"Tidak akan ada yang membebaskan aku dari tempat ini. Aku berharap ada yang menolongku."
Valia berucap sedih. Kedua matanya menatap jauh lautan lepas yang telihat sangat gelap si subuh hari.Sejak dua jam yang lalu, lebih tepatnya pukul tiga dini hari Valia terbangun dan keluar dari dalam kamar milik Aaron."Aku ingin pulang," lirih Valia duduk memeluk kedua lututnya. "Aku tidak mau hidup berlama-lama di sini."Saat Valia menangis, tiba-tiba saja sesuatu mengendus dan menjilati pipinya dengan sangat lembut.Sontak Valia mengangkat wajahnya, ia terjingkat kaget mendapati siapa yang mendekatinya."Astaga!" teriaknya terkejut. "Li-lizer, apa yang kau lakukan?"Valia mengembuskan napasnya pelan mendapati anjing Siberian Husky yang ternyata menjilati wajah cantinya.Sejenak Valia menatap wajah lucu hewan itu sebelum ia tersenyum. Jemari Valia terangkat mengusap bulu-bulu lembut kepala anjing itu."Kenapa kau tidak tidur, Lizer? Ini masih petang. Udaranya sangat dingin di sini," ujar Valia menatap anjing itu. "Kau tahu Lizer, aku ingin pulang. Aku tidak betah berada di sini, aku ingin pergi."Valia tertunduk memeluk kepala besar anjing Siberian Husky yang diam saja tanpa ada perlawanan.Sementara di dalam mansion.Aaron yang baru saja terbangun, ia kebingungan tidak mendapati Valia di sampingnya. Padahal semalam mereka berdua tertidur bersama.Seketika Aaron beranjak dari atas ranjang, ia membuka gorden kamar dan melihat hari masih petang."Sial! Ke mana dia?!" umpat Aaron kebingungan dengan sendirinya.Laki-laki itu keluar dari dalam kamarnya dengan cepat. Aaaron melangkah mendekati kamar Valia, dibuka pintu kamar itu dan kosong.Kedua tangan Aaron mengepal kuat-kuat. Di dalam mansion pun kini masih gelap karena semua penerangan memang dimatikan."Valia, tidak mungkin dia kabur," ucap Aaron, kesal dan bingungnya sudah bukan main.Aaron berjalan ke lantai satu. Ia mendapati pintu samping mansion itu sedikit terbuka.Perlahan-lahan Aaron melangkahkan kakinya. Angin dingin berhembus cukup kencang menyapanya."Aku ingin pulang... Kenapa semua orang sangat jahat padaku, Lizer? Kenapa? Bahkan Mama tiriku juga melakukan hal sejahat ini padaku, kenapa..."Suara isak tangis terdengar di telinga Aaron. Langkahnya perlahan mendekati sebuah pilar besar di samping anak tangga teras menuju taman.Di sana ia melihat Valia terduduk memeluk Lizer, peliharaannya yang terkenal cukup galak, tapi sepertinya hewan itu cukup menyukai Valia."Apa kau ingin aku kurung lagi?!"Valia menghentikan tangisannya, ia memeluk erat leher Lizer. Gelengan kepala menjadi jawaban atas pertanyaan Aaron.Laki-laki itu bersedekap di belakang Valia dan mengembuskan napasnya berat."Kau sangat merepotkan, Valia!" kesal Aaron."Aku tidak memintamu mencariku, apa kau takut kalau aku pergi dari sini?" Valia mendongakkan kepalanya menatap Aaron."Jangankan keluar dari tempat ini, ke ujung dunia pun kau akan tetap aku temukan!" ketus Aaron masih bersedekap angkuh menunduk menatap Valia."Kau sangat jahat padaku," lirih Valia."Ya, itulah takdir yang harus kau terima." Aaron mengulurkan tangannya dan menarik lengan Valia untuk berdiri.Terpaksa Valia berdiri, ia pun sudah pasrah begitu Aaron mengurung sisi tubuhnya.Tatapan mata tajam menelisik wajah sedih Valia yang tidak peduli."Apa kau lupa dengan apa yang pernah kau lakukan, Valia?" bisik Aaron lirih di telinga Valia.Valia beralih menatapnya dan menggeleng. "Aku tidak pernah melakukan apapun.""Munafik. Kau adalah gadis yang licik yang diberkahi wajah polos!" ujar Aaron mundur perlahan-lahan."Aku tidak munafik. Aku juga tidak licik," jawab Valia menggelengkan kepalanya dengan air matanya yang kembali menetes.Aaron tersenyum tipis membalikkan badannya. Laki-laki itu sudah diselimuti rasa kesal tiap melihat Valia menangis.Ia melangkah menaiki beberapa anak tangga hendak meninggalkan Valia."Aaron," panggil Valia pelan.Langkah Aaron pun terhenti, namun laki-laki itu tidak membalikkan badannya."Katakan padaku kalau aku punya salah padamu. Di mana salahku, apa kau punya dendam dengan keluargaku? Katakan, Aaron?" Valia menatap punggung tegap laki-laki itu dengan air matanya yang terus berlinang.Nyatanya Aaron tidak menjawab dan tetap melanjutkan langkahnya.Valia menggeram kesal, ia menghentak-hentakkan kakinya dan kembali duduk menangis menjambak-jambak rambut panjangnya dengan kedua tangannya sendiri."Kenapa aku takdirku buruk sekali? Kenapa? Aaarrgghhh... Menyebalkan!"**Sebuah mobil masuk ke dalam pekarangan mansion megah milik Aaron. Dari dalam, turun seorang laki-laki tampan berbalut stelan formal dengan langkah tegas.Laki-laki itu berjalan di lorong sayap kiri mansion dan nampak mencari-cari. Sebelum akhirnya tatapannya bertemu dengan Valia yang tanpa sengaja membuka pintu samping."Astaga..." Valia memekik, pintu itu nyaris mengenai sosok tampan di hadapannya.Kedua mata laki-laki itu menyipit menatap Valia, ia sedikit mencondongkan badannya.Begitu pula Valia yang mundur dan menghindar."Siapa kau, hah? Kenapa aku tidak pernah melihatmu?" tanya laki-laki itu.Valia meremas tali merah panjang yang berujung mengikat leher anjing Siberian Husky milik Aaron."A-aku Valia... Aku-""Oh, aku tahu. Kau pasti gadis yang dibawa Aaron, bukan?" tanya laki-laki itu tersenyum tipis dan mengusap pucuk kepalanya. "Hai cantik, perkenalkan, aku Sam. Sahabat dekatnya Aaron.""Ba-bagaimana kau tahu? Apa kau bisa membantuku pulang dari sini?" tanya Valia, wajahnya berubah antusias saat laki-laki di depannya ini terkesan ramah.Sam menyeringai sekilas. 'Bagaimana bisa Aaron menyembunyikan gadis cantik dan polos di dalam mansion ini?! Sialan sekali dia tidak mau berbagi denganku!' batin laki-laki itu."Tolonglah," lirih Valia, kali ini ia memegang lengan Sam dengan tatapan penuh permohonan.Dehemen terdengar dari bibir lelaki itu. Ia mengangguk kecil dan mendekatkan wajahnya di hadapan Valia, ia meletakkan telapak tangannya di atas pucuk kepala Valia."Tentu saja.""Hah, yang benar?!" pekik Valia berbinar-binar.Sam diam menatap kedua mata indah Valia, hidungnya kecil mancung, pipi putih memerah yang bulat dan bibir tipis merah muda alami.Namun tiba-tiba saja tubuh Valia limbuh dan jatuh dalam pelukan seseorang. Seketika Valia mendongak, ia memekik menutup mulutnya."Jangan menyentuh apa yang sudah menjadi milikku!" seru Aaron menatap penuh permusuhan pada Sam."Oh... Santai saja, brother! Aku hanya berkenalan dan tidak ada niatan lain," jawab Sam tertawa pelan."Kau pikir aku bodoh, hah?!" Aaron memberang kesal.Valia menunduk menatap satu lengan Aaron yang melingkar posesif di pinggangnya. Dan satu tangan Valia mencekal punggung tangan Aaron."Jangan marahi dia, aku... Aku yang salah," cicit Valia mendongak menatap Aaron.Iris biru itu menusuk tajam, Aaron memperhatikan Sam yang kini berlagak baik-baik saja."Sergio!" panggil Aaron pada anak buahnya."Iya Tuan," jawabnya."Bawa gadis ini dan kunci di dia kamarnya! Jangan biarkan ada satu orang pun yang melihat Valia!" seru Aaron dengan sinis, namun tatapannya masih pada Sam.Sergio pun mengangguk. "Baik Tuan."Valia mengembuskan napasnya pelan, tangannya melepaskan lengan Aaron yang memeluknya.Gadis itu naik ke atas bersama Sergio dan anjing Siberian Husky yang membuntuti Valia."Ah gila, kenapa kau tidak bilang padaku kalau kau punya gadis secantik dia, Aaron?!" seru Sam mengusap wajahnya."Lalu, apa maumu?!" Aaron duduk bersedekap angkuh.Seketika Sam tersenyum. "Berikan padaku kalau kau sudah bosan dengannya. Atau... Aku bisa membelinya dua kali lipat kau mendapatkan dia, deal?"Aaron menyeringai kejam, ia menegakkan tubuhnya dan menarik cepat krah tuxedo hitam yang Sam pakai.Tatapan matanya tajam penuh perhitungan. "Sekali aku lihat kau menyentuhnya, aku akan mencabut nyawamu, Sam! Tidak peduli siapapun kau! Camkan itu!""Brengsek!" Teriakan keras lolos dari bibir Aaron. Kepalan tangan meninju kuat meja kayu di depannya. Rasa ingin marah meluap-luap dari hatinya. Sergio yang berdiri di dekat pintu pun hanya diam tertunduk melihat kemarahan Tuan Mudanya yang tidak bisa dihentikan. "Beraninya dia menginginkan Valia secara terang-terangan," desis Aaron dengan rahang mengetat. "Sam memang belum pernah melihat Nona Valia, Tuan," ujar Sergio menyahuti. Aaron tersenyum smirk. "Berkata menginginkan Valia, adalah kebodohan. Dia tidak akan mengira kalau sampai mati pun aku tidak akan melepaskan Valia, semudah itu!" desis Aaron dengan napas naik turun. Aaron tertunduk, menahan pikirannya yang dipenuhi kekesalan pada Sam, sahabat karibnya yang berani menawar Valia untuk dimiliki."Apa kau masih mengurung Valia?" tanya Aaron lirih. "Masih Tuan." Seketika Aaron keluar dari dalam ruangan kerjanya setelah tempat itu berantakan karena luapan emosi Aaron. Ia melangkah menuju kamar Valia di lantai dua. Begitu p
Pemandangan yang sangat langka saat bangun tidur terdapat wajah tampan di hadapan Valia. Pahatan wajah tampan bak dewa Yunani, dia yang begitu sempurna. Valia meringkuk segera memunggunginya. Sampai ia tersadar sesuatu menahannya untuk tidak menjaga jarak. "Apa ini," lirih Valia tak bersuara. Ia menyibak selimut yang menutupinya dan melihat lengan kekar Aaron yang melilit di pinggangnya dengan erat dan posesif. Valia terdiam sejenak. 'Aaron memelukku? Setelah semalam dia marah-marah dan mengatakan hal yang menyakitkan, sekarang dia memelukku dengan sangat erat.' Perlahan-lahan Valia mulai mencoba melepaskan pelukan itu sebelum ia malah merasa tertarik dengan erat. "Mau ke mana, Valia?" Suara serak Aaron menghentikan gerakan Valia. "Ini sudah pagi," jawab Valia menatap jendela besar yang sengaja tidak ia tutup. Aaron mengerang pelan, namun kali ini ia kembali menarik pinggang Valia lagi lebih erat. "Aaron..." Valia mulai tak nyaman. "Diamlah." Aaron masih memejamkan kedua ma
Valia berdiri di depan pintu kamar Aaron yang sedikit terbuka, ia meremas jemarinya mengintip ke dalam sana. Entah kenapa, Valia harus melakukan hal ini. Padahal malam ini ia punya misi untuk kabur dan pergi menjauh sejauh-jauhnya dari Aaron. "Sedang apa berdiri di sana? Kemarilah." Valia menelan salivanya. Langkah kecilnya berjalan membawa Valia masuk ke dalam kamar itu. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, Valia memperhatikan Aaron yang tengah bercermin dengan pakaian rapi. "Ada apa, Valia? Kenapa kau mengintipku? Apa kau ingin tidur di kamarku lagi, huh?" tanya laki-laki itu seraya memakai jam tangan mahalnya. "Emm... Tidak, tapi kalau aku boleh tahu, kau mau ke mana?" tanya Valia dengan polosnya. Aktivitas Aaron pun terhenti, selama ini di dalam hidupnya tidak ada yang bertanya ia mau ke mana, sedang apa, dan tidak ada yang peduli. Aaron menoleh, tiba-tiba bibirnya tersenyum miring menatap Valia dengan balutan gaun tidur merah muda bermotifkan bunga dan berlangan panjang.
"Aku akan tetap membawamu kembali ke sini Valia, dan aku menghabisi si brengsek Samuel!" Aaron mengepalkan kedua tangannya dengan sangat kuat. Kini ia berdiri dalam kamar Valia. Ia pulang untuk memastikan, dan menunggu kabar dari Nick yang melacak Valia dan Sam. Laki-laki itu merasa terbakar seluruh amarahnya. Amarahnya pada Samuel tidak dapat ia tahan-tahan. "Valia..." Aaron menggeram kesal. "Aaarrgghhh! Brengsek! Bisa gagal semua rencanaku!" Teriaknya keras-keras, ia menyapukan tangannya di meja rias hingga semua barang-barang di atas sana menjadi berantakan dan berjatuhan."Sialan kau, Valia!" teriak Aaron memukul meja kayu itu. "Permisi Tuan," sapa Sergio berdiri di ambang pintu. "Apa Nick sudah memberi kabar, di mana Valia?!" Aaron menoleh ke arah anak buahnya tersebut. Laki-laki itu mengangguk. "Sudah Tuan." Seketika Aaron berdiri tegap menyahut kembali mantel hangatnya dan gegas keluar dari dalam kamar."Ikut denganku, Sergio!" "Baik Tuan." Mereka berdua keluar dari d
"Eungghh, aku di mana?" Valia membuka kedua matanya perlahan, kepalanya terasa pening karena terlalu banyak menangis. Gadis itu terdiam menatap langit-langit kamar mengingat kejadian semalam. Ia pun kembali meringkuk sedih, bayangan semalam kalau Aaron tidak menemukannya, mungkin Valia akan hilang. Dan kejadian ini, ia berfirasat kalau Aaron pasti akan marah. "Aaron," lirih Valia terdiam sejenak memejamkan kedua matanya. "Semalam dia datang menyelamatkan aku dan memelukku semalaman penuh." Valia merengut bimbang. "Sebenarnya, dia peduli atau membenciku? Kenapa dia sangat aneh?" Tidak mau berlama-lama, perlahan Valia bangkit dari tidurnya sebelum selimut hitam yang pakai menutupi tubuhnya jatuh melorot dan menunjukkan tubuhnya tanpa balutan dress semalam. "Astaga!" pekik Valia nyaris menjerit. Valia terkejut saat sadar ia hanya mengenakan kain tipis berlengan spaghetti yang terbuat dari kain yang tembus pandang. "Ke-kemana bajuku?! Kenapa hanya tersisa dalaman ini?! Bajuku...
"Bagaimana pun juga, kau harus kembali ke Milan. Kondisi Kakakmu sekarang cukup parah, Aaron." Seruan itu terdengar seperti perintah. Riftan, sahabatnya yang kini datang ke kediaman Aaron untuk menyampaikan hal itu. Aaron terlihat putus asa, ia mengacak rambutnya dan menyandarkan kepalanya di punggung sofa. "Apa Hans yang mengatakan ini padamu?" tanya Aaron. "Heem. Orang tuamu sudah menghubungimu, tapi kau tidak menjawabnya. Dan mereka ingin mnerikan kabar tentang Kakakmu." Senyuman getir mengiringi perasaan perih yang Aaron rasakan. Aaron sangat menyayangi Kakak laki-lakinya, di saat kedua orang tuanya tidak peduli padanya, namun Kakaknya selalu peduli dan memberikannya banyak perhatian. Namun sekitar dua tahun yang lalu, sang Kakak mendapatkan sebuah masalah hingga membuat mentalnya jatuh dan penyakit jantung yang dia derita kembali kambuh. "Tidak usah terlalu kau pikirkan, Kakakmu akan baik-baik saja." Riftan berdiri dan menepuk pundak Aaron. "Harusnya dia tidak merasakan i
Jam menunjukkan pukul tepat tengah malam, Aaron terlihat sangat terburu-buru ia menyahut mantel hangatnya dan berjalan keluar kamar. Langkahnya dengan refleks mengantarkan laki-laki itu menuju kamar Valia. Dibuka pelan pintu kayu di hadapannya, sosok Valia mengangkat wajahnya dengan tatapan terkejut. "Aaron," lirih Valia, gadis itu meletakkan sebuah jam pasir yang tadinya ia tatapi. "Aku akan pergi untuk beberapa hari, kau jangan coba-coba keluar atau bertemu dengan siapapun! Kau paham!"Valia mendongak menatap wajah tegas Aaron. Laki-laki itu berdiri di sisi ranjang menatapnya dengan tajam, namun terlintas mustahil Aaron tidak perhatian padanya. "Apa kau akan pergi lama?" tanya Valia menyibak selimutnya dan duduk di tepi ranjang. Seringai tipis terbit di sudit bibir Aaron. Ia membungkukkan badannya dan mensejajarkan wajahnya dengan Valia. "Mungkin. Kenapa? Apa kau takut merindukanku?" Aaron menepuk gemas pipi Valia. Wajah Valia terasa sangat panas, ia menggeleng cepat menghin
"Sudah satu minggu Aaron belum pulang, apa dia pergi ke luar negeri, Merisa?" Pertanyaan itu terucap dari bibir Valia pada pelayan yang tengah menyisir rambut panjangnya. Pelayan itu pun hanya mengangguk saja dan bergumam pelan. Begitu pun Valia juga sudah langsung paham. "Mungkin Tuan Aaron membahas seputar bisnisnya, Nona. Tuan adalah seorang presdir ternama, akan sangat sibuk beliau dengan semua pekerjaannya," jelas Merina pada sang Nona. Merina memajukan tubuhnya sejajar dengan wajah Valia dari samping dan tersenyum manis menatap pantulan cermin. "Emm, apa Nona Valia merindukan Tuan Aaron?" tanya Merina sedikit berbisik. Kedua mata Valia pun melebar mendengarnya, pipinya memerah bersemu dan dengan kuekeh ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ti... Tidak, aku tidak merindukannya.""Heum, Nona Valia berbohong. Buktinya pipi Nona Valia memerah." Merina terus menggoda Valia hingga gadis itu cemberut kesal. "Tidak Merina, hiihhh kau ini." Valia kesal Merina tertawa pelan dan teru
Pemandangan yang indah saat Valia menatap anak dan menantunya tengah menikmati hari yang indah di taman mansion pagi ini. Waktu berjalan dengan cepat, Valia percaya dengan adanya cinta sejati dan ia tidak salah menempatkan hatinya sejak awal pada orang yang mau menjadi sandarannya hingga kini. "Sedang apa, Sayang?" sapa Aaron mendekati Valia. "Hem, tidak ada. Senang sekali melihat mereka, dan tempat ini...." Valia mendongak menatap seisi mansion yang tidak berubah sama sekali. Tempat itu sangat terawat dan juga bersih bahkan beberapa barang-barang yang dulu Valia tinggalkan masih di tempat. Betapa membekas kuat semua kepingan-kepingan ingatannya dari kisah cinta hingga kebenciannya kepada Aaron yang kini sudah tertutup rapat. "Tempat ini masih khas dengan segala hal yang menyangkut kita," ujar Aaron menatap Valia dan memeluknya. "Dan aku merasa bahagia bisa menua bersamamu." Valia tidak yakin mendengar apa yang suaminya katakan barusan, tapi ia merasa tersentuh begitu Aaron men
Trieste, Italia. Seperti masa kecil Mamanya, shopie terlihat sangat heboh saat dia telah sampai di Trieste. Tepatnya di mansion milik sang Opa. Bangunan super megah yang dikelilingi pemandangan laut yang indah. Tidak ada yang berubah di sana, Layla dan Nathaniel juga sangat menikmati keindahan tempat itu. "Wahh... Bagus sekali, kenapa aku dulu tidak betah tinggal di sini Ma? Padahal bagus sekali!" Layla memeluk lengan Valia dan mereka berjalan di teras samping samping mansion."Entah karena apa dulu, mungkin karena kita kasihan pada Kakek," jawab Valia. Ia tidak mau mengingatkan masa lalu yang cukup buruk pada Layla. Nathaniel bersama Aaron di depan sana, laki-laki itu menggendong Shopie yang sudah bingung ingin pergi mengelilingi mansion. Sementara Valia masih bersama dengan Layla. Valia merasa ada sesuatu yang menyentuh hati terdalamnya, tempat ini mempunyai ribuan kisah Valia dan Aaron, dari benci, marah, ambisi, obsesi, hingga cinta yang sangat tulus. Sosok Aaron yang sama
Lima Tahun Kemudian..."Shopie! Jangan lari-lari nanti jatuh..." Suara teriakan keras itu berasal dari bibir Layla yang berdiri di dalam rumah memperhatikan putri kecilnya yang terlihat begitu kesenangan. Shopie Tan Ferdherat, gadis cantik yang memiliki wajah sangat mirip dengan Mamanya. Dia juga sangat keras kepala seperti Papanya, dan Sopie anak yang manja, seperti Mamanya. "Mi, katanya nanti malam mau pergi sama Opa dan Oma, ayo... Sopie bantu-bantu Mami!" seru anak itu lompat-lompat kesenangan. "Iya, tapi nanti dulu, Sayang... Sekarang Shopie naik ke atas yuk, jangan lari-larian di bawah. Mami mau ke atas." Layla mengulurkan tangannya pada Shopie. Anak itu pun seketika mengangguk antusias, mereka berdua langsung berjalan ke lantai atas dan Sophie berjinjit membuka pintu kamarnya. Di dalam sana, anak itu menatap Papanya yang masih tertidur dengan santai dan nyenyak. Shopie tersenyum tipis, ia berjalan perlahan-lahan naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Papanya. "Papi... Ay
"Mama dan Papa akan sering-sering ke sini untuk memantau Layla, karena Papa perhatikan akhir-akhir ini kau sangat sibuk sampai sering meninggalkan istrimu sendiri yang di rumah." Aaron mengatakan hal itu kepada menantunya, dan tentu saja nontonnya langsung mengangguk setuju disadarinya ia memang tidak pernah ada waktu untuk Layla. Bukan berarti Nathaniel merasa leluasa, ia juga berusaha mencari celah di mana ia bisa meliburkan diri dan menjaga Layla seperti suami-suami di luar rencana pada umumnya. "Iya Pa, aku juga mencari waktu yang tepat untuk libur. Aku terus kepikiran dan tidak bisa fokus saat bekerja," ujar Nathaniel. "Harusnya di saat usia kandungan istrimu sudah tua seperti ini kau libur rumah karena bayi lahir itu tidak tahu kapan dan juga sulit untuk diprediksi," jelas Aaron pada Nathaniel. Nathaniel diam dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh Papa mertuanya, ia sadar kalau dirinya memang keliru. Aaron juga orang yang sangat gila kerja, sama seperti dirinya tapi beda
"Kalian ini... Apa tidak bisa ditunda sampai besok pagi, hah?!" Nathaniel marah saat masuk ke dalam ruangannya, di dalam sana semua rekannya sudah menunggu. Laki-laki itu meletakkan dengan kasar kunci mobilnya di atas meja, karena ia sudah menduga kalau di rumah Layla pasti marah padanya. "Ya bagaimana lagi?!" sahut Regar frustrasi. "Huhh... Sialan kalian, jadi jadwal kemarin itu salah?!" Nathaniel menatap mereka semua. "Salah!" jawab keempat orang itu kompak. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Nathaniel. Saat itu juga ia langsung duduk di kursinya dan mulai membuka laptopnya dan segera menyelesaikan pekerjaannya. Namun tetap saja Nathaniel tidak bisa tenang memikirkan Layla yang ia tinggalkan di rumah sendirian. Laki-laki itu pun mengambil ponselnya dan ia menghubungi Papa mertuanya karena hanya Aaron yang bisa membantunya saat ini. "Halo Pa, Pa aku boleh minta tolong, tidak?" pinta Nathaniel. "Hem, ada apa jam segini kok menelepon Papa? Apa terjadi sesuatu pada Layl
Beberapa Bulan Kemudian...Kandungan Layla sudah memasuki tujuh bulan. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat dan Layla menjalani hari-harinya dengan sangat bahagia besama suaminya. Nathaniel, menjadi suami super posesif dan selalu memantau Layla dari segala kondisi, bahkan mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. "Layla ke mana, Bi?"Suara Nathaniel di ruang tamu sore ini membuat Layla langsung menoleh, gadis itu tengah beduaan dengan Jeremy di dalam ruangan keluarga. Seketika Layla meminta Jeremy menutup pintu ruangan itu. Sehari saja, Layla ingin suaminya itu tidak terlalu posesif, Layla pusing dengan sifat Nathaniel yang sangat menyebalkan. "Sudah Kak," ujar Jeremy seraya terkikik geli anak itu berjalan mendekati Layla seraya membawa roti sus miliknya. "Sini-sini, duduk di samping Kakak. Biar saja Kak Nathan teriak-teriak di luar, Kakak pusing sekali dengannya," keluh Layla mendongakkan kepalanya. "Tapi kata Mami Valia, kalau dicereweti Papi Aaron, tandanya Papi Aaron i
Setelah acara pernikahan, Layla dan Nathaniel pulang ke rumah mereka sendiri. Nathaniel adalah laki-laki mapan yang sudah mempersiapkan segalanya sebelum menikah. Ada dua pembantu di rumahnya yang akan mengerjakan pekerjaaan rumah dan membantu Layla. Dan Nathaniel memberikan rumah itu pada Layla untuk hadiah pernikahan mereka. "Rumahnya bagus sekali," cicit Layla seraya menoleh dan menatap wajah tampan Nathaniel. "Kau suka?" Nathaniel mengusap pucuk kepala Layla. Layla pun mengangguk dengan mantap. "Sangat! Ini rumah paling bagus yang pernah Layla lihat. Seperti istana kalau dilihat dari luar, ada kerucutnya di atas sana!" seru Layla tersenyum. "Ya, memang desain awalnya aku buat seprti itu, agar tidak ada yang menyamainya." Layla hanya mengangguk saja, dan ia berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tangga melengkung dan lebar, lantai mengkilat dari marmer berwarna cream, dan beberapa pilar besar di dalam ruangan, serta lampu kristal besar yang menggantung di langit-lan
Pernikahan yang dimimpikan selama ini oleh Layla benar-benar terlaksana. Dalam hitungan detik demi detik pernikahan mereka sudah resmi.Dan begitu pula yang dirasakan oleh Nathaniel. Memiliki Layla seutuhnya dan ke mana-mana bisa ia jaga dan ia bawa, adalah cita-cita Nathan sejak dia masih kecil. Layla dan Nathaniel kini tengah sibuk dengan para tamu, tak lain adalah para teman-teman Nathaniel, karena Layla sendiri tidak memiliki teman. "Selamat ya kalian berdua, wahhh... Kapan ya aku nyusul?" seru Vargo menepuk pundak Nathaniel. "Mulutnya!" sinis Caley merangkul dan memukul punggung Vargo hingga laki-laki dengan tuxedo abu-abu itu tertawa. "Ya... Siapa tahu saja yang kedua kalinya." Vargo menjawab dengan sangat santai. Seketika Nathaniel terkekeh, ia menggenggam tangan Layla dan mengecupnya dengan lembut. "Jangan mendengarkan Sayang, mereka ini laki-laki gila!" sinis Nathaniel seraya menatap aneh pada semua temannya. "Iya, mereka lucu," ujar Layla. Layla merasakan ia seperti
Hari yang dinanti-nanti oleh Layla dan Nathaniel esok pagi akan terlaksana. Mereka semua keluarga kini berada di sebuah hotel milik keluarga Ferdherat. Hotel bintang lima yang berada di tengah-tengah kota Berlin. Laila Tengah berada di dalam kamarnya bersama Sarah, Caroline, Rosalia dan juga Valia. Keluarga Jazvier yang datang jauh-jauh hanya ingin melihat Layla menikah dengan Nathaniel. "Tidak terasa kita sudah tua ya Sarah, Cucu kita besok sudah mau menikah," ujar Caroline pada Sarah. "Iya, aku merasa seperti kemarin kita mengasuh anak-anak, tapi sekarang mereka sudah menikah saja. Ini waktu yang terlalu cepat atau apanya yang salah?" gumam Sarah seraya duduk bersandar. Valia bersama Rosalia duduk di atas ranjang bersama Layla yang berbaring bersama Jeremy. "Sepertinya tidak ada yang salah, Nenek saja yang menolak tua," sahut Jeremy tiba-tiba, anak itu sangat cerdas. Mendengar apa yang dikatakan bocah itu sontak membuat semua orang di dalam ruangan tersebut langsung tertawa.