"Ada pesta penting dari keluarga ternama yang akan segera diselenggarakan di salah hotel Roma, apa Tuan akan mendatangi undangan tersebut?" Merina menuangkan teh melati dalam cangkir milik Aaron. Sedangkan sang Tuan sibuk memangku gadisnya dan menatap apa yang tengah gadisnya itu lakukan kini. "Tu-tuan?" Merina memanggilnya sekali lagi. Aaron mendengus pelan. "Ya, aku akan datang. Kau siapkan gaun yang paling mahal untuk gadisku," ujar Aaron mengusap rambut panjang Valia. Gadis itu terdiam sejenak menghentikan kegiatan merajutnya dan menoleh ke belakang menatap lekat wajah Aaron. "Ka-kau mengajakku ke pesta?" tanya Valia dengan kedua matanya yang melebar sempurna. "Ya, kau mau ikut denganku?" tawar Aaron melingkarkan kedua tangannya di pinggang kecil Valia. Valia pun mengangguk antusias, ia tersenyum hingga kedua matanya menyipit sempurna. Seorang asisten Aaron, yang bertahun-tahun lamanya kerja dengannya, baru kali ini Merina melihat Aaron begitu perhatian dan hangat pada seo
"Eungghhh... Peluk aku erat-erat." Kedua tangan kecil Valia mencengkeram pundak Aaron dengan erat. Embusan napas hangat gadis itu menerpa wajah laki-laki yang mendekapnya. Diusap dengan lembut pipi putih Valia dan Aaron menyatukan keningnya dengan gadis itu. "Kau takut, hem?" bisik Aaron dengan sangat lembut. Valia mengangguk samar. "Heem, aku takut..." Suaranya begitu gemetar. Mantel hitam itu pun dibuka oleh Aaron, laki-laki itu mengembuskan napasnya panjang dan merangkul Valia. Keduanya duduk bersandar, Valia pun masih meringkuk sebelum ia menarik diri dan duduk memeluk kedua lututnya. "Kenapa...," lirih Valia bergetar hebat. Ia menangis kuat tanpa suara. "Kenapa aku bertemu dengannya? Kenapa..." Aaron menoleh. "Ava..." "Di-dia masih sempat memanggilku Sayang, suaranya... Aku benci suaranya! Aku benci wajahnya! Aku benci dia menarik lenganku, AKU BENCI!" pekik Valia marah. Di dalam gudang itu, Valia menangis menggosok lengannya dengan kuat. Ia berharap sentuhan tangan Vic
"Aku akan menandatangani permintaan bantuan saham tiga puluh persen milikku, asal ada satu permintaan yang ingin aku ajukan pada kalian!" Aaron mendorong sebuah berkas bersampul hitam di hadapan Mama dan Papanya. Benar sekali, dalam satu malam, Aaron mampu melumpuhkan perusahaan milik kedua orang tuanya, menjadikan mereka sebagai umpan untuk datang dan meminta bantuannya. "Katakan," seru Petter menatap jeli. Aaron tersenyum smirk. "Aku ingin kalian segera menikahkan Victor dengan seseorang. Baru aku mau menandatangani berkas ini. Karena nantinya, perusahaan ini akan beralih ke tangan Victor, bukan? Bukannya sudah jelas tertulis nama pasangan dan calon pewarisnya nanti!" Senyuman Aaron mengembang seraya memeicing tajam iris biru matanya. Sedangkan kedua orang tuanya begitu terkejut dengan permintaan Aaron. Namun tidak salah bagi Aaron untuk menuntut hal yang memang tertera di sana. "Huuuhhh... Victor masih saja mencari Avalia!" seru Jeselin memejamkan kedua matanya sebal. "Aval
Setelah semua teman-teman Aaron pulang, Valia baru berani keluar dari dalam kamar. Gadis itu menatap banyak sekali gelas dan botol minuman di atas meja. Di sana juga tidak ada siapa-siapa, entah ke mana perginya Aaron. "Hemm... Minuman apa ini? Apa ini bisa membuatku mabuk?" cicit Valia meraih minuman berwarna biru di dalam botol berwarna hijau. Ia menuangnya dan menghirup aroma minuman itu dalam-dalam."Aromanya segar, pasti manis," lirihnya. "Kau bisa mabuk berhari-hari kalau meminum segelas penuh seperti itu, Ava!" Suara Aaron membuat Valia menghentikan kegiatannya. Gadis itu menoleh ke belakang di mana Aaron berdiri di ambang pintu memperhatikan. Valia menatap minuman yang ia bawa dan kembali meletakkannya. "Ini bisa membuatku mabuk?" tanya Valia. "Heem, semua minuman di atas meja ini, tidak ada yang tidak membuatmu mabuk," jawab Aaron tersenyum tipis. Valia langsung memberikan gelas kecil yang berisi minum berwarna merah pada Aaron. "Coba kau minum, apa kau mabuk?" Gad
"Kau harus pergi dari sini, Ava!" Aaron bergegas menyahut mantel hitam miliknya dan memakaikan pada Valia. Gadis itu berdiri di hadapannya dengan pasrah membiarkan Aaron memasangkan mantel hangat di tubuhnya. "Pe-pergi ke mana? Kalau aku pergi... Kau bagaimana? Apa kau juga akan pergi denganku? Aaron..." Valia mencengkeram bagian belakang piyama yang Aaron pakai. Laki-laki itu menoleh menatap Valia dan menggeleng. "Tidak. Pergilah bersama dengan Sergio dan Merina," jawab Aaron. Pupil mata Valia melebar, ia merapat pada Aaron dan menggelengkan kepalanya memeluk laki-laki itu. "Ti-tidak mau!" Valia menggeleng kuat. "Aku hanya akan pergi kalau kau pergi, aku tidak akan mau ke manapun kalau kau masih setia di sini!" "Jangan membantahku, Valia!" sentak Aaron marah.Pintu kamar Aaron terketuk, Aaron pun gegas membuka pintu itu. Di sana berdiri Merina dan Sergio yang menatap Aaron dengan cemas. Aaron menatap Sergio dan menyerahkan sebuah kunci padanya. "Jaga Valia baik-baik, jangan
"Aaarrgghhh... BRENGSEK! Berani sekali kau menidurinya hah?! Berani sekali kau menyentuh Valia, Aaron!" Victor berteriak murka memegangi kepalanya, kedua bola matanya melebar sempurna. Kemarahan merasukinya tanpa jeda. Aaron benar-benar terlihat seperti penjahat yang sebenarnya di sini. Sekali lagi ia tidak peduli, hatinya, jiwanya, dirinya, telah berpihak pada Valia. "Itulah kejujuran yang selama ini aku sembunyikan darimu, Victor!" ujar Aaron berdiri di hadapan sang Kakak. Victor menatapnya sinis, dengan Hans yang memegangi pundak Victor dari belakang karena laki-laki itu begitu terlihat kesakitan. "Kenapa kau melakukan hal ini padaku, Aaron? Kenapa... Kenapa harus Valia?" lirih Victor putus asa. Aaron tersenyum smirk, ia meraih senjata moncong milik Victor yang jatuh. Dengan wajah dinginnya, ia berganti mengarahkan benda itu tepat di depan wajah Victor. Ekspresi datar menyelimuti wajah tampan Aaron. "Kau lebih licik dari yang aku duga. Kau... Kau baik hati padaku karena kau
"Apa kau merindukanku, hem? Ava, buka matamu..." Bisikan lembut menyapa Valia, gadis yang tengah terlelap itu tidak terusik meskipun kecupan mendarat di tiap jengkal wajahnya. Aaron mengembuskan napasnya panjang, usaha membangunkan Valia ternyata gagal. Laki-laki itu memilih berbaring di samping Valia dan menatap langit-langit kamar lamanya. Malam ini, Aaron baru saja datang. Ia merasa tubuhnya sangat lelah, dan begitu pula hatinya sangat merindukan Valia. "Ava..." Aaron kembali memeluk Valia dan mengecupi berulang-ulang pipi gembilnya."Huhh, lepas..." Valia mendorong pipi Aaron sebelum kedua mata sipitnya mulai terbuka. Bagai orang ling-lung, Valia mengerjapkan kedua matanya menatap sosok laki-laki yang ia tunggu seharian ini. Aaron tersenyum miring melihat ekspresi Valia yang begitu terkejut. "A-aaron... I-ini kau?" lirih Valia langsung menyibakkan selimutnya dan duduk menatap Aaron yang masih terbaring dengan santai. "Mungkin bukan," jawab Aaron tersenyum manis, sebelum tu
"Temukan Aaron di manapun dia berada! Bawa ke hadapanku, walaupun hanya mayatnya!" Seruan kejam keluar begitu saja dari bibir Peter, laki-laki itu baru saja melihat kondisi Victor yang mengenaskan. Victor marah besar, segala barang-barangnya hancur ia banting habis-habisan. Karena dirinya tahu kalau Valia bersama Aaron dan entah di sembunyikan di mana. "Aku harap kau tidak lupa kalau dia juga anak kita," seru Jeselin berdiri di depan jendela menatap ke arah luar. "Dia bersama anak Geraldi, Jeselin. Apa kau tahu, aku sangat membenci Geraldi!" seru Peter pada istrinya. "Dan sekarang kau lihat kondisi Victor!" Victor duduk di tepi ranjang menundukkan kepalanya dan tidak berhenti-henti ia mengucapkan nama Valia. Terdengar sangat setia, tapi itu semua nafsu semata. Tidak ada cinta, bersama Valia, ia punya keinginan gila untuk terus mengurung gadis itu, dan membuatnya benar-benar menyanjung Victor setiap detik. "Dia harus kita temukan," ucap Victor, perlahan ia bangkit dari duduknya.