"Kenapa hari cepat sekali berubah gelap, aku harus bagaimana malam ini?"
Valia bersembunyi di balik selimut tebalnya memeluk bantal dengan erat. Perasaannya sangat resah gelisah tak bisa tenang.Aaron mengatakan padanya malam ini ingin ia puaskan. Valia merasa bingung dan ingin rasanya ia menghilang dengan cepat."Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mau memuaskan Aaron, aku tidak mau tidur dengannya... Tidak mau!" Valia memukuli kepalanya dengan rengekan frustrasi.Di tengah ia meracau, tiba-tiba saja Valia tersentak saat seseorang menyentuh punggungnya di balik selimut.Sontak Valia menyibakkan selimut itu dan mendongak menatap siapa yang berada di kamarnya."Pe-pelayan Merina!" Valia menatap sedih wanita itu dengan napas yang naik turun."Nona kenapa?" Pelayan Merina menyentuh kening Valia. "Nona masih pusing ya?"Valia menggeleng pelan. "Aku pikir tadi Aaron yang menyentuh punggungku," lirih Valia cemberut.Kekehan gemas terdengar dari bibir Merina. "Tuan Aaron sedang bersama Sergio di bawah. Tadi beliau meminta saya mengantarkan baju tidur ini untuk Nona."Ekor mata Valia melirik baju tidur yang Merina bawakan. Valia menggelengkan kepalanya menolak.Wajah yang lesu membuat Merina duduk di hadapan Valia. Wanita itu tahu betapa tidak tenangnya Valia hidup bersama dengan Aaron."Nona Valia kenapa?" Merina merapikan rambut panjang sang Nona."Aaron memintaku untuk tidur bersamanya malam ini, Pelayan Merina. Tapi aku tidak mau, aku bukan wanita murahan yang bisa memuaskannya."Air mata Valia menetes deras. Suara tangisannya yang terdengar pilu sedih."Nona Valia masih kurang enak badan. Nona harus berterus terang pada Tuan," ujar Merina mengambil sesuatu di balik saku bajunya."Tapi dia kan galak, dia pasti memaksaku sesuka hati karena dia mengerikan. Pasti dia juga akan-"Ocehan Valia terhenti saat Pelayan Merina merekatkan sebuah plaster di kening Valia, ia juga tersenyum dengan hangat."Nona Valia masih sakit, tubuh Nona masih sedikit panas. Biar saya bicara mengenai pada Tuan," ujarnya."Pelayan Merina serius? Ti-tidak bohong, kan?"Merina beranjak dari duduknya. "Semoga Tuan mau mendengarkan saya ya, Nona."Valia mengangguk, rasa tenang kembali Valia rasakan perlahan-lahan. Ia tetap duduk di atas ranjang menatap pelayan Merina keluar dari dalam kamarnya.Pandangannya mengedar seisi kamar, bayangan hal yang tidak-tidak bisa Aaron lakukan kapan saja. Valia tetap tidak bisa merasa lega."Apa aku pindah kamar?" Kedua matanya mengerjap pelan. "Aku harus berjaga-jaga, mungkin aku bersembunyi darinya!"Seketika Valia menyibak selimut dan turun dari atas ranjang. Dibukanya pintu kamar, menelisik situasi selasar lantai dua yang sepi.Valia berjalan menyusuri tempat itu. Di sana sangat banyak ruangan dan sebagian tidak terkunci dari luar, itulah yang Valia tahu dari Pelayan Merina."Sepertinya kamar ini aman," lirih Valia memperhatikan sekitar.Ia berdiri di depan sebuah kamar yang berada di ujung. Valia membuka pintu kamar itu perlahan dan segera masuk ke dalam sana."Kamar yang bagus," ujar Valia tersenyum lebar. "Aroma kamar yang segar."Gadis itu berjalan ke arah ranjang dengan sprai hitam menutupi hamparan ranjang. Seketika Valia menghempaskan tubuhnya di atas sana dan gegas menarik selimut.Sebelum beranjak tidur, Valia menangkup sat pipinya. "Aku demam, badanku panas, hem..." Valia menatap nanar lukisan kuda di dinding kamar."Semoga saja Pelayan Merina berhasil membujuk Aaron. Kali ini tolonglah, Ya Tuhan."**"Bagaimana kondisi gadis itu, Merina?"Aaron berucap dingin saat tahu Merina masuk ke dalam ruangannya.Pelayan itu mendekat dan menundukkan penuh hormat.Di depan sana, sang Tuan Muda duduk menyilangkan satu kakinya seraya membuka beberapa dokumen-dokumen penting."Nona Valia masih demam, Tuan. Saya sudah memberikan penurun panas. Dan, apa benar kalau malam ini Tuan-" "Ya, itu urusanku dengan peliharaanku," sela Aaron, ia beralih menatap Merina. "Kau tidak perlu mencemaskan dia."Aaron pun beranjak berdiri tegap, iris birunya menatap tajam pada pelayan wanita yang memberikan ekspresi cemas.Laki-laki itu melangkahkan kakinya dan tidak mengatakan apapun lagi pada Merina."T-tuan Aaron," lirih Merina memanggilnya lagi.Langkah Aaron seketika terhenti. "Tidak ada yang herhak atas dia selain aku, Pelayan Merina!"Kembali Aaron melangkah keluar dari dalam ruangan pribadinya. Ia berjalan menaiki anak tangga menuju ke kamar miliknya di lantai dua.Aaron membuka pintu kamar, berjalan masuk seraya melepaskan tuxedo hitam yang ia pakai. Namun tiba-tiba perhatiannya teralihkan dengan seorang gadis yang tidur pulas di atas ranjangnya."Apa yang dia lakukan di sini?" lirih Aaron menyipitkan kedua matanya. "Dia mencoba bersembunyi? Malah masuk ke kamarku? Cih..."Aaron sejenak mengabaikan gadis itu, gegas ia berjalan masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan tubuhnya yang terasa lelah.Sedangkan Valia yang mulanya tertidur lena, kini terganggu saat merasakan udara menjadi lebih dingin. Belum lagi suara gemericik air terdengar di telinganya."Huh, suaranya..." Valia langsung bangun dan terkejut.Kepalanya terasa sangat pening, Valia memukul-mukul pelan. "Aduh kepalaku, pusing sekali. Padahal aku sudah meminum obatnya, tapi kenapa masih sakit?""Penyusup kamarku, kau sudah bangun rupanya!"Suara bariton dingin menusuk gendang telinga Valia. Gadis itu cepat menoleh ke sumber suara, menatap siapa yang berdiri di sana.Aaron. Laki-laki berparas tampan itu berdiri di ambang pintu kamar mandi dengan kimono hitam yang membungkus tubuh kekarnya.Kini ia mulai melangkah mendekat."Berani sekali kau masuk ke dalam kamarku, Valia?" Aaron bersedekap sombong."Ti-tidak seperti itu, aku tidak sengaja." Valia menarik selimut dan menggelengkan kepalanya cepat."Lalu, apa yang kau lakukan di dalam kamarku, huh?" Aaron berdiri membungkukkan di hadapan Valia.Gadis itu mengutuk dirinya sendiri, tubuhnya gemetar hebat dan wajahnya terasa sangat panas. Padahal kini dirinya masih duduk di atas ranjang milik Aaron."Aku minta maaf, aku akan pergi sekarang."Valia hendak menuruni ranjang, namun Aaron menahan lengannya dan membuat Valia tidak bergerak."Apa seperti ini caranya penyusup meminta maaf, huh?" bisik Aaron, wajahnya berada lima senti di depan Valia."Aku sudah bilang padamu, aku tidak sengaja. Kamarku... Kamarku dingin sekali. Jadi aku tidak sengaja masuk ke dalam kamar ini, Demi Tuhan aku tidak tahu kalau ini kamarmu dan-""Siapa yang sudah masuk ke dalam kamarku, tidak akan bisa keluar."Kedua mata Valia melebar. Ia mundur perlahan saat Aaron naik ke atas ranjang. Jemari tangannya meremas sprai dengan kuat, wajah cantiknya yang ketakutan membuat laki-laki itu tersenyum menang.Aaron berhasil mengungkung tubuh kecil Valia. Gadis itu langsung memejamkan kedua matanya erat saat tubuhnya sudah terpenjara."Aku masih demam, kau tahu," lirih Valia meringkuk melindungi dirinya. "Jangan melakukan apapun padaku, apa kau pikir aku wanita murahan, hah?""Jangan munafik, Valia. Wanita bekas sepertimu tidak perlu jual mahal di depanku!""Be-bekas, apa maksudmu?" Air muka Valia dipenuhi keterkejutan.Aaron tertawa hambar, ia semakin mengurung tubuh mungil Valia tanpa jarak. Hingga napas gadis itu terasa menerpa di kulit wajahnya."Gadis sepertimu bukannya selalu melemparkan tubuh ke semua lelaki, hem?" Aaron menyeringai.Mati-matian Valia menahan air mata yang sedari tadi berdesakan ingin tumpah dari pelupuk mata.Isakan terdengar dari bibir tipis Valia mendengar kata-kata menjijikkan yang Aaron katakan. Satu, dua, tiga pukulan ia daratkan di pundak Aaron."Kurang ajar, kau sangat kurang ajar, Aaron!" pekik Valia menangis menampari wajah Aaron. "Jahat! Kau laki-laki jahat!"Pukulan dan tamparan tangan Valia sungguh tak terasa bagi Aaron. Hingga ia tidak bereaksi apapun, selain merasa terhibur dengan wajah lucu Valia saat menangis dan marah.Aaron pun tersenyum tipis, tangannya mendarat di pucuk kepala Valia dan mengusaknya."Tidurlah. Kalau kau terus menangis, aku bisa memaksamu memuaskanku!"Seketika Valia menarik selimut menutup sekujur tubuhnya. Ancaman Aaron berhasil membuat suara tangisnya terhenti."Kenapa kau selalu merendahkan aku, Aaron?" lirih Valia merasakan Aaron duduk di sampingnya.Tubuh Valia pun kembali bergetar saat sebuah lengan melingkar di pinggangnya. Aaron memeluknya erat dari belakang.Laki-laki itu mendekatkan wajah tampannya di sisi wajah Valia."Di hadapanku, kau tidak ada harganya, Valia. Malam ini aku mengampunimu, tapi tidak dengan esok.""Esok?" cicit Valia kesal.Aaron kian mendekapnya erat. Sangat-sangat erat."Ya, jangan harap kau bisa turun dari atas ranjang ini, Amore.""Tidak akan ada yang membebaskan aku dari tempat ini. Aku berharap ada yang menolongku."Valia berucap sedih. Kedua matanya menatap jauh lautan lepas yang telihat sangat gelap si subuh hari. Sejak dua jam yang lalu, lebih tepatnya pukul tiga dini hari Valia terbangun dan keluar dari dalam kamar milik Aaron. "Aku ingin pulang," lirih Valia duduk memeluk kedua lututnya. "Aku tidak mau hidup berlama-lama di sini." Saat Valia menangis, tiba-tiba saja sesuatu mengendus dan menjilati pipinya dengan sangat lembut. Sontak Valia mengangkat wajahnya, ia terjingkat kaget mendapati siapa yang mendekatinya. "Astaga!" teriaknya terkejut. "Li-lizer, apa yang kau lakukan?" Valia mengembuskan napasnya pelan mendapati anjing Siberian Husky yang ternyata menjilati wajah cantinya. Sejenak Valia menatap wajah lucu hewan itu sebelum ia tersenyum. Jemari Valia terangkat mengusap bulu-bulu lembut kepala anjing itu. "Kenapa kau tidak tidur, Lizer? Ini masih petang. Udaranya sangat dingin di sini," uja
"Brengsek!" Teriakan keras lolos dari bibir Aaron. Kepalan tangan meninju kuat meja kayu di depannya. Rasa ingin marah meluap-luap dari hatinya. Sergio yang berdiri di dekat pintu pun hanya diam tertunduk melihat kemarahan Tuan Mudanya yang tidak bisa dihentikan. "Beraninya dia menginginkan Valia secara terang-terangan," desis Aaron dengan rahang mengetat. "Sam memang belum pernah melihat Nona Valia, Tuan," ujar Sergio menyahuti. Aaron tersenyum smirk. "Berkata menginginkan Valia, adalah kebodohan. Dia tidak akan mengira kalau sampai mati pun aku tidak akan melepaskan Valia, semudah itu!" desis Aaron dengan napas naik turun. Aaron tertunduk, menahan pikirannya yang dipenuhi kekesalan pada Sam, sahabat karibnya yang berani menawar Valia untuk dimiliki."Apa kau masih mengurung Valia?" tanya Aaron lirih. "Masih Tuan." Seketika Aaron keluar dari dalam ruangan kerjanya setelah tempat itu berantakan karena luapan emosi Aaron. Ia melangkah menuju kamar Valia di lantai dua. Begitu p
Pemandangan yang sangat langka saat bangun tidur terdapat wajah tampan di hadapan Valia. Pahatan wajah tampan bak dewa Yunani, dia yang begitu sempurna. Valia meringkuk segera memunggunginya. Sampai ia tersadar sesuatu menahannya untuk tidak menjaga jarak. "Apa ini," lirih Valia tak bersuara. Ia menyibak selimut yang menutupinya dan melihat lengan kekar Aaron yang melilit di pinggangnya dengan erat dan posesif. Valia terdiam sejenak. 'Aaron memelukku? Setelah semalam dia marah-marah dan mengatakan hal yang menyakitkan, sekarang dia memelukku dengan sangat erat.' Perlahan-lahan Valia mulai mencoba melepaskan pelukan itu sebelum ia malah merasa tertarik dengan erat. "Mau ke mana, Valia?" Suara serak Aaron menghentikan gerakan Valia. "Ini sudah pagi," jawab Valia menatap jendela besar yang sengaja tidak ia tutup. Aaron mengerang pelan, namun kali ini ia kembali menarik pinggang Valia lagi lebih erat. "Aaron..." Valia mulai tak nyaman. "Diamlah." Aaron masih memejamkan kedua ma
Valia berdiri di depan pintu kamar Aaron yang sedikit terbuka, ia meremas jemarinya mengintip ke dalam sana. Entah kenapa, Valia harus melakukan hal ini. Padahal malam ini ia punya misi untuk kabur dan pergi menjauh sejauh-jauhnya dari Aaron. "Sedang apa berdiri di sana? Kemarilah." Valia menelan salivanya. Langkah kecilnya berjalan membawa Valia masuk ke dalam kamar itu. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, Valia memperhatikan Aaron yang tengah bercermin dengan pakaian rapi. "Ada apa, Valia? Kenapa kau mengintipku? Apa kau ingin tidur di kamarku lagi, huh?" tanya laki-laki itu seraya memakai jam tangan mahalnya. "Emm... Tidak, tapi kalau aku boleh tahu, kau mau ke mana?" tanya Valia dengan polosnya. Aktivitas Aaron pun terhenti, selama ini di dalam hidupnya tidak ada yang bertanya ia mau ke mana, sedang apa, dan tidak ada yang peduli. Aaron menoleh, tiba-tiba bibirnya tersenyum miring menatap Valia dengan balutan gaun tidur merah muda bermotifkan bunga dan berlangan panjang.
"Aku akan tetap membawamu kembali ke sini Valia, dan aku menghabisi si brengsek Samuel!" Aaron mengepalkan kedua tangannya dengan sangat kuat. Kini ia berdiri dalam kamar Valia. Ia pulang untuk memastikan, dan menunggu kabar dari Nick yang melacak Valia dan Sam. Laki-laki itu merasa terbakar seluruh amarahnya. Amarahnya pada Samuel tidak dapat ia tahan-tahan. "Valia..." Aaron menggeram kesal. "Aaarrgghhh! Brengsek! Bisa gagal semua rencanaku!" Teriaknya keras-keras, ia menyapukan tangannya di meja rias hingga semua barang-barang di atas sana menjadi berantakan dan berjatuhan."Sialan kau, Valia!" teriak Aaron memukul meja kayu itu. "Permisi Tuan," sapa Sergio berdiri di ambang pintu. "Apa Nick sudah memberi kabar, di mana Valia?!" Aaron menoleh ke arah anak buahnya tersebut. Laki-laki itu mengangguk. "Sudah Tuan." Seketika Aaron berdiri tegap menyahut kembali mantel hangatnya dan gegas keluar dari dalam kamar."Ikut denganku, Sergio!" "Baik Tuan." Mereka berdua keluar dari d
"Eungghh, aku di mana?" Valia membuka kedua matanya perlahan, kepalanya terasa pening karena terlalu banyak menangis. Gadis itu terdiam menatap langit-langit kamar mengingat kejadian semalam. Ia pun kembali meringkuk sedih, bayangan semalam kalau Aaron tidak menemukannya, mungkin Valia akan hilang. Dan kejadian ini, ia berfirasat kalau Aaron pasti akan marah. "Aaron," lirih Valia terdiam sejenak memejamkan kedua matanya. "Semalam dia datang menyelamatkan aku dan memelukku semalaman penuh." Valia merengut bimbang. "Sebenarnya, dia peduli atau membenciku? Kenapa dia sangat aneh?" Tidak mau berlama-lama, perlahan Valia bangkit dari tidurnya sebelum selimut hitam yang pakai menutupi tubuhnya jatuh melorot dan menunjukkan tubuhnya tanpa balutan dress semalam. "Astaga!" pekik Valia nyaris menjerit. Valia terkejut saat sadar ia hanya mengenakan kain tipis berlengan spaghetti yang terbuat dari kain yang tembus pandang. "Ke-kemana bajuku?! Kenapa hanya tersisa dalaman ini?! Bajuku...
"Bagaimana pun juga, kau harus kembali ke Milan. Kondisi Kakakmu sekarang cukup parah, Aaron." Seruan itu terdengar seperti perintah. Riftan, sahabatnya yang kini datang ke kediaman Aaron untuk menyampaikan hal itu. Aaron terlihat putus asa, ia mengacak rambutnya dan menyandarkan kepalanya di punggung sofa. "Apa Hans yang mengatakan ini padamu?" tanya Aaron. "Heem. Orang tuamu sudah menghubungimu, tapi kau tidak menjawabnya. Dan mereka ingin mnerikan kabar tentang Kakakmu." Senyuman getir mengiringi perasaan perih yang Aaron rasakan. Aaron sangat menyayangi Kakak laki-lakinya, di saat kedua orang tuanya tidak peduli padanya, namun Kakaknya selalu peduli dan memberikannya banyak perhatian. Namun sekitar dua tahun yang lalu, sang Kakak mendapatkan sebuah masalah hingga membuat mentalnya jatuh dan penyakit jantung yang dia derita kembali kambuh. "Tidak usah terlalu kau pikirkan, Kakakmu akan baik-baik saja." Riftan berdiri dan menepuk pundak Aaron. "Harusnya dia tidak merasakan i
Jam menunjukkan pukul tepat tengah malam, Aaron terlihat sangat terburu-buru ia menyahut mantel hangatnya dan berjalan keluar kamar. Langkahnya dengan refleks mengantarkan laki-laki itu menuju kamar Valia. Dibuka pelan pintu kayu di hadapannya, sosok Valia mengangkat wajahnya dengan tatapan terkejut. "Aaron," lirih Valia, gadis itu meletakkan sebuah jam pasir yang tadinya ia tatapi. "Aku akan pergi untuk beberapa hari, kau jangan coba-coba keluar atau bertemu dengan siapapun! Kau paham!"Valia mendongak menatap wajah tegas Aaron. Laki-laki itu berdiri di sisi ranjang menatapnya dengan tajam, namun terlintas mustahil Aaron tidak perhatian padanya. "Apa kau akan pergi lama?" tanya Valia menyibak selimutnya dan duduk di tepi ranjang. Seringai tipis terbit di sudit bibir Aaron. Ia membungkukkan badannya dan mensejajarkan wajahnya dengan Valia. "Mungkin. Kenapa? Apa kau takut merindukanku?" Aaron menepuk gemas pipi Valia. Wajah Valia terasa sangat panas, ia menggeleng cepat menghin
Pemandangan yang indah saat Valia menatap anak dan menantunya tengah menikmati hari yang indah di taman mansion pagi ini. Waktu berjalan dengan cepat, Valia percaya dengan adanya cinta sejati dan ia tidak salah menempatkan hatinya sejak awal pada orang yang mau menjadi sandarannya hingga kini. "Sedang apa, Sayang?" sapa Aaron mendekati Valia. "Hem, tidak ada. Senang sekali melihat mereka, dan tempat ini...." Valia mendongak menatap seisi mansion yang tidak berubah sama sekali. Tempat itu sangat terawat dan juga bersih bahkan beberapa barang-barang yang dulu Valia tinggalkan masih di tempat. Betapa membekas kuat semua kepingan-kepingan ingatannya dari kisah cinta hingga kebenciannya kepada Aaron yang kini sudah tertutup rapat. "Tempat ini masih khas dengan segala hal yang menyangkut kita," ujar Aaron menatap Valia dan memeluknya. "Dan aku merasa bahagia bisa menua bersamamu." Valia tidak yakin mendengar apa yang suaminya katakan barusan, tapi ia merasa tersentuh begitu Aaron men
Trieste, Italia. Seperti masa kecil Mamanya, shopie terlihat sangat heboh saat dia telah sampai di Trieste. Tepatnya di mansion milik sang Opa. Bangunan super megah yang dikelilingi pemandangan laut yang indah. Tidak ada yang berubah di sana, Layla dan Nathaniel juga sangat menikmati keindahan tempat itu. "Wahh... Bagus sekali, kenapa aku dulu tidak betah tinggal di sini Ma? Padahal bagus sekali!" Layla memeluk lengan Valia dan mereka berjalan di teras samping samping mansion."Entah karena apa dulu, mungkin karena kita kasihan pada Kakek," jawab Valia. Ia tidak mau mengingatkan masa lalu yang cukup buruk pada Layla. Nathaniel bersama Aaron di depan sana, laki-laki itu menggendong Shopie yang sudah bingung ingin pergi mengelilingi mansion. Sementara Valia masih bersama dengan Layla. Valia merasa ada sesuatu yang menyentuh hati terdalamnya, tempat ini mempunyai ribuan kisah Valia dan Aaron, dari benci, marah, ambisi, obsesi, hingga cinta yang sangat tulus. Sosok Aaron yang sama
Lima Tahun Kemudian..."Shopie! Jangan lari-lari nanti jatuh..." Suara teriakan keras itu berasal dari bibir Layla yang berdiri di dalam rumah memperhatikan putri kecilnya yang terlihat begitu kesenangan. Shopie Tan Ferdherat, gadis cantik yang memiliki wajah sangat mirip dengan Mamanya. Dia juga sangat keras kepala seperti Papanya, dan Sopie anak yang manja, seperti Mamanya. "Mi, katanya nanti malam mau pergi sama Opa dan Oma, ayo... Sopie bantu-bantu Mami!" seru anak itu lompat-lompat kesenangan. "Iya, tapi nanti dulu, Sayang... Sekarang Shopie naik ke atas yuk, jangan lari-larian di bawah. Mami mau ke atas." Layla mengulurkan tangannya pada Shopie. Anak itu pun seketika mengangguk antusias, mereka berdua langsung berjalan ke lantai atas dan Sophie berjinjit membuka pintu kamarnya. Di dalam sana, anak itu menatap Papanya yang masih tertidur dengan santai dan nyenyak. Shopie tersenyum tipis, ia berjalan perlahan-lahan naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Papanya. "Papi... Ay
"Mama dan Papa akan sering-sering ke sini untuk memantau Layla, karena Papa perhatikan akhir-akhir ini kau sangat sibuk sampai sering meninggalkan istrimu sendiri yang di rumah." Aaron mengatakan hal itu kepada menantunya, dan tentu saja nontonnya langsung mengangguk setuju disadarinya ia memang tidak pernah ada waktu untuk Layla. Bukan berarti Nathaniel merasa leluasa, ia juga berusaha mencari celah di mana ia bisa meliburkan diri dan menjaga Layla seperti suami-suami di luar rencana pada umumnya. "Iya Pa, aku juga mencari waktu yang tepat untuk libur. Aku terus kepikiran dan tidak bisa fokus saat bekerja," ujar Nathaniel. "Harusnya di saat usia kandungan istrimu sudah tua seperti ini kau libur rumah karena bayi lahir itu tidak tahu kapan dan juga sulit untuk diprediksi," jelas Aaron pada Nathaniel. Nathaniel diam dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh Papa mertuanya, ia sadar kalau dirinya memang keliru. Aaron juga orang yang sangat gila kerja, sama seperti dirinya tapi beda
"Kalian ini... Apa tidak bisa ditunda sampai besok pagi, hah?!" Nathaniel marah saat masuk ke dalam ruangannya, di dalam sana semua rekannya sudah menunggu. Laki-laki itu meletakkan dengan kasar kunci mobilnya di atas meja, karena ia sudah menduga kalau di rumah Layla pasti marah padanya. "Ya bagaimana lagi?!" sahut Regar frustrasi. "Huhh... Sialan kalian, jadi jadwal kemarin itu salah?!" Nathaniel menatap mereka semua. "Salah!" jawab keempat orang itu kompak. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Nathaniel. Saat itu juga ia langsung duduk di kursinya dan mulai membuka laptopnya dan segera menyelesaikan pekerjaannya. Namun tetap saja Nathaniel tidak bisa tenang memikirkan Layla yang ia tinggalkan di rumah sendirian. Laki-laki itu pun mengambil ponselnya dan ia menghubungi Papa mertuanya karena hanya Aaron yang bisa membantunya saat ini. "Halo Pa, Pa aku boleh minta tolong, tidak?" pinta Nathaniel. "Hem, ada apa jam segini kok menelepon Papa? Apa terjadi sesuatu pada Layl
Beberapa Bulan Kemudian...Kandungan Layla sudah memasuki tujuh bulan. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat dan Layla menjalani hari-harinya dengan sangat bahagia besama suaminya. Nathaniel, menjadi suami super posesif dan selalu memantau Layla dari segala kondisi, bahkan mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. "Layla ke mana, Bi?"Suara Nathaniel di ruang tamu sore ini membuat Layla langsung menoleh, gadis itu tengah beduaan dengan Jeremy di dalam ruangan keluarga. Seketika Layla meminta Jeremy menutup pintu ruangan itu. Sehari saja, Layla ingin suaminya itu tidak terlalu posesif, Layla pusing dengan sifat Nathaniel yang sangat menyebalkan. "Sudah Kak," ujar Jeremy seraya terkikik geli anak itu berjalan mendekati Layla seraya membawa roti sus miliknya. "Sini-sini, duduk di samping Kakak. Biar saja Kak Nathan teriak-teriak di luar, Kakak pusing sekali dengannya," keluh Layla mendongakkan kepalanya. "Tapi kata Mami Valia, kalau dicereweti Papi Aaron, tandanya Papi Aaron i
Setelah acara pernikahan, Layla dan Nathaniel pulang ke rumah mereka sendiri. Nathaniel adalah laki-laki mapan yang sudah mempersiapkan segalanya sebelum menikah. Ada dua pembantu di rumahnya yang akan mengerjakan pekerjaaan rumah dan membantu Layla. Dan Nathaniel memberikan rumah itu pada Layla untuk hadiah pernikahan mereka. "Rumahnya bagus sekali," cicit Layla seraya menoleh dan menatap wajah tampan Nathaniel. "Kau suka?" Nathaniel mengusap pucuk kepala Layla. Layla pun mengangguk dengan mantap. "Sangat! Ini rumah paling bagus yang pernah Layla lihat. Seperti istana kalau dilihat dari luar, ada kerucutnya di atas sana!" seru Layla tersenyum. "Ya, memang desain awalnya aku buat seprti itu, agar tidak ada yang menyamainya." Layla hanya mengangguk saja, dan ia berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tangga melengkung dan lebar, lantai mengkilat dari marmer berwarna cream, dan beberapa pilar besar di dalam ruangan, serta lampu kristal besar yang menggantung di langit-lan
Pernikahan yang dimimpikan selama ini oleh Layla benar-benar terlaksana. Dalam hitungan detik demi detik pernikahan mereka sudah resmi.Dan begitu pula yang dirasakan oleh Nathaniel. Memiliki Layla seutuhnya dan ke mana-mana bisa ia jaga dan ia bawa, adalah cita-cita Nathan sejak dia masih kecil. Layla dan Nathaniel kini tengah sibuk dengan para tamu, tak lain adalah para teman-teman Nathaniel, karena Layla sendiri tidak memiliki teman. "Selamat ya kalian berdua, wahhh... Kapan ya aku nyusul?" seru Vargo menepuk pundak Nathaniel. "Mulutnya!" sinis Caley merangkul dan memukul punggung Vargo hingga laki-laki dengan tuxedo abu-abu itu tertawa. "Ya... Siapa tahu saja yang kedua kalinya." Vargo menjawab dengan sangat santai. Seketika Nathaniel terkekeh, ia menggenggam tangan Layla dan mengecupnya dengan lembut. "Jangan mendengarkan Sayang, mereka ini laki-laki gila!" sinis Nathaniel seraya menatap aneh pada semua temannya. "Iya, mereka lucu," ujar Layla. Layla merasakan ia seperti
Hari yang dinanti-nanti oleh Layla dan Nathaniel esok pagi akan terlaksana. Mereka semua keluarga kini berada di sebuah hotel milik keluarga Ferdherat. Hotel bintang lima yang berada di tengah-tengah kota Berlin. Laila Tengah berada di dalam kamarnya bersama Sarah, Caroline, Rosalia dan juga Valia. Keluarga Jazvier yang datang jauh-jauh hanya ingin melihat Layla menikah dengan Nathaniel. "Tidak terasa kita sudah tua ya Sarah, Cucu kita besok sudah mau menikah," ujar Caroline pada Sarah. "Iya, aku merasa seperti kemarin kita mengasuh anak-anak, tapi sekarang mereka sudah menikah saja. Ini waktu yang terlalu cepat atau apanya yang salah?" gumam Sarah seraya duduk bersandar. Valia bersama Rosalia duduk di atas ranjang bersama Layla yang berbaring bersama Jeremy. "Sepertinya tidak ada yang salah, Nenek saja yang menolak tua," sahut Jeremy tiba-tiba, anak itu sangat cerdas. Mendengar apa yang dikatakan bocah itu sontak membuat semua orang di dalam ruangan tersebut langsung tertawa.