"Keluar dari kamarku, Amora!" Teriakan keras keras Aaron bersamaan pintu kamar itu terbuka. Di sana Valia dan Merina terkejut melihat Aaron berdiri tegap dengan wajah penuh amarah. Sedangkan Amora berdiri di pojokan dengan wajah menyesal. Kini Valia tahu apa yang membuat Aaron marah, Amora berusaha untuk bermalam dengan Aaron, buktinya dia menyisakan pakaian bagian dalamnya saja yang melekat pada tubuhnya. "Nona Amora..." "Lepas!" teriak Amora menyentak tangan Merina. Amora beralih lagi menatap Aaron dengan tatapan yang tidak biasa. Ia mengambil pakaiannya dan kembali memakainya dengan santai. Bibirnya terangkat, Amora tersenyum smirk pada Aaron yang menatapnya penuh kebencian. "Cih! Aaron, pantas saja kedua orang tuamu selalu malas mengaturmu! Mereka bahkan kau mati pun tidak peduli, mereka berdua hanya berpura-pura sayang padamu, agar terlihat baik-baik saja di mata publik, namun aslinya... Kau hanyalah sampah di dalam keluargamu sendiri," seru Amora dengan penuh kekesalan.
Valia tengah berdiri di tepi kolam membawakan handuk dan sebuah bathroube untuk Amora. Wanita itu tidak mau kunjung pergi dan keras kepala ia ingin menetap di mansion Aaron.Kini, Amora menunjuk apapun yang dia inginkan dan Valia lah yang harus mengerjakannya. "Pelayan! Ambilkan minumanku!" perintah Amora menunjuk ke arah meja kecil di mana ada segelas jus jeruk milik Amora di sana. "Ini, Nona," ujar Valia menyerahkan segelas jus itu pada Amora. "Di mana Aaron? Apa kau melihat calon suamiku?" tanya Amora seraya berdiri di tepian kolam. Valia menggelengkan kepalanya. "Tidak Nona. Tapi sepertinya saya melihat Tuan tadi di dalam ruangan kerjanya." Amora memicingkan matanya dengan tatapan tajam dan kesal. Benar-benar ia menatap penuh kebencian pada Valia saat ini. "Jangan dekati Aaron lagi, Ava. Ini perintah!" tegas Amora, kali ini Amora menaraik pelan lengan Valia dan menatap lekat kedua mata Valia. "Kau seorang wanita kan? Kau paham kan, bagaimana rasanya kalau orang yang kau cint
"Tidurlah... Aku akan memelukmu. Kau pasti lelah, kan?" Aaron menjadikan lengan kekarnya sebagai bantal untuk Valia. Gadis itu dengan wajah lemah dan tatapan sayu, ia menatap lekat wajah Aaron.Jemari lentik Valia mengusap wajah Aaron dengan sangat lembut. Valia kembali menyembunyikan wajahnya dalam dekapan Aaron. "Aaron," panggil Valia pelan. "Hem, ada apa, Ava?" Aaron tertunduk menatap Valia yang cemberut ingin menangis. Laki-laki itu tersenyum tipis. "Kenapa, Ava?" "Kau ingin menghabisiku ya?" lirih Valia begitu manja untuk kali pertama pada Aaron. "Kau lihat, ini sudah jam berapa!" Aaron tersenyum. "Lalu? Kau juga tidak menolaknya. Aku lihat tadi kau malah menikmatinya dan... suka," seru Aaron sengaja menggoda Valia. Kedua pipi gadis itu bersemu dan merah padam wajahnya. Valia pun segera menarik selimut dan menutupkan pada sekujur tubuhnya. Memalukan sekali. Valia rasanya ingin menghilang saja kalau ucapan yang Aaron katakan memang benar. "Kau bohong kan, Aaron?" lirih Va
"Kau pasti tahu di mana Valia, kan?! KATAKAN PADAKU, BRENGSEK!" Teriakan keras Victor bersamaan dengannya menarik krah kemeja putih yang Aaron pakai dan mendorongnya hingga nyaris terjatuh. Aaron hanya diam tanpa ekspresi. Ia sudah menduga kalau Victor akan semarah ini padanya, dan Aaron tidak akan peduli padanya. "Untuk apa kau mencari gadis yang selalu kau sakiti, Victor? Apa kau lupa, apa saja yang pernah kau lakukan pada Valia?" Aaron berjalan mendekatinya perlahan. "Bayangkan kalau gadis itu tahu, kematian Papanya disebabkan olehmu. Kau yang diam-diam membeli sahan perusahaan milik Papa Valia dengan cara yang gelap. Dan kau pikir itu semua akan menjadi acuan bagimu, agar Valia tunduk padamu? Nyatanya... Geraldi mati karenamu, dan secara tidak nyata, kau yang menghabisinya!" "Cukup Aaron!" teriak Victor, kali ini ia melayangkan satu bogeman di pipi Aaron dengan cukup kuat. Aaron terhuyung, ia menyeka darah di sudut bibirnya dan tersenyum menyeringai. "Victor, kau sakit buka
Satu bulan kemudian.Sesuatu yang hangat terasa menyelimuti tubuh Valia, gadis itu masih bersembunyi di balik selimut tebal berwarna hitam dan bersarang dalam pelukan Aaron. Waktu berjalan dengan cepat, Valia merasakan Aaron semakin dekat dengannya, meskipun kadang laki-laki itu menunjukkan sikapnya yang aneh dan Valia menjadi serba salah bersamanya. "Eunghhh... Dingin," lirih Valia menarik selimutnya pelan. "Ava..." Aaron kian kuat melilitkan tangannya di pinggang Valia. Kedua mata gadis itu terbuka lebar, ia menatap ke arah luar jendela di mana hujan salju turun pagi ini. Bulan Desember yang sudah Valia nantikan. Dulu, setiap turun salju, Valia akan menghabiskan waktunya bersama sang Papa untuk jalan-jalan di kota. Tapi kali ini tidak lagi. Gadis cantik itu membalikkan badannya dan menatap wajah Aaron yang begitu damai dalam tidurnya. "Kau masih tidur?" Valia mengusap pipi Aaron yang kini mulai ditumbuhi bulu halus. "Ayo keluar, pagi ini turun salju. Ayo..." "Di luar dingin,
"Jelaskan padaku, apa maksudmu kau memberikan obat ini pada Ava, hah?!" Pelayan Merina langsung tersentak begitu Aaron meletakkan sebotol obat di atas meja kayu tepat di hadapan Merina. Dari belakang, Valia berlari mengejar Aaron."Aaron jangan, jangan memarahinya!" pekik Valia, gadis itu menarik lengan Aaron dan menatap pelayan Merina. "Jangan..." "Jawab Merina!" desis Aaron tetap menatap pelayan itu. Merina mengembuskan napasnya berat, ekor matanya melirik Valia yang sangat cemas. "Maaf kalau saya lancang Tuan, hanya saja... Saya tidak mau kalau akan timbul banyak masalah kalau Nona sampai hamil," jawab Merina dengan jujur. "Sampai di sini saja, sudah banyak sekali masalah yang Tuan hadapi. Bagaimana kalau Nona sampai hamil?" Valia terdiam mendengarkan penjelasan Merina, gadis itu melirik Aaron yang mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. "Kau pikir aku-" "Aaron, pelayan Merina benar." Valia menyela cepat dan beralih berdiri di hadapan laki-laki itu. Valia menatapnya dan m
'Kenapa Aaron meninggalkanku di sini? Kenapa... Kenapa, Aaron?' Valia memeluk dirinya sendiri dalam dinginnya malam. Detik demi detik terus berlalu, gadis itu setia duduk meringkuk di sana. Hingga tak berselang lama, sebuah mobil behenti di depan Valia. Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar keluar dari dalam mobil dan berjalan mendekatinya. "Permisi Nona Valia, perkenalan saya Edward. Saya diperintah oleh Tuan Aaron untuk membawa Nona kembali ke Rom-" "Pergilah, aku tidak mau ke mana-mana," ujar Valia menggelengkan kepalanya. "Nona, tapi malam ini salju akan turun lebih tebal, Nona Valia bisa sakit kalau terus di sini..."Valia menangis menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku bilang aku tidak mau! Aku akan tetap di sini menunggu Aaron menjemputku. Pergilah... Pergi! Jangan kembali lagi!" teriak Valia. Laki-laki itu terdiam sesaat, perlahan ia pun mundur menjauh. Mungkin benar dengan apa yang Aaron katakan, kalau sosok seorang Valia memang sangat keras kepala, dia juga gadis yang
"Aaron, jangan beranjak. Tetaplah begini." Kedua tangan kecil Valia melingkar memeluk punggung laki-laki itu. Dengan wajahnya yang bersemu dan memerah merona indah. Laki-laki itu mengembuskan napasnya pelan, ia tersenyum miring sekilas dan mengecup ujung hidung Valia hingga membuat gadis itu terkikik geli. "Kau sangat kecil Ava, kau bisa sesak," ucap Aaron hendak beranjak, lagi-lagi gadis itu menahannya. "Jangan beranjak," lirihnya menarik tengkuk leher laki-laki itu dengan pelan dan ia sandarkan di pundaknya. Aaron pun menuruti apa yang Valia minta, laki-laki itu tidak beranjak dari atas tubuhnya. Meskipun mereka masih berada di sisa-sisa percintaannya. Tidak ada yang membuka suara setelahnya, namun Aaron merasakan usapan lembut jemari Valia di punggungnya yang terasa lembut. "Aku bangun," ucap Aaron menarik tubuhnya. Valia menoleh, ia memperhatikan Aaron yang kini memakai piyamanya. Valia pun bergegas bagun, ia menunjuk ke arah gaun tidurnya di ujung ranjang. "Ambilkan," pi