"Apa Tuan Aaron serius ingin membuat Nona Valia hamil? Tuan tidak mempertimbangkan keputusan Tuan dulu?" Pertanyaan penuh tuntutan dari bibir Merina membuat Aaron mengerutkan keningnya. Laki-laki itu menutup laptopnya dan memperhatikan Merina dengan wajah penuh permohonan. "Tuan, Nona Valia masih sangat muda. Kasihan kalau dia sampai hamil dan-" "Kau pikir aku segila itu, huh?!" seru Aaron dengan nada tinggi. "Hah?" Merina mengerjapkan kedua matanya. Aaron langsung berdiri dan berjalan melewati Merina menuju pintu. "Valia tidak akan hamil Merina, aku tahu kau sudah menganggap gadis itu seperti anakmu sendiri.""Mohon jangan terlalu sering berhubungan dengan Nona, Tuan." Merina berani lancang demi Valia, ia sangat-sangat tidak tega. "Ka-kasihan Nona, saya mohon..." Langakah Aaron seketika terhentu, ia menoleh ke belakang hingga tiba-tiba saja Merina menjatuhkan lututnya pelan dan terduduk. Bekerja belasan tahun dengan Aaron, baru kali ini Merina sampai memohon padanya hanya un
"Aaron, ka-kau menyelamatkanku." Valia mendongak mentap wajah Aaron dan kembali memeluknya. Gadis itu merasa kakinya kini seperti tidak lagi bertulang. Laki-laki itu tetap memeluknya sebelum Aaron menatap lekat wajah Valia, Aaron melihat seberapa takutnya Valia pada Victor. "Kita pulang pergi sekarang...""Jangan! Jangan dulu, dia sedang ada di luar tadi, dia sedang bersama anak buahnya. Tadi... Tadi anak buahnya menemuiku, Aaron." "Ava, ada aku bersamamu. Kau jangan takut, okay?!" Valia terdiam ragu, hingga Aaron kembali membawanya bangun. Laki-laki itu memakaikan kembali jaket biru hangat milik Valia, syal putihnya, dan sarung tangan hangat. Suara isakan tiba-tiba terdengar dari bibir Valia. Gadis itu tengah menatap lekat-lekat wajah Aaron yang kini berdiri di depannya. "Kenapa kau menolongku? Bukannya kau sangat membenciku?" tanya Valia mencengkeram erat mentel yang Aaron pakai. Aaron tersenyum tipis, ia membungkukkan badannya menyamakan tinggi mereka dan mengusap lembut pi
Aaron berjalan masuk ke dalam mansion dengan wajahnya yang babak belur. Sudut bibirnya membiru dan robek, pukulan yang Victor daratkan benar-benar membekas. Begitu laki-laki memasuki mansion, ia terdiam sejenak menatap siapa yang menyambutnya dengan hangat. "Kau dari mana? Kenapa pergi? Aku pulang ke sini diantar Riftan," ujar Valia berjalan cepat ke arahnya dan tersenyum. Namun senyuman Valia perlahan pudar begitu ia melihat luka lebam yang membiru di sudut bibir Aaron. "Aaron..." Valia berjinjit menyentuh sudut bibir itu. "Ka-kau kenapa? Siapa yang melakukan ini padamu?" Aaron menatap lekat manik mata Valia, setelah belasan tahun lamanya. Aaron tidak pernah mendapatkan perhatian sehangat ini dari siapapun apa lagi orang tuanya, tidak pernah disambut kepulangannya, tidak pernah ada yang bertanya apa yang terjadi padanya, tapi kini sosok Valia membuatnya ingin memeluk gadis itu erat-erat. "Tidak papa," jawab Aaron dingin. Laki-laki itu hendak melewati Valia, namun gadis itu men
"Aku akan menginap di sini. Nanti malam aku ingin tidur denganmu, Aaron!" Seruan itu terdengar dari bibir Amora, gadis berambut cokelat panjang yang tengah duduk di sofa memeluknya dengan erat. Namun tidak semanis Amora, Aaron malah menjauhkan tangan gadis itu darinya. "Lepaskan Amora! Apa-apaan kau hah?!" sentak Aaron mendorong gadis itu untuk menjauh."Aaron aku ini calon istrimu!" pekik Amora tak terima. Aaron berdiri dengan erat wajah kesal. "Itu bagimu, tapi tidak bagiku! Setelah ini, kau bisa pulang dan pergi dari sini!" teriak Aaron. Amora langsung bangkit dari duduknya. Sejak bertahun-tahun lamanya, bahkan saat mereka masih kecil, mereka sudah berteman dekat, tapi baru kali ini Aaron menunjukkan sikapnya yang demikian pada Amora."Aku tidak tahu apa yang sudah mempengaruhimu! Tapi kau sangat berubah! Bahkan untuk menganggap keberadaanku pun kau terasa enggan! Kenapa, Aaron?! Kenapa?!" teriak Amora. Aaron memijit pangkal hidungnya dengan pelan, sejauh ini di mansionnya se
"Keluar dari kamarku, Amora!" Teriakan keras keras Aaron bersamaan pintu kamar itu terbuka. Di sana Valia dan Merina terkejut melihat Aaron berdiri tegap dengan wajah penuh amarah. Sedangkan Amora berdiri di pojokan dengan wajah menyesal. Kini Valia tahu apa yang membuat Aaron marah, Amora berusaha untuk bermalam dengan Aaron, buktinya dia menyisakan pakaian bagian dalamnya saja yang melekat pada tubuhnya. "Nona Amora..." "Lepas!" teriak Amora menyentak tangan Merina. Amora beralih lagi menatap Aaron dengan tatapan yang tidak biasa. Ia mengambil pakaiannya dan kembali memakainya dengan santai. Bibirnya terangkat, Amora tersenyum smirk pada Aaron yang menatapnya penuh kebencian. "Cih! Aaron, pantas saja kedua orang tuamu selalu malas mengaturmu! Mereka bahkan kau mati pun tidak peduli, mereka berdua hanya berpura-pura sayang padamu, agar terlihat baik-baik saja di mata publik, namun aslinya... Kau hanyalah sampah di dalam keluargamu sendiri," seru Amora dengan penuh kekesalan.
Valia tengah berdiri di tepi kolam membawakan handuk dan sebuah bathroube untuk Amora. Wanita itu tidak mau kunjung pergi dan keras kepala ia ingin menetap di mansion Aaron.Kini, Amora menunjuk apapun yang dia inginkan dan Valia lah yang harus mengerjakannya. "Pelayan! Ambilkan minumanku!" perintah Amora menunjuk ke arah meja kecil di mana ada segelas jus jeruk milik Amora di sana. "Ini, Nona," ujar Valia menyerahkan segelas jus itu pada Amora. "Di mana Aaron? Apa kau melihat calon suamiku?" tanya Amora seraya berdiri di tepian kolam. Valia menggelengkan kepalanya. "Tidak Nona. Tapi sepertinya saya melihat Tuan tadi di dalam ruangan kerjanya." Amora memicingkan matanya dengan tatapan tajam dan kesal. Benar-benar ia menatap penuh kebencian pada Valia saat ini. "Jangan dekati Aaron lagi, Ava. Ini perintah!" tegas Amora, kali ini Amora menaraik pelan lengan Valia dan menatap lekat kedua mata Valia. "Kau seorang wanita kan? Kau paham kan, bagaimana rasanya kalau orang yang kau cint
"Tidurlah... Aku akan memelukmu. Kau pasti lelah, kan?" Aaron menjadikan lengan kekarnya sebagai bantal untuk Valia. Gadis itu dengan wajah lemah dan tatapan sayu, ia menatap lekat wajah Aaron.Jemari lentik Valia mengusap wajah Aaron dengan sangat lembut. Valia kembali menyembunyikan wajahnya dalam dekapan Aaron. "Aaron," panggil Valia pelan. "Hem, ada apa, Ava?" Aaron tertunduk menatap Valia yang cemberut ingin menangis. Laki-laki itu tersenyum tipis. "Kenapa, Ava?" "Kau ingin menghabisiku ya?" lirih Valia begitu manja untuk kali pertama pada Aaron. "Kau lihat, ini sudah jam berapa!" Aaron tersenyum. "Lalu? Kau juga tidak menolaknya. Aku lihat tadi kau malah menikmatinya dan... suka," seru Aaron sengaja menggoda Valia. Kedua pipi gadis itu bersemu dan merah padam wajahnya. Valia pun segera menarik selimut dan menutupkan pada sekujur tubuhnya. Memalukan sekali. Valia rasanya ingin menghilang saja kalau ucapan yang Aaron katakan memang benar. "Kau bohong kan, Aaron?" lirih Va
"Kau pasti tahu di mana Valia, kan?! KATAKAN PADAKU, BRENGSEK!" Teriakan keras Victor bersamaan dengannya menarik krah kemeja putih yang Aaron pakai dan mendorongnya hingga nyaris terjatuh. Aaron hanya diam tanpa ekspresi. Ia sudah menduga kalau Victor akan semarah ini padanya, dan Aaron tidak akan peduli padanya. "Untuk apa kau mencari gadis yang selalu kau sakiti, Victor? Apa kau lupa, apa saja yang pernah kau lakukan pada Valia?" Aaron berjalan mendekatinya perlahan. "Bayangkan kalau gadis itu tahu, kematian Papanya disebabkan olehmu. Kau yang diam-diam membeli sahan perusahaan milik Papa Valia dengan cara yang gelap. Dan kau pikir itu semua akan menjadi acuan bagimu, agar Valia tunduk padamu? Nyatanya... Geraldi mati karenamu, dan secara tidak nyata, kau yang menghabisinya!" "Cukup Aaron!" teriak Victor, kali ini ia melayangkan satu bogeman di pipi Aaron dengan cukup kuat. Aaron terhuyung, ia menyeka darah di sudut bibirnya dan tersenyum menyeringai. "Victor, kau sakit buka