“Ja-jaminan.” ucap Arleta tergagap.
Bagaimana bisa, ayahnya menjadikan Arleta jaminan? Arleta bukan barang! Yang bisa seenaknya diberikan pada orang, sebagai jaminan hutang.Lalu Arleta menggeleng,” Tidak! Pasti ini bohong!” Arleta masih menyangkal kenyataan yang baru saja dia ketahui.“Ini asli Arleta. Disana terdapat tanda tangan ayahmu.” tunjuk pria tua itu.Mata Arleta mengikuti arah tangan bos rentenir ini. Memang benar disana ada tanda tangan ayahnya.Bahkan dalam surat itu tertulis jika ayah Arleta mendatangi ini surat ini dengan sadar dan tanpa paksaan dari siapapun.“Begini saja, tuan. Saya janji akan melunasi hutang ayah, tapi..”“Tapi apa!” potong Pria tua itu.“Tapi saya minta waktu, setelah saya mendapatkan pekerjaan, saya akan mencicilnya.” jawab Arleta. Dia terus menundukan kepala.“Tidak bisa! Kau akan menjadi istri ke 5 ku! Dan kau tidak bisa menolak, ayahmu sendiri yang sudah memberikanmu padaku!” bentaknya, dengan suara tinggi. Arleta semakin menundukan wajah, takut dengan orang di hadapannya ini.Bagaimana mungkin Arleta menikah dengannya? Bahkan umur Arleta sama dengan anak bungsu pria tua itu!Arleta menggeleng kuat.”Tidak! Aku tidak mau!” tolak nya dengan tegas.Tiba-tiba Arleta berlutut di kaki pria tua.” Tuan. Saya mohon. Berikan saya waktu. Saya janji! Akan membayar, semua hutang ayah! Saya janji!” Arleta terus memohon.Berharap pria itu, mau menerima permohonannya.“Satu bulan! Saya beri waktu satu bulan! Untuk kamu membayarnya. Jika tidak? Kamu harus menikah dengan saya!” ucapnya..Arleta mengangguk mengerti.” Baik tuan. Saya janji akan melunasinya segera.” jawab Arletadengan penuh keyakinan.Arleta sampai tertidur dengan ingat masa lalu yang terus terngiang dan menjadi beban pikirannya saat ini.________Hari ini.Arleta kembali akan mencari pekerjaan. Pagi-pagi Alana sudah rapi. Tidak lupa Arleta menyiapkan berkas untuknya melamar pekerjaan.“Arleta! Kamu mau kemana?” tanya seorang wanita muda, yang ternyata adalah teman Arleta.Arleta menoleh.” Eh. Riri. Aku mau cari kerja.” jawab Arleta.Wanita bernama Riri itu, mengangguk.” Leta, kebetulan di tempatku, sedang membuka lowongan pekerjaan. Kalau kamu mau, kamu bisa mencoba melamar kesana, tapi..”Mendengar ucapan Riri wajah Arleta langsung berubah, penuh semangat.“Tapi, kenapa Ri?” tanya Arleta menatap Riri dalam.“Tapi, cuma jadi OG. Apa kamu mau?” tanya Riri memastikan. Sebenarnya tidak enak Riri mengatakan itu. Takut membuat Arleta tersinggung.Arleta bernafas lega.” Ya ampun Ri, aku kira apa. Tidak apa, yang penting aku bisa bekerja.” jawab Arleta.Riri tersenyum, kemudian mengangguk.” Kalau memang kamu mau. Bisa mencoba melamarnya kesana Leta. Semoga berhasil!” ucap Riri, menepuk pundak sahabatnya.Arleta mengangguk.” Terimakasih, Ri. Sudah mau membantuku.” “Tidak masalah Leta. Lagipula hanya kebetulan di tempat aku bekerja sedang ada lowongan. Oh. Iya. Aku pergi ya, takut kesiangan nanti.” ucap Riri, sambil melihat jam yang melingkar di tangan.“Iya, silahkan.” jawab Arleta singkat.“Atau mau bareng sekalian?” tawar Riri.Arleta menggeleng cepat. “Tidak usah. Aku harus pergi ke suatu tempat dulu.” tolak Arleta.“Baiklah, kalau begitu. Aku jalan sekarang.” Arleta hanya menjawab dengan anggukan kepala.Setelah kepergian Riri, Arleta kembali melanjutkan langkahnya menyusuri jalanan ibu kota. Arleta melangkah dengan penuh semangat, semoga saja di perusahaan tempat Riri bekerja, menerimanya nanti.Saat pagi seperti ini, jalanan ramai dengan kendaraan orang-orang yang hendak pergi bekerja. Namun tidak jarang banyak juga pejalan kaki sama dengan Arleta.Kenapa Arleta jalan kaki?Padahalkan, biasa saja Arleta ikut dengan Riri, karena tujuan mereka sama!Tidak! Arleta tidak ingin, menyusahkan orang lain. Gadis memilih berjalan kaki, kan bisa sekalian olahraga.Jam baru saja menunjukan pukul delapan pagi, tapi matahari sudah sangat terik. Arleta terlihat mengusap keringat yang merembes di dahinya beberapa kali. Namun semangat Arleta tidak pudar, setelah beristirahat sebentar Arleta kembali melanjutkan perjalanan.Pukul Sembilan barulah Arleta sampai di perusahaan ECO COMPANY. Tempat dimana Riri bekerja.Arleta berjalan ke meja resepsionis.‘’Selamat pagi, maaf saya dengar disini sedang membuka lowongan pekerjaan, saya ingin melamar.’’ ucap Arleta.Wanita itu sempat memperhatikan penampilan Arleta, lalu mengangguk.‘’Benar. Tapi sebagai OG, apa nona yakin?’’tanyanya.Arleta mengangguk yakin.’’ Iya, saya yakin.’’ ‘’Baik, jika begitu. Nona bisa langsung pergi ke ruangan HRD sebelah sana ruangannya.’’ ucap wanita yang menjaga resepsionis itu menunjuk lorong sebelah kiri.Arleta mengangguk mengerti.’’ Terimakasih.’’ Sahutnya.Setelah itu Arleta langsung pergi melangkahkan kaki, menuju lorong yang di sudah di beritahu. Arleta melangkahkan kaki pelan, matanya memperhatikan setiap ruangan yang dilewatinya.Arleta baru berhenti di ruangan paling ujung dimana ruang HDR berada.Tok!Tok! Tok!“Permisi.’’Panggil Arleta.‘’Masuk!’’ Arleta menekan handle pintu setelah terdengar sahutan dari dalam.Ceklek.Pintu terbuka, Arleta melangkahkan kaki masuk kedalam ruangan, terlihat di sana ada pria muda yang tengah duduk di kursi kebesarannya.“Permisi tuan, saya ingin melamar pekerjaan sebagai OG di kantor ini.’’ ucap Arleta,dengan menundukan kepala tidak berani menatap pria di hadapannya ini.Pria itu tampak menganggukan kepala.’’ Silahkan duduk.’’ Titahnya.Arleta hanya menjawab dengan anggukan kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan pria itu. Arleta mengeluarkan berkas yang dibawa, lalu menyerahkannya pada pria bernama Danu itu.Arleta tahu karena lihat dari name teks yang di pakai pria itu.‘’Ini berkas-berkas saya tuan.’’ ucap Arleta, sambil mendorong map kehadapan Danu.Danu menerimanya tanpa bicara apapun. Lalu membuka berkas milik Arleta, membacanya sebentar setelah itu melihat wajah Arleta lalu berpindah kembali melihat berkas yang ada di tangannya.Arleta hanya mampu diam sambil menundukan kepala, jantungnya saat ini sedang tidak baik, berdetak lebih dari biasanya.Arleta cemas, takut dirinya tidak di terima di perusahaan ini. ‘’Kau yakin.akan melamar sebagai OG?’’ tanyanya menatap wajah Arleta dengan serius.Arleta mengangkat wajah memberanikan menatap pria bernama Danu itu.‘’Benar tuan. Saya mau asal saya bisa bekerja dan mendapatkan uang akan saya lakukan.’’ Jawab Arleta dengan sangat yakin. Danu mengangguk paham.’’ Baiklah. Kamu saya terima, dan bisa langsung bekerja mulai hari ini.’’ ucap Danu.Wajah Arleta langsung berbinar.’’ Benarkah tuan. Saya tidak sedang memimpikan!’’celoteh Arleta.Danu mengangguk pasti.’’ Iya. Kamu bisa pergi ke ruang ganti nanti disana kamu akan mendapatkan pakaian seragam.’’Saking senangnya Arleta reflek memegang tangan danu, sambil terus mengucapkan terima kasih berkali-kali.‘’terimakasih tuan. Terimakasih!’’‘’ya tuhan. Akhirnya. Akhirnya aku mendapatkan pekerjaan.’’ teriak Arleta girang.Danu hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Arleta yang menurutnya cukup absurd, baru kali ini Danu melihat orang yang sebagai itu mendapatkan pekerjaan. Padahal hanya menjadi OG tapi Arleta terlihat sangat bahagia.Padahal wajah Arleta cukup cantik, jika hanya untuk jadi OG.‘’Sudah sana, mau sampai kamu memegangi tangan saya seperti ini.’’ tanya Danu sambil terkekeh kecil.‘’Eh.’’ Arleta tersadar lalu melepaskan tangannya.‘’Em. Maaf tuan. Maaf! tadi saya reflek saking bahagianya.’’ jawab Arleta dengan tersipu.Sesuai arahan Arleta langsung pergi ke ruang ganti bersama seorang kepala OB di sini.“Ini seragammu. Semoga betah.” ucapnya. Sambil menyodorkan baju pada Arleta.Arleta menerima baju itu.” Terimakasih, nama ku Arleta.” Kini giliran Arleta yang mengulurkan tangan.“Ami.” sahutnya, sambil menerima uluran tangan Arleta.“Cepatlah ganti. Nanti langsung saja pergi ke dapur. Disana kamu akan tahu pekerjaanmu nanti.” titahnya, setelah itu Ami langsung pergi meninggalkan Arleta.Setelah Ami keluar, Arleta langsung mengganti pakaiannya dengan seragam baru. Arleta tersenyum menatap dirinya di cermin.“Semoga kali ini, tidak ada halangan dalam pekerjaanku. Dengan begitu aku akan segera mendapatkan uang untuk membayar hutang.” “Semangat Arleta! Ingat! Jangan buat kesalahan lagi!” ucap Arleta menyemangati dirinya sendiri. Setelah itu Arleta langsung keluar dari ruang ganti dan berjalan menuju dapur dengan semangat empat lima.Tiba di pintu dapur Arleta menghentikan langkahnya sebentar. Dia mena
Laki-laki yang Arleta ketahui bernama tuan Mahendra itu melotot menatap Alana, yang juga sedang menatapnya. Namun dengan tatapan penuh kekhawatiran.‘Astaga! Kenapa bisa ada orang ini disini? Kalau sampai dia bilang sama yang punya perusahaan aku bisa kehilangan pekerjaan lagi.’ batin Arleta.“Hey! Kenapa kau ada disini!” bentak Mahen.Arleta terlonjak, kemudian menundukan pandangan.“Ma_maaf tuan. Sa_saya sedang beekerja disini.” jawab Arleta dengan tergagap. Lalu Arleta memberanikan diri mengangkat wajah, menatap laki-laki yang sedang memelototinya dari tadi.Arleta menjatuhkan alat kebersihannya begitu saja, lalu berlutut di hadapan Mehendra.“Tuan saya mohon maaf, atas kejadian tempo lalu. Saya mohon tuan, jangan bilang sama orang yang punya perusahaan ini, saya tidak ingin di pecat lagi tuan. Saya benar-benar sangat membutuhkan pekerjaan ini.” Arleta memohon dengan kedua tangan di tanggupka di depan dada.Pria itu tetap diam.‘Oh. Rupanya dia belum tahu kalau aku pemilik
Sangat mudah untuk Bas mencari tahu tentang Arleta, pagi ini Bas sudah mengantongi semua dan siap diberikan pada MahenKetika hari masih sangat pagi, Bas sudah keluar dari apartemennya, menuju rumah utama tempat dimana Mahen tinggal.Bas sengaja berangkat sepagi ini, karena akan membicarakan tentang informasi yang di dapatnya..Tidak butuh waktu lama untuk Bas sampai di rumah utama. Setelah mobilnya terparkir dengan baik, Bas segera turun dan melangkah masuk.Di rumah besar ini hanya ada Gio tinggal seorang diri, hanya ada beberapa pelayan dan juga penjaga rumah saja. Sesekali Bas juga menginap disana.“Tuan!” panggil Bas. Ketika susah tiba di depan pintu kamar Mahen.Bas mencoba membuka pintu namun tidak bisa.’’ Sepertinya tuan Mahen masih tidur.’’ Bas mengambil ponsel dalam saku celana, lalu menghubungi nomor Mahen. ‘’Astaga. Mengganggu saja!’’ keluh Mahen. Perlahan pria itu membuka mata, tangannya meraih ponsel yang ada di atas nakas.‘’Bas. Ini masih sangat pagi, kenapa dia su
“Tuan, saya turun disini saja.’’ ucap Arleta saat mobil Bas tiba di pintu gerbang kantor.Tanpa menunggu jawaban dari Mahen, Bas menghentikan mobilnya tepat di samping pintu masuk. Setelah mobil berhenti Arleta segara membuka pintu.‘’Tuan terima kasih atas tumpangannya.’’ ucap Arleta, sebelum dia benar-benar turun.‘’Hem.’’ sahut Ma singkat. Setelah Arleta benar-benar turun Bas langsung melajukan mobilnya kembali masuk kedalam pekarangan gedung. Sedangkan Arleta berjalan di belakang.Arleta bersyukur, tadi dia mendapatkan tumpangan kalau tidak, Dia pasti akan kesiangan . Arleta buru-buru masuk ke dalam ruang ganti, setelah berganti pakaian Arleta langsung menuju dapur. Bersiap untuk menjalankan tugas. Seperti biasa di dapur sudah ada pembagian tugas masing-masing, hari ini Arleta kebagian tugas membersihkan ruangan di lantai tiga.Di lantai lain, tepatnya di ruangan presdir Mahendra sedang sibuk dengan berkas-berkas yang menumpuk di atas meja. Pria itu terlalu fokus sehingga
Mehen mendorong tubuh Arleta hingga gadis itu jatuh terlentang diatas sofa empuk yang ada di ruangan presdir. Mehen langsung menindih Arleta dan melanjutkan mencumbu gadis itu dengan brutal.“Tuan! Berhenti! Tolong jangan lakukan ini!” Arleta memohon dengan mengiba. Tapi pria di atasnya ini seakan tuli tidak mendengar jerit tangisnya.Tangis dan rengekan Arleta seperti musik yang membuat Mahenra semakin bernafsu. Puas bermain di area leher kini Mahendra mencium bibir Arleta kembali dengan brutal menyusuri setiap rongga mulut gadis di bawahnya. Tangan Mahen bergerak meremas payudara Arleta yang berukuran sedang namun sangat pas ditangan Mehendra, tangan satunya pria itu digunakan untuk memegang tangan Arleta agar tidak bisa berontak.“Empt..”“Empt..” Arleta berteriak tertahan, nafasnya hampir habis akibat ulah Mahen.Pria itu melepaskan ciumannya, membiarkan Arleta mengambil oksigen. Matanya menatap dua buah gunung yang sangat indah di balik kaos yang Arleta kenakan.Dan…Srek!“Tid
Arleta langsung menyambar jubah mandi dari tangan Mahen, lalu dengan cepat memakainya. Dari pada dia harus telanjang di hadapan laki-kali brengsek yang telah merenggut masa depannya.“Aw!” Arleta terpekik, saat akan berdiri, area di bawah sana terasa sangat sakit dan ngilu ketika dibawa untuk bergerak.“Biar saya bantu!” Mahen hendak memegang tangan Arleta. Tapi cepat ditepis oleh gadis itu.“Tidak perlu!” tolak Arleta dengan kasar.Mahen menghela nafas kasar.Sedangkan Arleta, dia berjalan dengan tertatih menahan rasa sakit. Dengan pelan Arleta masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Mahen segera menghubungi Bas, ketika Arleta sudah benar-benar masuk kedalam kamar mandi.“Bas. Carikan aku pakaian wanita. Cepat! Bawa keruanganku sekarang!” titah Mahen, begitu panggilan bari terhubung.“Pakaian wanita?” tanya Bas dengan nada heran.“Iya! Cepat!”“Tapi tuan…”“Kalau kau terus bertanya! Kapan kau akan berangkat mencarinya. Nanti aku akan jelaskan setelah kau bawa pakaian itu kemar
“Arleta kamu sakit?” tanya Ami ketika melihat Alana yang pucat.“Sepertinya begitu. Apa boleh hari ini aku izin?” Arleta terpaksa berbohong, demi kebaikannya sendiri. “Pulanglah! Dan segera pergi ke dokter.” Arleta mengangguk.” Terimakasih.”Ami mengangguk.” Sama-sama. Semoga lekas sembuh.” ucap Ami.Setelah mendapatkan izin Arleta langsung mengambil tasnya yang ada di ruang ganti. Setelah itu langsung melangkah keluar dari perusahaan ini. Di ruang presdir.“Bagaimana kalau gadis itu. Membocorkan masalah ini di luaran? Bisa hancur nama baik yang selama ini aku jaga.” ucap Mahen. Terlihat sangat khawatir. Dari tadi pria itu terus mondar mandir tidak jelas di ruangannya. Bas yang melihatnya pun menjadi pusing.“Tenanglah tuan! Duduklah! Jika anda terus mondar mandir seperti ini, saya malah ikutan pusing.” tegur Bas.Mahen menurut, langsung duduk kembali di kursinya.“Begini saja tuan. Bukankah, tuan tadi mengatakan punya penawaran untuk Arleta? Bagaimana sore nanti kita datengin
Cepat angkat bodoh! kenapa malah diam di situ.” bentakan Mahen cukup menyadarkan Bas.“Eh. Iya tuan.” Dengan cepat Bas, mengangkat tubuh Alana yang terkulai lemas. Setelah itu Bas berjalan dengan sedikit berlari menuju mobil sambil membopong tubuh Arleta.Sedangkan Mahen, berjalan di belakang Bas. Tidak lupa Mahen juga menutup pintu rumah Arleta. Pria itu berlari menyusul Bas, lalu membukakan pintu mobil.Bas segera menidurkan Arleta di kursi belakang, setelah itu baru Bas ikut masuk kedalam mobil, sebelumnya tadi Mahen sudah masuk, dan duduk di kursi depan.“Cepat Bas! Kau lambat sekali.” protes Mahen.Mahen menoleh ke belakang, untuk melihat kondisi Arleta. Dengan perasaan khawatir.“Ini sudah ngebut tuan!” jawab Bas. Lalu menambah kecepatan laju mobilnya.Baru kali ini, Bas melihat Mahen begitu peduli dengan wanita, apalagi hanya seorang Office Girl. Atau mungkin karena kejadian siang tadi? ‘Ah! Tapi, ya sudahlah!’Setelah empat puluh menit perjalanan, akhirnya mereka tiba di rum
Hari-hari berlalu setelah peristiwa di bawah pohon besar terasa lebih tenang. Meski rasa penasaran tetap ada, Mahen dan Arleta memutuskan untuk fokus pada keluarga mereka, terutama Mahesa. Namun, ada sesuatu yang berubah dalam kehidupan mereka, seolah-olah kehadiran Reza membawa pesan terselubung yang belum sepenuhnya mereka pahami.Mahesa kini tumbuh semakin besar. Semakin hari, kecerdasan dan rasa ingin tahunya semakin terlihat. Dia sering bertanya hal-hal yang sulit dijawab, seperti tentang bintang di langit atau kenapa hujan turun. Namun, pertanyaan yang paling sering Mahesa ajukan belakangan ini membuat Mahen dan Arleta terdiam.“Ayah, Bunda, nanti kalau aku besar, aku akan seperti apa?”Mahen tertawa kecil, mencoba menyembunyikan kebingungannya. “Kamu akan jadi anak yang hebat, Sayang, seperti sekarang.”“Tapi aku mau tahu,” desak Mahesa. “Reza bilang setiap anak punya jalannya sendiri.”Mahen dan Arleta terkejut. Sudah berbulan-bulan sejak mereka terakhir mendengar Mahesa
Hari-hari berlalu dengan tenang setelah Reza "mengucapkan selamat tinggal." Mahesa tampak kembali seperti anak kecil pada umumnya, yang ceria, penuh rasa ingin tahu, dan sibuk dengan aktivitasnya. Namun, Mahen dan Arleta belum bisa sepenuhnya melupakan apa yang terjadi. Gambar terakhir yang ditinggalkan Mahesa, dengan tulisan "Sampai jumpa lagi, Mahesa," tetap tersimpan rapi di ruang kerja mereka, seolah menjadi pengingat bahwa kisah ini belum benar-benar selesai.Entah, seperti masih ada yang mengganjal di hati Mahen maupun Arleta. Suatu malam, Mahen terbangun dengan nafas tersengal. Mimpi aneh menghantuinya. Mahen melihat dirinya berjalan di tengah sawah yang luas, dikelilingi oleh layangan-layangan yang berterbangan di langit jingga. Di kejauhan, Mahen melihat seorang anak laki-laki berdiri membelakanginya.“Reza?” panggil Mahen dalam mimpi.Anak itu menoleh, tersenyum, lalu berlari menjauh sambil membawa layangan. Mahen mencoba mengejarnya, tetapi langkahnya terasa berat,
Setelah peristiwa di taman belakang, Mahen dan Arleta merasa ada sesuatu yang belum selesai.Perasaan aneh terus menghinggapi mereka setiap kali mengingat cerita Mahesa tentang Reza, terutama ketika mereka melihat gambar-gambar yang dibuat Mahesa. Gambar itu bukan sekadar ilustrasi seorang anak bermain, melainkan potongan cerita yang terasa hidup.Namun, mereka memutuskan untuk tidak membahasnya terlalu jauh di depan Mahesa. Anak itu tampak bahagia, dan bagi mereka, itu yang paling penting.Suatu pagi, saat membersihkan gudang, Arleta menemukan sebuah kotak kayu tua yang tertutup debu tebal.Arleta tidak ingat pernah menyimpan kotak itu sebelumnya. Dengan rasa penasaran, wanita itu membuka kotak tersebut dan menemukan beberapa barang usang di dalamnya. Sebuah foto hitam putih seorang anak laki-laki memegang layangan, sebuah catatan kecil, dan mainan kayu yang sudah lapuk.Di belakang foto itu, tertulis dengan tinta yang mulai memudar. "Reza, di hari pertama layangan barunya terbang
Mahesa yang baru berumur enam tahun mulai menunjukkan kemampuan yang luar biasa. Dia sering kali berbicara dengan kalimat yang tampak terlalu dewasa untuk anak seusianya.“Ayah, kenapa langit bisa biru?” tanyanya suatu sore saat mereka duduk di halaman belakang.Mahen terkekeh, merasa bingung harus menjelaskan dengan bahasa sederhana. “Karena cahaya dari matahari itu terpecah oleh atmosfer bumi, Sayang.”“Oh, jadi itu seperti warna pelangi, ya? Tapi cuma yang biru yang terlihat?” tanyanya lagi.Mahen tertegun. Anak seusia Mahesa sudah bisa memahami konsep seperti itu? Mahen menatap Arleta, yang hanya mengangkat bahu sambil tersenyum bangga.Tidak hanya itu, Mahesa juga sering menghabiskan waktu dengan membaca buku cerita yang lebih sulit daripada teman-teman sebayanya. Saat Mahesa berhasil menyelesaikan salah satu buku yang diberikan Arleta, Mahesa berkata, “Bunda, aku suka buku ini. Tapi aku mau tahu, kenapa tokohnya harus meninggalkan keluarganya di akhir cerita?”Pertanyaan itu
Hari-hari di rumah Mahen dan Arleta selalu hidup dengan tawa Mahesa. Kini, di usia lima tahun, Mahesa telah menunjukkan banyak hal yang membuat kedua orang tuanya bangga. Di setiap langkah pertumbuhannya, Mahen dan Arleta berusaha memberikan pengalaman-pengalaman yang mendidik, namun tetap menyenangkan, demi membentuk pribadi Mahesa yang ceria dan penuh kasih. Pada ulang tahunnya yang kelima, Mahesa menerima hadiah istimewa dari Mahen dan Arleta, sebuah sepeda kecil berwarna biru, lengkap dengan roda tambahan di sampingnya. “Ini sepeda untuk anak yang sudah besar seperti kamu,” kata Mahen sambil tersenyum, menyerahkan sepeda tersebut. Mata Mahesa berbinar. “Aku bisa naik sepeda, Ayah?” tanyanya dengan polos serta antusias. “Tentu bisa, tapi Ayah akan ajari dulu,” jawab Mahen, penuh semangat. Keesokan harinya, Mahen membawa Mahesa ke halaman depan rumah. Dengan sabar, Mahen mengajarkan cara mengayuh dan keseimbangan. Awalnya, Mahesa terlihat ragu-ragu, tapi dengan du
Masa kanak-kanak Mahesa adalah babak penuh warna dalam kehidupan Mahen dan Arleta. Dalam setiap senyum, tawa, dan tangis Mahesa, mereka menemukan arti baru dari cinta dan kebahagiaan, setiap momen yang mereka lewati, menjadikan kisah yang tidak dapat diulang dua kali.Ketika Mahesa baru belajar berjalan, hari itu menjadi momen yang tidak terlupakan bagi Arleta dan Mahen. Waktu itu, Mahen sedang menyusun laporan di ruang kerja, sementara Arleta sibuk menyiapkan makan malam di dapur. Tiba-tiba, terdengar suara tawa kecil Mahesa dari ruang tamu.Mahen yang penasaran melongok dan melihat Mahesa berdiri dengan susah payah di dekat meja kopi. “Arleta! Cepat kesini!” panggil Mahen penuh antusias.Arleta segera berlari ke ruang tamu, mendengar panggilan dari suaminya, tidak lupa wanita itu menyeka tangannya yang basah. Saat itu, Mahesa mulai melangkahkan kaki kecilnya, perlahan namun pasti, menuju Mahen.“Lihat dia, Arleta!” Mahen berseru, matanya berbinar.Arleta menahan napas, melihat Ma
Mahen menghubungi tim hukumnya keesokan paginya, membicarakan soal rencana untuk menghadapi Reza.Pria itu tahu bahwa menghadapi Reza tidak bisa dilakukan dengan emosi semata. Semua harus dilakukan secara cerdas dan penuh perhitungan.Sementara itu, Arleta berusaha menjaga rutinitas di rumah agar Mahesa tidak terpengaruh oleh situasi yang sedang mereka hadapi. Wanita itu, selalu bersikap normal seperti biasa, melakukan aktifitas ibu rumah tangga dan bermain dengan Mahesa.Disisi lain, Arleta menyaksikan bagaimana Mahen kembali menunjukkan sisi tegasnya sebagai seorang pemimpin, dalam menyikapi setiap masalah yang mereka hadapi.Malam itu, setelah Mahesa tertidur, Mahen duduk di ruang kerjanya dengan segelas kopi. Arleta mendekat dan meletakkan tangannya di bahu suaminya.“Bagaimana rencanamu?” tanyanya lembut.Mahen menatapnya sejenak sebelum menjawab. “Aku sudah berbicara dengan tim keamanan dan legal. Kami akan mengumpulkan bukti atas tindakan Reza, dan jika dia melanggar hukum, k
Setelah pertemuan dengan Ana, suasana rumah kembali tenang. Namun, di balik ketenangan itu, baik Mahen maupun Arleta tahu bahwa hubungan mereka masih membutuhkan waktu untuk benar-benar pulih. Mahesa, dengan tingkah lucu dan polosnya, menjadi pengikat hati mereka berdua.Malam itu, ketika Mahesa sudah tertidur pulas di kamarnya, Arleta duduk di balkon rumah mereka. Angin malam berhembus lembut, mengiringi pikirannya yang melayang-layang. Arleta teringat tatapan Ana saat pertemuan itu. Ada rasa sakit di mata wanita itu, tetapi juga ada tekad untuk melepaskan.Mahen keluar dari kamar, membawa dua cangkir teh hangat. Pria itu tahu istrinya sedang berpikir keras.“Tehnya untuk kamu,” kata Mahen, menyerahkan secangkir teh kepada Arleta.“Terima kasih,” jawab Arleta pelan, menerima cangkir itu dengan senyuman kecil.Mereka duduk berdampingan di bawah langit malam yang bertabur bintang. Untuk sesaat, tidak ada kata-kata yang terucap. Hanya suara angin yang menemani mereka.“Aku tahu sem
Hari-hari berlalu setelah pertemuan Arleta dan Ana di kafe. Meski percakapan itu memberikan kejelasan, Arleta tetap tidak bisa sepenuhnya melupakan sosok Ana. Wanita itu bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang belum terungkap, sesuatu yang mungkin Mahen sembunyikan darinya.Sementara itu, Mahen tampak berusaha lebih keras untuk membangun kembali kepercayaan istrinya.Dia semakin sering membantu mengurus Mahesa, meluangkan waktu lebih banyak bersama keluarga, dan selalu memastikan bahwa Arleta merasa diperhatikan. Namun, di tengah upayanya itu, ada rasa khawatir yang diam-diam mengusiknya.Suatu sore, ketika Mahen sedang di kantor, Arleta menerima sebuah amplop tanpa nama yang diselipkan di bawah pintu rumah mereka. Dengan rasa penasaran bercampur was-was, Arleta membukanya. Di dalamnya terdapat foto-foto lama Mahen dan Ana, tampak mesra di sebuah acara yang jelas bukan sekadar pertemuan teman biasa.Hati Arleta mencelos. Dia merasa dikhianati lagi, meski Mahen tidak pernah mengaku