Sesuai arahan Arleta langsung pergi ke ruang ganti bersama seorang kepala OB di sini.
“Ini seragammu. Semoga betah.” ucapnya. Sambil menyodorkan baju pada Arleta.Arleta menerima baju itu.” Terimakasih, nama ku Arleta.” Kini giliran Arleta yang mengulurkan tangan.“Ami.” sahutnya, sambil menerima uluran tangan Arleta.“Cepatlah ganti. Nanti langsung saja pergi ke dapur. Disana kamu akan tahu pekerjaanmu nanti.” titahnya, setelah itu Ami langsung pergi meninggalkan Arleta.Setelah Ami keluar, Arleta langsung mengganti pakaiannya dengan seragam baru. Arleta tersenyum menatap dirinya di cermin.“Semoga kali ini, tidak ada halangan dalam pekerjaanku. Dengan begitu aku akan segera mendapatkan uang untuk membayar hutang.” “Semangat Arleta! Ingat! Jangan buat kesalahan lagi!” ucap Arleta menyemangati dirinya sendiri. Setelah itu Arleta langsung keluar dari ruang ganti dan berjalan menuju dapur dengan semangat empat lima.Tiba di pintu dapur Arleta menghentikan langkahnya sebentar. Dia menarik nafas berulang kali, untuk menetralisir rasa gugupnya.Jujur saja Arleta selalu merasa gugup jika berhadapan dengan orang-orang baru. Setelah merasa cukup tenang. Arleta mulai menekan handle pintu, lalu mendorongnya pelan.Begitu pintu terbuka, Arleta hanya melihat Ami disana. Arleta buru-buru melangkah menghampiri Ami, gang sepertinya sedang menunggunya.“Kebetulan Arleta. Ini tolong kamu bawakan kopi-kopi ini ke departemen lima ya. Ruangannya ada di lantai 3 di lorong pertama.” Jelas Ami.“I..iya baik.” jawab Arleta gugup. Bagaimana tidak! Ini hari pertama Arleta bekerja, dia belum tahu seluk beluk kantor ini, dan langsung disuruh mengantarkan minuman ke lantai tiga!Bahkan Arleta tidak tahu jalannya!“Arleta ayo! Kenapa malah bengong?!” seru Ami.“Eh,Iya..tapi..aku belum tahu kemana jalannya?” tanya Arleta pelan. Arleta terus menundukan kepala tidak berani menatap Ami.Ami menghela nafas.” Keluar dari sini, belok kiri nanti ada lift khusus untuk para pekerja. Kamu bisa naik itu agar lebih cepat sampai ke lantai tiga. Ingat Arleta! Jangan sampai salah!” Ami memperingatkan lagi Arleta.Arleta mengangguk mengerti.” Baik.” Setelah itu Arleta langsung mengambil nampan berisi kopi, lalu melangkah keluar.Arleta berjalan dengan terus memperhatikan jalan, dan juga mengingat setiap perkataan Ami.Arleta berhenti sejenak, saat di hadapannya banyak lorong.Arleta melirik kanan kiri.” Ami bilang tadi, belok kiri! Berarti kesini!” Arleta menunjuk jalan yang menurutnya benar.Dengan langkah penuh kehati-hatian, akhirnya Arleta tiba di lift yang dimaksud. Arleta kembali berdiri di depan lift memastikan benar ini lift yang dimaksud Ami tadi.Arleta tersenyum bangga.”Ah. Benar ini! Kan itu ada tulisannya.” Tangan Arleta bergerak menekan angka pada tombol lift. Tring!Tidak lama, pintu lift terbuka. Arleta segera masuk, tidak lama pintu lift kembali tertutup. Hanya ada Arleta sendiri di dalam lift, tidak ada orang lain disana.Hingga beberapa menit kemudian pintu lift kembali terbuka, Arleta segera keluar.“Lorong pertama!” ucap Arleta mengingatkan dirinya sendiri.Arleta kembali melangkahkan kaki menuju lorong yang dimaksud. Mata Arleta terus memperhatikan tulisan di setiap ruangan, hingga akhirnya menemukan ruangan yang bertuliskan departemen lima.Arleta menekan handle pintu, lalu membukanya perlahan.“Permisi. Saya mau mengantarkan kopi.” ucap Arleta begitu pintu terbuka. Namun Arleta masih berdiam di depan pintu.“Bawa sini!” teriak seorang karyawan yang duduk di pojokan.Arleta mengangguk, lalu melangkah maju menuju kursi yang paling pojok.“Silahkan.” ucap Arleta setelah menyimpan kopi di atas meja.Pria itu mengangguk, dia menoleh menatap Arleta.“Kamu anak baru ya?” tanyanya.Arleta mengangguk.” Iya, tuan.” .“Pantas saja, aku baru melihatmu.” katanya lagi.“Woi! Kopi ku bawa kemari!” teriak seorang yang ada di kursi yang lain.Arleta mengangguk.” Baik. Maaf, saya permisi.” pamit Arleta dengan sopan.Arleta berbalik, kembali melangkah menuju kursi pria yang memanggilnya tadi.Arleta melakukan hal sama seperti pada pria tadi. Setelah selesai Arleta, berjalan keluar dari departemen ini untuk kembali ke dapur.Arleta berjalan menyusuri jalan yang tadi dia lewati. Arleta sudah mengingat-ingat jalan yang dilewatinya tadi agar tidak tersesat.Arleta cukup menikmati pekerjaannya saat ini walau masih seumur jagung. Menurut Arleta para pekerja disini tidak sombong. Setelah tadi Arleta bertemu dengan beberapa orang mereka sangat ramah. Padahal biasanya, banyak karyawan yang sombing apalagi jika hanya OG/OB mereka akan menganggap rendah pekerjaan itu. Tapi sepertinya tidak kalau di perusahaan ini.Arleta menjadi merasa kagum pada pimpinan perusahan yang bisa membuat semua karyawannya berjalan seiringan tanpa ada yang saling mengucilkan.“Eh. Kamu siapa? tanya seorang wanita yang baru saja memasuki dapur.Arleta yang sedang mencuci gelas menoleh. “Hallo, kenalin nama ku Arleta.” Arleta mengelap tangannya yang basah, lalu mengeluarkan pada wanita di hadapannya.Wanita itu pun satu profesi dengan Arleta.“Widi.” jawabnya. Sambil menerima uluran tangan Arleta. “Semoga betah kerja disini.” ucap Widi, setelah uluran tangan mereka terlepas.Arleta mengangguk.” Pasti.” . Kemudian melanjutkan kembali mencuci piring.Sedangkan Widi. Dia membuat beberapa minuman mungkin pesanan para karyawan. Karena tidak lama setelah itu Widi kembali keluar.Tidak terasa hari sudah beranjak sore. Pekerjaan Arleta hari ini berjalan dengan lancar, tidak ada halangan apapun. Jam makan siang tadi Alana sempat bertemu dengan Riri.“Ri. Terimakasih! Kamu sudah banyak membantuku.” ucap Arleta.“Sama-sama Lana. Semoga kamu betah ya.” sahut Riri.Arleta hanya menjawab dengan anggukan. Lalu setelah itu mereka melanjutkan makan siang.“Lana!” panggil Ami. Ketika Arleta hendak masuk ke ruang ganti.Arleta menghentikan langkahnya, lalu menoleh pada Ami.“Iya, ada apa?” tanya Arleta.“Em. Begini Leta. Tuan presdir minta ruangannya di bersihkan sekarang, sedangkan anak-anak yang lain sudah pulang. Sedangkan aku harus segera pulang, anakku sedang sakit.Apa kamu bersedia?” tanya Ami.Arleta diam sesaat, kemudian mengangguk.” Baiklah. Aku akan membersihkan.” “Apa kamu tidak keberatan?” Arleta menggeleng. “Tidak! Ini sudah bagian dari pekerjaan bukan? “Ami reflek mengangguk. “Baiklah, kalau begitu aku pulang ya. Oh. Iya Leta ruangan presdir ada di lantai 10. Kamu kesana saja langsung ya.”Setelah mengiyakan ucapannya. Ami segera pergi dengan berjalan terburu-buru.Arleta menghela nafas. Kemudian gadis itu kembali ke dapur. Arleta mengambil peralatan kebersihan, lalu melangkah kembali keluar dan bersiap menuju lantai sepuluh.Sore hari begini suasana kantor terasa sepi, karena sebagian besar para karyawan sudah pulang. Hanya terlihat beberapa orang yang memilih lembur.Sepanjang perjalanan Arleta memperhatikan setiap sudut bangunan. Arleta cukup di buat terkesima karena untuk ukuran kantor bangunan ini cukup mewah dan juga sangat nyaman.Tanpa terasa Arleta sudah sampai di depan ruang presdir.“Permisi!” panggil Arleta, setelah lebih dulu mengetuk pintu.“Masuk!”Setelah mendengar sahutan dari dalam Arleta membuka pintu lalu melangkah masuk.“Permisi tuan, saya diperintahkan ibu Ami untuk membersihkan ruangan ini tuan.” izin Arleta.Pria yang tampak sedang khusu pada laptopnya itu mulai bergerak, lalu menoleh pada Arleta.“Kamu!”“Anda!”Arleta terkejut, tidak menyangka akan bertemu dengannya kembali!Laki-laki yang Arleta ketahui bernama tuan Mahendra itu melotot menatap Alana, yang juga sedang menatapnya. Namun dengan tatapan penuh kekhawatiran.‘Astaga! Kenapa bisa ada orang ini disini? Kalau sampai dia bilang sama yang punya perusahaan aku bisa kehilangan pekerjaan lagi.’ batin Arleta.“Hey! Kenapa kau ada disini!” bentak Mahen.Arleta terlonjak, kemudian menundukan pandangan.“Ma_maaf tuan. Sa_saya sedang beekerja disini.” jawab Arleta dengan tergagap. Lalu Arleta memberanikan diri mengangkat wajah, menatap laki-laki yang sedang memelototinya dari tadi.Arleta menjatuhkan alat kebersihannya begitu saja, lalu berlutut di hadapan Mehendra.“Tuan saya mohon maaf, atas kejadian tempo lalu. Saya mohon tuan, jangan bilang sama orang yang punya perusahaan ini, saya tidak ingin di pecat lagi tuan. Saya benar-benar sangat membutuhkan pekerjaan ini.” Arleta memohon dengan kedua tangan di tanggupka di depan dada.Pria itu tetap diam.‘Oh. Rupanya dia belum tahu kalau aku pemilik
Sangat mudah untuk Bas mencari tahu tentang Arleta, pagi ini Bas sudah mengantongi semua dan siap diberikan pada MahenKetika hari masih sangat pagi, Bas sudah keluar dari apartemennya, menuju rumah utama tempat dimana Mahen tinggal.Bas sengaja berangkat sepagi ini, karena akan membicarakan tentang informasi yang di dapatnya..Tidak butuh waktu lama untuk Bas sampai di rumah utama. Setelah mobilnya terparkir dengan baik, Bas segera turun dan melangkah masuk.Di rumah besar ini hanya ada Gio tinggal seorang diri, hanya ada beberapa pelayan dan juga penjaga rumah saja. Sesekali Bas juga menginap disana.“Tuan!” panggil Bas. Ketika susah tiba di depan pintu kamar Mahen.Bas mencoba membuka pintu namun tidak bisa.’’ Sepertinya tuan Mahen masih tidur.’’ Bas mengambil ponsel dalam saku celana, lalu menghubungi nomor Mahen. ‘’Astaga. Mengganggu saja!’’ keluh Mahen. Perlahan pria itu membuka mata, tangannya meraih ponsel yang ada di atas nakas.‘’Bas. Ini masih sangat pagi, kenapa dia su
“Tuan, saya turun disini saja.’’ ucap Arleta saat mobil Bas tiba di pintu gerbang kantor.Tanpa menunggu jawaban dari Mahen, Bas menghentikan mobilnya tepat di samping pintu masuk. Setelah mobil berhenti Arleta segara membuka pintu.‘’Tuan terima kasih atas tumpangannya.’’ ucap Arleta, sebelum dia benar-benar turun.‘’Hem.’’ sahut Ma singkat. Setelah Arleta benar-benar turun Bas langsung melajukan mobilnya kembali masuk kedalam pekarangan gedung. Sedangkan Arleta berjalan di belakang.Arleta bersyukur, tadi dia mendapatkan tumpangan kalau tidak, Dia pasti akan kesiangan . Arleta buru-buru masuk ke dalam ruang ganti, setelah berganti pakaian Arleta langsung menuju dapur. Bersiap untuk menjalankan tugas. Seperti biasa di dapur sudah ada pembagian tugas masing-masing, hari ini Arleta kebagian tugas membersihkan ruangan di lantai tiga.Di lantai lain, tepatnya di ruangan presdir Mahendra sedang sibuk dengan berkas-berkas yang menumpuk di atas meja. Pria itu terlalu fokus sehingga
Mehen mendorong tubuh Arleta hingga gadis itu jatuh terlentang diatas sofa empuk yang ada di ruangan presdir. Mehen langsung menindih Arleta dan melanjutkan mencumbu gadis itu dengan brutal.“Tuan! Berhenti! Tolong jangan lakukan ini!” Arleta memohon dengan mengiba. Tapi pria di atasnya ini seakan tuli tidak mendengar jerit tangisnya.Tangis dan rengekan Arleta seperti musik yang membuat Mahenra semakin bernafsu. Puas bermain di area leher kini Mahendra mencium bibir Arleta kembali dengan brutal menyusuri setiap rongga mulut gadis di bawahnya. Tangan Mahen bergerak meremas payudara Arleta yang berukuran sedang namun sangat pas ditangan Mehendra, tangan satunya pria itu digunakan untuk memegang tangan Arleta agar tidak bisa berontak.“Empt..”“Empt..” Arleta berteriak tertahan, nafasnya hampir habis akibat ulah Mahen.Pria itu melepaskan ciumannya, membiarkan Arleta mengambil oksigen. Matanya menatap dua buah gunung yang sangat indah di balik kaos yang Arleta kenakan.Dan…Srek!“Tid
Arleta langsung menyambar jubah mandi dari tangan Mahen, lalu dengan cepat memakainya. Dari pada dia harus telanjang di hadapan laki-kali brengsek yang telah merenggut masa depannya.“Aw!” Arleta terpekik, saat akan berdiri, area di bawah sana terasa sangat sakit dan ngilu ketika dibawa untuk bergerak.“Biar saya bantu!” Mahen hendak memegang tangan Arleta. Tapi cepat ditepis oleh gadis itu.“Tidak perlu!” tolak Arleta dengan kasar.Mahen menghela nafas kasar.Sedangkan Arleta, dia berjalan dengan tertatih menahan rasa sakit. Dengan pelan Arleta masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Mahen segera menghubungi Bas, ketika Arleta sudah benar-benar masuk kedalam kamar mandi.“Bas. Carikan aku pakaian wanita. Cepat! Bawa keruanganku sekarang!” titah Mahen, begitu panggilan bari terhubung.“Pakaian wanita?” tanya Bas dengan nada heran.“Iya! Cepat!”“Tapi tuan…”“Kalau kau terus bertanya! Kapan kau akan berangkat mencarinya. Nanti aku akan jelaskan setelah kau bawa pakaian itu kemar
“Arleta kamu sakit?” tanya Ami ketika melihat Alana yang pucat.“Sepertinya begitu. Apa boleh hari ini aku izin?” Arleta terpaksa berbohong, demi kebaikannya sendiri. “Pulanglah! Dan segera pergi ke dokter.” Arleta mengangguk.” Terimakasih.”Ami mengangguk.” Sama-sama. Semoga lekas sembuh.” ucap Ami.Setelah mendapatkan izin Arleta langsung mengambil tasnya yang ada di ruang ganti. Setelah itu langsung melangkah keluar dari perusahaan ini. Di ruang presdir.“Bagaimana kalau gadis itu. Membocorkan masalah ini di luaran? Bisa hancur nama baik yang selama ini aku jaga.” ucap Mahen. Terlihat sangat khawatir. Dari tadi pria itu terus mondar mandir tidak jelas di ruangannya. Bas yang melihatnya pun menjadi pusing.“Tenanglah tuan! Duduklah! Jika anda terus mondar mandir seperti ini, saya malah ikutan pusing.” tegur Bas.Mahen menurut, langsung duduk kembali di kursinya.“Begini saja tuan. Bukankah, tuan tadi mengatakan punya penawaran untuk Arleta? Bagaimana sore nanti kita datengin
Cepat angkat bodoh! kenapa malah diam di situ.” bentakan Mahen cukup menyadarkan Bas.“Eh. Iya tuan.” Dengan cepat Bas, mengangkat tubuh Alana yang terkulai lemas. Setelah itu Bas berjalan dengan sedikit berlari menuju mobil sambil membopong tubuh Arleta.Sedangkan Mahen, berjalan di belakang Bas. Tidak lupa Mahen juga menutup pintu rumah Arleta. Pria itu berlari menyusul Bas, lalu membukakan pintu mobil.Bas segera menidurkan Arleta di kursi belakang, setelah itu baru Bas ikut masuk kedalam mobil, sebelumnya tadi Mahen sudah masuk, dan duduk di kursi depan.“Cepat Bas! Kau lambat sekali.” protes Mahen.Mahen menoleh ke belakang, untuk melihat kondisi Arleta. Dengan perasaan khawatir.“Ini sudah ngebut tuan!” jawab Bas. Lalu menambah kecepatan laju mobilnya.Baru kali ini, Bas melihat Mahen begitu peduli dengan wanita, apalagi hanya seorang Office Girl. Atau mungkin karena kejadian siang tadi? ‘Ah! Tapi, ya sudahlah!’Setelah empat puluh menit perjalanan, akhirnya mereka tiba di rum
Mahendra menyodorkan amplop coklat dengan isi yang cukup tebal. Berharap kali ini Arleta mau menerimanya dan tidak jadi melaporkannya pada polisi. Arleta menoleh, menatap Mahen dengan tatapan penuh amarah! “Aku bukan pelacur! Silahkan ambil saja uangmu!” seru Arleta marah. “Aku tidak bermaksud begitu. Aku tahu kau sedang butuh uang bukan? Untuk membayar hutang ayahmu? Uang ini aku rasa cukup untuk melunasinya.” ucap Mahen mencoba bernegosiasi. “Aku memang butuh uang! Tapi tidak dengan menjual harga diriku! Dan kau! Kau telah mencurinya!” Arleta menunjuk wajah Mahen dengan penuh emosi. “Terserah, kau saja! Jika kau butuh kau bisa hubungi aku! Atau jika kau mau? Aku bisa memberimu banyak uang asal! Asal kau mau menjadi budak nafsuku. Aku rasa aku sudah kecanduan dengan tubuhmu.” ucap Mahen dengan prontal. Brak! Arleta memukul pintu mobil. “Berhenti!” teriak Arleta. Arleta sungguh tidak mengerti dengan pria ini! Tadi dia meminta maaf, namun sekarang? Dia menawarkan hal
Mahesa berdiri di pinggir jurang, memandang ke kejauhan, ke arah dunia yang terbentang luas. Dunia yang telah dia selamatkan, namun kini terasa jauh berbeda, seolah-olah seberkas cahaya dan bayangan bercampur dalam dirinya. Kekuatan Pohon Kehidupan yang telah mengalir di tubuhnya selama ini berpadu dengan kekuatan Bayangan Abadi, warisan dari leluhur yang terpendam jauh di dalam dirinya. Dia merasakan dua sisi yang bertarung dalam dirinya, cahaya yang membawa kehidupan dan bayangan yang membawa kegelapan. Seiring dengan berjalannya waktu, Mahesa menyadari bahwa dirinya kini bukan hanya seorang manusia biasa, tetapi juga penjaga antara dua dunia: dunia yang terang dan dunia yang gelap. Pohon Kehidupan, yang telah lama menjadi pusat keseimbangan di dunia ini, kini memiliki tugas baru, menjaga keseimbangan antara keduanya. Namun, tidak ada yang pernah mempersiapkan Mahesa untuk peran yang lebih besar daripada yang dia bayangkan. Kekuatan yang ada padanya bukan hanya milik dirinya, tet
Langit di atas Pohon Kehidupan mulai berubah, berlapis warna keemasan yang memancar seperti aurora. Namun, ada ketegangan yang merayap di udara, menciptakan rasa genting yang tidak bisa dijelaskan. Arleta dan Mahen berdiri di depan pohon itu, memandangi sesuatu yang baru saja mereka temukan—sebuah artefak kuno berbentuk orb kristal yang bersinar lembut.Nyai Sekar, yang berdiri di belakang mereka, tampak gelisah. “Ini adalah Artefak Kebangkitan,” katanya dengan nada berat. “Ia memiliki kekuatan untuk membawa kembali roh yang terikat dengan Pohon Kehidupan ke dunia nyata. Tetapi ada harga yang harus dibayar.”Arleta menatap artefak itu dengan campuran harapan dan ketakutan. “Apa harganya, Nyai?”Nyai Sekar menggeleng perlahan. “Membawa kembali satu jiwa akan mengganggu keseimbangan dunia. Kegelapan akan mendapat jalan untuk merasuki dunia ini, lebih kuat dari sebelumnya.”Mahen mengepalkan tangan, menatap artefak itu dengan mata penuh tekad. “Dia adalah anak kami. Jika ada kesempatan u
Pohon Kehidupan berdiri megah di tengah hutan lebat, cabang-cabangnya menjulang tinggi ke langit, dan daunnya bersinar lembut, memancarkan kehangatan yang menenangkan. Namun, sejak pengorbanan Mahesa untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran Bayangan Abadi, ada perubahan yang sulit diabaikan. Pohon itu tampak lebih hidup dari sebelumnya, dan bunga-bunga liar bermekaran di sekitar akarnya dengan warna-warna cerah yang tidak biasa.Arleta duduk di akar pohon, tangannya memegang kelopak bunga biru yang baru saja ia petik. “Mahen,” panggilnya, suaranya lembut tapi penuh kerinduan. “Aku merasa seperti dia masih di sini.”Mahen, yang berdiri tidak jauh darinya, memandang istrinya dengan mata yang penuh kesedihan dan cinta. “Aku juga merasakannya,” jawabnya. “Semua ini... keanehan yang terjadi sejak Mahesa pergi, seolah-olah dia masih berusaha berbicara kepada kita.”Malam itu, saat mereka tidur di rumah sederhana yang mereka bangun tak jauh dari Pohon Kehidupan, Arleta bermimpi. Dalam mimpi
Langit masih dihiasi semburat jingga saat Mahesa membuka matanya perlahan. Tubuhnya terasa ringan, namun hati dan pikirannya penuh dengan beban keputusan yang harus diambil. Pohon Kehidupan berdiri di depannya, memancarkan cahaya lembut, seperti sebuah lentera yang tetap menyala di tengah malam tergelap.Suara lembut Nyai Sekar memecah keheningan. "Mahesa, kau telah menunjukkan keberanian yang luar biasa. Namun, perjalanan ini belum selesai."Mahesa menatap Nyai Sekar dengan mata penuh tekad. "Aku akan melakukan apa saja untuk melindungi dunia ini, meskipun itu berarti aku harus kehilangan segalanya."Nyai Sekar tersenyum tipis, tetapi kesedihan tampak di matanya. "Terkadang, melindungi berarti memilih untuk hidup dan bertahan, bukan mengorbankan segalanya. Kau harus belajar bahwa harapan tidak hanya berasal dari pengorbanan, tapi juga dari keberlanjutan perjuangan."Mahesa terdiam, hatinya bimbang. Ia tahu betul bahwa Bayangan Abadi masih menunggu untuk dihancurkan, namun pertanyaan
Arleta dan Mahen berdiri di tengah reruntuhan jembatan yang baru saja mereka lewati. Suasana sunyi, hanya suara napas mereka yang terdengar di antara kepulan debu dan kilauan cahaya samar dari Pohon Kehidupan yang kini mulai meredup. “Aku tidak bisa kehilangan dia lagi, Mahen,” kata Arleta, suaranya pecah di tengah isak tertahan. “Mahesa adalah alasan kita ada di sini.” Mahen menggenggam tangan Arleta erat, matanya menatap jauh ke arah tempat Mahesa dan Lirya menghilang. “Kita akan menemukannya. Aku janji. Tapi kita harus tetap fokus. Lirya semakin kuat, dan waktu kita tidak banyak.” Di depan mereka, sebuah jalan setapak yang penuh dengan akar bercahaya mulai terbuka, seolah Pohon Kehidupan memberi mereka petunjuk. Tanpa ragu, mereka melangkah maju, meski tubuh mereka masih terasa lemah akibat serangan terakhir Lirya. Semakin jauh mereka berjalan, suasana berubah semakin mencekam. Cahaya yang sebelumnya lembut kini berubah menjadi redup, hampir seperti nyala lilin yang hampir p
Mahen dan Arleta berdiri di depan gerbang besar yang bercahaya redup. Angin dingin menerpa wajah mereka, membawa bisikan halus seperti suara ribuan jiwa yang terperangkap di dalam. Di balik pintu itu adalah dunia yang tidak mereka kenal, namun takdir telah membawa mereka ke sini.Arleta menggenggam tangan Mahen erat, tatapannya penuh dengan keteguhan meskipun hatinya berdebar hebat. “Kita harus lakukan ini bersama. Aku tidak akan membiarkanmu melakukannya sendirian.”Mahen menatap istrinya, mencium keningnya lembut. “Apa pun yang terjadi, kita akan melawan bersama.”Panji berdiri di belakang mereka, wajahnya serius. “Gerbang ini akan membawa kalian ke inti Pohon Kehidupan. Tapi ingat, ujian yang menanti di dalamnya akan menguji cinta, kepercayaan, dan keberanian kalian. Jangan pernah terpisah, karena itulah kelemahan terbesar kalian.”Keduanya mengangguk, lalu melangkah masuk ke gerbang.Begitu mereka melewati gerbang, dunia di sekitar mereka berubah drastis. Cahaya lembut berwarna em
“Mahesa...” bisik Arleta, langkahnya terhenti saat menatap putranya. Air mata mengalir deras di wajahnya. Wajah Mahesa, yang dulu ceria dan penuh cinta, kini tampak dingin dan tak berjiwa.Namun, apa yang lebih menusuk hatinya adalah tatapan kosong itu, tatapan yang tak lagi mengenalinya.“Pergi,” suara Mahesa dingin dan berat, seperti bukan berasal dari dirinya. “Kalian tidak diinginkan di sini.”Mahen mencoba melangkah maju meski tubuhnya lunglai. “Mahesa, ini ayahmu. Ini ibumu yang selalu mencintaimu. Kami melakukan segalanya untuk membawamu kembali.”Mahesa tidak bergeming. Tangannya terangkat, dan seketika gelombang energi menghantam Mahen hingga terhempas ke tanah.“Mahen!” jerit Arleta, berlari ke arah suaminya. Ia berlutut, memeluk tubuh Mahen yang terguncang akibat serangan itu.Mahen menatap Arleta, mencoba berbicara meski suaranya serak. “Dia... dia bukan lagi anak kita. Ada sesuatu yang menguasainya.”Tawa sinis menggema di ruangan itu. Lirya muncul dari balik bayangan, me
Hari-hari setelah serangan Lirya berlalu dengan perlahan. Pohon Kehidupan masih berdiri tegak, meskipun aura yang dipancarkannya mulai melemah. Mahen dan Arleta semakin waspada, menyadari bahwa kekuatan gelap bisa menyerang kapan saja.Namun, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Mahesa tidak lagi memberikan tanda. Cahaya pohon itu semakin redup, seolah-olah terhubung dengan sesuatu yang semakin jauh.“Sekar, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Mahen suatu malam, ketika mereka duduk di ruang kerja.Sekar menghela napas panjang. “Aku takut... Mahesa mungkin tidak lagi berada di dunia antara. Jika itu benar, maka dia mungkin sudah ditarik ke inti Pohon Kehidupan. Itu adalah tempat di mana roh-roh dipersiapkan untuk dilahirkan kembali.”“Lahir kembali?” bisik Arleta, hatinya mencelos.Sekar mengangguk. “Ya, itu berarti dia akan dilahirkan di dunia yang berbeda, tanpa ingatan tentang kalian. Kalian hanya memiliki sedikit waktu untuk menyelamatkannya sebelum itu terjadi.”Di tengah kebingungan
Keluarga Mahen kembali ke rumah mereka dengan hati yang berat. Kehilangan Mahesa seperti luka yang terus menganga, meskipun harapan dari Pohon Kehidupan mereka genggam erat.Arleta duduk di ruang tamu, memandangi foto Mahesa yang tergantung di dinding. Wajah kecil itu, dengan senyum polosnya, kini menjadi kenangan yang menghantui. Air mata jatuh perlahan di pipinya, namun ia tetap diam.Mahen berdiri di dekat jendela, menatap gelapnya malam. Angin dingin menyapu wajahnya, seolah dunia luar tak peduli pada rasa sakit yang kini melanda keluarganya.“Mahen,” suara Arleta bergetar, memecah keheningan. “Kau yakin... dia akan kembali?”Mahen menoleh, matanya merah oleh kelelahan dan emosi yang tertahan. Pria itu berjalan mendekati istrinya, duduk di sampingnya, dan menggenggam tangan Arleta.“Kita harus percaya, Arleta. Mahesa berkata dia akan kembali, dan aku yakin dia akan menepati janjinya,” katanya dengan suara tegas, meski di baliknya ada ketakutan yang tak terucap.Namun, kepercayaa