"Sshhhttt... Sebentar ya Sayang, jangan menangis. Susu stroberinya sebentar lagi datang." Valia mengusap punggung kecil Layla dan mondar-mandir di depan kamar hotelnya. Tangisan Layla terdengar lirih, namun ia masih merengek-rengek menyembunyikan wajahnya dalam ceruk leher sang Mama. Dari ujung lorong, Valia melihat Aaron berjalan cepat ke arahnya dan membawa botol milik Layla. "Loh, tadi yang membawa botolnya-" "Dia bertemu denganku di bawah, Sayang. Ini masih hangat." Aaron menyerahkan sebotol susu stroberi itu pada Valia. Layla menoleh dan menatap Papanya dengan ekspresi sedih bercampur mengantuk sebelum dia mengulurkan kedua tangannya. "Huwaa... Papa!" rengeknya. "Hei, anak pintar kenapa menangis? Kenapa Sayang? Ini ayo minum susu stroberinya punya Layla, bobo saja sambil gendong Papa, hem?" Aaron menggendong Layla dan menggantikan Valia.Putri kecilnya itu mengangguk dan diam menutup kedua matanya seraya memeluk botol miliknya. Valia seketika merasa lega, mereka masuk ke
Hari sudah pagi, Valia dan Aaron baru saja sampai di mansion. Semua orang di sana kini memanggil Valia dengan panggilan Nyonya Aaron, itu sangat menggelitik dan manis. Mereka semua tengah berkumpul di rumah Rodrick, sang Kakek mengajak mereka semua sarapan bersama pagi ini. "Layla, sudah tidak marah lagi?" tanya Peter pada Cucunya. "Tidak Opa, Layla sudah tidak marah. Papa sekarang dipeluk Layla!" seru anak itu memeluk Aaron dengan erat dan duduk dipangkuannya. "Hem... Manjanya!" sahut Rosalia terkekeh gemas. Mereka semua menoleh ke arah Victor dan Selin yang kini muncul, Selin duduk tepat di hadapan Valia dan Aaron. "Kalian berdua baru sampai?" tanya Caroline menatap Victor. "Iya Oma, semalam... Semalam aku mabuk," jawab Victor. "Astaga, Victor..." Tatapan Victor tertuju pada Valia yang tengah mengambilkan sarapan untuk Aaron dan Layla. Gadis itu sangat cantik pagi ini, dia juga terlihat merias sedikit wajahnya dan memakai lipstik merah muda yang cantik. Rambut panjangnya t
"Mama, kita mau ke mana? Kenapa bajunya Layla dimasukin ke tas besar?" Layla yang baru saja bangun tidur terkejut saat mengetahui semua baju-bajunya di dalam lemari dimasukkan ke dalam koper besar. Valia menoleh dan tersenyum. "Kita pulang ke rumah Papa, di Italia. Ikut dan tinggal bertiga dengan Papa," jawab Valia menjelaskan. Namun nyatanya, anak itu malah diam dan cemberut. "Layla tidak bisa ketemu Opa dan Oma buyut lagi?" tanya Layla dengan wajah melasnya. "Bisa Sayang, nanti kalau Papa libur, kita ajak Papa liburan ke sini lagi, ya?" "Huum, iya Ma." Perhatian mereka berdua teralihkan saat Aaron masuk ke dalam kamar. Ia tersenyum begitu melihat putri kecilnya sudah bangun. Laki-laki itu berjalan mendekatinya dan langsung memeluk Layla sampai sang putri dengan manja membalas pelukan Aaron. "Papa, kita mau pulang ya?" tanya Layla menatap wajah Aaron dari sangat dekat. Kedua tangan mungilnya menangkup pipi sang Papa. "Eumm... Memangnya ini bukan rumahnya Layla?" Aaron menge
Trieste, Italia. Kepulangan Aaron dan Valia bagai membuka selembar kertas masa lalu. Tapi kali ini, kedatangan mereka membawa Layla hingga banyak kebahagiaan yang tak terhingga, bahkan para pelayan lama di mansion itu juga sangat bahagia dengan kedatangan Valia kembali. Merina, wanita itu kini memeluk Valia dengan sangat erat dan menangis. Perjuangan Merina menyelamatkannya di masa lalu, membuat Valia menyayangi wanita ini. "Nona Valia, saya sangat merindukan Nona," ungkap Merina menangis menatap Valia. "Aku juga merindukanmu, Merina," balas Valia memeluk lagi Merina dengan erat. Di belakang mereka, Aaron menggendong Layla yang sibuk dengan mainan baru yang dia beli saat tiba di Italia. Perhatian Layla tertuju pada sang Mama yang dipeluk-peluk oleh Merina, meskipun Layla tidak tahu siapa wanita itu. "Papa kok Mama dipeluk-peluk?" tanya Layla bingung. "Iya, dia Bibi Merina, dia yang akan menemani Layla bermain di sini." Aaron terkekeh gemas dengan ekspresi membeo putrinya."Wah
"Mama, Layla mau bobo sendirian pokoknya. Tidak usah ditemani lagi, tapi mau minum susu stroberi dulu." "Iya Sayang, sebentar," jawab Valia mendudukkan putri kecilnya di atas meja di ruang makan. Valia tengah membuatkan susu stroberi untuk Layla. Putri cantiknya malam ini meminta tidur sendirian di kamarnya yang baru. Sebelum pulang ke Trieste, Aaron meminta banyak orang-orangnya membuatkan kamar khusus untuk Layla, dan kini Layla sangat menyukai kamar barunya. "Mama, sudah?" tanya Layla memiringkan kepalanya."Sudah, ini... Minum sampai habis ya, Sayang..." "Iya Mama." Valia menurunkan Layla dari atas meja, anaknya berjalan mendahului Valia sambil memeluk botol susu miliknya. Saat tiba di ruangan utama, Valia dan Layla melihat seseora yang datang di mansion Aaron. Laki-laki tampan berbalut mantel panjang hitam yang membawa sebuah paper bag di tangannya. "Paman Victor," cicit Layla memegangi jemari Valia. Victor tersenyum manis pada Layla dan mendekatinya. "Heum, Paman baw
Pagi-pagi sekali, di mansion milik Aaron sudah kedatangan Selin. Wanita itu terlihat sedang amat marah dan mendesak pada penjaga untuk diizinkan masuk ke dalam mansion. Ia baru saja ribut dengan suaminya, perkara Victor semalam kembali mabuk dan mencari Valia disetiap ucapannya, Selin marah akan hal itu. Kedatangan Selin langsung disambut oleh Valia yang baru saja bangun tidur. Selin berjalan masuk ke dalam mansion dengan wajah dipenuhi amarah hebat pada Valia. "Kak Selin, ada apa? Kenapa Kakak datang ke sini pagi-pagi sekali? Ada perlu dengan Ar-""Dasar kurang ajar kau, Valia!" teriak Selin menyela cepat dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke udara sebelum teat ia daratkan di pipi Valia. PLAAKK...Kedua mata Valia terbeliak, ia bingung apa yang terjadi sampai Selin menamparnya dengan sangat kuat seperti ini. "Ka-kak Selin," lirih Valia menatapnya dengan wajah sangat amat terkejut. Selin menarik lengan Valia dan mendorongnya ke dinding. Wajahnya sembab dan dia menangis, penuh
"Layla mau pulang ke rumah Opa, Layla tidak mau tinggal di sini lagi..." Layla memeluk boneka kelincinya dan meringkuk dalam gendongan Valia. Suhu tubuhnya sangat panas, anak itu terus menangis dan mengajak pulang ke Murcia. Sesabar mungkin Valia mengusap punggung Layla dan menggendongnya ke sana kemari. "Iya Sayang, kita tunggu Papa pulang dulu ya nak, nanti kalau Papa sudah pulang kerja, kita kembali ke rumah Opa, ya?" Valia mengecupi wajah putrinya yang hangat. Merina merasa kasihan dengan Valia, karena Layla sejak pagi tadi menangis tiada henti sampai hari sudah sore. "Nyonya, biar saya gantikan gendong, Nyonya Valia belum makan sama sekali," ujar Merina dan beberapa pelayan di sana mendekati Valia. "Tidak perlu Merina, nanti Layla akan semakin mengamuk. Dia tidak pernah demam sampai seperti ini." Valia menatap wajah putrinya yang memerah, kini anaknya mulai terlelap dan hanya tersisa napasnya yang masih jelas sesekali sesenggukan. "Tolong hubungi Aaron ya, bilang padanya un
"Papa, Layla mau pulang ke rumah Opa lagi, Layla tidak mau tinggal di sini." Layla merengek, setelah bangun dari tidurnya anak itu langsung memeluk Aaron. "Iya Sayang, tapi Layla harus sembuh dulu, ya? Kalau sudah sembuh nanti pulang ke rumah Opa," jawab Aaron mengusap rambut Layla yang berantakan. "Layla sedih," lirihnya seraya membenamkan wajahnya pada dada bidang sang Papa. "Mama dipukul, Mama dicakar, Mamanya Layla disakiti!" Anak itu mendongak menatap wajah Aaron dengan bibir mencebik ingin menangis. Aaron mengerti betapa sedihnya hati sang putri dengan hal yang tengah dirasakannya. Layla menjadi anak yang tumbuh penuh kasih sayang dan cinta yang begitu banyak dari Valia. Pagi siang malam hanya Valia yang selalu ada untuk Layla. Setiap banyak hal yang Layla keluhkan, di situlah Aaron selalu merasa bersalah. "Maafkan Papa ya, Sayang," bisik Aaron di telinga Layla. "Harusnya Papa menemanimu tumbuh, nak." Layla diam tidak menjawab selain memeluk boneka kelinci merah muda mili