Aaron mendapatkan perawatan yang serius di rumah sakit. Luka yang dialaminya cukup fatal hingga bisa berdampak pada kematian. Bersama dengan Jeselin yang menemaninya, Valia terduduk lemas di sebuah bangku tunggu di luar ruangan. Sejak tadi Valia sibuk meremas-remas perutnya yang terasa nyeri. "Sayang, Valia baik-baik saja, nak? Apa perutmu sakit?" Jeselin mendekati Valia dan mengusap pipinya. Gadis itu menggeleng pelan. "Tidak Papa, Ma. Aku hanya takut," jawab Valia sebelum air matanya kembali mentes. Jeselin menggenggam tangan Valia dan ia menatapnya dalam-dalam. "Sayang, kita sama-sama berdoa, semoga tidak tejadi hal yang serius pada Aaron, ya?" Jeselin menangis membawa Valia dalam pelukannya. Mereka saling memeluk hingga tiba-tiba saja pintu kaca buram di depan Valia terbuka, di sana nampak seorang dokter yang keluar dari dalam ruangan itu. "Dokter...." Valia langsung berjalan mendekatinya. "Dok, bagaimana keadaan putra saya?" tanya Jeselin tak sabaran. Laki-laki berjubah
Murcia, Spanyol. Jeselin membawa Valia ke Murcia, di mansion megah milik keluarga besarnya yang begitu disegani. Ia tidak punya pilihan lain, selain harus membawa Valia ke sana. Kedua orang tua Jeselin, Rodrick dan Caroline, menyambut kedatangan Jeselin dengan banyak tanda tanya di benak mereka tentang siapa yang dibawanya, belum lagi beberapa anggota keluarga lainnya yang juga tinggal di sana, satu pekarangan luas milik keluarga Jazvier. "Siapa yang kau bawa ini, Jes?" tanya Caroline menatap gadis cantik yang bersama Jeselin. "Ini Valia, Ma. Aku ingin menitipkan Valia pada kalian semua, dia sedang hamil dan Aaron sekarang dalam keadaan koma di rumah sakit. Valia tengah hamil muda, jadi aku-" "Aaron sakit?! Sakit apa dia?!" sentak Rodrick pada Jeselin. "Katakan, sakit apa Cucuku, hah?!" Valia semakin menundukkan kepalanya dan ia sangat takut dengan keluarga itu. Di sana juga ada beberapa orang lagi yang ikut berkumpul di dalam ruang keluarga yang sangat megah dan mewah. "Aaron,
Hari demi hari, Valia menjalani kehidupan barunya di Murcia. Ia terus menulis banyak catatan di buku hariannya tentang dirinya, dan perkembangan bayinya. Bahkan kini setelah hampir lebih dari satu minggu ia tinggal di Murcia. Valia yang kini tengah duduk di tepi ranjang dan mengusap figura foto, wajah tampan Aaron yang terpampang di sana. "Aaron, kemarin Josevin bilang kalau Layla akan baik-baik saja. Aku selalu berdoa kalau kau segera sembuh," ujar Valia, ia mengecup gambar itu. Pintu kamar Valia tiba-tiba terketuk, gadis itu beranjak dari duduknya dan mendapati Rodrick di depannya. "O-opa?" "Keluarlah, Opa ingin bicara denganmu," ajak laki-laki tua itu. Valia menganggukkan kepalanya, ia berjalan keluar dari dalam kamar. Di sana Valia melihat ada Caroline yang juga menunggunya. Mereka meminta Valia duduk di sofa dan apapun yang terjadi, Valia siap mendengarkan mereka. "Valia, Opa dan Oma ingin memberitahu sesuatu padamu," ujar laki-laki itu. Valia mengangguk. "Ada apa, Opa?"
Beberapa bulan kemudian...Semua terlewati begitu saja oleh Valia, ia melewati masa sulitnya sendirian. Valia akan menjadi seorang Mama, yang baik, cantik, dan dipenuhi kasih sayang. Pagi ini suara rintihan memenuhi salah satu ruangan rumah sakit. Rasa sakit bagai semua tulang disekujur tubuhnya diremukkan. Ditemani oleh Caroline dan Rosalia, hari ini Valia berjuang melahirkan anaknya. Sejak petang, Valia berusaha menahan semua rasa sakitnya. "Valia... Bertahan ya, kau pasti bisa, Sayang!" seru Rosalia, wanita itu tidak sejahat Nadine. Di sana, Valia hanya diam tidak berbicara dan terus menggenggam tangan Rosalia. "Tante, peluk Valia," pinta gadis itu tiba-tiba.Baik Rosalia dan Caroline langsung memeluknya, mereka mengusap kening Valia dengan lembut. "Semua akan baik-baik saja ya, Sayang." Caroline menangis mengatakannya. "Oma, ini sakit," ucapnya lirih tanpa suara. "Hussttt... Oma yakin kalau Valia pasti kuat!" serunya menyemangati. Pintu kamar itu tiba-tiba terbuka, di san
Valia sudah dibawa pulang dari rumah sakit sejak dua harian yang lalu. Setiap malam ia ditemani oleh Rosalia, wanita itu benar-benar sangat menyayangi Valia, terutama saat dia mendengar semua jalan hidup Valia yang benar-benar kacau. Tapi malam ini, Valia sendirian karena Rosalia sedang ada acara dengan suaminya. Valia begitu kebingungan karena Layla yang terus menangis. "Ya Tuhan, anakku kenapa? Bagaimana ini..." Valia kebingungan. Kembali ia berdiri dan menggendongnya, Valia menimang-nimang, dan memberikan dia ASI, namun anak bayi itu tetap menangis. "Sayang, jangan menangis terus... Ini sudah malam, Mama tidak punya teman lagi selain Layla, jangan menangis ya, Sayang," bisik Valia mengecup pipi putri mungilnya, kembali menyelimuti bayinya dan mengajaknya mondar-mandir di selasar lantai dua. Tangisan Layla pun perlahan reda, bayi itu kembali tertidur pulas. Namun saat Valia merebahkannya, dia menangis kembali. Tak ada cara lain bayi Valia selain mondar-mandir dan terus meniman
Empat Tahun Kemudian..."Aaa... Jangan nakal! Awas ya, kalian! Layla bilangin Mama!" Teriakan melengking di sebuah taman terdengar keras dari anak kecil perempuan cantik yang bajunya kini basah kuyup. Gadis mungil itu cemberut saat semua teman-teman seusianya bersorak dan berlari meninggalkannya usai menyiram Layla dengan air beramai-ramai. "Heum, nakal," cicit Layla kesal, ia kembali mengambil boneka kelinci merah muda miliknya yang kotor terjatuh di atas rumput basah di taman. Layla, gadis kecil mungil berusia empat tahun kurang, yang cantik berkulit putih, rambut cokelat dikuncir dua dengan pira merah, pipi gembil kemerahan, dia persis seperti jiplakan Mamanya saat masih kecil, hanya saja rambutnya berwarna cokelat. Dengan balutan dress selutut berwarna merah, Layla berdiri di tengah taman mencari semua temannya yang bersembunyi. Di tengah taman, Layla menatap sekitar dengan wajah geram. "Hei... Kalian keluar! Ayo main sama Layla!" teriaknya kesal dan marah. "Layla bawa perm
Roma, Italia. "Aaron, beberapa bulan ke depan sepertinya Kakekmu ingin meminta bantuanmu untuk mengurus perusahaannya. Paman Keivan, sudah hampir menyerah." Seruan itu langsung terucap dari Keivan, atas perintah Rodrick dia pergi menemui Aaron. Nampak Aaron yang sedang berpikir panjang, ia seperti ingin menerima atau tidak, dan sangat menimbangnya. "Tapi Paman, pekerjaanku di sini juga cukup banyak. Aku-" "Ini penting. Kau di sini masih ada beberapa anak buah, sedangkan Paman? Ini perusahaan besar, Kakek hanya percaya padamu, Aaron!" tegas Kevian, ia harus bisa meyakinkan Aaron. Nampak Aaron melirik foto milik Valia yang ada di atas meja kerjanya. Hingga tiba-tiba saja Aaron langsung menganggukkan kepalanya. "Tapi aku tidak bisa tinggal bersama kalian, aku akan tinggal di penginapan depan," ujar Aaron, dia menolak tinggal di mansion atau di rumahnya. "Di penginapan? Itu cukup jauh dari rumah milik Mamamu dan manison Opa, kau yakin?"Aaron mengangguk. "Ya, aku akan memburu seti
"Mama... Mama! Layla mau kasih tahu Mama! Ada Paman tampan!" "Mama... Lihat Layla!" Bocah perempuan kecil itu menarik-narik ujung bawah dress yang Valia pakai sambil terus lompat-lompat kecil, Mamanya itu kini tengah sibuk memasak, hanya bisa merespon biasa.Valia menundukkan kepalanya menatap sang putri yang heboh sendiri. "Paman siapa, Sayang? Layla jangan main jauh-jauh, di taman saja sudah cukup. Jangan pergi jauh!" seru Valia masih tidak memperhatikan putrinya. Seketika Layla cemberut, anak itu menundukkan kepalanya menatap lututnya yang terluka. "Layla tadi jatuh, terus Paman tampan yang bersihkan lutut Layla," adu anak itu lagi. "Jatuh?!" Valia memekik menatapnya, ia langsung mematikan kompor dan menekuk lututnya melihat luka di kaki Layla. "Jatuh di mana? Kenapa sampai bisa jatuh? Ayo Mama Obati." Valia langsung menggendong Layla, namun sesaat Valia terdiam karena menghirup aroma yang sangat familiar untuknya. Aroma parfume itu melekat pada tubuh Layla. Aroma maskulin
Pemandangan yang indah saat Valia menatap anak dan menantunya tengah menikmati hari yang indah di taman mansion pagi ini. Waktu berjalan dengan cepat, Valia percaya dengan adanya cinta sejati dan ia tidak salah menempatkan hatinya sejak awal pada orang yang mau menjadi sandarannya hingga kini. "Sedang apa, Sayang?" sapa Aaron mendekati Valia. "Hem, tidak ada. Senang sekali melihat mereka, dan tempat ini...." Valia mendongak menatap seisi mansion yang tidak berubah sama sekali. Tempat itu sangat terawat dan juga bersih bahkan beberapa barang-barang yang dulu Valia tinggalkan masih di tempat. Betapa membekas kuat semua kepingan-kepingan ingatannya dari kisah cinta hingga kebenciannya kepada Aaron yang kini sudah tertutup rapat. "Tempat ini masih khas dengan segala hal yang menyangkut kita," ujar Aaron menatap Valia dan memeluknya. "Dan aku merasa bahagia bisa menua bersamamu." Valia tidak yakin mendengar apa yang suaminya katakan barusan, tapi ia merasa tersentuh begitu Aaron men
Trieste, Italia. Seperti masa kecil Mamanya, shopie terlihat sangat heboh saat dia telah sampai di Trieste. Tepatnya di mansion milik sang Opa. Bangunan super megah yang dikelilingi pemandangan laut yang indah. Tidak ada yang berubah di sana, Layla dan Nathaniel juga sangat menikmati keindahan tempat itu. "Wahh... Bagus sekali, kenapa aku dulu tidak betah tinggal di sini Ma? Padahal bagus sekali!" Layla memeluk lengan Valia dan mereka berjalan di teras samping samping mansion."Entah karena apa dulu, mungkin karena kita kasihan pada Kakek," jawab Valia. Ia tidak mau mengingatkan masa lalu yang cukup buruk pada Layla. Nathaniel bersama Aaron di depan sana, laki-laki itu menggendong Shopie yang sudah bingung ingin pergi mengelilingi mansion. Sementara Valia masih bersama dengan Layla. Valia merasa ada sesuatu yang menyentuh hati terdalamnya, tempat ini mempunyai ribuan kisah Valia dan Aaron, dari benci, marah, ambisi, obsesi, hingga cinta yang sangat tulus. Sosok Aaron yang sama
Lima Tahun Kemudian..."Shopie! Jangan lari-lari nanti jatuh..." Suara teriakan keras itu berasal dari bibir Layla yang berdiri di dalam rumah memperhatikan putri kecilnya yang terlihat begitu kesenangan. Shopie Tan Ferdherat, gadis cantik yang memiliki wajah sangat mirip dengan Mamanya. Dia juga sangat keras kepala seperti Papanya, dan Sopie anak yang manja, seperti Mamanya. "Mi, katanya nanti malam mau pergi sama Opa dan Oma, ayo... Sopie bantu-bantu Mami!" seru anak itu lompat-lompat kesenangan. "Iya, tapi nanti dulu, Sayang... Sekarang Shopie naik ke atas yuk, jangan lari-larian di bawah. Mami mau ke atas." Layla mengulurkan tangannya pada Shopie. Anak itu pun seketika mengangguk antusias, mereka berdua langsung berjalan ke lantai atas dan Sophie berjinjit membuka pintu kamarnya. Di dalam sana, anak itu menatap Papanya yang masih tertidur dengan santai dan nyenyak. Shopie tersenyum tipis, ia berjalan perlahan-lahan naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Papanya. "Papi... Ay
"Mama dan Papa akan sering-sering ke sini untuk memantau Layla, karena Papa perhatikan akhir-akhir ini kau sangat sibuk sampai sering meninggalkan istrimu sendiri yang di rumah." Aaron mengatakan hal itu kepada menantunya, dan tentu saja nontonnya langsung mengangguk setuju disadarinya ia memang tidak pernah ada waktu untuk Layla. Bukan berarti Nathaniel merasa leluasa, ia juga berusaha mencari celah di mana ia bisa meliburkan diri dan menjaga Layla seperti suami-suami di luar rencana pada umumnya. "Iya Pa, aku juga mencari waktu yang tepat untuk libur. Aku terus kepikiran dan tidak bisa fokus saat bekerja," ujar Nathaniel. "Harusnya di saat usia kandungan istrimu sudah tua seperti ini kau libur rumah karena bayi lahir itu tidak tahu kapan dan juga sulit untuk diprediksi," jelas Aaron pada Nathaniel. Nathaniel diam dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh Papa mertuanya, ia sadar kalau dirinya memang keliru. Aaron juga orang yang sangat gila kerja, sama seperti dirinya tapi beda
"Kalian ini... Apa tidak bisa ditunda sampai besok pagi, hah?!" Nathaniel marah saat masuk ke dalam ruangannya, di dalam sana semua rekannya sudah menunggu. Laki-laki itu meletakkan dengan kasar kunci mobilnya di atas meja, karena ia sudah menduga kalau di rumah Layla pasti marah padanya. "Ya bagaimana lagi?!" sahut Regar frustrasi. "Huhh... Sialan kalian, jadi jadwal kemarin itu salah?!" Nathaniel menatap mereka semua. "Salah!" jawab keempat orang itu kompak. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Nathaniel. Saat itu juga ia langsung duduk di kursinya dan mulai membuka laptopnya dan segera menyelesaikan pekerjaannya. Namun tetap saja Nathaniel tidak bisa tenang memikirkan Layla yang ia tinggalkan di rumah sendirian. Laki-laki itu pun mengambil ponselnya dan ia menghubungi Papa mertuanya karena hanya Aaron yang bisa membantunya saat ini. "Halo Pa, Pa aku boleh minta tolong, tidak?" pinta Nathaniel. "Hem, ada apa jam segini kok menelepon Papa? Apa terjadi sesuatu pada Layl
Beberapa Bulan Kemudian...Kandungan Layla sudah memasuki tujuh bulan. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat dan Layla menjalani hari-harinya dengan sangat bahagia besama suaminya. Nathaniel, menjadi suami super posesif dan selalu memantau Layla dari segala kondisi, bahkan mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. "Layla ke mana, Bi?"Suara Nathaniel di ruang tamu sore ini membuat Layla langsung menoleh, gadis itu tengah beduaan dengan Jeremy di dalam ruangan keluarga. Seketika Layla meminta Jeremy menutup pintu ruangan itu. Sehari saja, Layla ingin suaminya itu tidak terlalu posesif, Layla pusing dengan sifat Nathaniel yang sangat menyebalkan. "Sudah Kak," ujar Jeremy seraya terkikik geli anak itu berjalan mendekati Layla seraya membawa roti sus miliknya. "Sini-sini, duduk di samping Kakak. Biar saja Kak Nathan teriak-teriak di luar, Kakak pusing sekali dengannya," keluh Layla mendongakkan kepalanya. "Tapi kata Mami Valia, kalau dicereweti Papi Aaron, tandanya Papi Aaron i
Setelah acara pernikahan, Layla dan Nathaniel pulang ke rumah mereka sendiri. Nathaniel adalah laki-laki mapan yang sudah mempersiapkan segalanya sebelum menikah. Ada dua pembantu di rumahnya yang akan mengerjakan pekerjaaan rumah dan membantu Layla. Dan Nathaniel memberikan rumah itu pada Layla untuk hadiah pernikahan mereka. "Rumahnya bagus sekali," cicit Layla seraya menoleh dan menatap wajah tampan Nathaniel. "Kau suka?" Nathaniel mengusap pucuk kepala Layla. Layla pun mengangguk dengan mantap. "Sangat! Ini rumah paling bagus yang pernah Layla lihat. Seperti istana kalau dilihat dari luar, ada kerucutnya di atas sana!" seru Layla tersenyum. "Ya, memang desain awalnya aku buat seprti itu, agar tidak ada yang menyamainya." Layla hanya mengangguk saja, dan ia berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tangga melengkung dan lebar, lantai mengkilat dari marmer berwarna cream, dan beberapa pilar besar di dalam ruangan, serta lampu kristal besar yang menggantung di langit-lan
Pernikahan yang dimimpikan selama ini oleh Layla benar-benar terlaksana. Dalam hitungan detik demi detik pernikahan mereka sudah resmi.Dan begitu pula yang dirasakan oleh Nathaniel. Memiliki Layla seutuhnya dan ke mana-mana bisa ia jaga dan ia bawa, adalah cita-cita Nathan sejak dia masih kecil. Layla dan Nathaniel kini tengah sibuk dengan para tamu, tak lain adalah para teman-teman Nathaniel, karena Layla sendiri tidak memiliki teman. "Selamat ya kalian berdua, wahhh... Kapan ya aku nyusul?" seru Vargo menepuk pundak Nathaniel. "Mulutnya!" sinis Caley merangkul dan memukul punggung Vargo hingga laki-laki dengan tuxedo abu-abu itu tertawa. "Ya... Siapa tahu saja yang kedua kalinya." Vargo menjawab dengan sangat santai. Seketika Nathaniel terkekeh, ia menggenggam tangan Layla dan mengecupnya dengan lembut. "Jangan mendengarkan Sayang, mereka ini laki-laki gila!" sinis Nathaniel seraya menatap aneh pada semua temannya. "Iya, mereka lucu," ujar Layla. Layla merasakan ia seperti
Hari yang dinanti-nanti oleh Layla dan Nathaniel esok pagi akan terlaksana. Mereka semua keluarga kini berada di sebuah hotel milik keluarga Ferdherat. Hotel bintang lima yang berada di tengah-tengah kota Berlin. Laila Tengah berada di dalam kamarnya bersama Sarah, Caroline, Rosalia dan juga Valia. Keluarga Jazvier yang datang jauh-jauh hanya ingin melihat Layla menikah dengan Nathaniel. "Tidak terasa kita sudah tua ya Sarah, Cucu kita besok sudah mau menikah," ujar Caroline pada Sarah. "Iya, aku merasa seperti kemarin kita mengasuh anak-anak, tapi sekarang mereka sudah menikah saja. Ini waktu yang terlalu cepat atau apanya yang salah?" gumam Sarah seraya duduk bersandar. Valia bersama Rosalia duduk di atas ranjang bersama Layla yang berbaring bersama Jeremy. "Sepertinya tidak ada yang salah, Nenek saja yang menolak tua," sahut Jeremy tiba-tiba, anak itu sangat cerdas. Mendengar apa yang dikatakan bocah itu sontak membuat semua orang di dalam ruangan tersebut langsung tertawa.