Setelah pergi jalan-jalan hingga malam, Aaron langsung menggiring Valia masuk ke dalam kamar miliknya. Di sana, Valia yang baru saja masuk ke dalam kamar itu, ia berdiri di depan meja rias dan menatap kotak cincin berwarna merah beludru. Valia hendak menyentuhnya, namun urung. "Cincin milik siapa ini, Aaron?" tanya Valia akhirnya berani meraih kotak cincin di depannya. "Calon istriku," jawab Aaron, namun tiba-tiba ia memeluk Valia dari belakang usai menggati pakaiannya dengan stelan piyama. Valia tersenyum getir. "Ka-kau akan menikah, ya? Kapan?" Gadis itu membalikkan badannya dan tersenyum penuh dusta. "Entahlah, aku dan calon istriku akan bertemu beberapa minggu lagi. Aku akan mengajaknya ke sini." Aaron beringsut berjalan ke arah ranjang. Valia memejamkan kedua matanya perlahan. Sekali lagi dengan berani ia membalikkan badannya menatap Aaron. "Kau sebentar lagi akan menikah, apa artinya aku boleh pergi dari sini?" tanya Valia penuh harap. Aaron terkekeh. "Kau masih bergun
"Kumohon, lepaskan..." Valia mencengkeram selimut hitam di ranjang Aaron dengan kuat. Ia memejamkan kedua matanya dengan sangat erat. "Aaron, kau jahat sekali." Valia membuka kedua matanya dan menangis. "Aaron..." Laki-laki itu nyatanya malah tersenyum, tiba-tiba saja ia mendekati wajah Valia dan mngusap pucuk kepalanya. "Tenanglah," ucap Aaron. Valia menggeleng. "A-aaron... A-aku tidak-" Ucapan Valia lagi-lagi terhenti, kali ini Aaron memeluknya erat. Laki-laki itu tidak bergerak sedikitpun dan ia masih menghargai sekaligus terkejut karena Valia masih suci dan belum pernah tersentuh oleh Victor. Di sana, Aaron mulai menyimpulkan banyak hal dalam benaknya.'Pantas saja Victor sampai gila pada Valia, gadis ini... Dia sangat pintar menjaga diri dan aku... Aku yang berhasil memilikinya untuk kali pertama,' batin Aaron seraya menengkan Valia. Tangisan Valia pun mereda, gadis itu menatapnya sayu dan lemah. "Aaron...""Aku tidak akan berhenti," ujar Aaron membelai pipi Valia dan ma
"Aaron, aku sangat merindukanmu!" Seorang wanita cantik dengan balutan dress merah maron yang berlari keluar dari dalam rumah megah dan berhambur memeluk Aaron dengan sangat erat. Lain dengan Aaron, laki-laki itu malah melepaskan pelukan yang terkesan begitu mengganggunya. "Lepas," ucap Aaron terdengar bagai perintah. "Kenapa? Apa kau tidak merindukan aku?"Wanita cantik berambut cokelat terang itu adalah Amora, dia gadis yang akan menjadi calon istri Aaron. Selain teman kecilnya, Amora juga menjadi salah satu gadis yang pernah dekat dengan Aaron selama ini. Namun sesungguhnya Aaron tidak pernah menyukai Amora. "Aaron, setiap hari aku menemani Mamamu di rumah. Aku bahkan juga menemani Kak Victor, meskipun... Dia mengusirku," ujar gadis itu seraya terkekeh pelan dan berjalan masuk ke dalam rumah megah milik Aaron. "Lepaskan tanganmu, Amora!" Aaron menyentak tangan gadis itu. Amora mengerjapkan kedua matanya, hanya saja ia tidak lagi kaget dengan sifat Aaron yang dingin. Dan A
"Nona Valia diam-diam ternyata sangat peduli pada Tuan, dan terus merindukan Tuan." Aaron menoleh sekilas mendengar suara Merina. Asisten pribadinya itu berdiri di belakang Aaron yang tengah berdiri diam di balkon, tempat favorit Aaron. "Apa dia yang mengatakannya padamu?" tanya Aaron dengan nada pelan. Merina langsung menganggukkan kepalanya. "Benar sekali, Tuan. Nona Valia terus bertanya kapan Tuan akan pulang, dan Nona bilang... Tuan jauh lebih baik dari Tuan Victor." Aaron mengembuskan napasnya berat. Ia melirik Merina yang kini berjalan dan berdiri sejajar dengannya. Wanita itu menemani Aaron sejak Aaron masih duduk di bangku sekolah hingga kini Aaron sudah sangat dewasa. "Saya tahu apa yang Tuan pikikan. Untuk saat ini, melepaskan Nona Valia bukanlah hal yang mudah. Tapi akan memburuk kalau keluarga Tuan tahu semua ini." Merina bersedekap dan menatap air kolam di bawah sana yang berkilat karena cahaya lampu taman. "Victor sudah sembuh, Merina. Dia akan terus mencari Valia
Malam ini berbeda dari malam biasanya, entah kenapa suara di luar sangat menyeramkan. Antara hujan yang sangat-sangat lebar dan angin yang begitu kencang diikuti suara petir yang menyambar-nyambar. Valia yang takut, ia turun dari atas ranjang kamar Aaron. Ia mencari Aaron yang belum ke kamarnya. "Di-di mana Aaron?" lirih Valia mencengkeram erat gaun tidurnya. Gadis itu menyahut mentel tebal berwarna hitam milik Aaron yang berada di sofa dan Valia keluar dari dalam kemar. "Apa dia masih di ruangan kerjanya?" lirih Valia. Buru-buru Valia menuruni anak tangga, di ruang tengah ia melihat sosok Aaron yang duduk seorang diri dengan beberapa berkas yang menumpuk. "Aaron," panggil Valia dari ujung bawah anak tangga. Laki-laki itu mendongak. "Kenapa kau bangun?" Valia langsung berlari dan mendekatinya, gadis itu memeluk lengan Aaron dan kedua matanya menyala-nyala takut. "Kenapa hujannya seperti ini? Suara apa itu, Aaron? Kenapa mengerikan?" Valia menatap wajah tampan Aaron yang kini
"Aku akan pergi ke Roma, ada urusan penting yang harus aku selesaikan!" Aaron bediri menyentuh kedua pundak Valia dan menatapnya dengan tatapan tidak biasa. Padahal ini masih pagi buta. Tapi Aaron sudah mau pergi, dan entah kenapa Valia enggan pula untuk ditinggalkannya. "Kau di sini saja dengan Merina dan yang lainnya akan menjagamu," ujar Aaron dengan wajah serius dan terburu-buru. "Tapi Aaron-""Ava..." Aaron menatapnya dingin dan tajam. Valia cemberut seketika, ia meremas kuat bagian belakang mantel yang Aaron pakai saat ini. Gadis itu memejamkan kedua matanya dan menggeleng-gelengkan kepalanya kuat. "Aku ikut, aku ingin ikut ke Roma," serunya. Aaron melepaskan tangan Valia, tanpa menjawab apapun laki-laki itu langsung keluar dari dalam kamarnya. Pintu kamar tertutup rapat dan Valia kembali dengan rasa kecewa yang menyesak di dalam dadanya. "Kenapa aku tidak boleh ikut?" lirihnya sedih. Sementara di lantai satu, Aaron menatap Sergio yang berjalan ke arahnya diikuti Meri
Sepeninggal Valia dan Aaron dari tempat sang Mama angkat. Benar sekali dugaan Aaron kalau di tempat Helen kedatangan seseorang. Seorang Victor Peter Alieston yang datang mencari Valia. Laki-laki tampan itu berjalan masuk ke dalam di mana Helen sudah menduga-duga, untung saja Aaron dan Valia pergi lebih awal. "Tuan Victor," ucap Helen terpana melihat laki-laki itu yang kini sedikit kurus. "A-apa kabar? Apa yang membuat Tuan datang ke sini?" Victor menarik bangku dan duduk di hadapan Helen seraya menatap lekat wanita itu. "Di mana Valia?" tanya Victor, ia nampak mencari-cari."Valia... Valia sudah pergi sekitar satu bulan yang lalu. Dia pergi dari rumah dan saya tidak tahu ke mana dia pergi, Tuan," ujar Helen, tentu saja ia berdusta. Victor mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. "Kau membohongiku kan, Nyonya Helen?" "Tidak Tuan. Saya tidak berbohong sama sekali dan-" "Bagaimana kau tidak membohongiku, aku tahu dan aku kenal siapa Valia! Dia tidak mungkin pergi seorang diri, d
"Avalia, kau milikku malam ini..." Suara berat dari bibir Aaron membuat Valia semakin tidak berdaya dalam rengkuhannya. Valia tidak menyangka, malam ini akan menjadi malam yang indah dan panas. Setelah beberapa menit panjang berlalu, pelukan dibalas pelukan, kecupan dibalas kecupan, kini Akhirnya Aaron memeluknya dengan napas mereka yang beradu.Laki-laki itu menarik selimut dan menutupkan pada tubuh polos mereka. "Aku lelah," lirih Valia dengan mata sayu yang berat. "Tidurlah," bisik Aaron mengusap wajah Valia. Mengusap keringat tipis di pelipis hingga pipi Valia. "Apa aku kelewatan, hem?" Valia menggelengkan kepalanya. "Ja-jangan lakukan lagi, aku ingin tidur," pinta Valia lemah. Aaron mengangguk. "Istirahatlah, Ava." Sudah tidak kuat lagi Valia membuka mata, ia meringkuk bagai anak kecil mencari kehangatan dalam pelukan Aaron. Laki-laki itu merasa dadanya bagai ditekan kuat-kuat. Kenapa ia bisa segila ini? Tidak ia sangka, Valia benar-benar candu yang sebenarnya ia idamkan.
Pemandangan yang indah saat Valia menatap anak dan menantunya tengah menikmati hari yang indah di taman mansion pagi ini. Waktu berjalan dengan cepat, Valia percaya dengan adanya cinta sejati dan ia tidak salah menempatkan hatinya sejak awal pada orang yang mau menjadi sandarannya hingga kini. "Sedang apa, Sayang?" sapa Aaron mendekati Valia. "Hem, tidak ada. Senang sekali melihat mereka, dan tempat ini...." Valia mendongak menatap seisi mansion yang tidak berubah sama sekali. Tempat itu sangat terawat dan juga bersih bahkan beberapa barang-barang yang dulu Valia tinggalkan masih di tempat. Betapa membekas kuat semua kepingan-kepingan ingatannya dari kisah cinta hingga kebenciannya kepada Aaron yang kini sudah tertutup rapat. "Tempat ini masih khas dengan segala hal yang menyangkut kita," ujar Aaron menatap Valia dan memeluknya. "Dan aku merasa bahagia bisa menua bersamamu." Valia tidak yakin mendengar apa yang suaminya katakan barusan, tapi ia merasa tersentuh begitu Aaron men
Trieste, Italia. Seperti masa kecil Mamanya, shopie terlihat sangat heboh saat dia telah sampai di Trieste. Tepatnya di mansion milik sang Opa. Bangunan super megah yang dikelilingi pemandangan laut yang indah. Tidak ada yang berubah di sana, Layla dan Nathaniel juga sangat menikmati keindahan tempat itu. "Wahh... Bagus sekali, kenapa aku dulu tidak betah tinggal di sini Ma? Padahal bagus sekali!" Layla memeluk lengan Valia dan mereka berjalan di teras samping samping mansion."Entah karena apa dulu, mungkin karena kita kasihan pada Kakek," jawab Valia. Ia tidak mau mengingatkan masa lalu yang cukup buruk pada Layla. Nathaniel bersama Aaron di depan sana, laki-laki itu menggendong Shopie yang sudah bingung ingin pergi mengelilingi mansion. Sementara Valia masih bersama dengan Layla. Valia merasa ada sesuatu yang menyentuh hati terdalamnya, tempat ini mempunyai ribuan kisah Valia dan Aaron, dari benci, marah, ambisi, obsesi, hingga cinta yang sangat tulus. Sosok Aaron yang sama
Lima Tahun Kemudian..."Shopie! Jangan lari-lari nanti jatuh..." Suara teriakan keras itu berasal dari bibir Layla yang berdiri di dalam rumah memperhatikan putri kecilnya yang terlihat begitu kesenangan. Shopie Tan Ferdherat, gadis cantik yang memiliki wajah sangat mirip dengan Mamanya. Dia juga sangat keras kepala seperti Papanya, dan Sopie anak yang manja, seperti Mamanya. "Mi, katanya nanti malam mau pergi sama Opa dan Oma, ayo... Sopie bantu-bantu Mami!" seru anak itu lompat-lompat kesenangan. "Iya, tapi nanti dulu, Sayang... Sekarang Shopie naik ke atas yuk, jangan lari-larian di bawah. Mami mau ke atas." Layla mengulurkan tangannya pada Shopie. Anak itu pun seketika mengangguk antusias, mereka berdua langsung berjalan ke lantai atas dan Sophie berjinjit membuka pintu kamarnya. Di dalam sana, anak itu menatap Papanya yang masih tertidur dengan santai dan nyenyak. Shopie tersenyum tipis, ia berjalan perlahan-lahan naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Papanya. "Papi... Ay
"Mama dan Papa akan sering-sering ke sini untuk memantau Layla, karena Papa perhatikan akhir-akhir ini kau sangat sibuk sampai sering meninggalkan istrimu sendiri yang di rumah." Aaron mengatakan hal itu kepada menantunya, dan tentu saja nontonnya langsung mengangguk setuju disadarinya ia memang tidak pernah ada waktu untuk Layla. Bukan berarti Nathaniel merasa leluasa, ia juga berusaha mencari celah di mana ia bisa meliburkan diri dan menjaga Layla seperti suami-suami di luar rencana pada umumnya. "Iya Pa, aku juga mencari waktu yang tepat untuk libur. Aku terus kepikiran dan tidak bisa fokus saat bekerja," ujar Nathaniel. "Harusnya di saat usia kandungan istrimu sudah tua seperti ini kau libur rumah karena bayi lahir itu tidak tahu kapan dan juga sulit untuk diprediksi," jelas Aaron pada Nathaniel. Nathaniel diam dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh Papa mertuanya, ia sadar kalau dirinya memang keliru. Aaron juga orang yang sangat gila kerja, sama seperti dirinya tapi beda
"Kalian ini... Apa tidak bisa ditunda sampai besok pagi, hah?!" Nathaniel marah saat masuk ke dalam ruangannya, di dalam sana semua rekannya sudah menunggu. Laki-laki itu meletakkan dengan kasar kunci mobilnya di atas meja, karena ia sudah menduga kalau di rumah Layla pasti marah padanya. "Ya bagaimana lagi?!" sahut Regar frustrasi. "Huhh... Sialan kalian, jadi jadwal kemarin itu salah?!" Nathaniel menatap mereka semua. "Salah!" jawab keempat orang itu kompak. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Nathaniel. Saat itu juga ia langsung duduk di kursinya dan mulai membuka laptopnya dan segera menyelesaikan pekerjaannya. Namun tetap saja Nathaniel tidak bisa tenang memikirkan Layla yang ia tinggalkan di rumah sendirian. Laki-laki itu pun mengambil ponselnya dan ia menghubungi Papa mertuanya karena hanya Aaron yang bisa membantunya saat ini. "Halo Pa, Pa aku boleh minta tolong, tidak?" pinta Nathaniel. "Hem, ada apa jam segini kok menelepon Papa? Apa terjadi sesuatu pada Layl
Beberapa Bulan Kemudian...Kandungan Layla sudah memasuki tujuh bulan. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat dan Layla menjalani hari-harinya dengan sangat bahagia besama suaminya. Nathaniel, menjadi suami super posesif dan selalu memantau Layla dari segala kondisi, bahkan mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. "Layla ke mana, Bi?"Suara Nathaniel di ruang tamu sore ini membuat Layla langsung menoleh, gadis itu tengah beduaan dengan Jeremy di dalam ruangan keluarga. Seketika Layla meminta Jeremy menutup pintu ruangan itu. Sehari saja, Layla ingin suaminya itu tidak terlalu posesif, Layla pusing dengan sifat Nathaniel yang sangat menyebalkan. "Sudah Kak," ujar Jeremy seraya terkikik geli anak itu berjalan mendekati Layla seraya membawa roti sus miliknya. "Sini-sini, duduk di samping Kakak. Biar saja Kak Nathan teriak-teriak di luar, Kakak pusing sekali dengannya," keluh Layla mendongakkan kepalanya. "Tapi kata Mami Valia, kalau dicereweti Papi Aaron, tandanya Papi Aaron i
Setelah acara pernikahan, Layla dan Nathaniel pulang ke rumah mereka sendiri. Nathaniel adalah laki-laki mapan yang sudah mempersiapkan segalanya sebelum menikah. Ada dua pembantu di rumahnya yang akan mengerjakan pekerjaaan rumah dan membantu Layla. Dan Nathaniel memberikan rumah itu pada Layla untuk hadiah pernikahan mereka. "Rumahnya bagus sekali," cicit Layla seraya menoleh dan menatap wajah tampan Nathaniel. "Kau suka?" Nathaniel mengusap pucuk kepala Layla. Layla pun mengangguk dengan mantap. "Sangat! Ini rumah paling bagus yang pernah Layla lihat. Seperti istana kalau dilihat dari luar, ada kerucutnya di atas sana!" seru Layla tersenyum. "Ya, memang desain awalnya aku buat seprti itu, agar tidak ada yang menyamainya." Layla hanya mengangguk saja, dan ia berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tangga melengkung dan lebar, lantai mengkilat dari marmer berwarna cream, dan beberapa pilar besar di dalam ruangan, serta lampu kristal besar yang menggantung di langit-lan
Pernikahan yang dimimpikan selama ini oleh Layla benar-benar terlaksana. Dalam hitungan detik demi detik pernikahan mereka sudah resmi.Dan begitu pula yang dirasakan oleh Nathaniel. Memiliki Layla seutuhnya dan ke mana-mana bisa ia jaga dan ia bawa, adalah cita-cita Nathan sejak dia masih kecil. Layla dan Nathaniel kini tengah sibuk dengan para tamu, tak lain adalah para teman-teman Nathaniel, karena Layla sendiri tidak memiliki teman. "Selamat ya kalian berdua, wahhh... Kapan ya aku nyusul?" seru Vargo menepuk pundak Nathaniel. "Mulutnya!" sinis Caley merangkul dan memukul punggung Vargo hingga laki-laki dengan tuxedo abu-abu itu tertawa. "Ya... Siapa tahu saja yang kedua kalinya." Vargo menjawab dengan sangat santai. Seketika Nathaniel terkekeh, ia menggenggam tangan Layla dan mengecupnya dengan lembut. "Jangan mendengarkan Sayang, mereka ini laki-laki gila!" sinis Nathaniel seraya menatap aneh pada semua temannya. "Iya, mereka lucu," ujar Layla. Layla merasakan ia seperti
Hari yang dinanti-nanti oleh Layla dan Nathaniel esok pagi akan terlaksana. Mereka semua keluarga kini berada di sebuah hotel milik keluarga Ferdherat. Hotel bintang lima yang berada di tengah-tengah kota Berlin. Laila Tengah berada di dalam kamarnya bersama Sarah, Caroline, Rosalia dan juga Valia. Keluarga Jazvier yang datang jauh-jauh hanya ingin melihat Layla menikah dengan Nathaniel. "Tidak terasa kita sudah tua ya Sarah, Cucu kita besok sudah mau menikah," ujar Caroline pada Sarah. "Iya, aku merasa seperti kemarin kita mengasuh anak-anak, tapi sekarang mereka sudah menikah saja. Ini waktu yang terlalu cepat atau apanya yang salah?" gumam Sarah seraya duduk bersandar. Valia bersama Rosalia duduk di atas ranjang bersama Layla yang berbaring bersama Jeremy. "Sepertinya tidak ada yang salah, Nenek saja yang menolak tua," sahut Jeremy tiba-tiba, anak itu sangat cerdas. Mendengar apa yang dikatakan bocah itu sontak membuat semua orang di dalam ruangan tersebut langsung tertawa.