"Kau pasti tahu di mana Valia, kan?! KATAKAN PADAKU, BRENGSEK!" Teriakan keras Victor bersamaan dengannya menarik krah kemeja putih yang Aaron pakai dan mendorongnya hingga nyaris terjatuh. Aaron hanya diam tanpa ekspresi. Ia sudah menduga kalau Victor akan semarah ini padanya, dan Aaron tidak akan peduli padanya. "Untuk apa kau mencari gadis yang selalu kau sakiti, Victor? Apa kau lupa, apa saja yang pernah kau lakukan pada Valia?" Aaron berjalan mendekatinya perlahan. "Bayangkan kalau gadis itu tahu, kematian Papanya disebabkan olehmu. Kau yang diam-diam membeli sahan perusahaan milik Papa Valia dengan cara yang gelap. Dan kau pikir itu semua akan menjadi acuan bagimu, agar Valia tunduk padamu? Nyatanya... Geraldi mati karenamu, dan secara tidak nyata, kau yang menghabisinya!" "Cukup Aaron!" teriak Victor, kali ini ia melayangkan satu bogeman di pipi Aaron dengan cukup kuat. Aaron terhuyung, ia menyeka darah di sudut bibirnya dan tersenyum menyeringai. "Victor, kau sakit buka
Satu bulan kemudian.Sesuatu yang hangat terasa menyelimuti tubuh Valia, gadis itu masih bersembunyi di balik selimut tebal berwarna hitam dan bersarang dalam pelukan Aaron. Waktu berjalan dengan cepat, Valia merasakan Aaron semakin dekat dengannya, meskipun kadang laki-laki itu menunjukkan sikapnya yang aneh dan Valia menjadi serba salah bersamanya. "Eunghhh... Dingin," lirih Valia menarik selimutnya pelan. "Ava..." Aaron kian kuat melilitkan tangannya di pinggang Valia. Kedua mata gadis itu terbuka lebar, ia menatap ke arah luar jendela di mana hujan salju turun pagi ini. Bulan Desember yang sudah Valia nantikan. Dulu, setiap turun salju, Valia akan menghabiskan waktunya bersama sang Papa untuk jalan-jalan di kota. Tapi kali ini tidak lagi. Gadis cantik itu membalikkan badannya dan menatap wajah Aaron yang begitu damai dalam tidurnya. "Kau masih tidur?" Valia mengusap pipi Aaron yang kini mulai ditumbuhi bulu halus. "Ayo keluar, pagi ini turun salju. Ayo..." "Di luar dingin,
"Jelaskan padaku, apa maksudmu kau memberikan obat ini pada Ava, hah?!" Pelayan Merina langsung tersentak begitu Aaron meletakkan sebotol obat di atas meja kayu tepat di hadapan Merina. Dari belakang, Valia berlari mengejar Aaron."Aaron jangan, jangan memarahinya!" pekik Valia, gadis itu menarik lengan Aaron dan menatap pelayan Merina. "Jangan..." "Jawab Merina!" desis Aaron tetap menatap pelayan itu. Merina mengembuskan napasnya berat, ekor matanya melirik Valia yang sangat cemas. "Maaf kalau saya lancang Tuan, hanya saja... Saya tidak mau kalau akan timbul banyak masalah kalau Nona sampai hamil," jawab Merina dengan jujur. "Sampai di sini saja, sudah banyak sekali masalah yang Tuan hadapi. Bagaimana kalau Nona sampai hamil?" Valia terdiam mendengarkan penjelasan Merina, gadis itu melirik Aaron yang mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. "Kau pikir aku-" "Aaron, pelayan Merina benar." Valia menyela cepat dan beralih berdiri di hadapan laki-laki itu. Valia menatapnya dan m
'Kenapa Aaron meninggalkanku di sini? Kenapa... Kenapa, Aaron?' Valia memeluk dirinya sendiri dalam dinginnya malam. Detik demi detik terus berlalu, gadis itu setia duduk meringkuk di sana. Hingga tak berselang lama, sebuah mobil behenti di depan Valia. Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar keluar dari dalam mobil dan berjalan mendekatinya. "Permisi Nona Valia, perkenalan saya Edward. Saya diperintah oleh Tuan Aaron untuk membawa Nona kembali ke Rom-" "Pergilah, aku tidak mau ke mana-mana," ujar Valia menggelengkan kepalanya. "Nona, tapi malam ini salju akan turun lebih tebal, Nona Valia bisa sakit kalau terus di sini..."Valia menangis menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku bilang aku tidak mau! Aku akan tetap di sini menunggu Aaron menjemputku. Pergilah... Pergi! Jangan kembali lagi!" teriak Valia. Laki-laki itu terdiam sesaat, perlahan ia pun mundur menjauh. Mungkin benar dengan apa yang Aaron katakan, kalau sosok seorang Valia memang sangat keras kepala, dia juga gadis yang
"Aaron, jangan beranjak. Tetaplah begini." Kedua tangan kecil Valia melingkar memeluk punggung laki-laki itu. Dengan wajahnya yang bersemu dan memerah merona indah. Laki-laki itu mengembuskan napasnya pelan, ia tersenyum miring sekilas dan mengecup ujung hidung Valia hingga membuat gadis itu terkikik geli. "Kau sangat kecil Ava, kau bisa sesak," ucap Aaron hendak beranjak, lagi-lagi gadis itu menahannya. "Jangan beranjak," lirihnya menarik tengkuk leher laki-laki itu dengan pelan dan ia sandarkan di pundaknya. Aaron pun menuruti apa yang Valia minta, laki-laki itu tidak beranjak dari atas tubuhnya. Meskipun mereka masih berada di sisa-sisa percintaannya. Tidak ada yang membuka suara setelahnya, namun Aaron merasakan usapan lembut jemari Valia di punggungnya yang terasa lembut. "Aku bangun," ucap Aaron menarik tubuhnya. Valia menoleh, ia memperhatikan Aaron yang kini memakai piyamanya. Valia pun bergegas bagun, ia menunjuk ke arah gaun tidurnya di ujung ranjang. "Ambilkan," pi
"Ada pesta penting dari keluarga ternama yang akan segera diselenggarakan di salah hotel Roma, apa Tuan akan mendatangi undangan tersebut?" Merina menuangkan teh melati dalam cangkir milik Aaron. Sedangkan sang Tuan sibuk memangku gadisnya dan menatap apa yang tengah gadisnya itu lakukan kini. "Tu-tuan?" Merina memanggilnya sekali lagi. Aaron mendengus pelan. "Ya, aku akan datang. Kau siapkan gaun yang paling mahal untuk gadisku," ujar Aaron mengusap rambut panjang Valia. Gadis itu terdiam sejenak menghentikan kegiatan merajutnya dan menoleh ke belakang menatap lekat wajah Aaron. "Ka-kau mengajakku ke pesta?" tanya Valia dengan kedua matanya yang melebar sempurna. "Ya, kau mau ikut denganku?" tawar Aaron melingkarkan kedua tangannya di pinggang kecil Valia. Valia pun mengangguk antusias, ia tersenyum hingga kedua matanya menyipit sempurna. Seorang asisten Aaron, yang bertahun-tahun lamanya kerja dengannya, baru kali ini Merina melihat Aaron begitu perhatian dan hangat pada seo
"Eungghhh... Peluk aku erat-erat." Kedua tangan kecil Valia mencengkeram pundak Aaron dengan erat. Embusan napas hangat gadis itu menerpa wajah laki-laki yang mendekapnya. Diusap dengan lembut pipi putih Valia dan Aaron menyatukan keningnya dengan gadis itu. "Kau takut, hem?" bisik Aaron dengan sangat lembut. Valia mengangguk samar. "Heem, aku takut..." Suaranya begitu gemetar. Mantel hitam itu pun dibuka oleh Aaron, laki-laki itu mengembuskan napasnya panjang dan merangkul Valia. Keduanya duduk bersandar, Valia pun masih meringkuk sebelum ia menarik diri dan duduk memeluk kedua lututnya. "Kenapa...," lirih Valia bergetar hebat. Ia menangis kuat tanpa suara. "Kenapa aku bertemu dengannya? Kenapa..." Aaron menoleh. "Ava..." "Di-dia masih sempat memanggilku Sayang, suaranya... Aku benci suaranya! Aku benci wajahnya! Aku benci dia menarik lenganku, AKU BENCI!" pekik Valia marah. Di dalam gudang itu, Valia menangis menggosok lengannya dengan kuat. Ia berharap sentuhan tangan Vic
"Aku akan menandatangani permintaan bantuan saham tiga puluh persen milikku, asal ada satu permintaan yang ingin aku ajukan pada kalian!" Aaron mendorong sebuah berkas bersampul hitam di hadapan Mama dan Papanya. Benar sekali, dalam satu malam, Aaron mampu melumpuhkan perusahaan milik kedua orang tuanya, menjadikan mereka sebagai umpan untuk datang dan meminta bantuannya. "Katakan," seru Petter menatap jeli. Aaron tersenyum smirk. "Aku ingin kalian segera menikahkan Victor dengan seseorang. Baru aku mau menandatangani berkas ini. Karena nantinya, perusahaan ini akan beralih ke tangan Victor, bukan? Bukannya sudah jelas tertulis nama pasangan dan calon pewarisnya nanti!" Senyuman Aaron mengembang seraya memeicing tajam iris biru matanya. Sedangkan kedua orang tuanya begitu terkejut dengan permintaan Aaron. Namun tidak salah bagi Aaron untuk menuntut hal yang memang tertera di sana. "Huuuhhh... Victor masih saja mencari Avalia!" seru Jeselin memejamkan kedua matanya sebal. "Aval