Valia berdiri di depan pintu kamar Aaron yang sedikit terbuka, ia meremas jemarinya mengintip ke dalam sana. Entah kenapa, Valia harus melakukan hal ini. Padahal malam ini ia punya misi untuk kabur dan pergi menjauh sejauh-jauhnya dari Aaron. "Sedang apa berdiri di sana? Kemarilah." Valia menelan salivanya. Langkah kecilnya berjalan membawa Valia masuk ke dalam kamar itu. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, Valia memperhatikan Aaron yang tengah bercermin dengan pakaian rapi. "Ada apa, Valia? Kenapa kau mengintipku? Apa kau ingin tidur di kamarku lagi, huh?" tanya laki-laki itu seraya memakai jam tangan mahalnya. "Emm... Tidak, tapi kalau aku boleh tahu, kau mau ke mana?" tanya Valia dengan polosnya. Aktivitas Aaron pun terhenti, selama ini di dalam hidupnya tidak ada yang bertanya ia mau ke mana, sedang apa, dan tidak ada yang peduli. Aaron menoleh, tiba-tiba bibirnya tersenyum miring menatap Valia dengan balutan gaun tidur merah muda bermotifkan bunga dan berlangan panjang.
"Aku akan tetap membawamu kembali ke sini Valia, dan aku menghabisi si brengsek Samuel!" Aaron mengepalkan kedua tangannya dengan sangat kuat. Kini ia berdiri dalam kamar Valia. Ia pulang untuk memastikan, dan menunggu kabar dari Nick yang melacak Valia dan Sam. Laki-laki itu merasa terbakar seluruh amarahnya. Amarahnya pada Samuel tidak dapat ia tahan-tahan. "Valia..." Aaron menggeram kesal. "Aaarrgghhh! Brengsek! Bisa gagal semua rencanaku!" Teriaknya keras-keras, ia menyapukan tangannya di meja rias hingga semua barang-barang di atas sana menjadi berantakan dan berjatuhan."Sialan kau, Valia!" teriak Aaron memukul meja kayu itu. "Permisi Tuan," sapa Sergio berdiri di ambang pintu. "Apa Nick sudah memberi kabar, di mana Valia?!" Aaron menoleh ke arah anak buahnya tersebut. Laki-laki itu mengangguk. "Sudah Tuan." Seketika Aaron berdiri tegap menyahut kembali mantel hangatnya dan gegas keluar dari dalam kamar."Ikut denganku, Sergio!" "Baik Tuan." Mereka berdua keluar dari d
"Eungghh, aku di mana?" Valia membuka kedua matanya perlahan, kepalanya terasa pening karena terlalu banyak menangis. Gadis itu terdiam menatap langit-langit kamar mengingat kejadian semalam. Ia pun kembali meringkuk sedih, bayangan semalam kalau Aaron tidak menemukannya, mungkin Valia akan hilang. Dan kejadian ini, ia berfirasat kalau Aaron pasti akan marah. "Aaron," lirih Valia terdiam sejenak memejamkan kedua matanya. "Semalam dia datang menyelamatkan aku dan memelukku semalaman penuh." Valia merengut bimbang. "Sebenarnya, dia peduli atau membenciku? Kenapa dia sangat aneh?" Tidak mau berlama-lama, perlahan Valia bangkit dari tidurnya sebelum selimut hitam yang pakai menutupi tubuhnya jatuh melorot dan menunjukkan tubuhnya tanpa balutan dress semalam. "Astaga!" pekik Valia nyaris menjerit. Valia terkejut saat sadar ia hanya mengenakan kain tipis berlengan spaghetti yang terbuat dari kain yang tembus pandang. "Ke-kemana bajuku?! Kenapa hanya tersisa dalaman ini?! Bajuku...
"Bagaimana pun juga, kau harus kembali ke Milan. Kondisi Kakakmu sekarang cukup parah, Aaron." Seruan itu terdengar seperti perintah. Riftan, sahabatnya yang kini datang ke kediaman Aaron untuk menyampaikan hal itu. Aaron terlihat putus asa, ia mengacak rambutnya dan menyandarkan kepalanya di punggung sofa. "Apa Hans yang mengatakan ini padamu?" tanya Aaron. "Heem. Orang tuamu sudah menghubungimu, tapi kau tidak menjawabnya. Dan mereka ingin mnerikan kabar tentang Kakakmu." Senyuman getir mengiringi perasaan perih yang Aaron rasakan. Aaron sangat menyayangi Kakak laki-lakinya, di saat kedua orang tuanya tidak peduli padanya, namun Kakaknya selalu peduli dan memberikannya banyak perhatian. Namun sekitar dua tahun yang lalu, sang Kakak mendapatkan sebuah masalah hingga membuat mentalnya jatuh dan penyakit jantung yang dia derita kembali kambuh. "Tidak usah terlalu kau pikirkan, Kakakmu akan baik-baik saja." Riftan berdiri dan menepuk pundak Aaron. "Harusnya dia tidak merasakan i
Jam menunjukkan pukul tepat tengah malam, Aaron terlihat sangat terburu-buru ia menyahut mantel hangatnya dan berjalan keluar kamar. Langkahnya dengan refleks mengantarkan laki-laki itu menuju kamar Valia. Dibuka pelan pintu kayu di hadapannya, sosok Valia mengangkat wajahnya dengan tatapan terkejut. "Aaron," lirih Valia, gadis itu meletakkan sebuah jam pasir yang tadinya ia tatapi. "Aku akan pergi untuk beberapa hari, kau jangan coba-coba keluar atau bertemu dengan siapapun! Kau paham!"Valia mendongak menatap wajah tegas Aaron. Laki-laki itu berdiri di sisi ranjang menatapnya dengan tajam, namun terlintas mustahil Aaron tidak perhatian padanya. "Apa kau akan pergi lama?" tanya Valia menyibak selimutnya dan duduk di tepi ranjang. Seringai tipis terbit di sudit bibir Aaron. Ia membungkukkan badannya dan mensejajarkan wajahnya dengan Valia. "Mungkin. Kenapa? Apa kau takut merindukanku?" Aaron menepuk gemas pipi Valia. Wajah Valia terasa sangat panas, ia menggeleng cepat menghin
"Sudah satu minggu Aaron belum pulang, apa dia pergi ke luar negeri, Merisa?" Pertanyaan itu terucap dari bibir Valia pada pelayan yang tengah menyisir rambut panjangnya. Pelayan itu pun hanya mengangguk saja dan bergumam pelan. Begitu pun Valia juga sudah langsung paham. "Mungkin Tuan Aaron membahas seputar bisnisnya, Nona. Tuan adalah seorang presdir ternama, akan sangat sibuk beliau dengan semua pekerjaannya," jelas Merina pada sang Nona. Merina memajukan tubuhnya sejajar dengan wajah Valia dari samping dan tersenyum manis menatap pantulan cermin. "Emm, apa Nona Valia merindukan Tuan Aaron?" tanya Merina sedikit berbisik. Kedua mata Valia pun melebar mendengarnya, pipinya memerah bersemu dan dengan kuekeh ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ti... Tidak, aku tidak merindukannya.""Heum, Nona Valia berbohong. Buktinya pipi Nona Valia memerah." Merina terus menggoda Valia hingga gadis itu cemberut kesal. "Tidak Merina, hiihhh kau ini." Valia kesal Merina tertawa pelan dan teru
"Kenapa? Kenapa kejadian ini terulang lagi? Aku takut...." Valia duduk di atas lantai kayu yang dingin, ia menutup kepalanya dan menangis. Kejadian ini membuatnya trauma dan takut. Dikunci di dalam tempat yang gelap dan dingin tanpa ada satu cahaya pun di sana. Valia meremas puncak lengannya. 'Kenapa setiap aku melihat Aaron marah, rasanya aku seperti melihat Victor yang marah dan memaksaku. Kenapa mereka terlihat sangat mirip?' Di tengah rasa sedih yang Valia rasakan, tiba-tiba saja pintu paviliun depan terbuka. Sosok Aaron berdiri tegap di sana menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Aaron," lirih Valia. Laki-laki itu berjalan mendekatinya. "Berdiri. Apa yang kau lakukan dengan duduk di sini, huh?!" seru Aaron.Perlahan-lahan Valia bangkit dari duduknya, kakinya terasa pegal dan kesemutan karena terlalu lama. "Kau mau apa ke sini?" Valia mendongak menatap wajah Aaron. "Kau... Kau tidak memintaku pindah lagi ke tempat yang lebih gelap kan?" Laki-laki itu menatap wa
"Sebenarnya mau kau apakan Valia, sampai sekarang tidak kau eksekusi. Jangan-jangan kau jatuh cinta dengannya, ya?" Pertanyaan bernada gurau keluar dari bibir Fabio. Laki-laki dengan balutan kaos polos hitam yang menutupi tubuh kekarnya itu, tengah membidik sasarannya. Aaron hanya meliriknya, ia sibuk dengan mengisi butiran timah dalam senjata bermoncong yang ia pegang. "Aku tidak semudah itu jatuh cinta, Fabio," jawab Aaron berdiri. "Cih, aku takutnya kau ini lain di mulut lain pula di hati," canda Fabio terkekeh pelan. Aaron mendengkus sebal. "Untuk apa pula kau ke tempatku hari ini hah?! Kau hanya membuat suasana hatiku semakin buruk!" "Untuk menemanimu bermain ini. Atau... Bagaimana kalau Valia yang menjadi sasaran bidikanmu?" usul Fabio dengan wajah cengengesan.Dokter muda dan tampan itu, selalu hobi membuat Aaron marah hingga seperti monster bertanduk. Kali ini, Aaron meliriknya tajam. "Kau gila hah?! Ini hanya hobi, tidak untuk menghabisi siapapun!" Dan Fabio langsung