Mahendra menyodorkan amplop coklat dengan isi yang cukup tebal. Berharap kali ini Arleta mau menerimanya dan tidak jadi melaporkannya pada polisi. Arleta menoleh, menatap Mahen dengan tatapan penuh amarah! “Aku bukan pelacur! Silahkan ambil saja uangmu!” seru Arleta marah. “Aku tidak bermaksud begitu. Aku tahu kau sedang butuh uang bukan? Untuk membayar hutang ayahmu? Uang ini aku rasa cukup untuk melunasinya.” ucap Mahen mencoba bernegosiasi. “Aku memang butuh uang! Tapi tidak dengan menjual harga diriku! Dan kau! Kau telah mencurinya!” Arleta menunjuk wajah Mahen dengan penuh emosi. “Terserah, kau saja! Jika kau butuh kau bisa hubungi aku! Atau jika kau mau? Aku bisa memberimu banyak uang asal! Asal kau mau menjadi budak nafsuku. Aku rasa aku sudah kecanduan dengan tubuhmu.” ucap Mahen dengan prontal. Brak! Arleta memukul pintu mobil. “Berhenti!” teriak Arleta. Arleta sungguh tidak mengerti dengan pria ini! Tadi dia meminta maaf, namun sekarang? Dia menawarkan hal
Itulah yang Arleta rasakan saat ini, tidak ada pilihan lain yang lebih baik.“Terimakasih. Sudah menolong saya, jika anda tidak datang tepat waktu. Saya tidak tahu bagaimana nasib saya sekarang.” ucap Arleta terbata.“Tidak masalah! Siapa mereka? Apakah mereka orang suruhan rentenir itu?” tanya Mahen dengan serius.Arleta mendongak, lalu menoleh pada Mahen.“Darimana anda tau?” tanya Arleta dengan menatap wajah Mahen.Arleta penasaran sudah dua kali Mahen menyebut-nyebut hutang! Rentenir! Darimana dia tahu? Sedangkan Alana tidak pernah bercerita sedikit pun tidak pernah bercerita pada pria itu.Mahen tersenyum samar. “Aku tahu semuanya! Ayah mu banyak hutang pada rentenir bukan? Dan kau lah jaminannya! Aku tahu itu.” “Siapa yang memberitahumu?!” sela Arleta.“Arleta. Arleta itu sangat mudah bagiku, kalau cuma mendapatkan informasi data konkrit tentangmu.” ucap Mahen sombong.“Bahkan aku tahu, waktumu tinggal beberapa hari bukan? Untuk melunasinya. Bukankah aku pernah menawarkan sebu
” Mengerti tuan.” sahutnya dengan cepat.“Bagus! Saya harus segera turun. Jadilah gadis baik nona, jangan buat kekacauan.” ucap Bas, memberi ultimatum.Arleta mencebikan bibir, tanpa ingin menjawab ucapan Bas.‘ Ck! Memangnya aku anak kecil, yang suka bikin kekacauan gitu.’ Setelah dirasa cukup aman untuk meninggalkan Arleta. Barulah Bas pergi. Segera menyusul Mahen yang menunggu nya di parkiran. Setelah Bas menghilang di balik pintu. Arleta berjalan menuju kamar.“Aaaaa….!” wanita berteriak kegirangan.Arleta melompat ke atas kasur spring bed berukuran king size, merebahkan tubuhnya di sana.“Astaga! Ini empuk sekali, seumur-umur baru kali ini merasakan tidur di kasur orang kaya.” ucap Arleta. Dengan tubuh yang terus berguling kesana kemari.Haha….sangat katrok bukan.“Pasti sangat nyaman tidur disini. Gak kaya kasur ku yang keras, kalau bangun tidur badan pegal semua.” keluh Arleta.“Aku mau lihat isi kulkas ah!” celotehnya kemudian.Arleta kemudian bangun, lalu melangkah menuj
Mahendra melangkah mendekati Arleta, kemudian membantu gadis itu untuk bangun.“Masuklah!” titah Mahen. Arleta mengangguk kecil lalu melangkah masuk meninggalkan Mahendra dengan Serly.“Mahendra!” Serly berdecak kesal, lalu bangun.Alih-alih ingin mendapatkan perhatian dari Mahen, namun tidak sedikitpun oleh Mahendra melirik keberadaan Serly.“Apa yang kau lakukan disini!” seru Mahen dengan suara dinginnya.Serly memasang wajah memelas.” Tadi aku mencarimu kemari. Tapi wanita itu! Dia! Dia malah marah-marah lalu mendorongku.” jelas Serly, mencoba mempengaruhi Mahendra.Mahendra menatap Serly dengan tatapan kemarahan.” Pergi!” bentaknya.Serly terlonjak kaget, mendengar bentakan Mahen. Serly pikir Mahendra akan percaya padanya namun, dia salah!Serly menatap Mahendra dengan air mata yang sudah menetes.” Kamu mengusirku? Demi wanita itu! Ck! Aku tidak menyangka, pantasan saja kau selalu menolakku. Ternyata seleramu sudah berubah, lebih suka cewek rendahan, dari pada wanita berkelas!”
Arleta mulai membuka lembaran demi lembaran lalu membacanya. Beberapa kali gadis itu menggeleng setelah membaca beberapa poin yang menurutnya hanya menguntungkan pihak A saja. Namun Arleta cukup tercengang, saat melihat nominal uang yang akan diterimanya sebagai kompensasi. Lebih tepatnya bayaran untuk setiap kali Arleta melayani Mahen.lIma puluh juta bukanlah uang yang sedikit! Baginya itu sangatlah besar. Arleta sampai membayangkan jika uang itu dikumpulkan, maka dengan uang itu dia bisa hidup makmur tanpa takut tidak bisa makan.‘’ Ini tidak adil! Kenapa poin di bagian c,e, dan beberapa poin lainya hanya menguntungkan pihak A saja!’’ protes Arleta. Menoleh pada Mahen yang sedari tadi sedang menatap dirinyaMahendra tersenyum, membalas tatapan Arleta.’’ tentu saja, aku mengeluarkan banyak uang untuk mu, tentu saja aku harus mendapat keuntungan bukan?’’ jawab Mahen dengan menaikan turunkan sebelah alisnya.Arleta berdecak. ‘’ Aku tahu! Tapi kenapa harus seperti itu? Bagaiman
Tengorokan Arleta terasa tercekat walau hanya untuk mengeluarkan satu kata saja sangat sulit. Gadis itu hanya mengangguk sebagai jawaban. Mendapatkan lampu hijau, dengan tiba-tiba Mahen mengangkat tubuh Arleta membawanya ke pembaringan. Mahen kembali mencumbu Arleta kali ini dengan sangat brutal, layaknya serigala yang kelaparan. “Emph..” lenguhan kecil keluar dari mulut Arleta ketika lidah Mahen menyapu lehernya. Melihat reaksi Arleta, tangan Mahen tidak tinggal diam, dia mencoba melepas pakaian yang melekat dalam tubuh Arleta, tanpa menyisakan sehelai benang pun. “Aku merindukan tubuhmu Arleta! Aku membuat aku gila!” bisik Mahen di telinga Arleta membuat gadis itu seketika meremang. Mahen beralih fokus pada gunung kembar yang membuatnya sangat takjub, ukurannya tidaklah besar namun cukup pas di tangan Mahen. Tanpa basa basi lagi Mahen langsung melahap dua gunung yang menjadi incarannya. “Ah..tuan..” desah Alana, ketika Mahendra menyapu habis kedua gunung kembarnya.
Bos rentenir menatap pria muda di hadapannya dengan tatapan nyalang.“Aku tidak ada urusan denganmu anak muda!” ucap bos rentenir dengan dingin.Kedua preman yang ada di belakang bos rentenir membisikan sesuatu.“Tuan, kedua pria itu yang menghajar kami sampai babak belur siang tadi.” bisik preman itu. Membuat bos rentenir menatap Mahen dan Bas bergantian.“Tentu saja kau, berurusan denganku, mulai saat ini! Siapapun yang berurusan dengan Arleta! Maka akan berurusan pula denganku!” tegas Mahen dengan menatap tajam ketiga pria di hadapannya.“Haha..mau jadi pahlawan kesiangan rupanya, anak kecil macam kau!” bos rentenir menatap Mahen dari atas sampai bawah, dengan tatapan meledek.Apalagi saat ini Mahen maupun Bas, hanya memakai kaos santai biasa. Pantas saja jika bos rentenir itu menganggap remeh keduanya.Mahen menatap pria tua di hadapannya ini dengan tatapan membunuh. Dia maju selangkah mengikis jarak diantara keduanya.“Aku tidak ingin berbasa basi denganmu! Aku hanya mengantark
“Kita langsung pulang atau gimana tuan?” tanya Bas, ketika baru saja melajukan mobilnya.Mahen menoleh pada Alana, yang sedang bersandar pada dada bidang Mahen.“Kamu lapar?” Arleta mendongak, mengangkat wajahnya.” Tentu saja! Kamu tidak memberiku makan dari siang.” sahut Arleta dengan wajah memelas.Mahen tergelak.”Haha..maafkan aku, Bas! Kita cari tempat makan dulu.” titah Mahen, yang langsung di angguki oleh Bas.Entah kenapa Arleta merasa nyaman dan aman saat bersama Mahen. Rasa benci, kesal, marah, hilang begitu saja digantikan dengan rasa tenang. Arleta tidak perlu takut lagi sekarang.Tidak lama kemudian Bas memarkirkan mobilnya di depan sebuah cafe.Setelah mematikan mesin mobil, Bas keluar terlebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Arleta dan juga Mahendra.“Silahkan nona, tuan.” Arleta mengangguk.”Terima Kasih tuan Bas.” sahutnya lalu, bergerak keluar disusul Mahen.“Panggil saya Bas saja nona.” ucap Bas. Tak enak jika wanita yang bersama tuannya memanggilnya tuan juga.
Hari-hari berlalu setelah peristiwa di bawah pohon besar terasa lebih tenang. Meski rasa penasaran tetap ada, Mahen dan Arleta memutuskan untuk fokus pada keluarga mereka, terutama Mahesa. Namun, ada sesuatu yang berubah dalam kehidupan mereka, seolah-olah kehadiran Reza membawa pesan terselubung yang belum sepenuhnya mereka pahami.Mahesa kini tumbuh semakin besar. Semakin hari, kecerdasan dan rasa ingin tahunya semakin terlihat. Dia sering bertanya hal-hal yang sulit dijawab, seperti tentang bintang di langit atau kenapa hujan turun. Namun, pertanyaan yang paling sering Mahesa ajukan belakangan ini membuat Mahen dan Arleta terdiam.“Ayah, Bunda, nanti kalau aku besar, aku akan seperti apa?”Mahen tertawa kecil, mencoba menyembunyikan kebingungannya. “Kamu akan jadi anak yang hebat, Sayang, seperti sekarang.”“Tapi aku mau tahu,” desak Mahesa. “Reza bilang setiap anak punya jalannya sendiri.”Mahen dan Arleta terkejut. Sudah berbulan-bulan sejak mereka terakhir mendengar Mahesa
Hari-hari berlalu dengan tenang setelah Reza "mengucapkan selamat tinggal." Mahesa tampak kembali seperti anak kecil pada umumnya, yang ceria, penuh rasa ingin tahu, dan sibuk dengan aktivitasnya. Namun, Mahen dan Arleta belum bisa sepenuhnya melupakan apa yang terjadi. Gambar terakhir yang ditinggalkan Mahesa, dengan tulisan "Sampai jumpa lagi, Mahesa," tetap tersimpan rapi di ruang kerja mereka, seolah menjadi pengingat bahwa kisah ini belum benar-benar selesai.Entah, seperti masih ada yang mengganjal di hati Mahen maupun Arleta. Suatu malam, Mahen terbangun dengan nafas tersengal. Mimpi aneh menghantuinya. Mahen melihat dirinya berjalan di tengah sawah yang luas, dikelilingi oleh layangan-layangan yang berterbangan di langit jingga. Di kejauhan, Mahen melihat seorang anak laki-laki berdiri membelakanginya.“Reza?” panggil Mahen dalam mimpi.Anak itu menoleh, tersenyum, lalu berlari menjauh sambil membawa layangan. Mahen mencoba mengejarnya, tetapi langkahnya terasa berat,
Setelah peristiwa di taman belakang, Mahen dan Arleta merasa ada sesuatu yang belum selesai.Perasaan aneh terus menghinggapi mereka setiap kali mengingat cerita Mahesa tentang Reza, terutama ketika mereka melihat gambar-gambar yang dibuat Mahesa. Gambar itu bukan sekadar ilustrasi seorang anak bermain, melainkan potongan cerita yang terasa hidup.Namun, mereka memutuskan untuk tidak membahasnya terlalu jauh di depan Mahesa. Anak itu tampak bahagia, dan bagi mereka, itu yang paling penting.Suatu pagi, saat membersihkan gudang, Arleta menemukan sebuah kotak kayu tua yang tertutup debu tebal.Arleta tidak ingat pernah menyimpan kotak itu sebelumnya. Dengan rasa penasaran, wanita itu membuka kotak tersebut dan menemukan beberapa barang usang di dalamnya. Sebuah foto hitam putih seorang anak laki-laki memegang layangan, sebuah catatan kecil, dan mainan kayu yang sudah lapuk.Di belakang foto itu, tertulis dengan tinta yang mulai memudar. "Reza, di hari pertama layangan barunya terbang
Mahesa yang baru berumur enam tahun mulai menunjukkan kemampuan yang luar biasa. Dia sering kali berbicara dengan kalimat yang tampak terlalu dewasa untuk anak seusianya.“Ayah, kenapa langit bisa biru?” tanyanya suatu sore saat mereka duduk di halaman belakang.Mahen terkekeh, merasa bingung harus menjelaskan dengan bahasa sederhana. “Karena cahaya dari matahari itu terpecah oleh atmosfer bumi, Sayang.”“Oh, jadi itu seperti warna pelangi, ya? Tapi cuma yang biru yang terlihat?” tanyanya lagi.Mahen tertegun. Anak seusia Mahesa sudah bisa memahami konsep seperti itu? Mahen menatap Arleta, yang hanya mengangkat bahu sambil tersenyum bangga.Tidak hanya itu, Mahesa juga sering menghabiskan waktu dengan membaca buku cerita yang lebih sulit daripada teman-teman sebayanya. Saat Mahesa berhasil menyelesaikan salah satu buku yang diberikan Arleta, Mahesa berkata, “Bunda, aku suka buku ini. Tapi aku mau tahu, kenapa tokohnya harus meninggalkan keluarganya di akhir cerita?”Pertanyaan itu
Hari-hari di rumah Mahen dan Arleta selalu hidup dengan tawa Mahesa. Kini, di usia lima tahun, Mahesa telah menunjukkan banyak hal yang membuat kedua orang tuanya bangga. Di setiap langkah pertumbuhannya, Mahen dan Arleta berusaha memberikan pengalaman-pengalaman yang mendidik, namun tetap menyenangkan, demi membentuk pribadi Mahesa yang ceria dan penuh kasih. Pada ulang tahunnya yang kelima, Mahesa menerima hadiah istimewa dari Mahen dan Arleta, sebuah sepeda kecil berwarna biru, lengkap dengan roda tambahan di sampingnya. “Ini sepeda untuk anak yang sudah besar seperti kamu,” kata Mahen sambil tersenyum, menyerahkan sepeda tersebut. Mata Mahesa berbinar. “Aku bisa naik sepeda, Ayah?” tanyanya dengan polos serta antusias. “Tentu bisa, tapi Ayah akan ajari dulu,” jawab Mahen, penuh semangat. Keesokan harinya, Mahen membawa Mahesa ke halaman depan rumah. Dengan sabar, Mahen mengajarkan cara mengayuh dan keseimbangan. Awalnya, Mahesa terlihat ragu-ragu, tapi dengan du
Masa kanak-kanak Mahesa adalah babak penuh warna dalam kehidupan Mahen dan Arleta. Dalam setiap senyum, tawa, dan tangis Mahesa, mereka menemukan arti baru dari cinta dan kebahagiaan, setiap momen yang mereka lewati, menjadikan kisah yang tidak dapat diulang dua kali.Ketika Mahesa baru belajar berjalan, hari itu menjadi momen yang tidak terlupakan bagi Arleta dan Mahen. Waktu itu, Mahen sedang menyusun laporan di ruang kerja, sementara Arleta sibuk menyiapkan makan malam di dapur. Tiba-tiba, terdengar suara tawa kecil Mahesa dari ruang tamu.Mahen yang penasaran melongok dan melihat Mahesa berdiri dengan susah payah di dekat meja kopi. “Arleta! Cepat kesini!” panggil Mahen penuh antusias.Arleta segera berlari ke ruang tamu, mendengar panggilan dari suaminya, tidak lupa wanita itu menyeka tangannya yang basah. Saat itu, Mahesa mulai melangkahkan kaki kecilnya, perlahan namun pasti, menuju Mahen.“Lihat dia, Arleta!” Mahen berseru, matanya berbinar.Arleta menahan napas, melihat Ma
Mahen menghubungi tim hukumnya keesokan paginya, membicarakan soal rencana untuk menghadapi Reza.Pria itu tahu bahwa menghadapi Reza tidak bisa dilakukan dengan emosi semata. Semua harus dilakukan secara cerdas dan penuh perhitungan.Sementara itu, Arleta berusaha menjaga rutinitas di rumah agar Mahesa tidak terpengaruh oleh situasi yang sedang mereka hadapi. Wanita itu, selalu bersikap normal seperti biasa, melakukan aktifitas ibu rumah tangga dan bermain dengan Mahesa.Disisi lain, Arleta menyaksikan bagaimana Mahen kembali menunjukkan sisi tegasnya sebagai seorang pemimpin, dalam menyikapi setiap masalah yang mereka hadapi.Malam itu, setelah Mahesa tertidur, Mahen duduk di ruang kerjanya dengan segelas kopi. Arleta mendekat dan meletakkan tangannya di bahu suaminya.“Bagaimana rencanamu?” tanyanya lembut.Mahen menatapnya sejenak sebelum menjawab. “Aku sudah berbicara dengan tim keamanan dan legal. Kami akan mengumpulkan bukti atas tindakan Reza, dan jika dia melanggar hukum, k
Setelah pertemuan dengan Ana, suasana rumah kembali tenang. Namun, di balik ketenangan itu, baik Mahen maupun Arleta tahu bahwa hubungan mereka masih membutuhkan waktu untuk benar-benar pulih. Mahesa, dengan tingkah lucu dan polosnya, menjadi pengikat hati mereka berdua.Malam itu, ketika Mahesa sudah tertidur pulas di kamarnya, Arleta duduk di balkon rumah mereka. Angin malam berhembus lembut, mengiringi pikirannya yang melayang-layang. Arleta teringat tatapan Ana saat pertemuan itu. Ada rasa sakit di mata wanita itu, tetapi juga ada tekad untuk melepaskan.Mahen keluar dari kamar, membawa dua cangkir teh hangat. Pria itu tahu istrinya sedang berpikir keras.“Tehnya untuk kamu,” kata Mahen, menyerahkan secangkir teh kepada Arleta.“Terima kasih,” jawab Arleta pelan, menerima cangkir itu dengan senyuman kecil.Mereka duduk berdampingan di bawah langit malam yang bertabur bintang. Untuk sesaat, tidak ada kata-kata yang terucap. Hanya suara angin yang menemani mereka.“Aku tahu sem
Hari-hari berlalu setelah pertemuan Arleta dan Ana di kafe. Meski percakapan itu memberikan kejelasan, Arleta tetap tidak bisa sepenuhnya melupakan sosok Ana. Wanita itu bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang belum terungkap, sesuatu yang mungkin Mahen sembunyikan darinya.Sementara itu, Mahen tampak berusaha lebih keras untuk membangun kembali kepercayaan istrinya.Dia semakin sering membantu mengurus Mahesa, meluangkan waktu lebih banyak bersama keluarga, dan selalu memastikan bahwa Arleta merasa diperhatikan. Namun, di tengah upayanya itu, ada rasa khawatir yang diam-diam mengusiknya.Suatu sore, ketika Mahen sedang di kantor, Arleta menerima sebuah amplop tanpa nama yang diselipkan di bawah pintu rumah mereka. Dengan rasa penasaran bercampur was-was, Arleta membukanya. Di dalamnya terdapat foto-foto lama Mahen dan Ana, tampak mesra di sebuah acara yang jelas bukan sekadar pertemuan teman biasa.Hati Arleta mencelos. Dia merasa dikhianati lagi, meski Mahen tidak pernah mengaku