pergi meninggalkan gerbang mansion, karena takut tersebar kabar buruk tentang keberadaannya sebagai keluarga Jazvier yang mempunyai anak tapi belum memiliki suami. "Anak ini ada-ada saja," lirih Valia berjalan cepat keluar dari dalam gerbang mansion. Matahari sore hari membuat kemerlapan cahaya pantulan air dan sinar matahari. Ia melangkah mendekati tepian
Malam ini di rumah yang Valia tempati sangat ramai, candaan antara putrinya dan juga Aaron yang membuat Valia ikut tersenyum. Sifat ceria dan nakal Layla, juga rasa perhatian besar sang Papa pada putri kesayangannya. "Pokoknya Layla mau tidur di tengah, mau peluk Papa!" seru anak itu memeluk Aaron dengan erat. "Hem, sudah tidak mau peluk Mama lagi?" Valia mengerjapkan kedua matanya. Anak itu menoleh ke belakang, ia langsung menggulingkan tubuh kecilnya dan memeluk Valia. "Mau, juga mau peluk Mama juga," serunya menunjukkan senyumannya yang paling ceria."Layla tidur di pinggir, biar Papa peluk Mama," ujar Aaron terkikik geli menggoda putrinya. "Eumm, tidak boleh!" pekik anak itu malah berdiri di atas ranjang. "Papa tidur di sini, terus di tengah Layla, terus di sini Mama!" seru anak itu kembali berbaring. "Anak pintar...." "Aaaaa... Papa! Papa tidak boleh nakal! Haha... Papa!" "Monster besar akan memakan Layla!" seru Aaron sebelum ia memeluk anak itu dan membuatnya kegelian.
Valia diam di dalam kamarnya, ia duduk di atas ranjang setelah kepalanya merasa pusing. Selama ini ia selalu sakit-sakitan, ada masalah dengan tubuhnya yang selalu Rosalia simpan dan sembunyikan dari Valia. Pintu kamar terbuka, nampak Aaron berjalan masuk ke dalam sana dan menatap Valia yang duduk tersenyum padanya. "Aku kira kau di tempat Kakek, Layla sedang di sana bersama Kevin," ujar Aaron melepaskan tuxedo hitam dan arloji yang dia pakai. Laki-laki itu mendekati Valia dan naik di atas ranjang. Ia menarik kedua kaki Valia dan menjadikan pangkuan Valia sebagai bantalnya. "Tubuhku sedang tidak enak, entah kenapa." Valia berkata, ia mengusap pipi Aaron dengan lembut. Seketika Aaron langsung tebangun, ia menatap kedua iris cokelat Valia dari jarak yang sangat dekat. "Apa kau sakit, hem?" Aaron mengusap pipinya. "Tidak. Tapi selama empat tahun ini aku selalu merasa tertekan hingga semua beban pikiranku mengganggu kondisi kesehatan tubuhku. Tapi kau jangan khawatir." Valia menang
Pergi jalan-jalan bersama Aaron dan Layla, itu semua bagai mimpi untuk Valia. Rasanya semua khayalan yang selama ini diam-diam ia rakit telah Tuhan kabulkan. Malam ini, mereka berdua berada di sebuah pasar malam yang sangat ramai dengan beberapa wahana dan para penjual dari makanan, sampai aksesoris, lapak permainan, dan banyak lagi."Waahh... Bagus. Layla suka!" pekik anak itu, ia lompat-lompat kesenangan di hadapan Aaron dan Valia. Layla sangat heboh, untung saja Valia dan Aaron menggandeng tangan mungil Layla, kalau tidak, mungkin dia sudah berlari ke sana kemari. "Layla mau main apa? Mau naik bianglala?" tawar Valia menunjuk sebuah bianglala di depan sana. "Mama, Layla mau itu! Mau beli itu!" pekiknya menunjuk ke arah sebuah wahana di depan sana. "Mau kuda yang berputar di sana, Ma!" Kedua mata Valia langsung terbeliak. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan terkekeh gemas pada sang putri. "Sa-sayang... Itu tidak dijual, tidak boleh ya," seru Valia menatapnya. "Huuu... Pokok
"Di mana Valia? Nenek ingin mengajaknya sebentar!" Suara Caroline membuat Valia menoleh, Valia yang tadinya berada menemani Layla di ruang tengah, sontak ia langsung berdiri. "Oma," lirih Valia membuat wanita tua itu menoleh. Seketika wanita itu tersenyum manis, ia langsung mendekatinya dan menepuk pipi Valia. "Sayang, Oma mencarimu dari tadi," ujar Caroline."Ada apa Oma? Valia sedang menemani Layla mewarnai," ujar Valia menoleh ke arah Layla yang sedang asik sendiri. Anak itu menoleh ke arah Oma dan Mamanya. "Oma mau ngajak Mamaku ke mana? Jangan dibawa pergi ya, nanti Papa marah!" serunya dengan wajah cemberut, sangat mirip dengan Aaron. Hanya kekehan gemas dari Caroline. "Bilang ke Papa, kalau Oma pinjam Mama sebentar ya, Sayang," seru Caroline sebelum ia menarik lengan Valia. Layla cemberut tanpa mengeluarkan suaranya sedikitpun. Ia sudah tahu kalau dia menjerit maka Valia akan marah padanya, hingga anak itu memilih diam. Perlahan-lahan, Layla turun dari kursi kayu dan b