Aaron duduk diam memejamkan kedua matanya, ditemani oleh Riftan yang datang tepat waktu untuk membantunya. Sementara di dalam, dokter tegah berupaya mengobati Valia yang sudah berjam-jam lamanya."Semua akan baik-baik saja, Aaron," ujar Riftan menepuk pundak sahabatnya. Aaron tidak menjawabnya. Ia mengembuskan napasnya panjang dan semakin tertunduk. "Aku tidak ingin dia meninggalkanku," ujar Aaron sedih. "Permisi, Tuan Riftan, mari ikut dengan saya sebantar..." Suara seorang suster memanggil Riftan. Riftan yang bertanggung jawab di sana, karena tidak mungkin Aaron yang melakukannya. Saat ini kondisi Aaron pun sedang sangat kacau. Laki-laki itu lantas menepuk pundak Aaron dan bergegas pergi dari sana meninggalkan sahabatnya. Sementara Aaron, ia tertunduk menatap telapak tangannya yang masih kotor dengan darah. Dadanya terasa sesak ingin berteriak. "Maafkan aku Ava, maafkan aku...." Aaron mengacak rambutnya, ia tidak tahan untuk tidak menangis. Hingga tiba-tiba dari arah lorong
Sore ini Valia berada sorang diri di dalam kamar inapnya, Aaron tengah pergi untuk mengurus sesuatu kondisi genting di kantornya. Valia menegaskan pada Aaron kalau dia akan baik-baik saja sampai Aaron kembali. Gadis itu kini diam menatap kedua kakinya yang kini terasa berat, fakta menyedihkan Valia dengarkan saat dokter mengatakan ia tidak bisa berjalan untuk satu sampai dua bulan ke depan. "Menyedihkan," lirih Valia mendengus pelan memeluk bonekanya. "Lagi-lagi aku harus merepotkan orang lain." Gadis itu mengembuskan napasnya panjang sebelum pintu kamar inapnya tergeser sedikit. Valia pun melebarkan kedua matanya menatap siapa yang ada di luar sana. "Aaron..," panggil Valia, ia menatap sebuah sepatu pantofel yang nampak di depan sana, serta siluet banyak orang berbaju hitam. Detak jantung Valia mulai berpacu, siapa mereka?Pintu kaca buram itu pun terbuka, di sana Valia meremas selimutnya menatap dua laki-laki yang masuk ke dalam ruangannya. "Ohhh... Putri Geraldi," ujar seora
"Ayo makanlah, sekarang aku yang merawatmu. Aaron mungkin sudah mati!" Victor dengan bangganya ia mengatakan hal itu pada Valia. Laki-laki yang kini merasa sangat senang seperti bisa memiliki Valia kembali. Perlahan Victor mengarahkan sendok berisi bubur kacang merah yang masih panas di hadapan Valia, ia cukup tahu kalau gadis ini sangat menyukai makan tersebut. "Ayo makan Valia, kau harus cepat sembuh," ujar Victor menatap wajah Valia yang terdiam menatap kosong. "Apa kau benar-benar ingin selalu di tempat ini? Kau tidak ingin pulang ke rumah kita? Valia..." "Pergi!" Valia menepis tangan Victor hingga sendok yang dia bawa pun terjatuh. Helaan napas berat keluar dari bibir laki-laki itu. Ia menatap kesal pada Valia yang tidak mau menurutinya. Victor berdiri, ia meraih sendok yang terjatuh dan meletakkan di atas nakas. Menggantikan dengan sendok yang bersih. "Makan, aku tidak menerima penolakan apapun!" seru Victor berdesis marah. "Makan!" teriak Victor. "Tidak! Aku tidak ma- E
"Kau berjanji tidak meninggalkan aku lagi, kan?" Valia mengusap pipi Aaron saat laki-laki itu menggendongnya dan mengajaknya keluar dari dalam rumah sakit. Aaron meliriknya dan menggeleng saja, Valia pun menyandarkan kepalanya pada dada bidang Aaron dan menyadari betapa lemahnya ia. "Kita pulang ke Trieste," ujar Aaron. "Heem, aku sangat merindukan Lizer," jawab Valia. "Tidak merindukanku?" Pertanyaan bodoh itu membuat Valia tersenyum dan menggeleng pelan. Mereka pun sudah sampai di luar, Aaron langsung membawa Valia masuk ke dalam mobilnya. Mobil hitam milik Aaron segera melaju meninggalkan rumah sakit. Valia merasa sangat-sangat lega, bersama dengan Aaron, ia merasa terselamatkan dunianya. Di dalam mobil, Aaron menatap Valia yang duduk dipangkuannya. Gadis itu tidak henti-hentinya tersenyum. "Apa tidurmu tidak nyenyak semalam, hem?" tanya Aaron mengusap pipi Valia. "Tidak. Aku tidak bisa tidur, aku tidak makan, dan aku terus menunggumu. Victor bilang kalau dia sudah mengh
Malam gelap kembali menghantui Valia, ia tidak kunjung tidur meskipun Aaron sejak tadi menemaninya. Valia tetap berbaring memeluk bonekanya dan membiarkan pikirannya berkelana. "Tidur Ava, apa yang kau pikirkan, hem?" Aaron meletakkan laptopnya dan ikut berbaring di samping Valia. Gadis itu membalikkan badannya dan menatap wajah Aaron yang tepat berada di depannya. "Apa Ella baik-baik saja?" lirih Valia. "Tentu. Dia akan tinggal di rumah besar keluaga Garnett, dia akan baik-baik saja. Lebih baik pikirkan dirimu sendiri agar kau cepat sembuh, okay?!" Aaron mengecup pipi Valia. Gadis itu tersenyum hangat, ia mengusap pipi Aaron dengan lembut dan kembali tersenyum. "Kau tidak akan jauh-jauh dariku kan, Aaron?" "No. Aku akan meninggalkanmu kalau aku mati." Aaron menjawabnya dengan santai. Valia pun terkekeh. "Kau tidak boleh mati, kan kita belum menikah." Aaron mengubah posisinya menjadi mengurung sisi tubuh Valia. Ditatapnya wajah cantik yang sudah berhari-hari tidak ia peluk.
Satu bulan kemudian...Malam ini Aaron baru saja pulang dari luar kota. Setelah kondisi Valia membaik, Aaron memang memutuskan untuk kembali bekerja. Dan malam ini, kepulangannya setelah lima hari lamanya ia pergi ke luar kota bersama beberapa rekan kerjanya yang lain. Jujur saja, Aaron sangat merindukan Valia dan ingin memeluknya erat-erat malam ini. "Di mana Ava? Kenapa dia tidak menyambut kepulanganku?" Aaron menatap Merina yang baru saja membukakan pintu. "Nona sedang jalan-jalan di ruang samping, Tuan. Nona Ava juga tidak mau saya temani," jawab Merina tersenyum. "Nona sedikit aneh, Tuan. Dia sering murung dan terus mengeluh merindukan Tuan." Aaron pun langsung bergegas, laki-laki itu meletakkan tuxedo hitamnya di sofa dan menatap Merina. "Segeralah kembali ke paviliun!" serunya memerintah."Baik Tuan." Merina berjalan pergi, begitu pula dengan Aaron yang kini langsung bergegas keluar menuju ruangan samping. Langkah kaki Aaron terhenti saat ia melihat sosok Valia yang berd
"Tidak biasanya kepalaku sakit begini, kenapa akhir-akhir ini aku selalu pusing dan tidak enak badan."Valia meluruskan satu lengannya dan meletakkan kepalanya di atas meja besar di paviliun. Baru saja ia membuang bosannya bermain piano, dan banyak hal yang ia coba. Satu tangannya mengusap wajahnya yang berpeluh. Keringat dingin membuat tubuhnya lemas dan tidak bertenaga. "Permisi Nona," sapa pelayan masuk ke dalam sana. Valia menatap wanita itu yang mendekatinya dan membawakan mangkuk berisi buah-buahan."Nona tadi pagi sudah tidak sarapan, setidaknya Nona makan buah-buahan ini. Kalau Tuan tahu, beliau bisa marah," ujar pelayan itu pada Valia. "Aku tidak mau. Bawa saja kembali, aku tidak lapar," jawab Valia menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali meletakkan kepalanya di atas meja "Nona..." "Pegilah! Jangan ganggu aku, pelayan!" pekik Valia malah marah pada pelayan itu.Wanita itu pun langsung menutup pintunya dan meninggalkan Valia sendirian di dalam paviliun megah tersebut.
Rumah makan kecil di tepian dermaga, berhimpitan dengan cafe-cafe jalanan. Tempat ramai dan banyak sekali pengunjung yang berjalan kaki di sana. Aaron menutup hidung dan mulutnya, ia tidak pernah berada di tempat semacam itu. Dirinya sibuk memperhatikan Valia yang begitu acuh dengan situasi. "Enak?" tanya Aaron menatap Valia yang memakan sup rumput laut itu dengan lahap. "Hem, kau mau?" Valia menatapnya berseri-seri. Aaron menggeleng cepat dan kembali menutup hidungnya dengan telapak tangan. Aroma makanan itu sudah membuatnya pening, apa lagi memakannya, mungkin akan lebih parah lagi. "Tumben kau menginkan makan yang seperti ini, hem?" tanya Aaron menyelipkan rambut Valia dengan pelan dan merangkulnya. "Tidak tahu, tiba-tiba ingin. Kau saja yang tidak peka kalau aku ingin makan ini." Valia menatap mangkuknya yang sudah kosong. Aaron mengembuskan napasnya pelan. "Mau lagi? Aku akan memesankan kalau kau mau lagi." "Heem, aku sudah kenyang. Dirasa-rasa setelah kenyang rasanya jad