Satu bulan kemudian...Malam ini Aaron baru saja pulang dari luar kota. Setelah kondisi Valia membaik, Aaron memang memutuskan untuk kembali bekerja. Dan malam ini, kepulangannya setelah lima hari lamanya ia pergi ke luar kota bersama beberapa rekan kerjanya yang lain. Jujur saja, Aaron sangat merindukan Valia dan ingin memeluknya erat-erat malam ini. "Di mana Ava? Kenapa dia tidak menyambut kepulanganku?" Aaron menatap Merina yang baru saja membukakan pintu. "Nona sedang jalan-jalan di ruang samping, Tuan. Nona Ava juga tidak mau saya temani," jawab Merina tersenyum. "Nona sedikit aneh, Tuan. Dia sering murung dan terus mengeluh merindukan Tuan." Aaron pun langsung bergegas, laki-laki itu meletakkan tuxedo hitamnya di sofa dan menatap Merina. "Segeralah kembali ke paviliun!" serunya memerintah."Baik Tuan." Merina berjalan pergi, begitu pula dengan Aaron yang kini langsung bergegas keluar menuju ruangan samping. Langkah kaki Aaron terhenti saat ia melihat sosok Valia yang berd
"Tidak biasanya kepalaku sakit begini, kenapa akhir-akhir ini aku selalu pusing dan tidak enak badan."Valia meluruskan satu lengannya dan meletakkan kepalanya di atas meja besar di paviliun. Baru saja ia membuang bosannya bermain piano, dan banyak hal yang ia coba. Satu tangannya mengusap wajahnya yang berpeluh. Keringat dingin membuat tubuhnya lemas dan tidak bertenaga. "Permisi Nona," sapa pelayan masuk ke dalam sana. Valia menatap wanita itu yang mendekatinya dan membawakan mangkuk berisi buah-buahan."Nona tadi pagi sudah tidak sarapan, setidaknya Nona makan buah-buahan ini. Kalau Tuan tahu, beliau bisa marah," ujar pelayan itu pada Valia. "Aku tidak mau. Bawa saja kembali, aku tidak lapar," jawab Valia menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali meletakkan kepalanya di atas meja "Nona..." "Pegilah! Jangan ganggu aku, pelayan!" pekik Valia malah marah pada pelayan itu.Wanita itu pun langsung menutup pintunya dan meninggalkan Valia sendirian di dalam paviliun megah tersebut.
Rumah makan kecil di tepian dermaga, berhimpitan dengan cafe-cafe jalanan. Tempat ramai dan banyak sekali pengunjung yang berjalan kaki di sana. Aaron menutup hidung dan mulutnya, ia tidak pernah berada di tempat semacam itu. Dirinya sibuk memperhatikan Valia yang begitu acuh dengan situasi. "Enak?" tanya Aaron menatap Valia yang memakan sup rumput laut itu dengan lahap. "Hem, kau mau?" Valia menatapnya berseri-seri. Aaron menggeleng cepat dan kembali menutup hidungnya dengan telapak tangan. Aroma makanan itu sudah membuatnya pening, apa lagi memakannya, mungkin akan lebih parah lagi. "Tumben kau menginkan makan yang seperti ini, hem?" tanya Aaron menyelipkan rambut Valia dengan pelan dan merangkulnya. "Tidak tahu, tiba-tiba ingin. Kau saja yang tidak peka kalau aku ingin makan ini." Valia menatap mangkuknya yang sudah kosong. Aaron mengembuskan napasnya pelan. "Mau lagi? Aku akan memesankan kalau kau mau lagi." "Heem, aku sudah kenyang. Dirasa-rasa setelah kenyang rasanya jad
"Hah, du-dua garis! Ta-tandanya aku..." Valia langsung membungkam mulutnya dan tangannya gemetar memegang alat test kehamilan yang ia tatap. Ia menyandarkan punggungnya pada dinding kamar mandi memegang dadanya yang bergemuruh. "Ya Tuhan...!" Valia tersenyum lebar ia menangis karena bahagia. "Aaron pasti senang dengan kabar ini." Cepat Valia mengusap air matanya, ia langsung membuka pintu kamar mandi dan Merina berdiri di sana menanti-nanti. "Nona... Bagaimana?" tanya wanita itu antusias. Valia memasang wajah lesu sebelum ia mendekati Merina dan berdiri tepat di hadapan pelayan wanita itu. "Pelayan Merina, lihat ini!" Valia langsung tersenyum lebar menunjukkan test kehamilan yang ia bawa pada Merina.Merina langsung tersenyum bahagia, wanita itu memeluk Valia seketika. Keduanya sama-sama heboh dan rasa bahagia menyeruak pada hati mereka. "Nona Valia... Selamat!" pekik Merina mendekap erat-erat tubuh Valia. Anggukan diberikan oleh Valia, ia menarik dirinya dari pelukan sang pe
"Aku tidak bisa memastikan kondisi janinmu. Bagaimana kau bisa terjatuh, Avalia?" Fabio, dokter muda itu menatap Valia dengan penuh kecemasan. Gadis yang berbaring itu hanya diam takut menjawabnya. "Nona Ava jatuh karena kakinya tergelincir dan cukup kuat dia terjatuh," jelas Merina yang berada di sana. "Astaga, kau ini sedang hamil kenapa lari-larian?!" seru Fabio tidak sabaran. Bukannya menjawab, Valia menarik selimut dan menutupkan pada wajahnya. "Kau sama seperti Aaron, terus marah-marah padaku. Lebih baik kau pergi saja dari sini!" seru Valia dengan nada sedih. Merina menarik lengan Fabio dengan pelan, wanita itu memberikan isyarat pada Fabio untuk tidak melawan perkataan Valia. "Apa perutmu masih sakit?" tanya Fabio lagi, ia menyentuh perut Valia di balik selimut putih tebal. "Heem, sedikit nyeri," jawabnya. "Istirahatlah, aku akan menghubungi rekanku untuk memeriksamu nanti. Jangan lari-larian lagi," tutur Fabio. Dokter Muda itu pun melangkahkan kakinya keluar dari da
"Aaron, aku akan menulis beberapa nama untuk anak kita nanti!" Valia berdiri mengambil selembar kertas dan bolpoin di hadapan Aaron. Gadis itu dibebaskan melakukan apa saja, termasuk menemani Aaron bekerja malam ini. Sedangkan Aaron, ia memijit pelipisnya memperhatikan Valia yang sungguh mengganggu konsentrasi kerjanya malam ini. "Lebih baik kau sekarang istirahat, aku tidak akan selesai kalau kau terus menggangguku, Ava," ujar Aaron menatap Valia yang kini sibuk menulis. Cemberut bibir Valia dengan perkataan Aaron. Ia melipat kedua tangannya dan menyembunyikan wajahnya dia atas meja. "Eumm... Kau mengusirku," cicit Valia. "Aku memintamu istirahat. Sudah, itu saja." Gelengan diberikan oleh Valia, ia kembali menegakkan tubuhnya dan berdiri di samping meja kerja Aaron seraya melebarkan kertas yang ia pegang. "Aku tidak ngantuk, aku tidak mau tidur dan kau jangan mengaturku!" sinis Valia menyipitkan kedua matanya. Gadis itu menunjukkan kertas yang pegang. "Lebih baik kau lihat i
Sepeninggal Aaron sejak pagi, Valia berada di paviliun bersama dengan Sergio yang berdiri bagai patung di belakangnya. Tidak jarang dia menyahuti pertanyaan Valia yang dilontarkan secara tiba-tiba. Kini gadis itu memegang gagang kuas lukisnya, Valia ingin melukis dan Sergio langsung memerintah anak buahnya berangkat membelikan keperluan yang Valia inginkan. "Sergio, apa kau tidak ingin minum?" tanya Valia menatap sebal laki-laki itu. Sergio tersenyum tipis dan menggeleng. "Tidak Nona, kalau Nona mau, saya bisa ambilkan sekarang juga," jawab Sergio.Valia menggeleng juga. "Heem, aku tidak mau minum. Aku hanya mau kau pergi saja dari sini, aku tidak fokus melukis," alibi Valia seraya melirik Sergio. "Saya bisa berbalik ke belakang saja, Nona. Sudah menjadi tanggung jawab saya menjaga Nona Valia." 'Aaakkhhh... Menyebalkan!' teriak Valia dalam hati, ia menunjukkan wajah melasnya dan menyandarkan keningnya pada kanvas di hadapannya. 'Aaron, aku ingin memukulmu sampai pingsan! Kenapa k
"Sudah tidak sakit, kan?" Aaron menatap wajah Valia yang masih ingin menangis, laki-laki itu tersenyum tipis mengusap pipi gembilnya. Valia menjadi sangat-sangat manja sejak dia hamil. Namun apapun yang dia inginkan, mudah sekali baginya untuk ia dapatkan. "Ava, tidak sakit lagi kan? Jangan diam saja... Kalau sakit lebih baik aku menghubungi Fabio, biar dia yang-" "Sup rumput lautnya," lirih Valia sebelum ia menangis tanpa suara. Helaan napas pelan terdengar di bibir Aaron, padahal ia panik dengan jari tangan Valia, tapi gadis itu malah memikirkan sup rumput lautnya yang tumpah. Aaron menegakkan tubuhnya, ia mengusap pucuk kepala gadis itu. "Merina akan memasakkan yang lebih enak lagi, bagaimana?" "Tidak mau," jawab Valia menggeleng-gelengkan kepalanya. Kali ini Aaron membungkukkan badannya, ia menangkup satu pipi Valia dan menatapnya dalam-dalam. "Aku masih lelah, Sayang. Nanti malam saja kita pergi keluar membelinya lagi, ya? Jangan marah..." Aaron membujuk Valia dengan ek
Pemandangan yang indah saat Valia menatap anak dan menantunya tengah menikmati hari yang indah di taman mansion pagi ini. Waktu berjalan dengan cepat, Valia percaya dengan adanya cinta sejati dan ia tidak salah menempatkan hatinya sejak awal pada orang yang mau menjadi sandarannya hingga kini. "Sedang apa, Sayang?" sapa Aaron mendekati Valia. "Hem, tidak ada. Senang sekali melihat mereka, dan tempat ini...." Valia mendongak menatap seisi mansion yang tidak berubah sama sekali. Tempat itu sangat terawat dan juga bersih bahkan beberapa barang-barang yang dulu Valia tinggalkan masih di tempat. Betapa membekas kuat semua kepingan-kepingan ingatannya dari kisah cinta hingga kebenciannya kepada Aaron yang kini sudah tertutup rapat. "Tempat ini masih khas dengan segala hal yang menyangkut kita," ujar Aaron menatap Valia dan memeluknya. "Dan aku merasa bahagia bisa menua bersamamu." Valia tidak yakin mendengar apa yang suaminya katakan barusan, tapi ia merasa tersentuh begitu Aaron men
Trieste, Italia. Seperti masa kecil Mamanya, shopie terlihat sangat heboh saat dia telah sampai di Trieste. Tepatnya di mansion milik sang Opa. Bangunan super megah yang dikelilingi pemandangan laut yang indah. Tidak ada yang berubah di sana, Layla dan Nathaniel juga sangat menikmati keindahan tempat itu. "Wahh... Bagus sekali, kenapa aku dulu tidak betah tinggal di sini Ma? Padahal bagus sekali!" Layla memeluk lengan Valia dan mereka berjalan di teras samping samping mansion."Entah karena apa dulu, mungkin karena kita kasihan pada Kakek," jawab Valia. Ia tidak mau mengingatkan masa lalu yang cukup buruk pada Layla. Nathaniel bersama Aaron di depan sana, laki-laki itu menggendong Shopie yang sudah bingung ingin pergi mengelilingi mansion. Sementara Valia masih bersama dengan Layla. Valia merasa ada sesuatu yang menyentuh hati terdalamnya, tempat ini mempunyai ribuan kisah Valia dan Aaron, dari benci, marah, ambisi, obsesi, hingga cinta yang sangat tulus. Sosok Aaron yang sama
Lima Tahun Kemudian..."Shopie! Jangan lari-lari nanti jatuh..." Suara teriakan keras itu berasal dari bibir Layla yang berdiri di dalam rumah memperhatikan putri kecilnya yang terlihat begitu kesenangan. Shopie Tan Ferdherat, gadis cantik yang memiliki wajah sangat mirip dengan Mamanya. Dia juga sangat keras kepala seperti Papanya, dan Sopie anak yang manja, seperti Mamanya. "Mi, katanya nanti malam mau pergi sama Opa dan Oma, ayo... Sopie bantu-bantu Mami!" seru anak itu lompat-lompat kesenangan. "Iya, tapi nanti dulu, Sayang... Sekarang Shopie naik ke atas yuk, jangan lari-larian di bawah. Mami mau ke atas." Layla mengulurkan tangannya pada Shopie. Anak itu pun seketika mengangguk antusias, mereka berdua langsung berjalan ke lantai atas dan Sophie berjinjit membuka pintu kamarnya. Di dalam sana, anak itu menatap Papanya yang masih tertidur dengan santai dan nyenyak. Shopie tersenyum tipis, ia berjalan perlahan-lahan naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Papanya. "Papi... Ay
"Mama dan Papa akan sering-sering ke sini untuk memantau Layla, karena Papa perhatikan akhir-akhir ini kau sangat sibuk sampai sering meninggalkan istrimu sendiri yang di rumah." Aaron mengatakan hal itu kepada menantunya, dan tentu saja nontonnya langsung mengangguk setuju disadarinya ia memang tidak pernah ada waktu untuk Layla. Bukan berarti Nathaniel merasa leluasa, ia juga berusaha mencari celah di mana ia bisa meliburkan diri dan menjaga Layla seperti suami-suami di luar rencana pada umumnya. "Iya Pa, aku juga mencari waktu yang tepat untuk libur. Aku terus kepikiran dan tidak bisa fokus saat bekerja," ujar Nathaniel. "Harusnya di saat usia kandungan istrimu sudah tua seperti ini kau libur rumah karena bayi lahir itu tidak tahu kapan dan juga sulit untuk diprediksi," jelas Aaron pada Nathaniel. Nathaniel diam dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh Papa mertuanya, ia sadar kalau dirinya memang keliru. Aaron juga orang yang sangat gila kerja, sama seperti dirinya tapi beda
"Kalian ini... Apa tidak bisa ditunda sampai besok pagi, hah?!" Nathaniel marah saat masuk ke dalam ruangannya, di dalam sana semua rekannya sudah menunggu. Laki-laki itu meletakkan dengan kasar kunci mobilnya di atas meja, karena ia sudah menduga kalau di rumah Layla pasti marah padanya. "Ya bagaimana lagi?!" sahut Regar frustrasi. "Huhh... Sialan kalian, jadi jadwal kemarin itu salah?!" Nathaniel menatap mereka semua. "Salah!" jawab keempat orang itu kompak. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Nathaniel. Saat itu juga ia langsung duduk di kursinya dan mulai membuka laptopnya dan segera menyelesaikan pekerjaannya. Namun tetap saja Nathaniel tidak bisa tenang memikirkan Layla yang ia tinggalkan di rumah sendirian. Laki-laki itu pun mengambil ponselnya dan ia menghubungi Papa mertuanya karena hanya Aaron yang bisa membantunya saat ini. "Halo Pa, Pa aku boleh minta tolong, tidak?" pinta Nathaniel. "Hem, ada apa jam segini kok menelepon Papa? Apa terjadi sesuatu pada Layl
Beberapa Bulan Kemudian...Kandungan Layla sudah memasuki tujuh bulan. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat dan Layla menjalani hari-harinya dengan sangat bahagia besama suaminya. Nathaniel, menjadi suami super posesif dan selalu memantau Layla dari segala kondisi, bahkan mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. "Layla ke mana, Bi?"Suara Nathaniel di ruang tamu sore ini membuat Layla langsung menoleh, gadis itu tengah beduaan dengan Jeremy di dalam ruangan keluarga. Seketika Layla meminta Jeremy menutup pintu ruangan itu. Sehari saja, Layla ingin suaminya itu tidak terlalu posesif, Layla pusing dengan sifat Nathaniel yang sangat menyebalkan. "Sudah Kak," ujar Jeremy seraya terkikik geli anak itu berjalan mendekati Layla seraya membawa roti sus miliknya. "Sini-sini, duduk di samping Kakak. Biar saja Kak Nathan teriak-teriak di luar, Kakak pusing sekali dengannya," keluh Layla mendongakkan kepalanya. "Tapi kata Mami Valia, kalau dicereweti Papi Aaron, tandanya Papi Aaron i
Setelah acara pernikahan, Layla dan Nathaniel pulang ke rumah mereka sendiri. Nathaniel adalah laki-laki mapan yang sudah mempersiapkan segalanya sebelum menikah. Ada dua pembantu di rumahnya yang akan mengerjakan pekerjaaan rumah dan membantu Layla. Dan Nathaniel memberikan rumah itu pada Layla untuk hadiah pernikahan mereka. "Rumahnya bagus sekali," cicit Layla seraya menoleh dan menatap wajah tampan Nathaniel. "Kau suka?" Nathaniel mengusap pucuk kepala Layla. Layla pun mengangguk dengan mantap. "Sangat! Ini rumah paling bagus yang pernah Layla lihat. Seperti istana kalau dilihat dari luar, ada kerucutnya di atas sana!" seru Layla tersenyum. "Ya, memang desain awalnya aku buat seprti itu, agar tidak ada yang menyamainya." Layla hanya mengangguk saja, dan ia berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tangga melengkung dan lebar, lantai mengkilat dari marmer berwarna cream, dan beberapa pilar besar di dalam ruangan, serta lampu kristal besar yang menggantung di langit-lan
Pernikahan yang dimimpikan selama ini oleh Layla benar-benar terlaksana. Dalam hitungan detik demi detik pernikahan mereka sudah resmi.Dan begitu pula yang dirasakan oleh Nathaniel. Memiliki Layla seutuhnya dan ke mana-mana bisa ia jaga dan ia bawa, adalah cita-cita Nathan sejak dia masih kecil. Layla dan Nathaniel kini tengah sibuk dengan para tamu, tak lain adalah para teman-teman Nathaniel, karena Layla sendiri tidak memiliki teman. "Selamat ya kalian berdua, wahhh... Kapan ya aku nyusul?" seru Vargo menepuk pundak Nathaniel. "Mulutnya!" sinis Caley merangkul dan memukul punggung Vargo hingga laki-laki dengan tuxedo abu-abu itu tertawa. "Ya... Siapa tahu saja yang kedua kalinya." Vargo menjawab dengan sangat santai. Seketika Nathaniel terkekeh, ia menggenggam tangan Layla dan mengecupnya dengan lembut. "Jangan mendengarkan Sayang, mereka ini laki-laki gila!" sinis Nathaniel seraya menatap aneh pada semua temannya. "Iya, mereka lucu," ujar Layla. Layla merasakan ia seperti
Hari yang dinanti-nanti oleh Layla dan Nathaniel esok pagi akan terlaksana. Mereka semua keluarga kini berada di sebuah hotel milik keluarga Ferdherat. Hotel bintang lima yang berada di tengah-tengah kota Berlin. Laila Tengah berada di dalam kamarnya bersama Sarah, Caroline, Rosalia dan juga Valia. Keluarga Jazvier yang datang jauh-jauh hanya ingin melihat Layla menikah dengan Nathaniel. "Tidak terasa kita sudah tua ya Sarah, Cucu kita besok sudah mau menikah," ujar Caroline pada Sarah. "Iya, aku merasa seperti kemarin kita mengasuh anak-anak, tapi sekarang mereka sudah menikah saja. Ini waktu yang terlalu cepat atau apanya yang salah?" gumam Sarah seraya duduk bersandar. Valia bersama Rosalia duduk di atas ranjang bersama Layla yang berbaring bersama Jeremy. "Sepertinya tidak ada yang salah, Nenek saja yang menolak tua," sahut Jeremy tiba-tiba, anak itu sangat cerdas. Mendengar apa yang dikatakan bocah itu sontak membuat semua orang di dalam ruangan tersebut langsung tertawa.