"Lebih baik aku mati kelaparan daripada di sini seumur hidup."
Valia berucap nanar menatap langit-langit kamarnya. Kembali ia mengeliat menekan perutnya yang terasa sakit. Dua hari Valia menolak bujukan makan dari siapapun dan memilih mati kelaparan.Gadis itu meringkuk di atas ranjang dan menjambak sendiri rambut panjangnya, menangis frustrasi."Kapan... Kapan aku tidak bisa pergi dari tempat ini, aku tidak bisa melakukan apapun di sini selain terus disakiti."Valia memukul bantalnya. "Sebenarnya apa salahku dengannya? Kemunafikan apa yang dia maksud?"Kata-kata Aaron saat itu terus terngiang di kepalanya, tentang kemunafikan di masa lalu. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang Aaron maksud. Demi Tuhan, Valia bahkan tidak mengenal pria itu sebelum ini!Merasa putus asa karena berusaha kabur pun tidak mungkin, Valia tidak bisa melakukan apapun untuk membebaskan dirinya sendiri. Karena itu ia memilih untuk mati saja, daripada terperangkap seumur hidup bersama orang tak punya hati seperti Aaron!"Akkhh... perutku..." erang Valia menekan kembali kuat perutnya dengan mata terpejam erat.
Sampai akhirnya pintu kamar terbuka, pelayan Merina langsung mendekat begitu melihat Valia merintih kesakitan."Astaga, Nona Valia!" Pelayan itu menyentuh punggung Valia dengan pelan. "Nona kenapa tidak makan? Perut Nona akan bertambah sakit."Valia menggeleng dan semakin meringkuk di atas ranjang. "Pelayan Merina tidak perlu membantuku, lebih baik tinggalkan aku sendirian.""Nona, tapi saya tidak bisa melihat Nona Valia kesakitan. Tuan Aaron akan marah nanti, lebih baik Nona...""Aku sudah tidak tahan lagi, Pelayan Merina. Aaron akan selalu menyakitiku lagi dan lagi. Lebih baik aku mati saja. Tolong jangan hentikan aku," lirih Valia memohon.Pelayan itu sangat cemas, pasti Valia menahan sakitnya mati-matian saat ini. Bahkan dua piring dari sarapan hingga makan siang yang berada di atas meja masih utuh tak tersentuh.Merina tidak bisa tinggal diam, Aaron pun pasti akan marah besar kalau tahu Valia melakukan hal konyol semacam ini."Kalian, tolong ganti menu makanan dan nasi untuk Nona. Ambilkan sup yang tadi sudah aku siapkan!" Merina memerintah pada dua pelayan bawahannya.Mereka meringkas makanan di atas meja dan segera menggantikannya dengan yang baru.Sementara Merina harus terus membujuk Valia. "Nona, saya sudah membuatkan sup ayam. Kali ini Nona makan ya, sedikit saja. Nona bisa pingsan, sakitnya akan bertambah parah kalau terus dibiarkan."Valia menggeleng. "Jangan memaksaku, Pelayan Merina. Kau tinggalkan aku sendirian di sini. Keluarlah," usir Valia mendorong pelan lengan pelayan itu dengan tenaga seadanya."Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?" Merina mengembuskan napasnya berat dan frustrasi.Valia pun menangis antara frustrasi dan menahan sakit perutnya bagai dipelintir dengan kuat.Tak lama kemudian, dua pelayan pun kembali masuk ke dalam kamar membawa satu mangkuk berisi sebuah sup. Mereka meletakkannya di atas meja."Nona, mari saya suapi. Sedikit saja ya," bujuk Merina penuh kesabaran.Dua pelayan pun ikut membantu Valia bangun. Tapi mereka sedikit memaksanya, karena Valia bersikeras menolak."Aku tidak mau!" Valia menutup mulutnya dan terus menggeleng kuekeh."Sedikit saja Nona, ayolah..." Merina hendak menyuapkan sup di atas sendok yang dipegangnya.Valia yang keras kepala, menepis kuat tangan Merina. "Jangan memaksaku, Pelayan Merina. Aku sudah bilang kalau aku tidak mau!"Prang!Mangkuk berisi sup ayam itu pun berceceran menjadi beling-beling tajam di atas lantai.Valia beranjak menuruni ranjang dan ingin pergi, namun tubuhnya yang lemas membuat gadis itu terjatuh."Astaga Nona Va-""Jangan mendekat," lirihnya gemetar menatap sayu."Nona, maafkan kami. Kami hanya...""Tinggalkan aku sendirian!" Valia pun meraih satu beling mangkuk di sampingnya. "Atau kalian akan melihatku mati di sini sekarang juga!"Sementara di luar, Aaron baru saja turun dari dalam mobil miliknya. Dengan setelan formal dibalut mentel hitam panjang, ia memasuki mansion megah yang kini terasa sangat sunyi.Aaron melangkahkan kakinya ke ruang tengah, dan melepaskan mantel yang ia pakai. Tiba-tiba perhatiannya teralih saat melihat satu pelayan berlari dari lantai dua."Tuan... Tuan Muda!" pekik pelayan itu mendekatinya."Ada apa?" Aaron menatap dingin."Tuan Muda, Nona Valia sekarang sedang marah di kamarnya. Sudah dua hari ini Nona tidak mau makan, padahal perutnya sedang sakit. Dan sekarang Pelayan Merina sedang membujuk Nona, tapi Nona malah terus marah," jelas wanita itu histeris.Aaron melemparkan jas hitam yang tadinya ia pakai. Langkah jenjangnya cepat membawa laki-laki itu ke kamar Valia."Apa lagi kali ini," geram Aaron mendengar tangisan Valia di kamar ujung.Begitu Aaron tiba, ia terkejut melihat Valia sangat kacau. Gadis itu terduduk di lantai dengan dress putih panjangnya yang kusut dan wajahnya begitu pucat menyedihkan."Valia, apa yang kau laku-""Berhenti di sana!" Valia menyela cepat, ia meraih satu pecahan beling mangkuk di hadapannya.Valia mengarahkan beling yang ia genggam tepat di nadi tangan kirinya. Melihat kedatangan Aaron, ekspresi wajahnya berubah menjadi sangat emosi."Jangan mendekat, atau aku akan mati di depan kalian semua!" desis Valia, air matanya masih berderai-derai.Aaron merasa hawa takut menyerangnya saat itu juga. Pemandangan ini membuat ia merasa deja vu, mengingat seseorang yang ia sayangi pernah melakukan hal seperti apa yang Valia lakukan saat ini.Ingatan itu membuat tubuh Aaron merinding ngeri. Detak jantungnya berpacu, dan napasnya mulai terasa sesak. Namun, sebisa mungkin tak ia tunjukkan.
Pria itu berusaha mengendalikan diri. Dia tidak boleh bertindak gegabah kalau tidak mau hal mengerikan dalam bayangannya menjelma menjadi nyata.
"Jangan melakukan hal gila, Valia." Aaron mendekat dengan wajah cemas. Dia menelan ludah saat Valia justru semakin menekan beling tajam itu pada pergelangan tangannya."Aku lebih baik mati daripada harus tinggal selamanya bersamamu, Aaron!" "Kau bisa melukai dirimu sendiri," kata Aaron dengan suara yang kali ini terdengar lembut. Tatapannya menyiratkan cemas yang begitu kentara. Mata sayu Valia menatapnya frustrasi. "Aku tidak peduli. Tidak usah berpura-pura baik padaku."Sebisa mungkin Aaron menenangkan dirinya sesaat, bayangan bila runcing beling itu akan menyayat membuat detak jantung Aaron semakin berdebar.Di depannya, Valia masih menangis meminta semua orang menjauh. Namun, Aaron tetap maju perlahan untuk mendekatinya."Letakkan benda itu, ya?" Aaron memelankan suaranya dan menekuk lututnya di hadapan Valia.Gadis itu menggeleng lemah dengan air mata yang masih berderai. Meskipun ia tidak punya banyak tenaga saat ini, tapi Valia telah dikuasai rasa frustasi. Pikirannya tidak jernih."Lebih baik aku menyusul Papaku di surga. Di dunia ini sudah tidak ada orang baik lagi padaku!"Valia menangis tak berdaya mendongakkan kepalanya bersandar di dinding. Hal itu menjadi celah bagi Aaron melangkahkan mendekatinya.Sigap Aaron menarik tubuh kecil Valia ke dalam dekapan eratnya. Satu tangannya berusaha mencengkeram pelan pergelangan tangan Valia.
"Jangan melakukan hal ini," bisik Aaron sambil berusaha merebut beling yang masih digenggam Valia."Tidak, jangan halangi aku. Aaron menyingkirlah, lepaskan tanganku!"Gadis itu memberontak hebat, dekapan Aaron pun menjadi sangat erat. Digenggamnya tangan kanan Valia yang membawa satu beling lancip hingga tanpa sengaja ujung runcing beling itu menggores tangan Aaron.
"Akh!" Aaron mengerang pelan. Cairan merah mengucur dari telapak tangan Aaron setelah berhasil merebut beling di tangan Valia dan melemparkannya jauh.Tangisan Valia pun terhenti melihat tetesan darah di depannya, nyalinya langsung menciut dalam dekapan Aaron."Ta-tanganmu," lirih Valia mendongak menatap wajah Aaron. "Tanganmu berdarah...""Lupakan," bisik Aaron menyampingkan tangan kanannya dari pandangan Valia."Tapi, kenapa? Kenapa kau..." Ucapan gadis itu tiba-tiba melirih. Tubuh Valia melemas dalam hitungan detik, pandangannya menggelap, sampai akhirnya Valia menyandarkan kepalanya di dada bidang Aaron dengan kedua mata tertutup sempurna."Tuan Muda..." Pelayan Merina tidak berani mendekat."Cepat bersihkan semua belingnya dan panggil Fabio ke sini," perintah Aaron."Baik Tuan." Sejenak Aaron mantap wajah pucat Valia dalam pelukannya, gadis itu benar-benar sangat pucat tak berdaya."Benar-benar merepotkan," bisik Aaron mengusap pipi Valia yang basah dengan tangannya yang tidak terluka.Perlahan ia mengangkat tubuh kecil Valia dan kembali membaringkannya di atas ranjang, menarik selimut menutupi tubuh mungil Valia yang tak berdaya.Sesekali Aaron mendesis karena luka robekan lebar di telapak tangannya dan darah yang terus mengucur.Ekor matanya melirik Valia yang terbaring lemah."Aku tidak menginginkan kematianmu, Valia. Melainkan hal lain, suatu saat nanti."
Hari sudah senja, Valia diam berdiri di teras belakang mansion. Tempat itu menyuguhkan langsung pemandangan indahnya lautan biru teluk Trieste. Hati Valia kini sangat resah gelisah. Pasalnya sejak kejadian kemarin, Aaron tidak lagi muncul di hadapannya. Valia memikirkan tentang luka di tangan laki-laki itu."Di mana dia dua hari ini?" lirihnya lemas. Valia meletakkan satu tangannya dinding pembatas setinggi pinggang di depannya. Sejenak Valia memilih duduk bersandar pada pilar dan menikmati semilir angin yang berhembus. "Dia terluka sama sepertiku," ucap Valia memperhatikan telapak tangannya yang masih terbungkus perban. "Apa dia baik-baik saja? Mungkinkah lukanya sangat fatal?" Valia menarik napasnya panjang memejamkan kedua matanya pelan. "Nona Valia!" Suara Merina, pelayan wanita itu pun mendekat dengan segelas air putih yang dia bawa."Nona sedang apa? Baru saja saya ambilkan air minum, tapi Nona sudah hilang dan ternyata berada di sini," ujar pelayan itu menyerahkan segelas
"Kenapa hari cepat sekali berubah gelap, aku harus bagaimana malam ini?" Valia bersembunyi di balik selimut tebalnya memeluk bantal dengan erat. Perasaannya sangat resah gelisah tak bisa tenang. Aaron mengatakan padanya malam ini ingin ia puaskan. Valia merasa bingung dan ingin rasanya ia menghilang dengan cepat. "Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mau memuaskan Aaron, aku tidak mau tidur dengannya... Tidak mau!" Valia memukuli kepalanya dengan rengekan frustrasi. Di tengah ia meracau, tiba-tiba saja Valia tersentak saat seseorang menyentuh punggungnya di balik selimut. Sontak Valia menyibakkan selimut itu dan mendongak menatap siapa yang berada di kamarnya. "Pe-pelayan Merina!" Valia menatap sedih wanita itu dengan napas yang naik turun."Nona kenapa?" Pelayan Merina menyentuh kening Valia. "Nona masih pusing ya?" Valia menggeleng pelan. "Aku pikir tadi Aaron yang menyentuh punggungku," lirih Valia cemberut. Kekehan gemas terdengar dari bibir Merina. "Tuan Aaron sedang ber
"Tidak akan ada yang membebaskan aku dari tempat ini. Aku berharap ada yang menolongku."Valia berucap sedih. Kedua matanya menatap jauh lautan lepas yang telihat sangat gelap si subuh hari. Sejak dua jam yang lalu, lebih tepatnya pukul tiga dini hari Valia terbangun dan keluar dari dalam kamar milik Aaron. "Aku ingin pulang," lirih Valia duduk memeluk kedua lututnya. "Aku tidak mau hidup berlama-lama di sini." Saat Valia menangis, tiba-tiba saja sesuatu mengendus dan menjilati pipinya dengan sangat lembut. Sontak Valia mengangkat wajahnya, ia terjingkat kaget mendapati siapa yang mendekatinya. "Astaga!" teriaknya terkejut. "Li-lizer, apa yang kau lakukan?" Valia mengembuskan napasnya pelan mendapati anjing Siberian Husky yang ternyata menjilati wajah cantinya. Sejenak Valia menatap wajah lucu hewan itu sebelum ia tersenyum. Jemari Valia terangkat mengusap bulu-bulu lembut kepala anjing itu. "Kenapa kau tidak tidur, Lizer? Ini masih petang. Udaranya sangat dingin di sini," uja
"Brengsek!" Teriakan keras lolos dari bibir Aaron. Kepalan tangan meninju kuat meja kayu di depannya. Rasa ingin marah meluap-luap dari hatinya. Sergio yang berdiri di dekat pintu pun hanya diam tertunduk melihat kemarahan Tuan Mudanya yang tidak bisa dihentikan. "Beraninya dia menginginkan Valia secara terang-terangan," desis Aaron dengan rahang mengetat. "Sam memang belum pernah melihat Nona Valia, Tuan," ujar Sergio menyahuti. Aaron tersenyum smirk. "Berkata menginginkan Valia, adalah kebodohan. Dia tidak akan mengira kalau sampai mati pun aku tidak akan melepaskan Valia, semudah itu!" desis Aaron dengan napas naik turun. Aaron tertunduk, menahan pikirannya yang dipenuhi kekesalan pada Sam, sahabat karibnya yang berani menawar Valia untuk dimiliki."Apa kau masih mengurung Valia?" tanya Aaron lirih. "Masih Tuan." Seketika Aaron keluar dari dalam ruangan kerjanya setelah tempat itu berantakan karena luapan emosi Aaron. Ia melangkah menuju kamar Valia di lantai dua. Begitu p
Pemandangan yang sangat langka saat bangun tidur terdapat wajah tampan di hadapan Valia. Pahatan wajah tampan bak dewa Yunani, dia yang begitu sempurna. Valia meringkuk segera memunggunginya. Sampai ia tersadar sesuatu menahannya untuk tidak menjaga jarak. "Apa ini," lirih Valia tak bersuara. Ia menyibak selimut yang menutupinya dan melihat lengan kekar Aaron yang melilit di pinggangnya dengan erat dan posesif. Valia terdiam sejenak. 'Aaron memelukku? Setelah semalam dia marah-marah dan mengatakan hal yang menyakitkan, sekarang dia memelukku dengan sangat erat.' Perlahan-lahan Valia mulai mencoba melepaskan pelukan itu sebelum ia malah merasa tertarik dengan erat. "Mau ke mana, Valia?" Suara serak Aaron menghentikan gerakan Valia. "Ini sudah pagi," jawab Valia menatap jendela besar yang sengaja tidak ia tutup. Aaron mengerang pelan, namun kali ini ia kembali menarik pinggang Valia lagi lebih erat. "Aaron..." Valia mulai tak nyaman. "Diamlah." Aaron masih memejamkan kedua ma
Valia berdiri di depan pintu kamar Aaron yang sedikit terbuka, ia meremas jemarinya mengintip ke dalam sana. Entah kenapa, Valia harus melakukan hal ini. Padahal malam ini ia punya misi untuk kabur dan pergi menjauh sejauh-jauhnya dari Aaron. "Sedang apa berdiri di sana? Kemarilah." Valia menelan salivanya. Langkah kecilnya berjalan membawa Valia masuk ke dalam kamar itu. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, Valia memperhatikan Aaron yang tengah bercermin dengan pakaian rapi. "Ada apa, Valia? Kenapa kau mengintipku? Apa kau ingin tidur di kamarku lagi, huh?" tanya laki-laki itu seraya memakai jam tangan mahalnya. "Emm... Tidak, tapi kalau aku boleh tahu, kau mau ke mana?" tanya Valia dengan polosnya. Aktivitas Aaron pun terhenti, selama ini di dalam hidupnya tidak ada yang bertanya ia mau ke mana, sedang apa, dan tidak ada yang peduli. Aaron menoleh, tiba-tiba bibirnya tersenyum miring menatap Valia dengan balutan gaun tidur merah muda bermotifkan bunga dan berlangan panjang.
"Aku akan tetap membawamu kembali ke sini Valia, dan aku menghabisi si brengsek Samuel!" Aaron mengepalkan kedua tangannya dengan sangat kuat. Kini ia berdiri dalam kamar Valia. Ia pulang untuk memastikan, dan menunggu kabar dari Nick yang melacak Valia dan Sam. Laki-laki itu merasa terbakar seluruh amarahnya. Amarahnya pada Samuel tidak dapat ia tahan-tahan. "Valia..." Aaron menggeram kesal. "Aaarrgghhh! Brengsek! Bisa gagal semua rencanaku!" Teriaknya keras-keras, ia menyapukan tangannya di meja rias hingga semua barang-barang di atas sana menjadi berantakan dan berjatuhan."Sialan kau, Valia!" teriak Aaron memukul meja kayu itu. "Permisi Tuan," sapa Sergio berdiri di ambang pintu. "Apa Nick sudah memberi kabar, di mana Valia?!" Aaron menoleh ke arah anak buahnya tersebut. Laki-laki itu mengangguk. "Sudah Tuan." Seketika Aaron berdiri tegap menyahut kembali mantel hangatnya dan gegas keluar dari dalam kamar."Ikut denganku, Sergio!" "Baik Tuan." Mereka berdua keluar dari d
"Eungghh, aku di mana?" Valia membuka kedua matanya perlahan, kepalanya terasa pening karena terlalu banyak menangis. Gadis itu terdiam menatap langit-langit kamar mengingat kejadian semalam. Ia pun kembali meringkuk sedih, bayangan semalam kalau Aaron tidak menemukannya, mungkin Valia akan hilang. Dan kejadian ini, ia berfirasat kalau Aaron pasti akan marah. "Aaron," lirih Valia terdiam sejenak memejamkan kedua matanya. "Semalam dia datang menyelamatkan aku dan memelukku semalaman penuh." Valia merengut bimbang. "Sebenarnya, dia peduli atau membenciku? Kenapa dia sangat aneh?" Tidak mau berlama-lama, perlahan Valia bangkit dari tidurnya sebelum selimut hitam yang pakai menutupi tubuhnya jatuh melorot dan menunjukkan tubuhnya tanpa balutan dress semalam. "Astaga!" pekik Valia nyaris menjerit. Valia terkejut saat sadar ia hanya mengenakan kain tipis berlengan spaghetti yang terbuat dari kain yang tembus pandang. "Ke-kemana bajuku?! Kenapa hanya tersisa dalaman ini?! Bajuku...
Pemandangan yang indah saat Valia menatap anak dan menantunya tengah menikmati hari yang indah di taman mansion pagi ini. Waktu berjalan dengan cepat, Valia percaya dengan adanya cinta sejati dan ia tidak salah menempatkan hatinya sejak awal pada orang yang mau menjadi sandarannya hingga kini. "Sedang apa, Sayang?" sapa Aaron mendekati Valia. "Hem, tidak ada. Senang sekali melihat mereka, dan tempat ini...." Valia mendongak menatap seisi mansion yang tidak berubah sama sekali. Tempat itu sangat terawat dan juga bersih bahkan beberapa barang-barang yang dulu Valia tinggalkan masih di tempat. Betapa membekas kuat semua kepingan-kepingan ingatannya dari kisah cinta hingga kebenciannya kepada Aaron yang kini sudah tertutup rapat. "Tempat ini masih khas dengan segala hal yang menyangkut kita," ujar Aaron menatap Valia dan memeluknya. "Dan aku merasa bahagia bisa menua bersamamu." Valia tidak yakin mendengar apa yang suaminya katakan barusan, tapi ia merasa tersentuh begitu Aaron men
Trieste, Italia. Seperti masa kecil Mamanya, shopie terlihat sangat heboh saat dia telah sampai di Trieste. Tepatnya di mansion milik sang Opa. Bangunan super megah yang dikelilingi pemandangan laut yang indah. Tidak ada yang berubah di sana, Layla dan Nathaniel juga sangat menikmati keindahan tempat itu. "Wahh... Bagus sekali, kenapa aku dulu tidak betah tinggal di sini Ma? Padahal bagus sekali!" Layla memeluk lengan Valia dan mereka berjalan di teras samping samping mansion."Entah karena apa dulu, mungkin karena kita kasihan pada Kakek," jawab Valia. Ia tidak mau mengingatkan masa lalu yang cukup buruk pada Layla. Nathaniel bersama Aaron di depan sana, laki-laki itu menggendong Shopie yang sudah bingung ingin pergi mengelilingi mansion. Sementara Valia masih bersama dengan Layla. Valia merasa ada sesuatu yang menyentuh hati terdalamnya, tempat ini mempunyai ribuan kisah Valia dan Aaron, dari benci, marah, ambisi, obsesi, hingga cinta yang sangat tulus. Sosok Aaron yang sama
Lima Tahun Kemudian..."Shopie! Jangan lari-lari nanti jatuh..." Suara teriakan keras itu berasal dari bibir Layla yang berdiri di dalam rumah memperhatikan putri kecilnya yang terlihat begitu kesenangan. Shopie Tan Ferdherat, gadis cantik yang memiliki wajah sangat mirip dengan Mamanya. Dia juga sangat keras kepala seperti Papanya, dan Sopie anak yang manja, seperti Mamanya. "Mi, katanya nanti malam mau pergi sama Opa dan Oma, ayo... Sopie bantu-bantu Mami!" seru anak itu lompat-lompat kesenangan. "Iya, tapi nanti dulu, Sayang... Sekarang Shopie naik ke atas yuk, jangan lari-larian di bawah. Mami mau ke atas." Layla mengulurkan tangannya pada Shopie. Anak itu pun seketika mengangguk antusias, mereka berdua langsung berjalan ke lantai atas dan Sophie berjinjit membuka pintu kamarnya. Di dalam sana, anak itu menatap Papanya yang masih tertidur dengan santai dan nyenyak. Shopie tersenyum tipis, ia berjalan perlahan-lahan naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Papanya. "Papi... Ay
"Mama dan Papa akan sering-sering ke sini untuk memantau Layla, karena Papa perhatikan akhir-akhir ini kau sangat sibuk sampai sering meninggalkan istrimu sendiri yang di rumah." Aaron mengatakan hal itu kepada menantunya, dan tentu saja nontonnya langsung mengangguk setuju disadarinya ia memang tidak pernah ada waktu untuk Layla. Bukan berarti Nathaniel merasa leluasa, ia juga berusaha mencari celah di mana ia bisa meliburkan diri dan menjaga Layla seperti suami-suami di luar rencana pada umumnya. "Iya Pa, aku juga mencari waktu yang tepat untuk libur. Aku terus kepikiran dan tidak bisa fokus saat bekerja," ujar Nathaniel. "Harusnya di saat usia kandungan istrimu sudah tua seperti ini kau libur rumah karena bayi lahir itu tidak tahu kapan dan juga sulit untuk diprediksi," jelas Aaron pada Nathaniel. Nathaniel diam dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh Papa mertuanya, ia sadar kalau dirinya memang keliru. Aaron juga orang yang sangat gila kerja, sama seperti dirinya tapi beda
"Kalian ini... Apa tidak bisa ditunda sampai besok pagi, hah?!" Nathaniel marah saat masuk ke dalam ruangannya, di dalam sana semua rekannya sudah menunggu. Laki-laki itu meletakkan dengan kasar kunci mobilnya di atas meja, karena ia sudah menduga kalau di rumah Layla pasti marah padanya. "Ya bagaimana lagi?!" sahut Regar frustrasi. "Huhh... Sialan kalian, jadi jadwal kemarin itu salah?!" Nathaniel menatap mereka semua. "Salah!" jawab keempat orang itu kompak. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Nathaniel. Saat itu juga ia langsung duduk di kursinya dan mulai membuka laptopnya dan segera menyelesaikan pekerjaannya. Namun tetap saja Nathaniel tidak bisa tenang memikirkan Layla yang ia tinggalkan di rumah sendirian. Laki-laki itu pun mengambil ponselnya dan ia menghubungi Papa mertuanya karena hanya Aaron yang bisa membantunya saat ini. "Halo Pa, Pa aku boleh minta tolong, tidak?" pinta Nathaniel. "Hem, ada apa jam segini kok menelepon Papa? Apa terjadi sesuatu pada Layl
Beberapa Bulan Kemudian...Kandungan Layla sudah memasuki tujuh bulan. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat dan Layla menjalani hari-harinya dengan sangat bahagia besama suaminya. Nathaniel, menjadi suami super posesif dan selalu memantau Layla dari segala kondisi, bahkan mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. "Layla ke mana, Bi?"Suara Nathaniel di ruang tamu sore ini membuat Layla langsung menoleh, gadis itu tengah beduaan dengan Jeremy di dalam ruangan keluarga. Seketika Layla meminta Jeremy menutup pintu ruangan itu. Sehari saja, Layla ingin suaminya itu tidak terlalu posesif, Layla pusing dengan sifat Nathaniel yang sangat menyebalkan. "Sudah Kak," ujar Jeremy seraya terkikik geli anak itu berjalan mendekati Layla seraya membawa roti sus miliknya. "Sini-sini, duduk di samping Kakak. Biar saja Kak Nathan teriak-teriak di luar, Kakak pusing sekali dengannya," keluh Layla mendongakkan kepalanya. "Tapi kata Mami Valia, kalau dicereweti Papi Aaron, tandanya Papi Aaron i
Setelah acara pernikahan, Layla dan Nathaniel pulang ke rumah mereka sendiri. Nathaniel adalah laki-laki mapan yang sudah mempersiapkan segalanya sebelum menikah. Ada dua pembantu di rumahnya yang akan mengerjakan pekerjaaan rumah dan membantu Layla. Dan Nathaniel memberikan rumah itu pada Layla untuk hadiah pernikahan mereka. "Rumahnya bagus sekali," cicit Layla seraya menoleh dan menatap wajah tampan Nathaniel. "Kau suka?" Nathaniel mengusap pucuk kepala Layla. Layla pun mengangguk dengan mantap. "Sangat! Ini rumah paling bagus yang pernah Layla lihat. Seperti istana kalau dilihat dari luar, ada kerucutnya di atas sana!" seru Layla tersenyum. "Ya, memang desain awalnya aku buat seprti itu, agar tidak ada yang menyamainya." Layla hanya mengangguk saja, dan ia berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tangga melengkung dan lebar, lantai mengkilat dari marmer berwarna cream, dan beberapa pilar besar di dalam ruangan, serta lampu kristal besar yang menggantung di langit-lan
Pernikahan yang dimimpikan selama ini oleh Layla benar-benar terlaksana. Dalam hitungan detik demi detik pernikahan mereka sudah resmi.Dan begitu pula yang dirasakan oleh Nathaniel. Memiliki Layla seutuhnya dan ke mana-mana bisa ia jaga dan ia bawa, adalah cita-cita Nathan sejak dia masih kecil. Layla dan Nathaniel kini tengah sibuk dengan para tamu, tak lain adalah para teman-teman Nathaniel, karena Layla sendiri tidak memiliki teman. "Selamat ya kalian berdua, wahhh... Kapan ya aku nyusul?" seru Vargo menepuk pundak Nathaniel. "Mulutnya!" sinis Caley merangkul dan memukul punggung Vargo hingga laki-laki dengan tuxedo abu-abu itu tertawa. "Ya... Siapa tahu saja yang kedua kalinya." Vargo menjawab dengan sangat santai. Seketika Nathaniel terkekeh, ia menggenggam tangan Layla dan mengecupnya dengan lembut. "Jangan mendengarkan Sayang, mereka ini laki-laki gila!" sinis Nathaniel seraya menatap aneh pada semua temannya. "Iya, mereka lucu," ujar Layla. Layla merasakan ia seperti
Hari yang dinanti-nanti oleh Layla dan Nathaniel esok pagi akan terlaksana. Mereka semua keluarga kini berada di sebuah hotel milik keluarga Ferdherat. Hotel bintang lima yang berada di tengah-tengah kota Berlin. Laila Tengah berada di dalam kamarnya bersama Sarah, Caroline, Rosalia dan juga Valia. Keluarga Jazvier yang datang jauh-jauh hanya ingin melihat Layla menikah dengan Nathaniel. "Tidak terasa kita sudah tua ya Sarah, Cucu kita besok sudah mau menikah," ujar Caroline pada Sarah. "Iya, aku merasa seperti kemarin kita mengasuh anak-anak, tapi sekarang mereka sudah menikah saja. Ini waktu yang terlalu cepat atau apanya yang salah?" gumam Sarah seraya duduk bersandar. Valia bersama Rosalia duduk di atas ranjang bersama Layla yang berbaring bersama Jeremy. "Sepertinya tidak ada yang salah, Nenek saja yang menolak tua," sahut Jeremy tiba-tiba, anak itu sangat cerdas. Mendengar apa yang dikatakan bocah itu sontak membuat semua orang di dalam ruangan tersebut langsung tertawa.