"Mama cantik sekali dengan gaun ini, Mama. Seperti eum... Princess!" Valia tersenyum hangat, ia menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu Mama kembali masuk dulu ya, gaunnya akan dipakai lagi besok lusa, Sayang. Biar tidak kotor, ya?" "Iya Mama!" Acungan jempol Layla berikan pada sang Mama. Di sana, Layla menolah pada sang Papa dan memberikan tatapan kesal. Marahnya ternyata belum hilang. Sedangkan Aaron ia berdehem, berpura-pura biasa saja. Meskipun marahnya Layla juga cukup menakutkan untuknya, anaknya itu berpengaruh besar di rumah ini. Bisa-bisa Aaron akan dimarahi habis-habisan oleh Rodrick. Layla keluar dari dalam mansion, anak itu membawa burung kecil malang yang mati tadi di tangannya, ia duduk di bawah ujung anak tangga dan cemberut menatap 'bird' berwarna cokelat yang dia sukai. "Bird, sudah bertemu dengan Tuhan ya? Tuhan bilang apa? Papaku nakal ya, Bird? Maaf ya..." Layla mengusap bulu-bulu hewan itu. "Nanti Layla akan aduin Papa ke Mam-"Tiba-tiba saja Layla tersungku
"Layla, kau kenapa? Manyun terus? Kau kan sudah punya Papa. Kenapa masih cemberut?" Pertanyaan itu terlontar dari bibir Leo, Cucu dari Tuan Oktav, penasihat keluarga Jazvier. Anak laki-laki itu diperintah oleh Kakeknya menemani Layla, baik di sekolah, maupun di mansion. Dan mereka saat ini bermain dekat sungai. Leo memperhatikan Layla yang tidak cerewet seperti biasanya, bahkan pertanyaan Leo pun juga tidak dijawab. "Layla," panggil Leo lagi, anak laki-laki itu menekan pipi bulat Layla dengan jari telunjuknya. "Batraimu lobath hah? Kok diam saja? Aku pergi nih!" "Jangan! Jangan pergi!" Layla menarik lengan Leo. "Kalau Leo pergi, Layla adukan ke Opa, biar Leo dipecat jadi bodyguard-nya Layla!" Anak laki-laki kecil itu merotasikan kedua matanya. "Ya, memang lebih baik dipecat saja," lirih Leo. "Itu... Leo, Papanya Layla mau pergi. Mama sedih kalau Papa pergi," ujar Layla. "Sedih kenapa? Papaku juga pulang pergi setiap bulan, Mamaku biasa saja." Leo membeo. "TAPI INI BEDA!" teria
"Besok pagi kita pergi berburu ya, Paman. Aku sama Kakek masih menginap di sini sampai dua hari." Nathan tersenyum tipis pada Aaron. Anak itu baru saja pulang dari rumah Aaron setelah sejak siang ia berada di sana."Iya, besok Paman temani." Aaron melambaikan tangannya pada Nathan. "Kudanil pulang sana! Anak nakal!" teriak Layla dari dalam ia mengintip di jendela. Nathan menoleh, lalu membuang muka dan segera pergi. Anak laki-laki itu membiarkan Layla yang mengejeknya. Setelah Nathan pergi, baru Aaron masuk ke dalam rumah dan sang putri pun berlari memeluk tubuh Aaron dengan erat. "Papa, kudanil nakal. Tadi bilang Layla kayak anak kucing, terus Layla cengeng katanya. Papa jangan temenan sama kudanil, jangan pokoknya!" seru Layla memeluk leher Papanya erat-erat. "Nyatanya? Layla nakal tidak?" tanya Aaron. "Huum, tapi cuma sedikit kok, tidak banyak. Layla cengengnya juga sedikit," jawabnya dengan bibir cemberut. Aaron terkikik geli, ia menurunkan Layla dan anak itu seketika berl
Hari ini ada pesta di kediaman besar keluarga Jazvier, seperti biasa kalau keluarga itu mengadakan pesta tahunan. Dan tahun-tahun sebelumnya Valia tidak pernah ikut. Tapi berbeda dengan pesta hari ini. Valia pergi ke mansion bersama dengan Aaron. Digandeng dengan hangat tangan Valia oleh Aaron seolah menunjukkan inilah wanitanya. "Valia, kenapa baru muncul? Kemarin ke mana, Sayang? Jangan bilang sakit, ya?" tanya Rosalia dan Caroline menatap Valia yang berdiri di samping Aaron. "Tante Nadine melarang Valia ke sini," jawab Aaron sebelum Valia berucap. Di sana, Caroline langsung berdecak. Wanita itu menarik lengan Valia dan diajaknya berkenalan dengan para tamunya, dan jelas saja Layla juga ada di sana. Anak itu sedang mengejar Nathaniel. Caroline membawa Valia mendekati seorang wanita setengah baya yang duduk di sofa bersama suaminya dan juga Rodrick. "Sarah, perkenalkan ini Cucu menantuku yang akan menikah tiga hari lagi," ujar Caroline pada wanita itu. Seketika, wanita cantik
Pesta malam ini berlangsung meriah, di mansion Keluarga Jazvier sangat-sangat ramai dengan para tamunya. Di sana, Layla paling heboh melihat para tamu yang berdatangan. Gadis kecil itu berlari kabur dari pengawasan Rosalia, ia hendak pulang menjemput Mama dan Papanya. Namun tiba-tiba saja, Layla terjatuh di dekat taman. "Aduhhh... Heum, sakit," cicitnya langsung duduk di atas rumput dan mengusap lututnya. "Hei, kau tidak papa nak?" Seorang laki-laki mendekati Layla dan menolongnya. "Sakit Paman, ini luka." Layla menunjukkan lututnya yang terluka pada laki-laki itu. "Tapi tidak papa, Layla itu kuat kok!"Laki-laki itu tersenyum. Sejenak dia terpaku menatap wajah Layla, ada sesosok yang tersirat di wajah anak yang kini berdiri tersenyum manis di hadapannya. Rambutnya cokelat sama dengan manik matanya, pipi gembil bulat putih dan merona merah muda, mata lebar indah, dan bibir tipis, hidung mungil dan dia cantik, sangat cantik hingga membuat laki-laki itu ingin memeluknya. "Avalia,"
Setelah pesta selesai, Layla dibujuk-bujuk oleh Jeselin hingga luluh, anak itu meminta untuk tidur bersama dengan Oma-nya di mansion. Valia bersama Aaron kembali ke rumah. Setelah mengganti pakaiannya, Valia beralih mendekati Aaron yang juga baru saja mengganti pakaiannya. Tiba-tiba Valia memeluk tubuh Aaron dari belakang. "Dia memelukku," ujar Valia lirih. "Dan dia sebenarnya harus dihukum," jawab Aaron, ia membalikkan badannya beralih memeluk Valia. "Atau, Sayangku ini yang harus aku hukum, karena berani berpelukan dengan laki-laki lain di depanku, Suamimu." "Eum... Masih kurang satu hari lagi," lirih Valia terkekeh. Aaron ikut tersenyum, ia menundukkan kepalanya dan mengecup kening Valia. "Kau tidak cemburu, Aaron?" tanya Valia mendongak menatap wajah Aaron.Laki-laki itu menyipitkan kedua matanya. "Sangat. Aku sangat cemburu," jawab Aaron. Masih dengan mendekap erat tubuh Valia, Aaron membawa gadis itu berjalan mendekati ranjang. Mereka berdua berbaring di sana, Valia men
"Sekarang, aku menjadi seorang istri. Wanita yang hanya demiliki oleh Aaron, seumur hidupnya. " Valia berdiri di depan cermin, ia tersenyum haru menatap pantulan dirinya dengan balutan gaun pengantin mewah, make up natural, dan hair piece kain putih beserta mahkota kecil yang membuat dirinya semakin cantik. Usai mereka meresmikan pernikahan mereka pagi tadi, Valia kembali ke kamarnya. Ia melangkah berdiri di depan jendela di dalam kamar hotel megah milik keluarga Jazvier. Air matanya tiba-tiba menetes, meskipun tidak merusak riasan wajahnya sama sekali. Jemari gadis itu menyentuh kaca jendela besar dan Valia menangis. "Ma, Pa, Valia... Valia sekarang sudah menikah. Valia sekarang sudah menjadi seorang istri dan seorang Mama. Papa dan Mama, doakan Valia selalu, semoga kalian tenang di surga." Valia meremas gaun pengantinnya dan naik turun dadanya. Di luar, banyak sekali tamu yang datang, dan hanya Valia yang bersembunyi. Pintu kamar pun terbuka, Aaron yang sejak tadi bingung menc
"Sshhhttt... Sebentar ya Sayang, jangan menangis. Susu stroberinya sebentar lagi datang." Valia mengusap punggung kecil Layla dan mondar-mandir di depan kamar hotelnya. Tangisan Layla terdengar lirih, namun ia masih merengek-rengek menyembunyikan wajahnya dalam ceruk leher sang Mama. Dari ujung lorong, Valia melihat Aaron berjalan cepat ke arahnya dan membawa botol milik Layla. "Loh, tadi yang membawa botolnya-" "Dia bertemu denganku di bawah, Sayang. Ini masih hangat." Aaron menyerahkan sebotol susu stroberi itu pada Valia. Layla menoleh dan menatap Papanya dengan ekspresi sedih bercampur mengantuk sebelum dia mengulurkan kedua tangannya. "Huwaa... Papa!" rengeknya. "Hei, anak pintar kenapa menangis? Kenapa Sayang? Ini ayo minum susu stroberinya punya Layla, bobo saja sambil gendong Papa, hem?" Aaron menggendong Layla dan menggantikan Valia.Putri kecilnya itu mengangguk dan diam menutup kedua matanya seraya memeluk botol miliknya. Valia seketika merasa lega, mereka masuk ke
Pemandangan yang indah saat Valia menatap anak dan menantunya tengah menikmati hari yang indah di taman mansion pagi ini. Waktu berjalan dengan cepat, Valia percaya dengan adanya cinta sejati dan ia tidak salah menempatkan hatinya sejak awal pada orang yang mau menjadi sandarannya hingga kini. "Sedang apa, Sayang?" sapa Aaron mendekati Valia. "Hem, tidak ada. Senang sekali melihat mereka, dan tempat ini...." Valia mendongak menatap seisi mansion yang tidak berubah sama sekali. Tempat itu sangat terawat dan juga bersih bahkan beberapa barang-barang yang dulu Valia tinggalkan masih di tempat. Betapa membekas kuat semua kepingan-kepingan ingatannya dari kisah cinta hingga kebenciannya kepada Aaron yang kini sudah tertutup rapat. "Tempat ini masih khas dengan segala hal yang menyangkut kita," ujar Aaron menatap Valia dan memeluknya. "Dan aku merasa bahagia bisa menua bersamamu." Valia tidak yakin mendengar apa yang suaminya katakan barusan, tapi ia merasa tersentuh begitu Aaron men
Trieste, Italia. Seperti masa kecil Mamanya, shopie terlihat sangat heboh saat dia telah sampai di Trieste. Tepatnya di mansion milik sang Opa. Bangunan super megah yang dikelilingi pemandangan laut yang indah. Tidak ada yang berubah di sana, Layla dan Nathaniel juga sangat menikmati keindahan tempat itu. "Wahh... Bagus sekali, kenapa aku dulu tidak betah tinggal di sini Ma? Padahal bagus sekali!" Layla memeluk lengan Valia dan mereka berjalan di teras samping samping mansion."Entah karena apa dulu, mungkin karena kita kasihan pada Kakek," jawab Valia. Ia tidak mau mengingatkan masa lalu yang cukup buruk pada Layla. Nathaniel bersama Aaron di depan sana, laki-laki itu menggendong Shopie yang sudah bingung ingin pergi mengelilingi mansion. Sementara Valia masih bersama dengan Layla. Valia merasa ada sesuatu yang menyentuh hati terdalamnya, tempat ini mempunyai ribuan kisah Valia dan Aaron, dari benci, marah, ambisi, obsesi, hingga cinta yang sangat tulus. Sosok Aaron yang sama
Lima Tahun Kemudian..."Shopie! Jangan lari-lari nanti jatuh..." Suara teriakan keras itu berasal dari bibir Layla yang berdiri di dalam rumah memperhatikan putri kecilnya yang terlihat begitu kesenangan. Shopie Tan Ferdherat, gadis cantik yang memiliki wajah sangat mirip dengan Mamanya. Dia juga sangat keras kepala seperti Papanya, dan Sopie anak yang manja, seperti Mamanya. "Mi, katanya nanti malam mau pergi sama Opa dan Oma, ayo... Sopie bantu-bantu Mami!" seru anak itu lompat-lompat kesenangan. "Iya, tapi nanti dulu, Sayang... Sekarang Shopie naik ke atas yuk, jangan lari-larian di bawah. Mami mau ke atas." Layla mengulurkan tangannya pada Shopie. Anak itu pun seketika mengangguk antusias, mereka berdua langsung berjalan ke lantai atas dan Sophie berjinjit membuka pintu kamarnya. Di dalam sana, anak itu menatap Papanya yang masih tertidur dengan santai dan nyenyak. Shopie tersenyum tipis, ia berjalan perlahan-lahan naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Papanya. "Papi... Ay
"Mama dan Papa akan sering-sering ke sini untuk memantau Layla, karena Papa perhatikan akhir-akhir ini kau sangat sibuk sampai sering meninggalkan istrimu sendiri yang di rumah." Aaron mengatakan hal itu kepada menantunya, dan tentu saja nontonnya langsung mengangguk setuju disadarinya ia memang tidak pernah ada waktu untuk Layla. Bukan berarti Nathaniel merasa leluasa, ia juga berusaha mencari celah di mana ia bisa meliburkan diri dan menjaga Layla seperti suami-suami di luar rencana pada umumnya. "Iya Pa, aku juga mencari waktu yang tepat untuk libur. Aku terus kepikiran dan tidak bisa fokus saat bekerja," ujar Nathaniel. "Harusnya di saat usia kandungan istrimu sudah tua seperti ini kau libur rumah karena bayi lahir itu tidak tahu kapan dan juga sulit untuk diprediksi," jelas Aaron pada Nathaniel. Nathaniel diam dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh Papa mertuanya, ia sadar kalau dirinya memang keliru. Aaron juga orang yang sangat gila kerja, sama seperti dirinya tapi beda
"Kalian ini... Apa tidak bisa ditunda sampai besok pagi, hah?!" Nathaniel marah saat masuk ke dalam ruangannya, di dalam sana semua rekannya sudah menunggu. Laki-laki itu meletakkan dengan kasar kunci mobilnya di atas meja, karena ia sudah menduga kalau di rumah Layla pasti marah padanya. "Ya bagaimana lagi?!" sahut Regar frustrasi. "Huhh... Sialan kalian, jadi jadwal kemarin itu salah?!" Nathaniel menatap mereka semua. "Salah!" jawab keempat orang itu kompak. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Nathaniel. Saat itu juga ia langsung duduk di kursinya dan mulai membuka laptopnya dan segera menyelesaikan pekerjaannya. Namun tetap saja Nathaniel tidak bisa tenang memikirkan Layla yang ia tinggalkan di rumah sendirian. Laki-laki itu pun mengambil ponselnya dan ia menghubungi Papa mertuanya karena hanya Aaron yang bisa membantunya saat ini. "Halo Pa, Pa aku boleh minta tolong, tidak?" pinta Nathaniel. "Hem, ada apa jam segini kok menelepon Papa? Apa terjadi sesuatu pada Layl
Beberapa Bulan Kemudian...Kandungan Layla sudah memasuki tujuh bulan. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat dan Layla menjalani hari-harinya dengan sangat bahagia besama suaminya. Nathaniel, menjadi suami super posesif dan selalu memantau Layla dari segala kondisi, bahkan mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. "Layla ke mana, Bi?"Suara Nathaniel di ruang tamu sore ini membuat Layla langsung menoleh, gadis itu tengah beduaan dengan Jeremy di dalam ruangan keluarga. Seketika Layla meminta Jeremy menutup pintu ruangan itu. Sehari saja, Layla ingin suaminya itu tidak terlalu posesif, Layla pusing dengan sifat Nathaniel yang sangat menyebalkan. "Sudah Kak," ujar Jeremy seraya terkikik geli anak itu berjalan mendekati Layla seraya membawa roti sus miliknya. "Sini-sini, duduk di samping Kakak. Biar saja Kak Nathan teriak-teriak di luar, Kakak pusing sekali dengannya," keluh Layla mendongakkan kepalanya. "Tapi kata Mami Valia, kalau dicereweti Papi Aaron, tandanya Papi Aaron i
Setelah acara pernikahan, Layla dan Nathaniel pulang ke rumah mereka sendiri. Nathaniel adalah laki-laki mapan yang sudah mempersiapkan segalanya sebelum menikah. Ada dua pembantu di rumahnya yang akan mengerjakan pekerjaaan rumah dan membantu Layla. Dan Nathaniel memberikan rumah itu pada Layla untuk hadiah pernikahan mereka. "Rumahnya bagus sekali," cicit Layla seraya menoleh dan menatap wajah tampan Nathaniel. "Kau suka?" Nathaniel mengusap pucuk kepala Layla. Layla pun mengangguk dengan mantap. "Sangat! Ini rumah paling bagus yang pernah Layla lihat. Seperti istana kalau dilihat dari luar, ada kerucutnya di atas sana!" seru Layla tersenyum. "Ya, memang desain awalnya aku buat seprti itu, agar tidak ada yang menyamainya." Layla hanya mengangguk saja, dan ia berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tangga melengkung dan lebar, lantai mengkilat dari marmer berwarna cream, dan beberapa pilar besar di dalam ruangan, serta lampu kristal besar yang menggantung di langit-lan
Pernikahan yang dimimpikan selama ini oleh Layla benar-benar terlaksana. Dalam hitungan detik demi detik pernikahan mereka sudah resmi.Dan begitu pula yang dirasakan oleh Nathaniel. Memiliki Layla seutuhnya dan ke mana-mana bisa ia jaga dan ia bawa, adalah cita-cita Nathan sejak dia masih kecil. Layla dan Nathaniel kini tengah sibuk dengan para tamu, tak lain adalah para teman-teman Nathaniel, karena Layla sendiri tidak memiliki teman. "Selamat ya kalian berdua, wahhh... Kapan ya aku nyusul?" seru Vargo menepuk pundak Nathaniel. "Mulutnya!" sinis Caley merangkul dan memukul punggung Vargo hingga laki-laki dengan tuxedo abu-abu itu tertawa. "Ya... Siapa tahu saja yang kedua kalinya." Vargo menjawab dengan sangat santai. Seketika Nathaniel terkekeh, ia menggenggam tangan Layla dan mengecupnya dengan lembut. "Jangan mendengarkan Sayang, mereka ini laki-laki gila!" sinis Nathaniel seraya menatap aneh pada semua temannya. "Iya, mereka lucu," ujar Layla. Layla merasakan ia seperti
Hari yang dinanti-nanti oleh Layla dan Nathaniel esok pagi akan terlaksana. Mereka semua keluarga kini berada di sebuah hotel milik keluarga Ferdherat. Hotel bintang lima yang berada di tengah-tengah kota Berlin. Laila Tengah berada di dalam kamarnya bersama Sarah, Caroline, Rosalia dan juga Valia. Keluarga Jazvier yang datang jauh-jauh hanya ingin melihat Layla menikah dengan Nathaniel. "Tidak terasa kita sudah tua ya Sarah, Cucu kita besok sudah mau menikah," ujar Caroline pada Sarah. "Iya, aku merasa seperti kemarin kita mengasuh anak-anak, tapi sekarang mereka sudah menikah saja. Ini waktu yang terlalu cepat atau apanya yang salah?" gumam Sarah seraya duduk bersandar. Valia bersama Rosalia duduk di atas ranjang bersama Layla yang berbaring bersama Jeremy. "Sepertinya tidak ada yang salah, Nenek saja yang menolak tua," sahut Jeremy tiba-tiba, anak itu sangat cerdas. Mendengar apa yang dikatakan bocah itu sontak membuat semua orang di dalam ruangan tersebut langsung tertawa.