EMm…Tubuh Arleta menggeliat, perlahan matanya terbuka. Kruk..Arleta memegangi perutnya yang terasa sangat lapar, dia menoleh suaminya melihat suaminya yang masih tertidur. Senyum Arleta mengembang mengingat permainan mereka semalam. Sungguh luar biasa!Perlahan Arleta turun dari tempat tidur dengan melilitkan selimut menutupi tubuh polosnya lalu berjalan menuju kamar mandi. “Astaga. Ini lebih banyak dari biasanya,” gunam Arleta ketika sedang bercermin.Dimana hampir seluruh tubuhnya penuh dengan tanda merah hasil karya suami tercinta. Krukk…Perutnya kembali berbunyi membuat Arleta bergegas membersihkan diri. Dua puluh menit berlalu Arleta baru menyelesaikan mandinya, dia keluar dengan hanya menggunakan handuk.“Udah bangun sayang,”sapa Arleta ketika melihat Mahen sedang duduk bersandar pada kepala ranjang. Mahen mengangguk,”Iya sayang.”Arleta hanya menganggukan kepala sebagai jawaban, kemudian berjalan menuju lemari untuk mengambil berganti pakaian.Grep.“Wangi,”ucap Mahen t
Setelah mengantarkan Mahen, Bas langsung kembali pulang ke apartemen pribadinya. Pria itu tidak ingin menjadi nyamuk lama-lama diantara pengantin baru yang super bucin itu.Bas mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Jam masih menunjukan pukul tujuh.Bas pikir tidak ada salahnya dia mampir ke cafe sebentar. Sekedar untuk mengusir penat.Bas pun membelokan mobilnya ke halaman cafe yang tidak terlalu ramai pengunjungnya. Bukan apa Bas hanya malas jika terlalu banyak orang di sekelilingnya yang akan menjadikan suasana menjadi riuh dan yang pasti hal itu sangat mengganggu ketenangan. Setelah mobilnya terparkir sempurna Bas turun lalu berjalan memasuki cafe tersebut. Kebetulan Bas mendapatkan tempat duduk yang ada di ujung dimana dia bisa menyaksikan pemandangan taman buatan di cafe tersebut.Cafe yang didatangi Bas saat ini memiliki konsep indoor. Namun jika mereka yang tidak suka bisa memilih menikmati hidangan di dalam ruangan.“Permisi tuan, mau pesan apa?”tanya seorang pelay
Plak“Apa yang sedang kau lakukan di sini?”Mendapat tepukan sekaligus mendengar suara yang sangat familiar di telinganya pria itu berbalik.“Loh! Tuan sedang apa disini? Bas malah balik bertanya.Mahen hanya menaikan bahunya lalu berjalan menyusul Arleta.‘Astaga! Kenapa pula tuan di sini.’ batin Bas.Bisa gagal rencannya untuk mencari tahu gadis itu. Mahen duduk tidak jauh dari tempat Bas berada mereka hanya terhalang satu meja saja.“Sayang. Kenapa kita tidak bareng Bas saja?” tanya Arleta sedikit melirik Bas.“Sttt. Jangan berisik sayang. Kita lihat saja dia mau ketemuan dengan siapa, kalau kita disana,”sahut Mahen dengan berbisik.Haha..Puas sekali Mahen melihat ekspresi Bas yang terlihat Bete.Tidak lama seorang pelayan datang menghamipiri meja Mahen. Bas terlihat mengembangkan senyuman ketika melihat gadis yang selama ini di tunggu akhirnya muncul juga. ‘Ah. Kenapa pula harus ada tuan dan nona. Jika tidak aku sudah menghampirinya.’ garutu Bas dalam hati.Pria itu berpik
Sebelum masuk kedalam ruangan meneger Vina mengehela nafas dalam. Dirinya pasrah jika ini adalah hari terahrinya bekerja.‘Semua gara-gara pria aneh itu.’keluh Vina.Setelah dirasa cukup tenang, Vina memberanikan diri menegtuk pintu.Tok….Tok…“Masuk.” Perlahan Vina menekan handle pintu kemudiaan melangkahkan kakinya masuk. Vina melangkah dengan gontai jantungnya berdebar dengan kencang. “Silahkan duduk,” titah pak meneger.Vana mengangguk, lalu duduk dengan canggung. Gadis itu terus menunduk tidak berani mengangkat wajahnya dengan perasaan cemas Vina meremas jari jemarinya sendiri di bawah meja.“Kamu sudah tahu kenapa saya panggil kesini?” tanya pak meneger dengan suara khasnya yaitu terdengar menankutkan bagi Vina.Vina mengangguk,” Iya pak.” sahutnya.Walau kejadian tadi bukan sepenuhnya salah dia, tapi Vina tetap harus bertanggung jawab karena memang itu semua sudah tertera dalam kontrak. Mau tak mau Vina harus mengakui.Pak meneger terlihat mengangguk-anggukan kepala.” Baikl
“Berhenti disini saja tuan,” pinta Vina menunjuk sisi jalan.“Yakin?” tanya Bas memastikan.Vina mengangguk,”Iya. Lagi pula rumah saya masuk gang kecil jadi mobil gak bisa masuk,”jelasnya.Bas mengangguk pasrah,”Baiklah.”Bas menepikan mobilnya.“Terima kasih sudah mengantarkan saya tuan,”ucap Vina sebelum turun.“Sama-sama.”“Em..ngomong-ngomong memang rumah kamu dimana?”“Di dalam sana,” Vina menunjuk ke arah gang yang tidak jauh dari mobil saat ini.“Ah. Baiklah,” sahut Bas pasrah.Vina pun keluar, lalu melangkahkan kaki berjalan menuju gang arah rumahnya.Baru berapa langkah Vina kembali berhenti setelah mendengar teriakan Bas.“Ada apa lagi tuan?” tanyanya dengan nada pelan namun penuh penekanan.Bas sedikit berlari menghampiri Vina.“Setelah saya pikir-pikir. Saya akan antar kamu sampai rumah, tidak elok juga kan seorang gadis pulang sendiri mana hari sudah mulai gelap,”jawab Bas.“Itu tidak perlu. Saya sudah biasa sendiri,”tolak Vina. Bukan Bas namanya jika tidak memaksa. Akhi
“Loh! Anda mau kenapa ikut turun?” tanya Vina heran ketika Bas juga ikut turun.“Saya mau sarapan. Bikinin kopi ya,”ucap Bas sambil berjalan mendahului Vina.Vina memutar bola matanya malas, kemudian ikut melangkah masuk ke dalam cafe. Beberapa teman kerja Vina rupanya melihat Vina turun dari mobil dengan seorang pria hingga membuat mereka bertanya-tanya.“Cie-cie yang berangkat dianterin ayang,” goda salah satu teman Vina ketika wanita itu masuk ke dapur.Vina memutar bola matanya malas,”Ais. Apasih.”“Ganteng juga Vin. Nemu dimana?” godanya lagi.“Pasar loak,”sahut Vina asal.“Bang capucinonya satu,” ucap Vina pada bartender.“Cie. Buat ayang nih,” “Apaan sih! Buat pelanggan noh,” ucap Vina sambil menatap ke arah Bas.Setelah beberapa saat menunggu akhirnya Vina datang membawa pesanan Bas. “Selamat menikmati,” ucap Vina dengan ramah.Di cafe ini memang mengharuskan para pegawainya bersikap ramah pada setiap pengunjung pria atau wanita. Dan di jam-jam seperti sekarang ini cafe bia
“Masuk,” sahut Mahen menoleh pada pintu. Tidak lama pintu terbuka, Bas melangkah masuk dengan membawa beberapa berkas. “Selamat pagi tuan, maaf saya sedikit terlambat,” ucapnya sambil menundukan sedikit badan sebagai tanda hormat. “Tidak masalah. Duduklah,” titah Mahen. Bas mengangguk patuh, lalu duduk di kursi yang berhadapan. Bas meletakan berkas di atas meja “Ini ada beberapa berkas yang harus ditandatangani tuan,” ucapnya. Mahen mengambil berkas tersebut lalu membukanya membacanya sebentar kemudian menutupnya kembali. “Apa hari ini ada meeting?” tanya Mahen dengan nada serius. “Tidak ada tuan,” “Setelah makan siang, kita keluar. Aku ingin mencari rumah hadiah untuk istriku. Kau tolong carikan rekomendasi tempat yang cocok untuknya.” titah Mahen. Bas mengangguk mengerti,”Baik tuan, aku akan mencari beberapa rekomendasi nanti.” “Apa ada yang lain lagi tuan?”tanya Bas. “Tidak. Cukup itu saja.” “Kalau begitu aku kembali ke ruangan ku dulu,” pamitnya. “Pergi
“Maaf-maaf saya tidak sengaja. Apa ada yang terluka?” tanya Bas dengan nada cemas. Bagaimana tidak!Entah dia kurang fokus atau apa sehingga menyebabkan hal ini terjadi. Bas menabrak pengendara sepeda motor yang hendak nyebrang. Alhasil pria itu seketika panik begitu juga dengan Mahendra, keduanya langsung turun dan membantu korban untuk bangun.“Tidak. Saya tidak apa-apa. Terima….”“Anda!”“Vina!”Seru mereka berdua bersamaan. Sedangkan Mahen pria itu hanya diam menyaksikan dengan bingung ‘Oh. Mereka saling kenal.’“Ya ampun. Kenapa sih! Kalau ketemu anda selalu sial!” omel Vina dengan nada kesal.“Maaf aku sungguh tidak sengaja. Apa ada yang terluka?” Bas mengulangi pertanyaannya. Kali ini pria itu sambil membolak balik badan Vina membuat si empunya berdecak sebal.“Berhenti. Apa yang anda lakukan tuan! Anda kira saya apa dibolak-balik seenaknya saja!” gerutunya. Lalu Vina menoleh pada motornya yang masih terbaring bersama box berisi berapa pesanan yang harus di antarnya.“Ya am
Malam itu, rumah Mahen dan Arleta diselimuti keheningan yang mencekam. Setelah membawa Mahesa ke rumah sakit, mereka berdua duduk di ruang tunggu, menatap kosong ke arah pintu ruang perawatan. Tidak ada kabar pasti dari dokter selain bahwa Mahesa berada dalam kondisi koma. Tidak ada penjelasan medis yang memadai, seolah-olah tubuh kecilnya telah menyerah tanpa alasan yang jelas.Arleta menunduk, air mata jatuh tanpa henti. “Mahen, kenapa semua ini terjadi pada Mahesa? Apa yang sebenarnya terjadi di taman itu?”Mahen memeluk Arleta erat, mencoba menenangkan istrinya meskipun dirinya pun dipenuhi kegelisahan. “Aku nggak tahu, Leta. Tapi aku janji, kita akan menemukan jawabannya. Mahesa pasti kembali pada kita.”Namun, di dalam hatinya, Mahen tahu bahwa janji itu mungkin sulit ditepati. Surat yang ditemukan di bantal Mahesa terus mengganggu pikirannya. Apa maksud Mahesa akan kembali setelah membantu mereka? Siapa mereka? Dan mengapa semua petunjuk selalu berpusat pada pohon besar di
Taman di belakang rumah Mahen dan Arleta kini menjadi tempat favorit keluarga mereka. Pohon besar itu tidak hanya menjadi saksi tumbuh kembang Mahesa, tetapi juga menyimpan misteri yang seolah tak habis digali. Layang-layang yang terbang tinggi sering menjadi simbol kebebasan bagi Mahesa, namun juga mengingatkan Mahen dan Arleta pada kehadiran Reza, sosok misterius yang menjadi bagian dari cerita keluarga mereka.Namun, kehidupan yang tampaknya tenang ini mulai terusik kembali saat kejadian aneh terjadi.Suatu pagi, Mahesa yang baru selesai bermain di taman berlari masuk ke rumah dengan wajah ceria. Dia membawa sesuatu di tangannya, selembar surat yang tampak usang, ditemukan di dekat akar pohon besar.“Ayah, Bunda! Lihat ini, aku nemu surat lagi!”Mahen segera mengambil surat itu dan membukanya. Tulisan tangan di surat itu sama seperti yang ditemukan sebelumnya di dalam kotak kayu, membuat mereka merasa merinding."Untuk Mahen dan Arleta,Jangan takut pada apa yang belum kalian p
Hari-hari berlalu setelah peristiwa di bawah pohon besar terasa lebih tenang. Meski rasa penasaran tetap ada, Mahen dan Arleta memutuskan untuk fokus pada keluarga mereka, terutama Mahesa. Namun, ada sesuatu yang berubah dalam kehidupan mereka, seolah-olah kehadiran Reza membawa pesan terselubung yang belum sepenuhnya mereka pahami.Mahesa kini tumbuh semakin besar. Semakin hari, kecerdasan dan rasa ingin tahunya semakin terlihat. Dia sering bertanya hal-hal yang sulit dijawab, seperti tentang bintang di langit atau kenapa hujan turun. Namun, pertanyaan yang paling sering Mahesa ajukan belakangan ini membuat Mahen dan Arleta terdiam.“Ayah, Bunda, nanti kalau aku besar, aku akan seperti apa?”Mahen tertawa kecil, mencoba menyembunyikan kebingungannya. “Kamu akan jadi anak yang hebat, Sayang, seperti sekarang.”“Tapi aku mau tahu,” desak Mahesa. “Reza bilang setiap anak punya jalannya sendiri.”Mahen dan Arleta terkejut. Sudah berbulan-bulan sejak mereka terakhir mendengar Mahesa
Hari-hari berlalu dengan tenang setelah Reza "mengucapkan selamat tinggal." Mahesa tampak kembali seperti anak kecil pada umumnya, yang ceria, penuh rasa ingin tahu, dan sibuk dengan aktivitasnya. Namun, Mahen dan Arleta belum bisa sepenuhnya melupakan apa yang terjadi. Gambar terakhir yang ditinggalkan Mahesa, dengan tulisan "Sampai jumpa lagi, Mahesa," tetap tersimpan rapi di ruang kerja mereka, seolah menjadi pengingat bahwa kisah ini belum benar-benar selesai.Entah, seperti masih ada yang mengganjal di hati Mahen maupun Arleta. Suatu malam, Mahen terbangun dengan nafas tersengal. Mimpi aneh menghantuinya. Mahen melihat dirinya berjalan di tengah sawah yang luas, dikelilingi oleh layangan-layangan yang berterbangan di langit jingga. Di kejauhan, Mahen melihat seorang anak laki-laki berdiri membelakanginya.“Reza?” panggil Mahen dalam mimpi.Anak itu menoleh, tersenyum, lalu berlari menjauh sambil membawa layangan. Mahen mencoba mengejarnya, tetapi langkahnya terasa berat,
Setelah peristiwa di taman belakang, Mahen dan Arleta merasa ada sesuatu yang belum selesai.Perasaan aneh terus menghinggapi mereka setiap kali mengingat cerita Mahesa tentang Reza, terutama ketika mereka melihat gambar-gambar yang dibuat Mahesa. Gambar itu bukan sekadar ilustrasi seorang anak bermain, melainkan potongan cerita yang terasa hidup.Namun, mereka memutuskan untuk tidak membahasnya terlalu jauh di depan Mahesa. Anak itu tampak bahagia, dan bagi mereka, itu yang paling penting.Suatu pagi, saat membersihkan gudang, Arleta menemukan sebuah kotak kayu tua yang tertutup debu tebal.Arleta tidak ingat pernah menyimpan kotak itu sebelumnya. Dengan rasa penasaran, wanita itu membuka kotak tersebut dan menemukan beberapa barang usang di dalamnya. Sebuah foto hitam putih seorang anak laki-laki memegang layangan, sebuah catatan kecil, dan mainan kayu yang sudah lapuk.Di belakang foto itu, tertulis dengan tinta yang mulai memudar. "Reza, di hari pertama layangan barunya terbang
Mahesa yang baru berumur enam tahun mulai menunjukkan kemampuan yang luar biasa. Dia sering kali berbicara dengan kalimat yang tampak terlalu dewasa untuk anak seusianya.“Ayah, kenapa langit bisa biru?” tanyanya suatu sore saat mereka duduk di halaman belakang.Mahen terkekeh, merasa bingung harus menjelaskan dengan bahasa sederhana. “Karena cahaya dari matahari itu terpecah oleh atmosfer bumi, Sayang.”“Oh, jadi itu seperti warna pelangi, ya? Tapi cuma yang biru yang terlihat?” tanyanya lagi.Mahen tertegun. Anak seusia Mahesa sudah bisa memahami konsep seperti itu? Mahen menatap Arleta, yang hanya mengangkat bahu sambil tersenyum bangga.Tidak hanya itu, Mahesa juga sering menghabiskan waktu dengan membaca buku cerita yang lebih sulit daripada teman-teman sebayanya. Saat Mahesa berhasil menyelesaikan salah satu buku yang diberikan Arleta, Mahesa berkata, “Bunda, aku suka buku ini. Tapi aku mau tahu, kenapa tokohnya harus meninggalkan keluarganya di akhir cerita?”Pertanyaan itu
Hari-hari di rumah Mahen dan Arleta selalu hidup dengan tawa Mahesa. Kini, di usia lima tahun, Mahesa telah menunjukkan banyak hal yang membuat kedua orang tuanya bangga. Di setiap langkah pertumbuhannya, Mahen dan Arleta berusaha memberikan pengalaman-pengalaman yang mendidik, namun tetap menyenangkan, demi membentuk pribadi Mahesa yang ceria dan penuh kasih. Pada ulang tahunnya yang kelima, Mahesa menerima hadiah istimewa dari Mahen dan Arleta, sebuah sepeda kecil berwarna biru, lengkap dengan roda tambahan di sampingnya. “Ini sepeda untuk anak yang sudah besar seperti kamu,” kata Mahen sambil tersenyum, menyerahkan sepeda tersebut. Mata Mahesa berbinar. “Aku bisa naik sepeda, Ayah?” tanyanya dengan polos serta antusias. “Tentu bisa, tapi Ayah akan ajari dulu,” jawab Mahen, penuh semangat. Keesokan harinya, Mahen membawa Mahesa ke halaman depan rumah. Dengan sabar, Mahen mengajarkan cara mengayuh dan keseimbangan. Awalnya, Mahesa terlihat ragu-ragu, tapi dengan du
Masa kanak-kanak Mahesa adalah babak penuh warna dalam kehidupan Mahen dan Arleta. Dalam setiap senyum, tawa, dan tangis Mahesa, mereka menemukan arti baru dari cinta dan kebahagiaan, setiap momen yang mereka lewati, menjadikan kisah yang tidak dapat diulang dua kali.Ketika Mahesa baru belajar berjalan, hari itu menjadi momen yang tidak terlupakan bagi Arleta dan Mahen. Waktu itu, Mahen sedang menyusun laporan di ruang kerja, sementara Arleta sibuk menyiapkan makan malam di dapur. Tiba-tiba, terdengar suara tawa kecil Mahesa dari ruang tamu.Mahen yang penasaran melongok dan melihat Mahesa berdiri dengan susah payah di dekat meja kopi. “Arleta! Cepat kesini!” panggil Mahen penuh antusias.Arleta segera berlari ke ruang tamu, mendengar panggilan dari suaminya, tidak lupa wanita itu menyeka tangannya yang basah. Saat itu, Mahesa mulai melangkahkan kaki kecilnya, perlahan namun pasti, menuju Mahen.“Lihat dia, Arleta!” Mahen berseru, matanya berbinar.Arleta menahan napas, melihat Ma
Mahen menghubungi tim hukumnya keesokan paginya, membicarakan soal rencana untuk menghadapi Reza.Pria itu tahu bahwa menghadapi Reza tidak bisa dilakukan dengan emosi semata. Semua harus dilakukan secara cerdas dan penuh perhitungan.Sementara itu, Arleta berusaha menjaga rutinitas di rumah agar Mahesa tidak terpengaruh oleh situasi yang sedang mereka hadapi. Wanita itu, selalu bersikap normal seperti biasa, melakukan aktifitas ibu rumah tangga dan bermain dengan Mahesa.Disisi lain, Arleta menyaksikan bagaimana Mahen kembali menunjukkan sisi tegasnya sebagai seorang pemimpin, dalam menyikapi setiap masalah yang mereka hadapi.Malam itu, setelah Mahesa tertidur, Mahen duduk di ruang kerjanya dengan segelas kopi. Arleta mendekat dan meletakkan tangannya di bahu suaminya.“Bagaimana rencanamu?” tanyanya lembut.Mahen menatapnya sejenak sebelum menjawab. “Aku sudah berbicara dengan tim keamanan dan legal. Kami akan mengumpulkan bukti atas tindakan Reza, dan jika dia melanggar hukum, k